Jagat Pramuditya nan asri, jagat yang masih muda berselimut rimba purba nan meraya. Gunung-gemunung menjulang membentuk bentang alam keindahan. Anak-anak sungai bening memanjang laksanakan permadani jingga tertimpa cahaya senja. Tak terasa, kini ketiga putra Sanghyang Tunggal telah tumbuh dewasa. Mereka semua telah menguasai dan menyerap seluruh ilmu pengetahuan dan kesaktian sang ayah. Menjadikan mereka Satria-satria Dewa yang pilih tanding.
Senja itu di Jonggring Salaka, kayangan Suralaya. Sanghyang Tunggal yang sudah menua memanggil ketiga putranya menghadap, didampingi kedua permaisurinya. "Ketiga Putraku Antaga, Ismaya, dan Manikmaya kemari kalian semua."
"Ya, Ayahanda. Ada apa gerangan Ayahanda memanggil kita semua?" tanya Hyang Antaga.
"Anak-anakku, beberapa hari ini aku memikirkan kebingunganku." Sanghyang Tunggal menceritakan perihal kelahiran mereka bertiga, yang berasal dari sebutir telur yang memecah menjadi tiga bagian. Karena merasa ajal Sanghyang Tunggal sudah dekat. Ia merasa bingung memutuskan siapa yang lebih tua diantara mereka, seningga berhak mewarisi tahta Kayangan Suralaya.
"Anak-anakku. Kalian bertiga tumbuh bersama, berlatih bersama, bermain dan bercanda bersama. Aku..." belum sempat Sanghyang Tunggal menyelesaikan kalimatnya, Hyang Antaga menyela.
"Maaf Ayahanda Prabu, bukankah sudah jelas kulit telur adalah yang tertua. Kulitlah yang lahir lebih awal. Iya 'kan? Sebab kulit berada di luar, dan ditakdirkan untuk melindungi isi telur yang lemah." kata Hyang Antaga, yang terlahir dari kulit telur.
"Tunggu!" sergah Hyang Ismaya. "Menurut saya, isi dan kulit merupakan satu kesatuan yang lahir bersamaan. Tanpa adanya putih dan kuning telur yang menjadi isi, maka kulit telur pun tidak akan ada. Tidaklah mungkin telur terlahir hanya kulitnya saja, tanpa adaya isi yang ikut menyempurnakan keadaannya." bantah Hyang Ismaya diplomatis.
Lalu Hyang Ismaya mengingatkan seraya menepuk pundak Hyang Antaga. "Putih dan kuning telur yang menjadi isi merupakan cikal bakal tanda-tanda adanya kehidupan. Sedangkan kulit. Kulit hanyalah cangkang ragangannya saja, akan tetapi isilah yang menjadi keutamaan." sambung Hyang Ismaya.
Merasa terhina, dianggap hanya ragangan kosong yang tak memiliki keutamaan. Tak memiliki arti apa-apa. Hyang Antaga yang tercipta dari kulit telur menepis tangan Hyang Ismaya, menyanggah dengan jumawa (sombong). "Kulit merupakan bagian yang terkuat dengan wujud keras dibandingkan isi. Kulit menjadi pelindung bagi isi telur yang lemah.
"Kuat? Bagaimana bisa disebut kuat, kalau kulit telur dapat retak dan pecah." bantah Hyang Ismaya.
Cekcok perdebatan keduanya semakin memanas. Hingga nafsu yang membakar dada Hyang Antaga semakin meletup membuncah tak dapat dibendung lagi. Adigang, adigung, adiguna (sombong hingga merasa lebih hebat dari semuanya), Hyang Antaga menantang Hyang Ismaya dengan jumawa. "Hei Ismaya!! Ayo kita berduel saja! Siapa yang terkuat yang terkuat diantara kita!"
Hyang Ismaya yang sudah terlampau jengah dengan sikap dan watak keras saudaranya. Serupa kulit telur yang keras sejak awal penciptaannya. Dengan dada bergemuruh menerima tantangan saudaranya, Hyang Antaga. "Baik, kalau itu maumu!"
