Nikah Kontrak

Suasana hening, hanya terdengar gemericik air. Mutia memandang lurus ke depan, mencoba mencari cara untuk menghadapi situasi ini.

"Om, aku punya solusi. Gimana kalau kita nikah kontrak aja?" ucap

Mutia dengan nada serius.

Kaba tertegun, menatap Mutia dengan alis berkerut, "nikah kontrak? Maksud kamu apa?"

"Kita nikah untuk sementara waktu. Kalau nanti ternyata aku nggak hamil, kamu boleh menceraikan aku. Dengan begitu, kamu nggak perlu merasa terikat sama aku selamanya."

Kaba dengan nada tegas, hampir marah.

"Nikah kontrak? Mutia, aku nggak mau pernikahan kita cuma jadi formalitas. Aku nikah sama kamu karena aku mau serius, bukan karena aku terpaksa."

Mutia menatap Kaba dengan frustrasi.

"Tapi, Om, aku cuma mau semuanya kembali normal. Aku mau kamu bisa hidup seperti biasa, dan aku juga. Ini semua terasa salah."

Kaba menghela napas panjang, menatap Mutia dengan pandangan lembut. Sulit sekali bagi Kaba menyentuh hati Mutia. Sekedar membayar kesalahan malam itu sangat tertutup.

"Mutia, nggak ada yang akan kembali seperti dulu. Semuanya sudah berubah sejak malam itu. Tapi perubahan itu nggak selalu buruk. Aku mau menikah sama kamu, murni karena aku peduli. Ini bukan soal formalitas atau kewajiban."

"Aku nggak mau hidupku terus-terusan seperti ini, Om. Aku nggak siap." Mutia bicara dengan nada keras.

Kaba tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana.

"Kamu tahu, kan? Bapak kamu udah resmi 'ngecap' aku jadi calon menantu. Aku nggak bisa mundur lagi sekarang, apalagi kalau lihat caranya senyum ke aku tadi."

Mutia menatap Kaba dengan kesal, tapi sedikit senyum tersungging di wajahnya. Candaan Kaba tidak sepenuhnya berhasil menghapus kekhawatirannya, tapi setidaknya suasana jadi lebih ringan.

Mutia menggeleng kecil. Mata lentik Mutia mencari kebohongan di mata laki-laki pertama yang menyentuhnya.

"Om ini kenapa santai banget, sih? Hidup aku lagi jungkir balik, tahu."

Kaba menatap Mutia serius.

"Aku santai bukan karena aku nggak peduli. Aku santai karena aku yakin sama keputusan ini. Kita nggak tahu apa yang bakal terjadi nanti, tapi aku yakin bisa jagain kamu, Mutia. Aku serius soal itu."

Mutia kembali terdiam, hatinya masih dipenuhi kebingungan. Tapi ia tahu, Kaba tidak main-main. Malam itu, di bawah langit yang gelap dan suara air yang menenangkan, mereka tetap berdiri di ambang keputusan besar yang akan mengubah hidup mereka.

"Om, emang gak mau pilih cewek cantik, pintar, yang memenuhi kriteria istri idaman kamu?"

"Nggak. Aku sudah menemukan perempuan itu. Orang itu namanya Mutia Adnan Malik."

"Nggak heran sih, Papa mau menerima kamu. Kamu sangat percaya diri."

"Itu kelebihanku, Sayang. Kredibilitasku dipertaruhkan di hadapan ayahmu."

Kaba dan Mutia kembali masuk ke ruang tengah, di mana keluarga Kaba sedang bersiap untuk pulang. Suasana hangat, namun terlihat keseriusan di wajah semua orang. Galang duduk di sofa, sementara Dinda dan Nasha berdiri di dekat pintu. Kaba maju ke tengah ruangan, membuat semua perhatian tertuju padanya.

"Sebelum keluarga saya pulang, saya ingin memastikan sesuatu. Saya sudah bicara dengan orang tua saya, dan kami sepakat. Pernikahan saya dan Mutia akan digelar awal bulan," jelas Kaba dengan nada tegas dan percaya diri.

Semua terdiam. Galang mengernyit, terlihat kaget. Ia menoleh ke arah Kaba dengan alis terangkat.

"Awal bulan? Itu berarti… sepuluh hari lagi?" tanya Galang memastikan.

Kaba mengangguk dengan yakin.

"Benar, Pak. Sepuluh hari lagi. Kami rasa itu waktu yang cukup untuk mempersiapkan semuanya."

