Bumi menghangat kembali setelah ribuan tahun tertidur dalam selimut muslim dingin nan panjang. Cuaca dan musim berangsur normal kembali, bumi seolah mengobati dirinya sendiri. Dataran padang es nan meluas beku perlahan mencair menjadi bongkah-bongkah yang mengeping memuing menganak mengalir dan akhirnya menyungai panjang bercabang-cabang menuju samudera nan membiru yang semula membeku.
Jagat Pramuditya perlahan berangsur pulih. Bumi yang memutih berselimut tebal es dan salju kini kembali membiru. Bumi yang dingin memucat kini menyegar dan menghangat. Kegelapan zaman es yang pucat membeku telah berakhir bergabung dengan warna cerah kehangatan musim semi yang berwarna.
Setelah bertahun-tahun menjadi raja di Kayangan Malwadewa baru kali ini Sanghyang Nurcahya merasa lega luar biasa menyaksikan Bumi yang perlahan mengobati dirinya sendiri. Hatinya amat berbahagia menyaksikan Jagat Pramuditya kembali menghijau. Ia melesat berdirgantara melayang tersenyum memejam menikmati sejuknya semilir angin musim semi yang telah lampau terlupakan. Memandang merimbunnya kembali rimba raya yang menjadi bentang alam nan indah bagai permadani hijau yang melingkupi jagat purba yang telah lama dirindukanya. Menjejak berlari riang bertelanjang kaki seperti anak kecil yang bermain di padang rerumput segar berembun yang kembali menumbuh, bernostalgia ke masa-masa lampau yang lama diidamkannya. Mengikis sedikit rasa penyesalan mendalam yang menghantui seumur hidupnya. Seumur hidup Sanghyang Nurcahya.
Tanpa sadar danau air mata yang menggenang berkaca-kaca di pelupuk matanya yang memerah perlahan menumpah jatuh meleleh turun membasahi pipi. Kebahagiaan Sanghyang Nurcahya menyambut kedatangan musim semi di barengi dengan ingatan masa silam yang membuatnya ke dalam penyesalan seumur hidup.
"Ayahanda Prabu kenapa Anda menangis?" Tegur putra semata wayangnya Sanghyang Nurrahsa.
"Tidak Putraku, ini air mata bahagia. Tak kusangka alam dapat memperbaiki dirinya sendiri."
"Saya tak mengerti maksud Anda Yang Mulia." Kemudian Sanghyang Nurcahya menceritakan kembali tentang kesalahannya mencabut Oyid Mimang, akar kehidupan di masa lalu yang membuatnya menyesal seumur hidup kepada putra semata wayangnya. Sanghyang Nurrahsa pun tergugah membuat matanya ikut berkaca-kaca.
Sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia Sanghyang Nurcahya menghadiahkan tahtanya kepada sang putra Sanghyang Nurrahsa. Berikut semua ilmu pengetahuan dan kesaktiannya, beserta semua pusaka yang dimilikinya tentunya.
Selanjutnya Sanghyang Nurcahya menciptakan Serat Pustaka Darya sebuah serat (Kitab) yang menyatu dalam budi, serat tanpa sastra (tanpa tulis). Cara membacanya dengan Cipta Sasmita (kemampuan Batin), yang berisi kisah perjalanan Sanghyang Nurcahya sendiri. Setelah menyerahkan semuanya, Sanghyang Nurcahya meraga menjadi satu dalam tubuh Sanghyang Nurrahsa.
