Mutia terbangun dengan rasa aneh. Ia berada di bawah selimut, tubuhnya dipeluk oleh tangan seseorang. Dengan panik, ia menoleh ke sisi kanan kasur dan melihat Kaba tertidur di sampingnya.
Mutia dalam hati, sambil menahan napas, "Apa yang terjadi? Kenapa aku ada di sini? Dan kenapa Om Kaba…?"
Kaba tiba-tiba bergerak, membuka matanya perlahan. Ia tersenyum kecil, wajahnya masih terlihat mengantuk.
"Selamat pagi, Mutia," suara berat itu memenuhi kamar dan hati Mutia.
"Om Kaba?!" gumam Mutia ngeri.
Mutia membelalakkan matanya, panik. Ia langsung mencoba melepaskan diri dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
"Om, lepaskan! Ini salah."
Kaba terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. Ia menatap Mutia dengan serius.
"Semalam… kita terlalu dekat. Aku nggak tahu harus bilang apa, tapi aku cuma mau kamu tahu, aku nggak berniat menyakiti kamu."
Mutia membeku, perlahan menyadari apa yang terjadi. Tubuhnya gemetar, dan pikirannya penuh dengan rasa takut dan marah. Bersama Kaba, Mutia telah melewati batas.
"Jadi… kita benar-benar…?" Mutia berbisik, dengan suara bergetar.
Kaba mengangguk pelan, "Iya. Tapi aku bertanggung jawab, Mutia. Aku nggak akan lari dari ini."
Mutia masih di tempat tidur, memeluk selimut erat-erat. Sementara itu, Kaba dengan santai berdiri di dekat kursi, mengenakan bajunya tanpa tergesa-gesa. Ia tampak tenang, seolah tidak ada hal besar yang baru saja terjadi.
Kaba sambil mengancingkan bajunya.
"Mutia, tenang aja. Aku udah bilang, aku akan bertanggung jawab."
Mutia menatap Kaba dengan ekspresi kesal dan cemas.
"Om, kamu nggak ngerti! Kalau Papa aku tahu soal ini, dia nggak akan kasih Kita ampun. Kamu tahu gimana Papa kan?"
Kaba menoleh santai, tersenyum tipis.
"Aku tahu, Mutia. Tapi aku nggak takut. Aku serius, aku bakal nikahin kamu."
Mutia mengerutkan kening, tidak percaya.
"Nikahin aku? Kamu pikir ini lelucon, ya? Om, ini bukan cuma soal tanggung jawab. Kamu nggak bisa main-main!"
"Aku nggak main-main, Mutia. Aku serius. Aku nggak akan ninggalin kamu setelah apa yang terjadi." Kaba dengan nada tenang, tapi tegas.
Mutia terdiam, merasa bingung dengan sikap santai Kaba. Ia tidak tahu apakah harus percaya atau justru semakin marah. Sementara itu, Kaba selesai memakai bajunya, mengambil handuk, dan berjalan menuju kamar mandi.
"Om lupakan saja apa yang kita lewati semalam. Kamu tidak harus menikahiku."
"Tidak. Aku sudah menodaimu. Kamu berhak dapat masa depan yang baik meski kita harus menikah. Aku akan menemui Pak Galang setalah ini."
Mutia mengingat momen di klub. Setelah minum ia merasa tubuhnya tidak terkendali. Entah dari mana Kaba datang dan membawanya pergi. Kaba seolah menyelamatkan malam itu.
"Kamu berhak menikahi gadis pilihanmu. Aku bukan jodohmu."
"Mutia, kamu sadar apa yang kita lakukan bisa membuatmu hamil? Apa yang akan dikatakan ayahmu?" tegas Kaba.
Kaba berhenti di depan pintu kamar mandi, menoleh dengan senyum kecil.
"Mutia aku akan selesaikan ini. Kamu tenang aja."
Tanpa menunggu jawaban Mutia, Kaba masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya. Mutia berdiri di tempat, masih terguncang dengan apa yang terjadi. Ia merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk, sementara Kaba tampak terlalu santai menghadapi semua ini.
"Apa Om Kaba benar-benar serius? Atau ini cuma caranya kabur dari masalah?" Mutia berbisik pelan, untuk dirinya sendiri.
Suara air dari kamar mandi terdengar samar-samar. Mutia hanya bisa berdiri diam, mencoba memahami situasi yang terasa semakin tidak masuk akal baginya.
