Calon Istri

Setelah selesai sarapan, Kaba bersiap untuk pamit. Ia berdiri di depan Galang dan Mutia di ruang tamu.

"Pak Galang, terima kasih banyak atas sarapannya dan atas kepercayaan Bapak. Saya permisi dulu," tutur Kaba.

Galang tersenyum ramah.

"Sama-sama, Kaba. Jadi, kapan kamu mau bawa keluargamu?"

Kaba dengan yakin. Kaba sudah memperhitungkan resikonya.

"Malam ini, Pak. Saya akan datang bersama orang tua saya untuk melamar Mutia secara resmi."

Galang tersenyum lebar, tampak senang dengan jawaban itu. Sementara Mutia menatap Kaba dengan pandangan kesal, tapi tetap diam.

"Bagus! Papa akan menyiapkan segalanya. Ini momen penting. Mutia, kamu juga bersiap, ya."

Mutia menunduk dengan malas dan memaksakan senyuman.

"Iya, Pa..."

Galang menepuk bahu Kaba dengan semangat.

"Aku senang kamu serius, Kaba. Meski masih nggak nyangka kamu suka sama anakku. Nanti malam kami tunggu kedatanganmu."

Kaba mengangguk penuh rasa hormat.

"Tentu, Pak. Saya akan datang tepat waktu."

Kaba melirik Mutia, yang masih menunduk tanpa berkata apa-apa. Ia tersenyum kecil sebelum berpamitan.

"Mutia, sampai nanti malam."

Mutia menghela napas pelan, "Iya, Om."

Setelah Kaba pergi, Mutia langsung mendesah keras, menunjukkan kekesalannya. Galang menatapnya dengan bingung.

"Mutia, kenapa wajahmu begitu? Harusnya kamu senang. Papa sudah setuju, Kaba juga serius."

Mutia mencoba menyembunyikan emosinya. Perasaan Mutia ingin membawanya kabur.

"Iya, Pa. Aku ngerti..."

"Bagus. Malam ini jadi langkah awal yang baik untuk kalian berdua. Kamu harus percaya sama Kaba."

Mutia hanya mengangguk kecil, meski di dalam hatinya rasa kesal semakin menumpuk. Ia tahu malam nanti akan menjadi momen besar yang tidak bisa ia hindari.

...***...

Galang sedang menelepon adiknya, Dinda, untuk datang ke rumah. Tak lama, Dinda tiba bersama putrinya, Nasha. Mereka disambut hangat oleh Galang.

"Dinda, aku butuh bantuanmu. Malam ini rumah kita akan kedatangan tamu istimewa. Kaba akan melamar Mutia."

Dinda terkejut, lalu tersenyum girang. Keponakannya akan dilamar. Rasanya baru kemarin menggendong Mutia.

"Wah, akhirnya! Selamat, Mas. Ini kabar baik sekali!"

"Wow, Kak Mutia dilamar Om Kaba? Om Kaba yang badannya tinggi kan, Om?

"Iya. Kaba yang pernah kasih kamu cokelat.'

"Itu kabar keren banget! Kak Mutia pasti bahagia banget, ya," kata Nasha ikut senang.

"Iya, tapi Mutia masih malu-malu. Nah, Dinda, aku butuh bantuanmu untuk menyiapkan semuanya."

Dinda mengangguk penuh semangat.

"Serahkan saja semuanya padaku. Aku akan buat malam ini jadi momen tak terlupakan."

Dinda langsung sibuk mengatur persiapan, sementara Nasha memutuskan untuk menemui Mutia di kamarnya.

Nasha masuk tanpa mengetuk, membuat Mutia yang sedang duduk melamun di tempat tidur terkejut.

Mutia menoleh cepat, "Nasha, kamu nggak bisa ketuk pintu dulu, ya?"

"Maaf, Kak. Aku terlalu senang. Aku dengar kabar besar—Kak Mutia dilamar Om Kaba! Wah, selamat ya!" Nasha tertawa kecil.

Mutia mencoba tersenyum tipis. Terpaut umur dua tahun Nasha seperti adik bagi Mutia.

"Iya, terima kasih."

Nasha duduk di samping Mutia. Kedua sepupu itu dalam koneksi yang berbeda.

"Kak, serius deh. Om Kaba itu cowok idaman banget. Kalau aku bertemu dengannya mataku nggak bisa lepas dari ketampanannya, baik, dewasa. Semua cewek pasti pengen punya calon suami kayak dia. Kak Mutia beruntung banget."

Mutia menghela napas, mencoba menyembunyikan kekesalannya. Ayahnya menyukai Kaba, Nasha yang baru datang sudah memujinya.

