Untuk menebus kesalahannya Senjakala bertapa di puncak gunung tertinggi di Jazirat Ngariat (Pulau Malwadewa) dengan mengikuti peredaran matahari. Dimana jika matahari berada di timur ia menghadap ke timur, begitu matahari mengarah ke atas ia pun mendongak ke atas dan begitulah seterusnya.
Hingga tak terasa di tahun yang ke tujuh, tubuh Senjakala memudar raib, menghilang berubah menjadi badan rohani melayang menuju Alam Sunyaruri (alam antara ada dan tiada atau Awang-uwung). Tanpa apapun, tanpa siapapun, sebuah dimensi yang hampa, kosong, yang ada hanya rengkuhan cahaya yang meliputi tubuhnya sendiri. Melayang-layang tanpa arah. Tanpa tujuan.
Itulah perjalanan Senjakala yang menjadi cikal bakal para Sanghyang atau Batara-batari (para Dewa).
Adapun saudara kembarnya Sang Fajar dikisahkan ia akan menurunkan para pemimpin dunia...
*******
Selama ribuan tahun alam tertutup es dan salju bangsa manusia beradaptasi dengan memakai jaket dari kulit-kulit hewan yang tebal.
Sementara bagi makhluk halus seperti bangsa jin cuaca yang menusuk tulang itu tak berpengaruh apa-apa, layaknya Prabu Nurhadi (Sanghyang Malwadewa), putra Prabu Rawangin (Sanghyang Hartahetu), yang merupakan keturunan Jan-Bahujan (nenek moyang jin), yang bertapa bertelanjang dada di tengah cuaca yang terbilang ekstrim tersebut.
Tiba-tiba Tapabrata-nya terganggu oleh seberkas cahaya aneh yang melayang-layang di angkasa. Prabu Nurhadi mengejar dan hendak menangkap cahaya aneh yang berpijar berkilauan itu.
Dengan kesaktiannya, Prabu Nurhadi mampu mendeteksi dan merasakan bahwa cahaya itu merupakan cahaya dari cucu Sang Bapak Alam. "Wahai cucu Sang Bapak Alam! Ada gerangan apa Anda singgah ke tempat kami?" tanya Prabu Nurhadi, seraya terus mencoba menangkap pijar cahaya terang tersebut. Namun yang ditangkapnya hanyalah bayang-bayang di udara, nihil.Tanpa hasil.
"Aku bukan orang itu. Namaku Kang Murbeng Alam (Cahaya Alam)." Jawab pijar cahaya yang terangnya memang sanggup menerangi jagat jaman es yang gulita.
"Arrggh, aku tak percaya! Kau adalah perwujudan jasad rohani dari cucu Sang Bapak Alam yang telah mencapai Manjing Suruping Pejah, mati selagi masih hidup. Apakah aku benar." Sahut Prabu Nurhadi.
"Kuakui pengetahuanmu memang luas Prabu Nurhadi. Tapi aku memang bukan orang itu. Orang itu sudah mati ribuan tahun yang lalu." Sahut cahaya benderangnya mampu menandingi cahaya matahari sendiri. Masih tak mengakui bahwa memang benar ia adalah perwujudan dari cucu Sang Bapak Alam, Sang Senjakala.
"Aku tak Percaya, penglihatanku tak pernah salah. Dan lagi pula bag.aimana bisa Anda tahu namaku. Aku kan tak pernah menyebutnya." sahut Prabu Nurhadi kesal.
"Ahh tak usah kau pikirkan itu." Sahut cahaya itu enteng.
"Oh ternyata kita sama, kita dianugerahi penglihatan Weruh Sajeroneng Winarah, mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi. termasuk apa yang tersembunyi dalam hati. Semudah Aku mengetahui bahwa Anda memang cucu Sang Bapak Alam, Sang Senjakala."
"Sungguh-sungguh jenius. pintar pintar sekali. tapi analisamu kelewat konyol dan tidak berdasar." kilah cahaya itu masih memungkiri. "Sang Bapak Alam kan manusia. Mana mungkin bisa manusia biasa dapat memiliki raga Akyan, raga yang halus dan dengan mudah menembus benda padat seperti ini." dengan mudah cahaya itu menunjukkan atraksi bolak-balik menembus batu granite purba di hadapannya layaknya seorang pesulap profesional.