Galang tampak berpikir keras. Ia melirik ke arah Mutia, mencoba membaca ekspresinya. Mutia awalnya tampak ragu, tapi kemudian ia mengangguk kecil, memberi isyarat bahwa ia setuju.

Galang menghela napas, lalu tersenyum tipis. Kaba memang tidak pernah mengecewakan sejak dulu. Galang merasa harus mendukung niat baik itu.

"Baiklah, kalau Mutia tidak keberatan, saya juga setuju. Kita akan mempersiapkan semuanya dalam sepuluh hari."

Ibu dan Ayah Kaba tersenyum lega, sementara Dinda dan Nasha langsung sibuk membayangkan persiapan yang harus dilakukan.

"Terima kasih, Pak Galang. Kami akan membantu sebaik mungkin agar acara ini berjalan lancar," ucap Iin, Ibu Kaba.

"Aku akan urus dekorasi dan katering! Nggak usah khawatir, Mutia. Semua bakal indah," sahut Dinda bersemangat.

"Kak Mutia, kamu pasti deg-degan, kan? Aduh, aku aja yang nggak nikah ikutan senang!" Nasha bercanda sambil menatap Mutia.

Mutia hanya tersenyum tipis, meski dalam hatinya masih ada keraguan. Kaba meliriknya dengan penuh perhatian, seolah memberi isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Mutia, terima kasih karena sudah percaya sama aku. Aku janji, kita akan melewati semua ini bersama," Kaba dengan nada meyakinkan.

"Oh, ya satu lagi Kaba."

"Apa Pak?"

Galang tersenyum tipis di depan keluarga Kaba.

"Kalau begitu, mulai sekarang, panggil saya Papa, bukan Pak Galang lagi. Buang kebiasaan masalalu kita."

Kaba tertegun. Kata-kata itu membuat dadanya hangat, tetapi juga memberinya rasa tanggung jawab yang lebih besar.

"Papa?" ucap Kaba perlahan, mencoba membiasakan diri.

"Benar," jawab Galang dengan nada tegas tapi hangat. "Kamu akan menjadi bagian dari keluarga kami. Bukan sekadar seorang pria yang menikahi anak saya, tapi seorang anak bagi saya juga. Jadi, jangan ada jarak lagi."

Kaba tersenyum, merasa diterima sepenuhnya. "Terima kasih, Papa. Saya tidak akan mengecewakan Mutia, dan juga Papa."

Mutia tidak berkata apa-apa, hanya membalas dengan anggukan pelan. Suasana malam itu diakhiri dengan keluarga Kaba berpamitan, membawa suasana optimis untuk sepuluh hari ke depan yang akan menentukan segalanya.

"Waktunya beres-beres," seru Nasha masuk ke rumah.

"Aku juga ikut," sambung Mutia.

"Tunggu dulu, Papa mau bicara," cegah Galang.

Dinda dan Nasha sudah mulai mengambil gelas dan piring di ruang tamu. Mutia menatap mata ayahnya.

"Apa, Pa?" tanya Mutia takut.

Mutia melihat Kaba bicara berdua sama Galang. Mungkin Kaba sudah membocorkan rahasia itu. Alasan sebenarnya yang membuat Mutia dan Kaba memutuskan menikah.

"Papa rasanya seperti mimpi. Kamu mau menikah dan orang itu Kaba. Papa harap kamu bahagia sama Kaba."

Mutia terharu. Kalau Mutia mengatakan hal kemarin malam, Galang akan tetap menyayanginya.

"Lho, kenapa malah nangis? Papa serius. Papa sebenernya takut menikah kamu dengan laki-laki asing. Tapi, Kaba cukup Papa kenal."

"Maaf ya, Pa, kalau aku merepotkan selama ini. Terima kasih atas doa Papa yang menemani perjalananku. Kalau nggak sama Mas Kaba aku juga nggak kebayang harus menikah sama siapa. Aku ingin bahagia dengannya."

"Kamu cinta banget ya sama Kaba?" goda Galang.

"Ah, Papa. Jelaslah. Mas Kaba 'kan calon menantu idaman Papa."

Galang dan Mutia tertawa bersama. Galang mengajak Mutia masuk. Nesha dan Dinda kompak membereskan rumah. Bi Laila membawa sapu dari dapur. Kebahagiaan itu terasa memeluk Mutia malam itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!