Melihat situasi yang semakin memanas, Sanghyang Tunggal melerai kedua putranya yang berselisih. "Sudah, sudah! Cukup. Cukup kataku! Jangan dilanjutkan lagi! Semua masalah dapat diselesaikan, dengan pikiran yang jernih dan terbuka. Semua ada jalan keluarnya, bila ditanggapi dengan hati yang bersih."
"Maaf Ayah. Seorang ksatria pantang menolak tantangan. Hanya seorang pengecut yang menerima kekalahan sebelum berperang. Lagipula, Saya akan memberinya pelajaran. Bahwa, sikapnya ini memang sudah keterlaluan. Ayo, kita bertanding! Di atas langit masih ada langit! Jangan menganggap diri paling sakti di atas muka bumi ini!" tak mengindahkan nasehat sang ayah, Hyang Antaga melesat secepat kilat meninggalkan Istana Jonggring Salaka, Kayangan Suralaya. Diikuti Hyang Ismaya. Dan mereka saling berbenturan di udara. "DOOOMMMM!!!"
Sementara di lain pihak, Hyang Manikmaya salah seorang putra Sanghyang Tunggal, sekaligus saudara sedarah Hyang Ismaya dan Hyang Antaga yang kini tengah berseteru, hanya diam membisu. Terkesan tak ingin ikut campur. Ketenangan Hyang Manikmaya samasekali bukanlah cerminan dari budi pekerti yang halus.
Inilah perbedaan watak diantara kedua saudaranya. Hyang Manikmaya yang licik, lebih cerdik menggunakan otaknya, ketimbang kedua saudaranya yang lebih mementingkan nafsu. Hyang Manikmaya tahu kalau kedua saudaranya punya kekuatan dan kesaktian yang berimbang. Itulah sebabnya membiarkan kedua saudaranya bertikai. Buat apa membuang-buang tenaga melawan mereka. Justru ini menjadi kesempatan bagus untuk merebut hati sang ayah, dan mengincar singgasana Suralaya. Begitu yang ada dalam benaknya seraya tersenyum licik nan sinis...
Jauh berabad-abad lampau sebelum peristiwa itu terjadi, ketika Jagat masih muda, saat Bumi masih berupa dataran tandus menggersang sang Bapak Alam dan sang istri Bunda Rahayu yang tengah mendebatkan perihal pernikahan 40 pasang anak kembar dampit (kembar sepasang pria-wanita) mereka yang akan menjadi penerus kehidupan di muka bumi. Mereka berdua berselisih paham, berdebat dan saling berargumen mengenai hal tersebut.
"Anak-anak kita harus dinikahkan secara silang." kata Sang Bapak Alam.
"Tidak, tidak Kakang." Bunda Rahayu bersikukuh. "Mereka harus menikah dengan pasangan kembarnya, karena mereka sudah ditakdirkan berjodoh sejak dalam kandungan."
"Tidak, Istriku yang baik. Mereka adalah saudara sekandung, karena itu mereka tak boleh menikah."
"Baik kalau itu keinginanmu. Kita lihat benih siapa yang lebih unggul dalam proses terbentuknya janin." tantang Bunda Rahayu.
Tak ada jalan lain, akhirnya mereka berdua mengeluarkan Rahsa Dayaning Urip (Daya Hidup) dari tubuh mereka masing-masing ke dalam Cupumanik (Wadah Inti). Seiring waktu Rahsa Dayaning Urip mereka perlahan berkembang selama sembilan bulan.
Sampai akhirnya Rahsa milik Sang Bapak Alam perlahan membentuk Ragangan (raga tanpa nyawa), maka perlahan terbentuklah kepala, tubuh, tangan, dan kaki nan mungil menjadi utuh sebagai tubuh manusia sempurna. Tubuh bayi merah mungil berjenis kelamin laki-laki.