"Kamu nggak mau mandi? Atau masih mau tidur di sini?" ucap Kaba keluar dari kamar mandi.
"Mau. Amit-amit aku harus sama Om Kaba," Mutia menarik selimut itu bersamanya ke kamar mandi.
Mutia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah, mengenakan baju yang sama seperti semalam. Ia melihat Kaba sudah menunggunya di sofa, tampak santai sambil menggulir layar ponselnya. Kaba menoleh begitu melihat Mutia keluar.)
Kaba tersenyum.
"Akhirnya selesai juga. Sekarang kita cari makan, ya. Aku udah lapar."
Mutia menghela napas, masih kesal. Laki-laki itu seolah lupa apa yang sudah terjadi.
"Om, kamu kayak nggak ada beban sama sekali. Kamu ngerti nggak apa yang kita hadapi?"
Kaba bangkit dari sofa, memasukkan ponsel ke sakunya. Kaba mendekati Mutia.
"Aku ngerti, Mutia. Justru karena itu aku harus tetap tenang. Kalau aku panik, kamu bakal makin stres. Ayo, makan dulu. Kita butuh energi buat mikirin langkah selanjutnya."
Mutia, meski masih merasa marah dan bingung, akhirnya mengangguk. Mereka turun ke restoran hotel, suasana makan pagi terlihat ramai tapi tenang. Kaba memesan makanan untuk mereka berdua, sementara Mutia hanya duduk diam.
"Mutia, aku butuh bantuan kamu soal ini," ucap Kaba sambil menyendok makanannya.
Mutia memandangnya curiga. Dulu laki-laki itu bertemu di rumah dan banyak bicara dengan ayahnya. Sekarang Kaba bicara banyak pada Mutia.
"Apa lagi, Om? Aku udah cukup terlibat dalam semua ini, Om."
"Tenang, nggak susah kok. Aku cuma mau kamu kasih pesan ke Papa kamu. Bilang aja kalau semalam kamu tidur di rumah teman."
"Serius? Kamu mau aku bohong ke Papa?" Mutia meletakkan garpunya, menatap Kaba dengan tajam.
"Mutia, ini cuma sementara. Aku nggak mau kamu kena masalah sebelum aku punya kesempatan buat ngomong langsung sama Papa kamu. Aku janji, aku akan bicara jujur sama beliau."
"Om, ini semua makin rumit. Kamu tahu Papa aku nggak gampang dibohongi, kan?" Mutia menggeleng, frustrasi.
"Aku tahu. Tapi aku cuma butuh waktu sampai semuanya siap. Aku nggak mau situasi ini makin runyam kalau beliau tahu sebelum aku siap menjelaskan. Percayalah, aku bakal selesaikan ini."
Kaba tersenyum kecil, mencoba menenangkan.
Mutia terdiam, merasa terjebak. Ia tidak suka harus berbohong pada ayahnya, tapi ia juga tidak ingin membuat masalah ini lebih besar. Apalagi kalau tahu ia dan sahabat ayahnya itu menghabiskan waktu bersama. Akhirnya, dengan berat hati, ia mengangguk.
"Kenapa nggak kita lupakan saja cerita semala, Om? Anggap saja kita tidak bertemu tadi malam di Klub. Kamu nggak menyelamatkanku dari teman-temanku. Atau..."
"Atau kamu mau aku merasa bersalah seumur hidup?"
"Aku juga salah. Aku tidak seharusnya minum." Mutia menghela nafas mengatakan semua itu.
"Apa yang sudah kita langgar akan membekas seumur hidup kita. Sudahlah. Kita masih memperbaiki ini."
"Semoga aku tidak hamil sesuai prediksimu, Om."
Mereka melanjutkan makan dalam diam. Meski Kaba terlihat santai, Mutia merasa situasi ini seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Dalam hatinya, ia masih ragu apakah Kaba benar-benar bisa menghadapi ayahnya nanti.
Kaba dan Mutia sedang dalam mobil melaju menuju rumah Galang, ayah Mutia. Mutia tampak gelisah, sedangkan Kaba terlihat mantap.
"Om Kaba, berhenti. Ini nggak benar. Aku nggak mau kamu ketemu Papa."
Kaba menoleh ke Mutia dengan serius. Roda itu berhenti berputar. Kaba mencengkram kemudinya.