"Beruntung, ya?"

Nasha mengangguk penuh semangat.

"Iya dong! Kalau aku jadi Kakak, aku pasti senang banget dilamar sama Om Kaba."

Mutia memperhatikan Nasha dengan tatapan curiga. Nada bicara Nasha terdengar terlalu antusias, seolah ada sesuatu yang disembunyikan.

"Kamu suka sama Om Kaba, Nasha?"

Nasha tertegun, lalu cepat-cepat menggeleng.

"Hah? Nggak, Kak. Aku cuma bilang Om Kaba itu cowok idaman. Tapi dia kan milik Kak Mutia sekarang."

Mutia menyipitkan mata, "Kamu yakin?"

Nasha tertawa kecil, mengalihkan pembicaraan.

"Iya, yakin banget. Lagian, aku senang kok Kak Mutia yang dapat dia. Aku cuma penggemar, hehehe. Kalau ada adiknya aku mau deh."

Mutia tetap merasa ada yang janggal dengan cara Nasha bicara, tapi ia memilih untuk tidak memperpanjang pembicaraan. Dalam hatinya, ia semakin merasa bahwa malam ini akan menjadi momen yang rumit.

"Aku mau bantu Mama. Sepertinya Mama mau masak untuk jamuan nanti malam."

Nasha yang keluar dari kamar sambil tersenyum, sementara Mutia duduk termenung, merenungkan apa yang sebenarnya terjadi.

Mutia duduk di kamarnya, memegang ponsel dengan gelisah. Sebuah pesan masuk dari Kaba. Galang pernah mengirim pesan melalui ponsel Kaba. Pemuda itu menyimpan nomor Mutia selama ini.

[Orang tua aku setuju. Nanti malam kita akan ke rumah kamu, sesuai rencana. Jangan lupa siap-siap, calon istriku.]

Mutia menghela napas panjang. Ia merasa berat dengan situasi ini. Dengan hati penuh rasa kesal, ia memutuskan untuk menelepon Kaba.

[Om, aku mau bicara.]

[Mutia? Kamu nelpon aku? Wah, kangen, ya? Baru juga beberapa jam kita nggak ketemu.] Kaba menjawab dengan nada santai.

[Serius, Om. Aku nggak kangen. Aku mau kita bicara soal rencana malam ini.] Mutia mendengus kesal.

[Kenapa? Kamu gugup? Nggak usah khawatir, semuanya bakal lancar. Orang tuaku juga sudah setuju. Ini langkah besar buat kita.] Kaba tertawa kecil dari sebrang sana.

[Om, kamu ini terlalu serius. Kita bahkan belum benar-benar sepakat soal ini.]

[Aku serius, Mutia. Aku nggak main-main. Aku mau menikahimu, terlepas dari apa yang sudah terjadi di hotel waktu itu.]

Mutia tertegun, lalu mendesah. Mutia lupa susah menghabiskan malam dengan laki-laki itu. Kaba yang menyelamatkannya setelah Mutia minum.

[Om, itu nggak perlu. Aku nggak hamil, jadi kamu nggak perlu merasa harus menikahi aku.]

[Ini bukan soal itu, Mutia. Aku nggak menikahimu dan lari begitu saja. Aku menikahimu karena aku benar-benar ingin. Aku mau bertanggung jawab atas kesalahanku.]

Mutia terdiam sejenak, bingung harus berkata apa. Waktu begitu mudah membuat hubungan dirinya dengan Kaba.

[Tapi, Om, aku nggak yakin ini keputusan yang tepat.]

[Dengerin aku, Mutia. Aku tahu kamu ragu sekarang. Tapi aku yakin, kalau kita jalanin ini bersama, semuanya akan baik-baik saja. Aku janji.]

Mutia terdiam, perasaannya campur aduk. Ia tidak bisa menolak keteguhan Kaba, tapi di sisi lain, ia merasa situasi ini terlalu cepat dan tidak sesuai dengan keinginannya.

[Ya sudah, aku tunggu nanti malam.]

[Bagus. Sampai nanti, calon istriku.] Kaba tersenyum di telepon.

[Berhenti memanggilku calon istri.]

Mutia mematikan telepon dan menghela napas panjang. Ia tahu malam ini akan menjadi malam yang panjang, dan ia masih belum tahu bagaimana perasaannya yang sebenarnya.

Terpopuler

Comments

Lia_Vicuña

Lia_Vicuña

cerita ini bikin segala macam perasaan muncul, dari senang sampai sedih. Gila!

2024-06-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!