Sedangkan benih Rahsa milik Bunda Rahayu hanya menjadi segumpal darah dan daging. menyadari kesalahannya Bunda Rahayu pun bersujud meminta ampun bercucur air mata.
Sang Bapak Alam pun meniupkan Nurbuwat (Cahaya Kehidupan) kepada sang jabang bayi yang seketika memberi napas kehidupan pada tubuh merah mungil yang tergolek tanpa daya itu yang menggeliat menghidupkannya.
Sang Bapak Alam menamainya dengan Nurbuwat.
Begitu Sang Bapak Alam mengambil jabang Nurbuwat, angin kencang tiba-tiba datang menderu dan menghempaskan Cupumanik, wadah inti yang berbentuk kendi kecil dari emas bekas tempat Rahsa Dayaning Urip itu melayang jatuh terapung-apung di samudra nan luas.
Jauh di tempat lain seorang pria tua berjalan di atas samudra mengambil wadah inti itu seraya menyeringai sinis. Dengan mata memerah semerah darah. Mata yang penuh ketamakan dan angkara. Mata Sang Rudra, Sang Bencana. Kelak wadah inti tersebut dinamakan sebagai Cupumanik Astagina...
*******
Sang Nurbuwat tumbuh dewasa dengan ajaran-ajaran kebijakan yang diturunkan sang ayah, Sang Bapak Alam. Sang Nurbuwat yang dianugerahi dipertemukan dengan suatu takdir yang luar biasa.
apakah yang akan terjadi dengan Sang Nurbuwat tunggu kelanjutannya ya. jangan lupa like komen vote dan bintang nya agar aku lebih semangat...
Sang Nurbuwat tumbuh dewasa dengan ajaran-ajaran kebijakan yang diturunkan sang ayah, Sang Bapak Alam. Nurbuwat yang dianugerahi kecerdasan di atas rata-rata mempertanyakan apakah ada kehidupan lain selain apa yang ada di sekitarnya.
Sang Nurbuwat pun mulai mengembara mencari sesuatu yang untuk sebagian orang mustahil ditemukan. Hingga suatu ketika ia menemukan sebuah celah dimensi. Sebuah dimensi yang ternyata berdampingan dengan dimensi alam nyata. Sebuah dimensi yang dikenal dengan dimensi Alam Gaib. Sebuah alam nan indah layaknya sebagai bumi itu sendiri, namun yang membedakan hanyalah penghuninya saja. Jika bumi merupakan tempat tinggal bagi makhluk Jasmani maka Alam Gaib menjadi tempat tinggal makhluk halus, para Lelembut atau dikenal dengan bangsa Jin dan siluman.
Dan disinilah Nurbuwat akan dipertemukan dan sebuah takdir yang tak terduga.
Nun disana di sebuah istana nan megah nampak jelas beberapa makhluk cantik melayang-layang seringan kapas bercanda dan tertawa-tawa riang dengan suara semerdu nyanyian alam.
Nurbuwat terpesona akan kecantikan makhluk yang melayang-layang tanpa sayap tersebut. Dengan penuh rasa penasaran sang Nurbuwat memberanikan diri muncul dari persembunyiannya dan menanyakan;
"Wahai penghuni Alam Gaib perkenankanlah aku bertanya, gerangan makhluk cantik apakah yang aku ajak bicara ini."
Mereka terperanjat kaget mendengar suara yang begitu asing. Suara seorang pemuda dari makhluk yang bernama manusia. Mereka semua kabur melesat masuk ke dalam istana dan mengunci pintu rapat-rapat.
Karena penasaran beberapa dari mereka mengintip dari celah-celah lubang ventilasi atau membuka sedikit celah jendela.
"Ayolah, aku cuma mau bicara. Aku takkan menyakiti siapapun." Setengah jengkel Nurbuwat merajuk.
Dari dalam istana terdengar bisik-bisik gaduh seperti saling mendebat atau saling menyuruh siapa yang paling berani untuk maju menghadapi maju menghadapi makhluk asing bernama manusia itu.