"Mutia, kamu nggak bisa terus-terusan menghindar. Ayahmu berhak tahu soal ini."
"Ini soal hidupku, Om. Aku yang harus memutuskan! Kita anggap kejadian semalam tidak pernah ada."
Kaba menghela napas. Mutia berhak tidak suka padanya.
"Dan aku memutuskan kalau aku mau bertanggung jawab. Aku mau menikahimu."
"Om... ,"
"Aku sudah merusakmu Mutia. Izinkan aku menebus kesalahan itu."
"Dan kamu pikir Papa akan merima lamaramu?"
Kaba bernapas berat. Memang terasa tidak masuk akan Kaba melamar Mutia.
"Aku yakin. Aku sahabat baik ayahmu. Kenapa nggak?"
Mutia terdiam. Ia tahu Kaba keras kepala. Dengan berat hati, Kaba melanjutkan mengemudikan mobilnya menuju rumah Galang.
"Kamu sangat percaya diri dan keras kepala."
"Sebaiknya kamu mulai menyukai itu. Sebab, aku akan menjadi suamimu.
Mutia melihat Galang yang menikmati waktu lagi membaca koran di depan rumah. Galang melihat mobil Kaba. Galang tersenyum sesaat sebelum melihat Mutia keluar dari mobil hitam itu.
"Kaba? Mutia? Ada apa ini? Kenapa kalian datang bersama?"
Mutia menunduk, tidak berani menatap ayahnya.
"Aku..."
Kaba memotong, "Pak Galang, saya mau bicara serius."
Galang mempersilakan mereka masuk. Mereka duduk di ruang tamu. Suasana terasa canggung.
"Waduh, sepertinya benar-benar serius. Kaba, ada apa? Kenapa wajah Mutia seperti itu? Nggak mungkin Mutia terlibat dengan bisnismu, kan?" Galang menatap Kaba dengan curiga.
Kaba dengan suara tegas, "Pak Galang, saya datang ke sini untuk meminta izin menikahi Mutia."
Galang terkejut, memandangi dua sejoli itu.
"Apa? Menikahi Mutia? Kamu serius, Kaba?"
Kaba mengangguk mantap.
"Saya serius, Pak. Saya sudah lama suka sama Mutia. Saya ingin menjaganya."
Mutia tetap diam, hanya menunduk. Galang memandang putrinya, lalu kembali menatap Kaba.
"Kamu sangat mengejutkan, Kaba. Bertahun-tahun kita membahas bisnis tidak sekalipun kamu membahas Mutia."
"Aku ingin merasa pantas untuk Mutia. Waktunya adalah sekarang."
Galang menganggukkan kepala, mencermati rekan bisnisnya. Kaba telah lama berubah. Dulu muridnya yang belajar soal bisnis kemudian menjelma jadi Kaba yang merajai pasar.
"Mutia, Papa mau dengar dari kamu langsung."
"Pak, saya masih malu dengan hubungan ini, tapi saya tulus. Saya yakin saya bisa membahagiakannya."
Galang menghela napas panjang. Ia tampak memikirkan sesuatu, sementara Mutia hanya terdiam. Galang menatap Mutia dengan tajam, menyadari ada sesuatu yang disembunyikan.
"Mutia, papa nggak bisa mengambil keputusan kalau kamu nggak jujur. Kamu benar-benar suka sama Kaba?"
Mutia mengangguk ragu, lalu mencoba tersenyum kecil.
"Iya, Pa. Aku suka sama Om Kaba."
Galang memperhatikan wajah Mutia. Ada keraguan di matanya, tapi ia tetap menanyakan lebih lanjut.
"Kalau begitu, apa kabar hubunganmu dengan Syamil? Bukannya kalian masih dekat?"
Mutia tersentak, mencoba menenangkan diri. Syamil satu-satunya laki-laki yang berani menemui ayahnya. Mutia merasakan kesan Syamil di hati Galang.
"Aku dan Syamil... sudah selesai, Pa. Aku sudah nggak ada hubungan lagi dengannya."
Kaba menatap Mutia dengan serius, tapi tidak berkata apa-apa. Ia membiarkan Mutia berbicara.
"Selesai? Baru beberapa waktu lalu aku lihat kalian terlihat baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba selesai?"
Mutia mengambil napas dalam, mencoba meyakinkan.
