Wayang Saga
Jagat Pramuditya nan asri, jagat yang masih muda berselimut rimba purba nan meraya. Gunung-gemunung menjulang membentuk bentang alam keindahan. Anak-anak sungai bening memanjang laksanakan permadani jingga tertimpa cahaya senja. Tak terasa, kini ketiga putra Sanghyang Tunggal telah tumbuh dewasa. Mereka semua telah menguasai dan menyerap seluruh ilmu pengetahuan dan kesaktian sang ayah. Menjadikan mereka Satria-satria Dewa yang pilih tanding.
Senja itu di Jonggring Salaka, kayangan Suralaya. Sanghyang Tunggal yang sudah menua memanggil ketiga putranya menghadap, didampingi kedua permaisurinya. "Ketiga Putraku Antaga, Ismaya, dan Manikmaya kemari kalian semua."
"Ya, Ayahanda. Ada apa gerangan Ayahanda memanggil kita semua?" tanya Hyang Antaga.
"Anak-anakku, beberapa hari ini aku memikirkan kebingunganku." Sanghyang Tunggal menceritakan perihal kelahiran mereka bertiga, yang berasal dari sebutir telur yang memecah menjadi tiga bagian. Karena merasa ajal Sanghyang Tunggal sudah dekat. Ia merasa bingung memutuskan siapa yang lebih tua diantara mereka, seningga berhak mewarisi tahta Kayangan Suralaya.
"Anak-anakku. Kalian bertiga tumbuh bersama, berlatih bersama, bermain dan bercanda bersama. Aku..." belum sempat Sanghyang Tunggal menyelesaikan kalimatnya, Hyang Antaga menyela.
"Maaf Ayahanda Prabu, bukankah sudah jelas kulit telur adalah yang tertua. Kulitlah yang lahir lebih awal. Iya 'kan? Sebab kulit berada di luar, dan ditakdirkan untuk melindungi isi telur yang lemah." kata Hyang Antaga, yang terlahir dari kulit telur.
"Tunggu!" sergah Hyang Ismaya. "Menurut saya, isi dan kulit merupakan satu kesatuan yang lahir bersamaan. Tanpa adanya putih dan kuning telur yang menjadi isi, maka kulit telur pun tidak akan ada. Tidaklah mungkin telur terlahir hanya kulitnya saja, tanpa adaya isi yang ikut menyempurnakan keadaannya." bantah Hyang Ismaya diplomatis.
Lalu Hyang Ismaya mengingatkan seraya menepuk pundak Hyang Antaga. "Putih dan kuning telur yang menjadi isi merupakan cikal bakal tanda-tanda adanya kehidupan. Sedangkan kulit. Kulit hanyalah cangkang ragangannya saja, akan tetapi isilah yang menjadi keutamaan." sambung Hyang Ismaya.
Merasa terhina, dianggap hanya ragangan kosong yang tak memiliki keutamaan. Tak memiliki arti apa-apa. Hyang Antaga yang tercipta dari kulit telur menepis tangan Hyang Ismaya, menyanggah dengan jumawa (sombong). "Kulit merupakan bagian yang terkuat dengan wujud keras dibandingkan isi. Kulit menjadi pelindung bagi isi telur yang lemah.
"Kuat? Bagaimana bisa disebut kuat, kalau kulit telur dapat retak dan pecah." bantah Hyang Ismaya.
Cekcok perdebatan keduanya semakin memanas. Hingga nafsu yang membakar dada Hyang Antaga semakin meletup membuncah tak dapat dibendung lagi. Adigang, adigung, adiguna (sombong hingga merasa lebih hebat dari semuanya), Hyang Antaga menantang Hyang Ismaya dengan jumawa. "Hei Ismaya!! Ayo kita berduel saja! Siapa yang terkuat yang terkuat diantara kita!"
Hyang Ismaya yang sudah terlampau jengah dengan sikap dan watak keras saudaranya. Serupa kulit telur yang keras sejak awal penciptaannya. Dengan dada bergemuruh menerima tantangan saudaranya, Hyang Antaga. "Baik, kalau itu maumu!"
Melihat situasi yang semakin memanas, Sanghyang Tunggal melerai kedua putranya yang berselisih. "Sudah, sudah! Cukup. Cukup kataku! Jangan dilanjutkan lagi! Semua masalah dapat diselesaikan, dengan pikiran yang jernih dan terbuka. Semua ada jalan keluarnya, bila ditanggapi dengan hati yang bersih."
"Maaf Ayah. Seorang ksatria pantang menolak tantangan. Hanya seorang pengecut yang menerima kekalahan sebelum berperang. Lagipula, Saya akan memberinya pelajaran. Bahwa, sikapnya ini memang sudah keterlaluan. Ayo, kita bertanding! Di atas langit masih ada langit! Jangan menganggap diri paling sakti di atas muka bumi ini!" tak mengindahkan nasehat sang ayah, Hyang Antaga melesat secepat kilat meninggalkan Istana Jonggring Salaka, Kayangan Suralaya. Diikuti Hyang Ismaya. Dan mereka saling berbenturan di udara. "DOOOMMMM!!!"