Setelah beberapa saat menunggu, tiba-tiba salah satu dari jendela kencana menyeblak terbuka. Salah satu makhluk cantik yang sepertinya dipaksa didorong keluar tampak jengkel memaki-maki jendela yang sudah ditutup rapat kembali oleh teman-temannya.
"Kalian sepertinya makhluk pemalu ya." Nurbuwat menghampiri makhluk jelita itu dengan semburat rona merah jambu yang menghiasi pipinya.
Makhluk yang menyerupai gadis jelita itupun akhirnya memberanikan diri melayang turun menjejakkan kaki telanjangnya ke tanah melangkah anggun menghampiri Nurbuwat. "Anda sepertinya bukan orang biasa. Karena Anda makhluk Jasmani pertama dapat mengunjungi Alam Gaib ini."
"Oh ya, aku orang pertama? Wah hebat dong ini merupakan suatu prestasi. Oh ya, perkenalkan aku Nurbuwat, putra Sang Bapak Alam." Nurbuwat memperkenalkan diri.
"Ooh pantas Anda dapat sampai kemari."
"Yah begitulah..." Mereka berjalan-jalan santai berdampingan sembari bercakap-cakap menikmati keindahan taman kompleks istana.
"Dan kau, makhluk apa sebenarnya kalian. Kalian seperti memiliki daya pesona magis tak terkatakan. Sehingga menggoda iman setiap insan yang memandang."
Hati gadis mana yang tak tergetar mendengar kata-kata manis rayuan gombal seperti itu, bahkan bidadari surga pun menjadi salah tingkah mendengarnya. Tersenyum tersipu menunduk malu semburat rona merah lagi-lagi terlukis jelas di pipinya yang manis. Padahal tak sedikit pun terbersit niat dalam hati Nurbuwat merayu, apalagi membuat seorang gadis jelita jatuh cinta.
"Sa-saya..." gadis jelita itu menjadi tergagap gugup salah tingkah menanggapi pertanyaan yang seharusnya simpel untuk dijawab. "...De-Dewi Mulat, kami disebut sebagai Bidadari, kami adalah makhluk sebangsa peri." Makhluk cantik itu terus menunduk gugup.
"Hmm pantas kalian begitu cantik..."
Begitulah pertemuan Nurbuwat dengan Dewi Mulat seorang bidadari jelita kelak akan menjadi jodohnya.
Sementara itu Sang Rudra yang menyimpan dendam masa lalu kepada Sang Bapak Alam, tengah merencanakan sesuatu dengan otaknya yang licik.
Mengetahui bahwa Sang Nurbuwat merupakan manusia terpilih yang ditakdirkan melahirkan para pemimpin dunia, maka Rudra pun merancang sebuah rencana agar keturunannya dapat dipersatukan dengan keturunan Nurbuwat dan dapat menjadi penguasa juga seperti keturunan Nurbuwat kelak..
Adalah Dlajah salah seorang putri dari Sang Rudra Malih Rupa, merubah wujud menyerupai sosok Dewi Mulat yang merencanakan misi berbahaya mendapatkan benih manusia pilihan.
Dibantu sang ayah gadis yang baik perawakan, wajah maupun suaranya sudah amat mirip dengan Dewi Mulat melangkah anggun memasuki bilik pribadi Nurbuwat. Setelah menyembunyikan secara gaib Dewi Mulat yang asli tentunya.
Tanpa menyadari atau mungkin terhipnotis oleh kecantikan Dlajah Nurbuwat mencumbu mesra Dlajah yang dikira istrinya tersebut.
Dan begitu tahu Nutfah Nurbuwat telah jatuh ke rahim putrinya, Sang Rudra pun memanggilnya pulang untuk berganti dengan Dewi Mulat yang asli.
Waktu pun berlalu hingga Dewi Mulat mengandung dan melahirkan dua orang bayi kembar, tepat pada waktu Julungwangi (saat matahari terbit). Namun anehnya, salah satu bayi Dewi Mulat tidak sempurna dan hanya berbentuk gumpalan cahaya (nur) nan menyilaukan.