"Syamil kuliah di Belanda. Kami memutuskan pisah dan fokus dengan diri sendiri. Aku dekat dengan Om Kaba seperti yang Papa lihat. Om kaba serius, apa salahnya aku menerimanya?"
Galang masih tampak bingung, tapi ia perlahan mulai menerima jawaban Mutia. Ia berbalik menatap Kaba.
"Kaba, kamu yakin bisa membahagiakan Mutia? Aku nggak mau ada penyesalan di kemudian hari."
"Saya yakin, Pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi suami yang baik."
Galang terdiam sejenak, memandang Mutia, lalu Kaba. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara.
"Kalau ini memang keputusan kalian, aku nggak akan menghalangi. Tapi aku harap kalian benar-benar tahu apa yang kalian lakukan."
"Terima kasih, Pak."
Galang yang masih terlihat ragu, tetapi mencoba menerima keputusan Mutia. Sementara itu, di wajah Mutia tergambar campuran rasa lega dan beban berat yang ia tanggung.
"Baiklah, Kaba. Kalau kamu serius, sebagai calon menantu, kamu harus membiasakan diri di rumah ini. Ayo, kita sarapan dulu." Galang menghela napas panjang lalu bangkit dari duduknya.
Kaba tersenyum lebar, penuh rasa syukur.
"Terima kasih banyak, Pak Galang. Saya senang sekali."
Mutia yang masih duduk di sofa memutar mata kesal. Kaba melirik Mutia, tapi pura-pura tidak menyadari ekspresinya.
"Mutia, temani calon suamimu ke meja makan. Jangan cemberut terus begitu. Papa sudah setuju."
Mutia berdiri dengan malas.
"Iya, Pa..."
Kaba tersenyum. Mutia beranjak pergi meninggalkan Kaba. Mereka bertiga duduk di meja makan. Galang memimpin pembicaraan sambil menyajikan makanan.
"Kaba, ini pertama kalinya aku sebut kamu calon menantu. Rasanya aneh, ya. Tapi aku lega kamu orang yang aku kenal baik."
Kaba tersenyum lebar dipuji ayah Mutia. Galang sering mengakui ide-ide Kaba dalam berbisnis tapi rasanya sekarang berbeda.
"Saya juga merasa terhormat, Pak. Saya akan jaga kepercayaan ini."
"Terlalu percaya diri, ya." Mutia menyindir pelan.
"Yakin dong. Kalau bukan saya, siapa lagi?" Kaba tertawa kecil.
Mutia semakin kesal mendengar nada santai Kaba. Ia menyendok makanannya dengan kasar.
"Mutia, kamu jangan galak-galak sama calon suami. Nanti dia kabur, loh."
Mutia mengerucutkan bibir, "Kalau kabur, lebih bagus, Pa."
Kaba tersenyum jahil, "Sayangnya, saya nggak akan kabur, Pak. Saya sudah siap jadi bagian keluarga ini."
Mutia menahan amarah, tapi memilih diam. Setelah selesai sarapan, Mutia menarik Kaba keluar rumah untuk bicara empat mata.
"Om Kaba, kamu sadar nggak kamu baru aja bikin masalah besar? Sekarang Papa pikir kita serius!"
"Kita memang serius, kan? Aku mau menikahimu."
Mutia mendengus, "Serius apanya?"
"Serius jadi imam, suami dan ayah dari anak-anakmu."
"Dengar ya, Om! Aku belum tentu hamil. Simpan saja anganmu itu."
Kaba tersenyum. Setelah menikah warna hidupnya akan berubah total. Mutia cukup membuatnya tertarik sejauh ini.
"Kenapa tersenyum? Aku nggak becanda."
"Kamu lucu. Dengar ya, Mutia. Aku sudah dapat restu ayahmu. Tidak ada satu langkah yang harus membuatku mundur."
Jalan terasa buntu bagi Mutia. Kaba benar-benar sudah mengikatnya sejak pertemuannya tidak sengaja di hotel.
"Kalau aku kabur?"
"Ya, aku bisa menikahi kamu meski kamu nggak ada."
"What?"
"Sudahlah. Kamu harus bahagia. Lamaranku sudah diterima ayahmu, Calon Istri."
Mutia menepuk keningnya. Kaba membuatnya gila dalam satu malam.
Setelah selesai sarapan, Kaba bersiap untuk pamit. Ia berdiri di depan Galang dan Mutia di ruang tamu.
