Lamaran dan Interogasi

Kaba dan Mutia sedang dalam mobil melaju menuju rumah Galang, ayah Mutia. Mutia tampak gelisah, sedangkan Kaba terlihat mantap.

"Om Kaba, berhenti. Ini nggak benar. Aku nggak mau kamu ketemu Papa."

Kaba menoleh ke Mutia dengan serius. Roda itu berhenti berputar. Kaba mencengkram kemudinya.

"Mutia, kamu nggak bisa terus-terusan menghindar. Ayahmu berhak tahu soal ini."

"Ini soal hidupku, Om. Aku yang harus memutuskan! Kita anggap kejadian semalam tidak pernah ada."

Kaba menghela napas. Mutia berhak tidak suka padanya.

"Dan aku memutuskan kalau aku mau bertanggung jawab. Aku mau menikahimu."

"Om... ,"

"Aku sudah merusakmu Mutia. Izinkan aku menebus kesalahan itu."

"Dan kamu pikir Papa akan merima lamaramu?"

Kaba bernapas berat. Memang terasa tidak masuk akan Kaba melamar Mutia.

"Aku yakin. Aku sahabat baik ayahmu. Kenapa nggak?"

Mutia terdiam. Ia tahu Kaba keras kepala. Dengan berat hati, Kaba melanjutkan mengemudikan mobilnya menuju rumah Galang.

"Kamu sangat percaya diri dan keras kepala."

"Sebaiknya kamu mulai menyukai itu. Sebab, aku akan menjadi suamimu.

Mutia melihat Galang yang menikmati waktu lagi membaca koran di depan rumah. Galang melihat mobil Kaba. Galang tersenyum sesaat sebelum melihat Mutia keluar dari mobil hitam itu.

"Kaba? Mutia? Ada apa ini? Kenapa kalian datang bersama?"

Mutia menunduk, tidak berani menatap ayahnya.

"Aku..."

Kaba memotong, "Pak Galang, saya mau bicara serius."

Galang mempersilakan mereka masuk. Mereka duduk di ruang tamu. Suasana terasa canggung.

"Waduh, sepertinya benar-benar serius. Kaba, ada apa? Kenapa wajah Mutia seperti itu? Nggak mungkin Mutia terlibat dengan bisnismu, kan?" Galang menatap Kaba dengan curiga.

Kaba dengan suara tegas, "Pak Galang, saya datang ke sini untuk meminta izin menikahi Mutia."

Galang terkejut, memandangi dua sejoli itu.

"Apa? Menikahi Mutia? Kamu serius, Kaba?"

Kaba mengangguk mantap.

"Saya serius, Pak. Saya sudah lama suka sama Mutia. Saya ingin menjaganya."

Mutia tetap diam, hanya menunduk. Galang memandang putrinya, lalu kembali menatap Kaba.

"Kamu sangat mengejutkan, Kaba. Bertahun-tahun kita membahas bisnis tidak sekalipun kamu membahas Mutia."

"Aku ingin merasa pantas untuk Mutia. Waktunya adalah sekarang."

Galang menganggukkan kepala, mencermati rekan bisnisnya. Kaba telah lama berubah. Dulu muridnya yang belajar soal bisnis kemudian menjelma jadi Kaba yang merajai pasar.

"Mutia, Papa mau dengar dari kamu langsung."

"Pak, saya masih malu dengan hubungan ini, tapi saya tulus. Saya yakin saya bisa membahagiakannya."

Galang menghela napas panjang. Ia tampak memikirkan sesuatu, sementara Mutia hanya terdiam. Galang menatap Mutia dengan tajam, menyadari ada sesuatu yang disembunyikan.

"Mutia, papa nggak bisa mengambil keputusan kalau kamu nggak jujur. Kamu benar-benar suka sama Kaba?"

Mutia mengangguk ragu, lalu mencoba tersenyum kecil.

"Iya, Pa. Aku suka sama Om Kaba."

Galang memperhatikan wajah Mutia. Ada keraguan di matanya, tapi ia tetap menanyakan lebih lanjut.

"Kalau begitu, apa kabar hubunganmu dengan Syamil? Bukannya kalian masih dekat?"

Mutia tersentak, mencoba menenangkan diri. Syamil satu-satunya laki-laki yang berani menemui ayahnya. Mutia merasakan kesan Syamil di hati Galang.

"Aku dan Syamil... sudah selesai, Pa. Aku sudah nggak ada hubungan lagi dengannya."

Kaba menatap Mutia dengan serius, tapi tidak berkata apa-apa. Ia membiarkan Mutia berbicara.