Di tempat lain di hari yang sama, pada waktu Julungpujut (matahari tenggelam) Dlajah putri Sang Rudra pun melahirkan seorang anak berbentuk Asrar (daya hidup yang memancarkan cahaya), berkilauan sebening embun.
Rudra pun membawa Asrar tersebut dan menyatukannya dengan bayi cahaya milik Nurbuwat secara diam-diam. Perlahan perpaduan cahaya menyatu secara ajaib membentuk tubuh seorang bayi merah nan mungil sempurna berselimut cahaya.
Perlahan Sang Rudra yang bermaksud memegang dan menimang bayi berjenis kelamin laki-laki itu. Namun alangkah terkejutnya Sang Rudra tanganya menembus tubuh sang bayi yang lelap tertidur seolah hanya memegang cahaya, tangan jahat Sang Rudra tak mampu menjamah bayi itu bahkan kulit arinya sekalipun.
Tiba-tiba sang bayi terbangun dan menangis untuk yang pertama kalinya. Membuat Nurbuwat dan Istrinya terjaga. Seketika Sang Rudra pun menghilang bersembunyi ke alam gaib. Nurbuwat terkejut sekaligus bersyukur kepada Sang Maha Pencipta yang telah menyempurnakan "gumpalan cahaya" menjadi raga bayi laki-laki yang sempurna.
Dengan penuh kasih Nurbuwat menimang putra keduanya yang berselimut cahaya itu dengan riang gembira. Nurbuwat menamai putranya itu sebagai Sang Senjakala, sedangkan kembarannya yang normal diberi nama Sang Fajar.
Sang Rudra mengintip dari balik tirai dan bekata; "Hari ini aku tidak bisa menyentuhmu. Tapi, suatu saat kau akan menjadi sekutuku. Ingat itu, cucuku..." Sang Rudra tersenyum menyeringai.
******
Sejak remaja Sang Senjakala memang gemar berkelana, bertapa menyepi di tempat-tempat wingit. Hingga ia terpesona pada ilmu-ilmu sihir dan kesaktian seorang pengembara tua, yang tak lain merupakan jelmaan Sang Rudra. Senjakala pun berguru kepada Rudra. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun Senjakala berkelana dan bertapa, hingga ia teringat kembali akan keluarga yang hampir dilupakannya.
Setelah bertahun-tahun, Senjakala pulang ke Kusniyamalaberi kerajaan pertama yang dibamgun Sang Nurbuwat membawa ilmu-ilmu sihir dan kesaktian ajaran Sang Rudra seperti: Mencala Putra - Mencala Putri, (menjelma menjadi pria dan wanita), terbang ke angkasa, menembus perut bumi, bernafas di kedalaman samudra, juga menghilang tak kasat mata.
Sang Bapak Alam dan Nurbuwat malah mengusirnya. Sang Bapak Alam tahu cucunya Senjakala telah meninggalkan ajaran-ajaran kebijakan yang dianutnya, hanya dengan melihat perangainya.
Merasa tak diterima lagi oleh keluarganya Sang Senjakala pergi dengan mata nyalang berkaca-kaca.
Dengan mantap Senjakala pun melanjutkan kembali pengembaraannya, bersama sang guru Rudra. Senjakala tak mau lagi pulang ke keluarganya, baginya jalan yang ia pilih sudah berbeda jauh dengan jalan yang ditempuh keluarganya.
Sang Rudra pun memandikan Senjakala dengan Tirta Kamandalu (Air Kehidupan), yang diambilnya dari intisari awan mendung, yang telah tercurah yang membuatnya abadi.
Agar tak pernah habis, sisa Tirta Kamandalu ditampungnya dan disimpan dalam sebuah Cupumanik yang dulu menjadi wadah Rahsa Dayaning Urip Sang Bapak Alam. Cupumanik Astagina begitulah ia menamainya. Kemudian Ijazil menghadiahkan Cupumanik tersebut kepada Sang Senjakala.