"Bukan, Anda sama sekali bukan manusia biasa." debat Prabu Nurhadi. "Bisa saja seorang makhluk jasmani seperti manusia yang mempunyai kesaktian linuwih seperti Anda tentunya, dapat dengan mudah Meraga Sukma menjadi jasad rohani alias jasad halus, seperti Akyan dan bahkan bertiwikrama, bertransformasi sesuai dengan apa yang kita kehendaki. Seperti yang Anda lakukan sekarang."
"mmhh menarik menarik. Benar-benar sungguh menarik." Sahut cahaya itu.
"Dan akan kubuktikan itu..." sahut Prabu Nurhadi seraya berusaha menjadi menangkap lagi cahaya benderang itu dengan seluruh kesaktiannya. Namun apa daya tangannya benar-benar menembus layaknya memegang cahaya itu sendiri.
"Baik kalau begitu kita adu kesaktian saja untuk membuktikan siapa yang paling benar." Tantang Prabu Nurhadi.
"Aah begini saja kalau kau bisa menangkapku sebelum matahari terbenam aku akan berkata jujur padamu."
"Baik, ayo kita mulai." Prabu Nurhadi tersenyum semangat.
Dan duel itu dimulai. Saling lesat, saling kejar, loncat sana, loncat sini dalam kecepatan tinggi. Mereka tak ubahnya seperti kilasan-kilasan cahaya blitz berkilau berdirgantara di angkasa. Seperti lidah kilat yang memanjang lalu raib dan muncul lagi. Berlari berkejaran bagai tarian kunang-kurang.
Tak ada rasa persaingan apalagi permusuhan mereka malah tertawa-tawa bercanda berbincang akrab seperti saudara. Berjam-jam mereka berdirgantara melintasi buana. Hingga waktu yang ditunggu pun tiba matahari mulai menguning, semburat jingga mulai menebari menghiasi cakrawala.
"Tunggu, tunggu aku menyerah. Waktunya sudah habis 'kan." Prabu Nurhadi menyerah kalah.
"Tidak, sebentar lagi." Pijar cahaya yang mengaku sebagai Kang Murbeng Alam itu melambat dan berhenti.
"Ahh aku sudah capek. Seharian mengejar sesuatu yang tak bisa kukejar." Napas Prabu Nurhadi ngos-ngosan. "Kau boleh mengaku apa saja..."
Pijar cahaya mendekati Prabu Nurhadi yang nampak lunglai kecapekan seraya mewujud menjelma menjadi seorang pemuda tampan berliput cahaya. "Bener nih menyerah?" Sahut pemuda itu semakin mendekat.
Dan...
Begitu yakin dalam jangkauannya tangan Prabu Nurhadi bergerak secepat kilat menangkap pergelangan tangan pemuda itu. "Hup kena!! ...tapi kau tetap keturunan Sang Bapak Alam..." begitu sambungnya tersenyum sumringah.
"Dasar curang..." mereka berdua ngakak bersama-sama seperti dua bersaudara.
Sesuai perjanjian Senjakala pun berkata jujur mengakui semua kebenaran yang dijabarkan Prabu Nurhadi. Ia pun dibawa ke Kerajaan Malwadewa untuk melihat kerajaan megah miliknya. Prabu Nurhadi pun menikahkan putrinya Dewi Mahamuni (Dewi Nurrini) dengan Sang Senjakala, menjadikannya raja di kerajaan jin tersebut. Dengan gelar Sanghyang Nurcahya (perpaduan cahaya).
Sanghyang Nurcahya dikaruniai keturunan yang dilahirkan dalam bentuk Asrar (Rahsa daya hidup berbentuk plasma), yang berpijar benderang menyilaukan menerangi kegelapan. Dan kemudian Sanghyang Nurcahya menyiramkan Tirta Kamandalu untuk membuatnya hidup. Perlahan Asrar itu mewujud menjadi bayi laki-laki, dan diberi nama: Sanghyang Nurrahsa...
*******
"Ayahanda Prabu kenapa Anda menangis?" Tegur putra semata wayangnya Sanghyang Nurrahsa.
apakah yang membuat Sanghyang Nurcahya menitikkan air mata. nah ikutilah kelanjutan kisahnya. sampai jumpa...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
@elang_raihan.Nr☕+🚬🐅🗡🐫🍌
Sllu semangat ☕
2020-09-12
0
Sept September
cemunguttt
2020-08-19
1