Kencan di Pagi Hari

"Siapa yang sudah rindu pagi-pagi sekali?" ujar Galang masuk bersama Kaba.

Mutia yang sedang minum teh langsung tersedak. Mutia batuk-batuk melihat Kaba.

"Om Kaba?!"

Galang tersenyum kecil.

"Kaba datang pagi-pagi. Dia bilang ada sesuatu yang mau dibicarakan."

"Kapan dia datang? Kok aku nggak dengar apa-apa?" gerutu Mutia.

Kaba tersenyum santai, melipat tangannya.

"Aku baru datang, Mutia. Jangan terlalu kaget gitu. Aku cuma mau ajak kamu sarapan di luar."

Mutia mengernyit. "Sarapan? Aku kan udah makan di sini."

"Bukan cuma sarapan. Aku juga mau kita cari gaun pengantin. Persiapan harus dimulai dari sekarang."

Mutia terdiam, kaget mendengar ucapan Kaba. Ia melirik ayahnya, berharap Galang akan menolak ide itu. Tapi Galang justru tersenyum.

"Itu ide bagus. Kalau memang mau cari gaun, lebih cepat lebih baik. Aku izinkan," sahut Galang dengan senyum.

Mutia berusaha mencari alasan. Harinya sudah berubah sejak kemarin malam.

"Aku… aku nggak enak badan, Pa. Kayaknya nggak bisa pergi sekarang."

Galang menatap Mutia dengan mata tajam, seolah tahu bahwa Mutia sedang berbohong.

"Mutia, kamu bohong, ya? Apa kamu nggak mau pergi sama Kaba?"

Mutia menggeleng cepat. Kemarin ia takut ayahnya marah ada hubungan dengan Kaba. Hubungan itu sekarang lebih menakutkan.

"Bukan gitu, Pa. Aku cuma… belum mandi. Males banget. Udaranya masih dingin."

Kaba tertawa kecil, memandang Mutia dengan senyum menggoda.

"Kamu nggak perlu mandi, Mutia. Kamu udah cantik, kok, bahkan tanpa usaha."

Mutia menatap Kaba dengan kesal, merasa pujian itu justru membuatnya semakin tidak nyaman. Sementara itu, Galang hanya menggeleng pelan.

"Mutia, mandi dulu kalau memang itu alasanmu. Tapi jangan lama-lama. Kaba udah menunggu."

Mutia akhirnya menyerah. Ia berdiri dan berjalan ke kamarnya dengan langkah malas. Kaba menatap Galang sambil tersenyum lebar.

"Terima kasih, Pak Galang. Saya janji nggak akan pulang terlambat."

"Jaga Mutia baik-baik. Dia memang keras kepala, tapi aku tahu dia butuh dukungan kamu."

Kaba tersenyum penuh keyakinan. Ia yakin langkah ini akan membantu Mutia menerima keadaan mereka. Sementara itu, Mutia di kamar masih merasa kesal karena tidak punya pilihan lain.

Mutia keluar dari kamarnya setelah mandi. Rambutnya masih sedikit basah, dan ia mengenakan pakaian santai. Dari tangga, ia bisa mendengar suara Kaba dan Galang yang sedang berbicara dengan akrab di ruang tamu. Ketika ia mendekat, ia melihat ayahnya tertawa kecil sambil menepuk pundak Kaba.

"Kaba, setelah kalian menikah, aku ingin kamu tinggal di sini dulu. Rumah ini terlalu besar kalau hanya dihuni aku dan Dinda. Lagi pula, aku yakin Mutia akan merasa lebih nyaman begitu," ucap Galang.

Kaba tersenyum lebar, terlihat senang dengan ide itu. Sebaliknya, Mutia yang mendengar dari belakang langsung mendekat dengan wajah tak senang.

"Ayah, Kaba nggak perlu tinggal di sini. Mas Kaba pasti punya rencana sendiri," Mutia menyela.

Galang dan Kaba menoleh ke Mutia. Galang mengangkat alis, sementara Kaba hanya tersenyum kecil.

"Nggak masalah kok, Mutia. Aku justru suka ide itu. Dekat dengan keluarga itu penting."

"Ayo, kita pergi sekarang. Bukannya kamu bilang mau cari gaun pengantin?"