"Pak Galang, terima kasih banyak atas sarapannya dan atas kepercayaan Bapak. Saya permisi dulu," tutur Kaba.
Galang tersenyum ramah.
"Sama-sama, Kaba. Jadi, kapan kamu mau bawa keluargamu?"
Kaba dengan yakin. Kaba sudah memperhitungkan resikonya.
"Malam ini, Pak. Saya akan datang bersama orang tua saya untuk melamar Mutia secara resmi."
Galang tersenyum lebar, tampak senang dengan jawaban itu. Sementara Mutia menatap Kaba dengan pandangan kesal, tapi tetap diam.
"Bagus! Papa akan menyiapkan segalanya. Ini momen penting. Mutia, kamu juga bersiap, ya."
Mutia menunduk dengan malas dan memaksakan senyuman.
"Iya, Pa..."
Galang menepuk bahu Kaba dengan semangat.
"Aku senang kamu serius, Kaba. Meski masih nggak nyangka kamu suka sama anakku. Nanti malam kami tunggu kedatanganmu."
Kaba mengangguk penuh rasa hormat.
"Tentu, Pak. Saya akan datang tepat waktu."
Kaba melirik Mutia, yang masih menunduk tanpa berkata apa-apa. Ia tersenyum kecil sebelum berpamitan.
"Mutia, sampai nanti malam."
Mutia menghela napas pelan, "Iya, Om."
Setelah Kaba pergi, Mutia langsung mendesah keras, menunjukkan kekesalannya. Galang menatapnya dengan bingung.
"Mutia, kenapa wajahmu begitu? Harusnya kamu senang. Papa sudah setuju, Kaba juga serius."
Mutia mencoba menyembunyikan emosinya. Perasaan Mutia ingin membawanya kabur.
"Iya, Pa. Aku ngerti..."
"Bagus. Malam ini jadi langkah awal yang baik untuk kalian berdua. Kamu harus percaya sama Kaba."
Mutia hanya mengangguk kecil, meski di dalam hatinya rasa kesal semakin menumpuk. Ia tahu malam nanti akan menjadi momen besar yang tidak bisa ia hindari.
...***...
Galang sedang menelepon adiknya, Dinda, untuk datang ke rumah. Tak lama, Dinda tiba bersama putrinya, Nasha. Mereka disambut hangat oleh Galang.
"Dinda, aku butuh bantuanmu. Malam ini rumah kita akan kedatangan tamu istimewa. Kaba akan melamar Mutia."
Dinda terkejut, lalu tersenyum girang. Keponakannya akan dilamar. Rasanya baru kemarin menggendong Mutia.
"Wah, akhirnya! Selamat, Mas. Ini kabar baik sekali!"
"Wow, Kak Mutia dilamar Om Kaba? Om Kaba yang badannya tinggi kan, Om?
"Iya. Kaba yang pernah kasih kamu cokelat.'
"Itu kabar keren banget! Kak Mutia pasti bahagia banget, ya," kata Nasha ikut senang.
"Iya, tapi Mutia masih malu-malu. Nah, Dinda, aku butuh bantuanmu untuk menyiapkan semuanya."
Dinda mengangguk penuh semangat.
"Serahkan saja semuanya padaku. Aku akan buat malam ini jadi momen tak terlupakan."
Dinda langsung sibuk mengatur persiapan, sementara Nasha memutuskan untuk menemui Mutia di kamarnya.
Nasha masuk tanpa mengetuk, membuat Mutia yang sedang duduk melamun di tempat tidur terkejut.
Mutia menoleh cepat, "Nasha, kamu nggak bisa ketuk pintu dulu, ya?"
"Maaf, Kak. Aku terlalu senang. Aku dengar kabar besar—Kak Mutia dilamar Om Kaba! Wah, selamat ya!" Nasha tertawa kecil.
Mutia mencoba tersenyum tipis. Terpaut umur dua tahun Nasha seperti adik bagi Mutia.
"Iya, terima kasih."
Nasha duduk di samping Mutia. Kedua sepupu itu dalam koneksi yang berbeda.
"Kak, serius deh. Om Kaba itu cowok idaman banget. Kalau aku bertemu dengannya mataku nggak bisa lepas dari ketampanannya, baik, dewasa. Semua cewek pasti pengen punya calon suami kayak dia. Kak Mutia beruntung banget."
Mutia menghela napas, mencoba menyembunyikan kekesalannya. Ayahnya menyukai Kaba, Nasha yang baru datang sudah memujinya.