Selain Cupumanik Astagina Senjakala juga diberi sebuah pusaka berbentuk mustika bola kristal yang disebut Sesotya Retna Dumilah. Dimana ia mampu melihat dan mengawasi jagat raya di dalamnya, bahkan membuat tiruan surga dan neraka.
Selain itu Senjakala juga mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dan kesaktian lainnya seperti; Ilmu Patraping Panitisan (ilmu menitis atau reinkarnasi), Manjing Suruping Pejah (semadi hingga mencapai mati sajroning urip atau hidup selagi mati), dan ilmu Cakra Maggilingan (ilmu mengendalikan ruang dan waktu, termasuk Aji Pangabaran yang membuatnya Weruh Sadurunge Winarah atau tahu sebelum terjadi dan mengetahui segala yang tersembunyi Weruh Sajroning Winarah.
Setelah mendapat berbagai pusaka dan kesaktian, atas petunjuk Sang Rudra juga Senjakala dipertemukan dengan Pohon Kalpataru (Pohon Kehidupan) di dalam sebuah goa yang luas Rudra pun menjelaskan ; "Lihatlah Senjakala, Kalpataru, Pohon Kehidupan. Segala kehidupan di alam raya ini berakar disini, pohon ini merupakan bentuk kehidupan itu sendiri. Cabut saja salah satu akarnya maka kau akan menguasai kehidupan.
Kau akan dapat membangkitkan apapun dari kematian hanya dengan menyentuhkan Oyod Mimang ini ke sesuatu yang sudah mati dengan catatan mereka belum menemui ajal yang ditakdirkan, Bahkan kau dapat menyembuhkan jagat yang sekarat sekalipun."
"Sungguh akar ini dapat membangkitkan apapun yang telah mati?"
"Ya, meskipun tidak semua kematian dapat dihidupkan kembali."
"Apa maksudnya?"
"Orang yang ditakdirkan meninggal karena menua dan sakit dengan orang tewas dibunuh, keduanya sama-sama menemui ajal namun kita hanya dapat memberikan kesempatan kedua kepada orang yang tewas terbunuh. Kita tidak bisa melawan takdir."
Senjakala mengangguk mengerti apa yang dimaksud Sang Rudra.
"Dengan akar ini kita dapat menguasai dunia!"
Didorong dengan hasrat menggebu Senjakala menuruti permintaan Rudra untuk mencabut salah satu akar Pohon Kehidupan yang menjalar-jalar ke dalam tanah. Senjakala mengerahkan seluruh tenaga dan kesaktiannya mencabut akar kehidupan yang tertanam jauh di pusat bumi.
Setelah beberapa hari berusaha akhirnya akar kehidupan itu meretak merekah patah dari batangnya diikuti dengan gempa luar biasa yang meruntuhkan dinding-dinding goa.
Senjakala berhasil mencabut Akar Pohon Kehidupan Kalpataru dan keluar dari mulut goa. Sebelum seluruh dinding goa meruntuh. Senjakala sempat menengok ke belakang menyaksikan dedaun Pohon Kalpataru meranggas berguguran di kejauhan sebelum mulut goa tertutup sepenuhnya.
"Ap-apa yang terjadi... apa yang telah kulakukan..." atmosfer alam yang semula hangat berubah menjadi dingin dan membeku, separuh kehidupan musnah, seluruh dataran memutih tertutup es dan salju.
"Ini adalah konsekuensi yang harus diterima saat kau berhasil mencabut Oyod Mimang."
"Apa?! kau telah menipuku."
"Aku tidak menipumu aku hanya memanipulasi kebenaran. Berikan benda itu cepat."
"Apa?!" Setelah Rudra berhasil menipunya, kini Senjakala lebih berhati-hati akan tindakannya. "Apa yang akan kau lakukan dengan Oyod Mimang ini."
"Aku akan membangkitkan kerajaanku, Kerajaan Sang Rudra di muka bumi dan kau akan menjadi rajanya, cucuku. Raja Diraja, bersama kita akan menguasai dunia."