"Jangan buru-buru, Mutia. Tapi ya sudah, hati-hati di jalan, ya." Galang tersenyum.

Mutia menarik Kaba keluar rumah tanpa menunggu jawaban. Mereka masuk ke mobil Kaba. Mutia duduk di kursi penumpang dengan wajah kesal, sementara Kaba duduk di belakang kemudi dengan senyum santai.

Kaba memasang sabuk pengaman.

"Oke, agenda pertama kita hari ini cari sarapan enak. Aku tahu tempat yang bagus."

Mutia menggelengkan kepala, tidak percaya.

"Sarapan? Om, kita kan harus cari gaun pengantin. Bukannya itu yang penting?"

Kaba tertawa kecil.

"Mutia, nggak ada yang bisa berpikir dengan perut kosong. Sarapan dulu, baru kita bisa fokus. Aku nggak mau kamu pingsan di tengah memilih gaun."

"Om, jadwal kamu itu aneh banget. Kamu selalu santai, seolah nggak ada masalah."

Kaba menatap Mutia sejenak sebelum menyalakan mesin. Mutia belum mengerti arti dari usahanya.

"Kalau aku panik, kamu juga bakal panik. Jadi lebih baik aku santai, supaya semuanya terasa lebih mudah. Percaya deh, hari ini bakal lancar."

Mutia hanya memutar matanya, merasa Kaba terlalu percaya diri. Mobil pun melaju keluar dari halaman rumah, menuju tempat sarapan yang sudah direncanakan Kaba. Meski kesal, Mutia mulai merasa penasaran dengan bagaimana hari ini akan berjalan.

Mobil Kaba berhenti di depan sebuah restoran kecil yang menyajikan makanan khas India. Mutia memandang ragu ke arah papan nama restoran itu, sementara Kaba keluar dari mobil dengan penuh semangat. Mutia mengikuti Kaba keluar.

"Kenapa harus di sini, sih? Kamu yakin ini tempat yang bagus buat sarapan?"

"Tentu saja. Roti canai di sini juara, martabak Indinya juga. Kamu bakal suka, percaya deh. Anggap saja ini kencan pertama kita," Kaba tersenyum lebar.

"Kencan di pagi hari, apa namanya?"

Mereka masuk ke restoran. Kaba langsung memesan roti canai, martabak India, dan teh tarik. Mutia hanya duduk sambil memandang Kaba dengan alis terangkat.

"Jadi, ini rencana besarmu buat 'mencari sarapan enak'? Aku harus akui, selera kamu… menarik," ucap Mutia dengan nada menyindir.

"Kalau makanan ini bikin kamu berubah pikiran soal aku, aku anggap itu pujian."

Mutia menghela napas sambil tersenyum kecil. Tak lama kemudian, makanan mereka tiba. Mutia menatap porsi besar di meja dengan wajah terkejut.

"Om, ini banyak banget. Kamu pikir aku bakal ngabisin semua ini? Aku bisa gemuk kalau terus makan kayak gini."

Kaba mengangkat bahu santai. Tangan mencomot roti canai dan mencelupkan ke dalam saus kari.

"Gemuk? Nggak masalah. Kamu bakal kelihatan lebih gemas kalau gemuk."

Mutia menatap Kaba dengan tatapan tidak percaya. Harus masakan itu menyapanya.

"Om, kamu ini beneran aneh. Aku nggak sabar jadi istri kamu, deh. Siap-siap aja lihat aku dengan tubuh melar nanti."

Kaba tertawa sambil menyeruput teh tariknya.

"Kalau kamu melar, aku bakal bangga bilang ke semua orang kalau istri aku yang melar itu paling cantik dan paling manis."

Mutia terdiam, lalu tertawa kecil meski mencoba menyembunyikannya. Ia mengambil sepotong roti canai dan mulai makan. Meski awalnya merasa ragu, rasa makanan itu ternyata cukup enak.

"Oke, aku akui ini enak. Tapi jangan harap aku mau makan sebanyak kamu," komentar Mutia dengan nada lebih santai

Kaba tersenyum puas.

"Tenang aja. Aku di sini buat habisin sisanya."

Suasana menjadi lebih ringan. Meski Mutia masih merasa ada ketegangan di antara mereka, setidaknya sarapan ini memberinya momen untuk melupakan masalah yang menantinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!