Dalam pesta penobatannya yang meriah, yang di dihadiri perwakilan dari berbagai bangsa dan ras dari berbagai kerajaan dari seluruh penjuru bumi, Sanghyang Nurrahsa memandang pukau pada seorang Dewi yang melangkah anggun tinggi semampai mendampingi seorang kakek bermahkota dengan kumis dan cambang memutih tebal mendekati singgasana untuk memberi selamat kepada raja yang baru. Bukan hanya Sanghyang Nurrahsa yang seperti tersihir akan pesona kecantikan nan gilang-gemilang yang terpancar oleh sang Dewi. Melainkan juga mata seluruh tamu terpukau terkesima memandang kecantikan sang Dewi. Seketika sang Dewi menjadi pusat perhatian. Para suami sampai tak mengindahkan istri-istri mereka yang terduduk manyun ketusterpuruk di samping mereka menelan pil pahit kecemburuan demi dapat memandang pesona sang bidadari Kayangan.
"Ahh Eyang Prabu Rawangin, lama tak jumpa. Bagaimana kabar Eyang." Tanpa merasa canggung Sanghyang Nurrahsa turun dari singgasananya nan megah melangkah menyambut hangat menyalami pria tua bermahkota yang dipanggilnya Eyang Alias Kakek tersebut. Prabu Rawangin yang merupakan raja jin Pulau Darma memang adalah kakek menantu dari Sanghyang Nurrahsa, yang selaku kakak Dewi Surwati istri Prabu Nurhadi yang merupakan menantu Sanghyang Nurcahya, ayah Sanghyang Nurrahsa.
"Ah Cucuku yang gagah sudah menjadi raja sekarang. Selamat Yang Mulia Prabu..."
"Ah jangan panggil aku seperti itu kita kan keluarga, ya kan Bibi Sarwati." Potong Sanghyang Nurrahsa menghentikan kalimat formil yang akan diucapkan Prabu Rawangin. Sembari tersenyum mengerling Dewi Sarwati, bidadari jelita pendamping sang kakek yang menjadi pusat perhatian para lelaki. Dengan sebutan 'Bibi'.
"Iya bener Ayahanda Prabu, kita kan keluarga. Iya kan keponakanku yang maniiiss..." sahut gadis jelita itu tersenyum lebar menjembel pipi Sanghyang Nurrahsa dengan gemas tanpa ragu dan malu diperhatikan oleh orang banyak. Mereka yang mengharap cinta sang bidadari akhirnya melengos kecewa, karena tahu gadis idaman mereka sudah menentukan pilihan hatinya hanya melihat adegan mesra yang terpampang langsung di depan mata.
"Hentikan Bibi, kita diliatin banyak orang tuh." Bisik Sanghyang Nurrahsa dengan pipi menyemu rona merah muda lantaran terkepung rasa malu.
"Biarin weee..." sang bidadari melepas jembelannya seraya meleletkan lidah tanpa malu seperti anak kecil yang tengah bermain saja. Membuat para tamu tersenyum-senyum geli tingkahnya yang cuek dan sama sekali tidak mencerminkan seorang perempuan bangsawan yang seharusnya bersikap lebih anggun. Sang ayah yang berada di sampingnya pun seolah tak dipedulikannya.
"Ehm...!" Sang ayah tersenyum menutup mulutnya dan mendeham agak keras mengejutkan sang bidadari menjadi auto gugup salah tingkah refleks mundur selangkah menunduk menyembunyikan diri di balik punggung sang ayah menutupi wajah malunya yang mereka memerah.
Sama halnya dengan Sanghyang Nurrahsa yang bergerak canggung tersenyum gugup menghadapi puluhan pasang mata para tamu kehormatan yang menusuk tajam langsung tepat saraf malunya.
Sementara Prabu Rawangin menggeleng-geleng penuh arti masih tersenyum-senyum di balik tangan yang masih menutupi mulutnya. "Ck ck ck hadeh, dasar anak muda... aduh!"
Tinju kecil sang bidadari mendarat di punggungnya. Membuatnya berhenti berkata-kata sembari refleks menoleh ke belakang menengok wajah cantik putrinya masih tersenyum menunduk tersipu-sipu malu...