"Selesai? Baru beberapa waktu lalu aku lihat kalian terlihat baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba selesai?"

Mutia mengambil napas dalam, mencoba meyakinkan.

"Syamil kuliah di Belanda. Kami memutuskan pisah dan fokus dengan diri sendiri. Aku dekat dengan Om Kaba seperti yang Papa lihat. Om kaba serius, apa salahnya aku menerimanya?"

Galang masih tampak bingung, tapi ia perlahan mulai menerima jawaban Mutia. Ia berbalik menatap Kaba.

"Kaba, kamu yakin bisa membahagiakan Mutia? Aku nggak mau ada penyesalan di kemudian hari."

"Saya yakin, Pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi suami yang baik."

Galang terdiam sejenak, memandang Mutia, lalu Kaba. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara.

"Kalau ini memang keputusan kalian, aku nggak akan menghalangi. Tapi aku harap kalian benar-benar tahu apa yang kalian lakukan."

"Terima kasih, Pak."

Galang yang masih terlihat ragu, tetapi mencoba menerima keputusan Mutia. Sementara itu, di wajah Mutia tergambar campuran rasa lega dan beban berat yang ia tanggung.

"Baiklah, Kaba. Kalau kamu serius, sebagai calon menantu, kamu harus membiasakan diri di rumah ini. Ayo, kita sarapan dulu." Galang menghela napas panjang lalu bangkit dari duduknya.

Kaba tersenyum lebar, penuh rasa syukur.

"Terima kasih banyak, Pak Galang. Saya senang sekali."

Mutia yang masih duduk di sofa memutar mata kesal. Kaba melirik Mutia, tapi pura-pura tidak menyadari ekspresinya.

"Mutia, temani calon suamimu ke meja makan. Jangan cemberut terus begitu. Papa sudah setuju."

Mutia berdiri dengan malas.

"Iya, Pa..."

Kaba tersenyum. Mutia beranjak pergi meninggalkan Kaba. Mereka bertiga duduk di meja makan. Galang memimpin pembicaraan sambil menyajikan makanan.

"Kaba, ini pertama kalinya aku sebut kamu calon menantu. Rasanya aneh, ya. Tapi aku lega kamu orang yang aku kenal baik."

Kaba tersenyum lebar dipuji ayah Mutia. Galang sering mengakui ide-ide Kaba dalam berbisnis tapi rasanya sekarang berbeda.

"Saya juga merasa terhormat, Pak. Saya akan jaga kepercayaan ini."

"Terlalu percaya diri, ya." Mutia menyindir pelan.

"Yakin dong. Kalau bukan saya, siapa lagi?" Kaba tertawa kecil.

Mutia semakin kesal mendengar nada santai Kaba. Ia menyendok makanannya dengan kasar.

"Mutia, kamu jangan galak-galak sama calon suami. Nanti dia kabur, loh."

Mutia mengerucutkan bibir, "Kalau kabur, lebih bagus, Pa."

Kaba tersenyum jahil, "Sayangnya, saya nggak akan kabur, Pak. Saya sudah siap jadi bagian keluarga ini."

Mutia menahan amarah, tapi memilih diam. Setelah selesai sarapan, Mutia menarik Kaba keluar rumah untuk bicara empat mata.

"Om Kaba, kamu sadar nggak kamu baru aja bikin masalah besar? Sekarang Papa pikir kita serius!"

"Kita memang serius, kan? Aku mau menikahimu."

Mutia mendengus, "Serius apanya?"

"Serius jadi imam, suami dan ayah dari anak-anakmu."

"Dengar ya, Om! Aku belum tentu hamil. Simpan saja anganmu itu."

Kaba tersenyum. Setelah menikah warna hidupnya akan berubah total. Mutia cukup membuatnya tertarik sejauh ini.

"Kenapa tersenyum? Aku nggak becanda."

"Kamu lucu. Dengar ya, Mutia. Aku sudah dapat restu ayahmu. Tidak ada satu langkah yang harus membuatku mundur."

Jalan terasa buntu bagi Mutia. Kaba benar-benar sudah mengikatnya sejak pertemuannya tidak sengaja di hotel.

"Kalau aku kabur?"

"Ya, aku bisa menikahi kamu meski kamu nggak ada."

"What?"

"Sudahlah. Kamu harus bahagia. Lamaranku sudah diterima ayahmu, Calon Istri."

Mutia menepuk keningnya. Kaba membuatnya gila dalam satu malam.

Terpopuler

Comments

Tít láo

Tít láo

Tidak bisa berhenti membaca

2024-06-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!