Sementara di lain pihak, Hyang Manikmaya salah seorang putra Sanghyang Tunggal, sekaligus saudara sedarah Hyang Ismaya dan Hyang Antaga yang kini tengah berseteru, hanya diam membisu. Terkesan tak ingin ikut campur. Ketenangan Hyang Manikmaya samasekali bukanlah cerminan dari budi pekerti yang halus.
Inilah perbedaan watak diantara kedua saudaranya. Hyang Manikmaya yang licik, lebih cerdik menggunakan otaknya, ketimbang kedua saudaranya yang lebih mementingkan nafsu. Hyang Manikmaya tahu kalau kedua saudaranya punya kekuatan dan kesaktian yang berimbang. Itulah sebabnya membiarkan kedua saudaranya bertikai. Buat apa membuang-buang tenaga melawan mereka. Justru ini menjadi kesempatan bagus untuk merebut hati sang ayah, dan mengincar singgasana Suralaya. Begitu yang ada dalam benaknya seraya tersenyum licik nan sinis...
Jauh berabad-abad lampau sebelum peristiwa itu terjadi, ketika Jagat masih muda, saat Bumi masih berupa dataran tandus menggersang sang Bapak Alam dan sang istri Bunda Rahayu yang tengah mendebatkan perihal pernikahan 40 pasang anak kembar dampit (kembar sepasang pria-wanita) mereka yang akan menjadi penerus kehidupan di muka bumi. Mereka berdua berselisih paham, berdebat dan saling berargumen mengenai hal tersebut.
"Anak-anak kita harus dinikahkan secara silang." kata Sang Bapak Alam.
"Tidak, tidak Kakang." Bunda Rahayu bersikukuh. "Mereka harus menikah dengan pasangan kembarnya, karena mereka sudah ditakdirkan berjodoh sejak dalam kandungan."
"Tidak, Istriku yang baik. Mereka adalah saudara sekandung, karena itu mereka tak boleh menikah."
"Baik kalau itu keinginanmu. Kita lihat benih siapa yang lebih unggul dalam proses terbentuknya janin." tantang Bunda Rahayu.
Tak ada jalan lain, akhirnya mereka berdua mengeluarkan Rahsa Dayaning Urip (Daya Hidup) dari tubuh mereka masing-masing ke dalam Cupumanik (Wadah Inti). Seiring waktu Rahsa Dayaning Urip mereka perlahan berkembang selama sembilan bulan.
Sampai akhirnya Rahsa milik Sang Bapak Alam perlahan membentuk Ragangan (raga tanpa nyawa), maka perlahan terbentuklah kepala, tubuh, tangan, dan kaki nan mungil menjadi utuh sebagai tubuh manusia sempurna. Tubuh bayi merah mungil berjenis kelamin laki-laki.
Sedangkan benih Rahsa milik Bunda Rahayu hanya menjadi segumpal darah dan daging. menyadari kesalahannya Bunda Rahayu pun bersujud meminta ampun bercucur air mata.
Sang Bapak Alam pun meniupkan Nurbuwat (Cahaya Kehidupan) kepada sang jabang bayi yang seketika memberi napas kehidupan pada tubuh merah mungil yang tergolek tanpa daya itu yang menggeliat menghidupkannya.
Sang Bapak Alam menamainya dengan Nurbuwat.
Begitu Sang Bapak Alam mengambil jabang Nurbuwat, angin kencang tiba-tiba datang menderu dan menghempaskan Cupumanik, wadah inti yang berbentuk kendi kecil dari emas bekas tempat Rahsa Dayaning Urip itu melayang jatuh terapung-apung di samudra nan luas.
Jauh di tempat lain seorang pria tua berjalan di atas samudra mengambil wadah inti itu seraya menyeringai sinis. Dengan mata memerah semerah darah. Mata yang penuh ketamakan dan angkara. Mata Sang Rudra, Sang Bencana. Kelak wadah inti tersebut dinamakan sebagai Cupumanik Astagina...
*******
Sang Nurbuwat tumbuh dewasa dengan ajaran-ajaran kebijakan yang diturunkan sang ayah, Sang Bapak Alam. Sang Nurbuwat yang dianugerahi dipertemukan dengan suatu takdir yang luar biasa.
apakah yang akan terjadi dengan Sang Nurbuwat tunggu kelanjutannya ya. jangan lupa like komen vote dan bintang nya agar aku lebih semangat...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
༄⍟Mᷤbᷡah_Atta࿐
Hadir.. Membaca, memahami dan mencermati biar bertambah wawasan. 👍👍
2023-04-02
0
Hallo Navisa
nice
2021-04-14
1
mohammad nurajib
yang aku inginkan adalah ceritera wayang yang asli /pedalang.
2021-03-23
1