"Beruntung, ya?"
Nasha mengangguk penuh semangat.
"Iya dong! Kalau aku jadi Kakak, aku pasti senang banget dilamar sama Om Kaba."
Mutia memperhatikan Nasha dengan tatapan curiga. Nada bicara Nasha terdengar terlalu antusias, seolah ada sesuatu yang disembunyikan.
"Kamu suka sama Om Kaba, Nasha?"
Nasha tertegun, lalu cepat-cepat menggeleng.
"Hah? Nggak, Kak. Aku cuma bilang Om Kaba itu cowok idaman. Tapi dia kan milik Kak Mutia sekarang."
Mutia menyipitkan mata, "Kamu yakin?"
Nasha tertawa kecil, mengalihkan pembicaraan.
"Iya, yakin banget. Lagian, aku senang kok Kak Mutia yang dapat dia. Aku cuma penggemar, hehehe. Kalau ada adiknya aku mau deh."
Mutia tetap merasa ada yang janggal dengan cara Nasha bicara, tapi ia memilih untuk tidak memperpanjang pembicaraan. Dalam hatinya, ia semakin merasa bahwa malam ini akan menjadi momen yang rumit.
"Aku mau bantu Mama. Sepertinya Mama mau masak untuk jamuan nanti malam."
Nasha yang keluar dari kamar sambil tersenyum, sementara Mutia duduk termenung, merenungkan apa yang sebenarnya terjadi.
Mutia duduk di kamarnya, memegang ponsel dengan gelisah. Sebuah pesan masuk dari Kaba. Galang pernah mengirim pesan melalui ponsel Kaba. Pemuda itu menyimpan nomor Mutia selama ini.
[Orang tua aku setuju. Nanti malam kita akan ke rumah kamu, sesuai rencana. Jangan lupa siap-siap, calon istriku.]
Mutia menghela napas panjang. Ia merasa berat dengan situasi ini. Dengan hati penuh rasa kesal, ia memutuskan untuk menelepon Kaba.
[Om, aku mau bicara.]
[Mutia? Kamu nelpon aku? Wah, kangen, ya? Baru juga beberapa jam kita nggak ketemu.] Kaba menjawab dengan nada santai.
[Serius, Om. Aku nggak kangen. Aku mau kita bicara soal rencana malam ini.] Mutia mendengus kesal.
[Kenapa? Kamu gugup? Nggak usah khawatir, semuanya bakal lancar. Orang tuaku juga sudah setuju. Ini langkah besar buat kita.] Kaba tertawa kecil dari sebrang sana.
[Om, kamu ini terlalu serius. Kita bahkan belum benar-benar sepakat soal ini.]
[Aku serius, Mutia. Aku nggak main-main. Aku mau menikahimu, terlepas dari apa yang sudah terjadi di hotel waktu itu.]
Mutia tertegun, lalu mendesah. Mutia lupa susah menghabiskan malam dengan laki-laki itu. Kaba yang menyelamatkannya setelah Mutia minum.
[Om, itu nggak perlu. Aku nggak hamil, jadi kamu nggak perlu merasa harus menikahi aku.]
[Ini bukan soal itu, Mutia. Aku nggak menikahimu dan lari begitu saja. Aku menikahimu karena aku benar-benar ingin. Aku mau bertanggung jawab atas kesalahanku.]
Mutia terdiam sejenak, bingung harus berkata apa. Waktu begitu mudah membuat hubungan dirinya dengan Kaba.
[Tapi, Om, aku nggak yakin ini keputusan yang tepat.]
[Dengerin aku, Mutia. Aku tahu kamu ragu sekarang. Tapi aku yakin, kalau kita jalanin ini bersama, semuanya akan baik-baik saja. Aku janji.]
Mutia terdiam, perasaannya campur aduk. Ia tidak bisa menolak keteguhan Kaba, tapi di sisi lain, ia merasa situasi ini terlalu cepat dan tidak sesuai dengan keinginannya.
[Ya sudah, aku tunggu nanti malam.]
[Bagus. Sampai nanti, calon istriku.] Kaba tersenyum di telepon.
[Berhenti memanggilku calon istri.]
Mutia mematikan telepon dan menghela napas panjang. Ia tahu malam ini akan menjadi malam yang panjang, dan ia masih belum tahu bagaimana perasaannya yang sebenarnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!