Biarpun dipanggil bibi lantaran hanya karena putri sang kakek, hubungan mereka berdua lebih dari seorang bibi dengan keponakannya. Bahkan sudah seperti adik dengan kakaknya. Atau mungkin lebih jauh lagi. Hubungan yang sudah terjalin sejak masa kanak-kanak itu membuat mereka tak canggung lagi mengumbar kemesraan atau cuma sekedar berbuat prank-prank konyol selayaknya nampak bagai sepasang kekasih.
Meskipun usia Dewi Sarwati lebih tua beberapa ratus tahun, namun bagi bangsa jin usia hanyalah angka yang tak berarti. Bangsa jin dapat hidup ribuan tahun tanpa termakan usia dan mempertahankan kecantikan dalam raga mudanya yang segar bugar. Seperti Dewi Sarwati saat ini seorang bidadari berumur ribuan tahun masih nampak seperti remaja jelita berusia sembilan belas tahun dalam ukuran usia bangsa manusia. Sehingga nampak pas dengan Sanghyang Nurrahsa yang masih remaja.
Setelah beberapa waktu bertemu, akhirnya mereka sepakat untuk melanjutkan perjalanan ke arah yang lebih serius yaitu menyatukan dua hati dalam sebuah ikatan suci yang dinamakan pernikahan.
Dari Dewi Sarwati, Sanghyang Nurrahsa dikaruniai keturunan berbentuk Sotan (sautan, atau suara tanpa wujud).
"Aku yang lebih tua!"
"Tidak, aku yang lebih tua!"
"Bukan, bukan, tapi akulah yang lebih tua." terdengar tiga suara yang berbeda. Suara ribut, ricuh, bertengkar berdebat khas anak-anak. Memperdebatkan tentang siapa yang lebih tua di antara mereka.
Dengan kesaktiannya, Sanghyang Nurrahsa mengheningkan cipta dan masuk ke alam gaib. Sanghyang Nurrahsa melihat tiga anak kecil, satu bersuara kecil sementara dua yang lain bersuara lebih besar. Begitu melihat sang ayah, mereka bertiga berlari memeluk Sanghyang Nurrahsa dengan hangat.
Sanghyang Nurrahsa lalu mengambil Cupumanik Astagina yang berisi Tirtamarta Kamandalu. Satu-persatu anak-anaknya berebut mandi air kehidupan itu. Perlahan anak-anak itu dapat terlihat, dan langsung memeluk ibu mereka yang terkulai lemah di pembaringan pasca persalinan.
Sanghyang Nurrahsa pun memutuskan yang bersuara paling kecil adalah yang tertua, yang dinamainya Sanghyang Damarjaka. Sementara dua putra yang lain diberi nama Sanghyang Wenang, dan Sanghyang Wening. Setelah beberapa tahun Dewi Sarwati melahirkan lagi seorang putra yang berbentuk Akyan (jasad halus). Putra keempatnya ini diberi nama Sanghyang Taya.
Sanghyang Nurrahsa mengajarkan seluruh kesaktian dan ilmu pengetahuannya kepada keempat putranya dengan adil. Karena yang paling berbakat adalah Sanghyang Wenang, Sanghyang Nurrahsa menyerahkan tahta Kayangan Malwadewa kepada putranya tersebut. Dan Sanghyang Nurrahsa meraga menjadi satu dalam tubuh Sanghyang Wenang.
*******
"Bukan salahku, rakyatmu menganut kepercayaanku. Bukankah hati seseorang tak bisa dipaksa dan dilarang-larang untuk menuruti kemauan kita? Hati adalah ruang pribadi dimana semua rahasia tersembunyi." kata Sanghyang Wenang.
apakah yang membuat Sanghyang Wenang berkata seperti itu? nantikan kelanjutannya besok jangan lupa ya WAYANG SAGA mulai seru loh...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
izen faauzi
sayang gak ngerti wayang jadi ikut alur aja,lanjut.
2020-11-28
0
@elang_raihan.Nr☕+🚬🐅🗡🐫🍌
Lanjuut ☕
2020-09-12
0
Kucing Manis
Aq hadir lagi..
2020-09-11
2