"Heh, menjadi penguasa dunia dengan tirani dan ketakutan. Jadi ini tujuanmu selama ini, Rudra? Ayahku benar, aku telah tersesat. Mempercayai segala bujuk rayumu. Dan apa itu, aku bukan cucumu. Maaf aku tak mau memenuhi permintaanmu yang satu ini."
"Dasar anak bodoh!" Bentak Rudra. "Kalau kau tidak mau menjadi Raja Diraja hm, baiklah. Maka aku sendirilah yang akan menjadi Raja Diraja!"
Sang Rudra berusaha merebut Oyod Mimang dari tangan Senjakala yang tak mau kalah mempertahankan benda pusaka itu dari genggamannya.
Maka terjadilah pertempuran dahyat yang menyebabkan alam porak-poranda. Topan dahsyat menggulung, gunung-gunung hancur, lautan tumpah ke darat. Duel dua kekuatan yang berimbang berlangsung itu hingga beberapa tahun.
Hingga disaat yang tak terduga muncullah seberkas cahaya misterius yang menyilaukan dari arah Kerajaan Kusniyamalaberi yang membuat sang Rudra lengah dan tertusuk pedang Senjakala tepat mengenai jantungnya.
"Ahh, akhirnya aku kalah." Dalam sengal napas terakhirnya Sang Rudra berkata ; "Aku boleh kalah hari ini. Tapi, selama dunia masih berputar kejahatan dan angkara murka akan terus membayangimu cucuku... membayangi kehidupan dunia... hahahaha.....!!"
"Dan saat itu aku dan keturunanku akan datang untuk membasminya..." raga Sang Rudra memudar mengabu dalam pangkuan Senjakala.
Setelah itu Senjakala mengheningkan cipta menjapa Aji Pangabaran menerawang dari mana asal cahaya misterius yang menyelamatkan nyawanya. Tak disangka tak dinyana cahaya misterius yang silaunya hampir menyamai matahari sendiri itu ternyata adalah sebuah manifestasi dari doa Sang Fajar, saudara kembarnya.
"Terima kasih Kakang Fajar...." gumam Sang Senjakala.
Senjakala pun mengubah Oyod Mimang menjadi sebuah tongkat pusaka yang bernama Lata Maosadi (Akar Kehidupan) dan berusaha mengembalikan keseimbangan alam. Namun karena akar dari sang Pohon Kalpataru telah tercabut Senjakala gagal melawan takdir dan menyesali perbuatannya seumur hidupnya.
Untuk menebus kesalahannya Senjakala bertapa di puncak gunung tertinggi di Jazirat Ngariat (Pulau Malwadewa) dengan mengikuti peredaran matahari. Dimana jika matahari berada di timur ia menghadap ke timur, begitu matahari mengarah ke atas ia pun mendongak ke atas dan begitulah seterusnya.
Hingga tak terasa di tahun yang ke tujuh, tubuh Senjakala memudar meraib, menghilang berubah menjadi badan rohani melayang menuju Alam Sunyaruri (alam antara ada dan tiada atau Awang-uwung). Tanpa apapun, tanpa siapapun, sebuah dimensi yang hampa, kosong, yang ada hanya rengkuhan cahaya yang meliputi tubuhnya sendiri. Melayang-layang tanpa arah. Tanpa tujuan.
Itulah perjalanan Senjakala yang menjadi cikal bakal para Sanghyang atau Batara-batari (para Dewa). Adapun saudara kembarnya Sang Fajar dikisahkan ia akan menurunkan para pemimpin dunia...
*******
Tapabrata Prabu Nurhadi terganggu oleh seberkas cahaya aneh yang melayang-layang di angkasa. Prabu Nurhadi mengejar dan hendak menangkap cahaya aneh yang berpijar berkilauan itu. cahaya apakah itu sebenarnya? berhasilkah Prabu Nurhadi menangkapnya? nantikan Kelanjutannya ya...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!