"Shelina, apa yang kau lakukan?" Ibu menatapku sendu. Sorot matanya penuh khawatiran akan sakit yang aku dapatkan.
"Ibu." Aku tak tahu harus bagaimana. Aku ingin melindungi ibu dari Jonathan. Aku sudah berulang kali meminta ibu untuk pergi meninggalkannya. Kami berdua bisa hidup sendiri tanpa Jonathan. Tapi ibu selalu menolaknya. Seandainya diriku seorang pria, aku akan berdiri dan melawan Jonathan. Tapi aku hanya seorang gadis remaja berusia sembilan belas tahun.
"Pergilah ke kamarmu." Ibu mencoba menenangkanku dengan senyuman palsunya. Memintaku untuk pergi. Aku menggeleng dengan keras. Tak mungkin aku pergi saat tahu Jonathan pasti akan membuat ibu babak belur.
"Aku bilang menyingkir, dasar anak durhaka." Aku tak memperdulikan teriakan Jonathan, tetap duduk membentengi ibuku. Aku tak perduli jika dia akan menyakitku. Aku tak bisa hanya diam menyaksikan dia memukuli ibuku.
"Kau juga ingin kupukul." Jonathan menendang punggungku. Ibu menatapku sendu dan dia mendorong tubuhku.
"Jangan sakiti dia, pukul aku saja." Air mataku menetes tanpa henti. Ibu, mengapa kau lakukan ini? Mengapa kau terus bertahan dengan suami yang selalu memukulimu?
Jonathan mendorong tubuhku dengan keras. Hingga kepalaku membentur kaki meja. Pusing menghampiriku begitu cepat. Sesuatu yang hangat mengalir di keningku. Tanganku menyeka keringat yang mengalir itu. Tidak, itu bukan keringat melainkan darah. Kepalaku terluka. Aku tak perduli, saat ini mataku tak pernah teralihkan dari ibu.
Jonathan memukulinya dengan brutal. Bahkan dia menggunakan ikat pinggang untuk menyiksa ibuku. Keringat dingin mulai membanjiri tubuhku. Wajah ibu terlihat begitu kesakitan. Dahinya mengerut menerima cambukkan dan pukulan bertubi-tubi dari Jonathan. Aku berteriak kencang memanggil ibu. Berharap dia melawan atau menghentikan aksi Jonathan. Tubuh ibu mulai memar dan biru. Sayatan cambuk mulai mengeluarkan darah. Tubuhku semakin berguncang. Ibu sangat lemah dengan luka di sekujur tubuhnya.
Aku kembali memanggilnya. Aku ingin berdiri dan menghentikan Jonathan. Aku ingin melindungi ibuku. Tapi tubuhku begitu kaku, sangat berat untuk digerakkan. Seakan ada sebuah batu yang menimpa tubuhku.
"Ibu!" Akhirnya ibu menatapku. Sorot matanya menyimpan luka dan kepedihan. Matanya semakin lama semakin sayu. Dia mengucapkan sesuatu. Namun suaranya tak bisa keluar. Namun aku tau dari pergerakkan bibirnya, ibu ingin mengatakan maaf.
Maaf? Untuk apa? Dan senyuman lebar terukir di wajahnya. Sebelum matanya terpejam sempurna. Sontak tubuhku semakin berguncang. Berteriak histeris memanggil ibuku. Ini tidak mungkin?
Ibu! Ibu! Dia tak mungkin meninggalkanku. Dia berjanji akan selalu bersamaku. Ibu! Ibu! IBU!!!
˙°♡♡♡°˙
"IBU!!!"
"Tenanglah Shelina!" Seseorang berteriak dihadapanku namun terasa sangat jauh. Guncangan di pundakku semakin kencang. Perlahan aku mendapatkan fokus penglihatanku kembali. Andrew di hadapanku. Kedua tangannya menyentuh pundakku. Matanya menatapku begitu lekat hingga dia menyadari bahwa aku telah kembali. Aku kembali dari ingatan masa laluku yang sangat kelam dan traumatis.
Andrew dengan cepat memelukku erat. Tubuhku masih bergetar, napasku memburu, keringat dingin masih keluar dan air mata tak pernah berhenti mengalir.
"Tenanglah, semua baik-baik saja. Kau aman bersamaku." Suara lembut Andrew dan belaian tangannya yang mengusap punggungku membuat aku sedikit tenang. Tanganku terulur membalas pelukkannya. Andrew seperti penawarku. Dia memberikan ketenangan dan rasa aman. Membuat aku percaya dan menggantungkan semua hidupku hanya padanya. Itulah alasanku sebenarnya bersedia menikah dengan Andrew.
Beberapa menit kemudian aku kembali tenang. Tubuhku sudah tak gemetar lagi dan air mata sudah berhenti menggalir. Andrew melepaskan pelukkannya. Dia menatapku begitu intens. Merapikan rambutku yang menutupi wajah dan menyelipkannya di telinga. Tangannya kembali terulur mengusap pipiku, menghapus semua jejak air mata.
"Katakan padaku, apa yang membuat traumamu kembali?"
Aku menunduk, merasa bersalah. Andrew berulang kali melakukan berbagai macam cara agar trauma masa laluku tak kembali. Aku dengan perlahan mengulurkan tanganku. Menunjukkan padanya dress merah milik ibu.
Andrew menghela napas lelah dengan kekeras kepalaanku.
"Sudah berulang kali aku mengatakannya padamu, agar kau menyimpan baik-baik dress ini dan jangan pernah melihatnya lagi."
"Maaf, tapi dress ini ...."
"Sudah jangan kau katakan lagi. Lebih baik dress ini kau simpan. Dan jangan pernah melihatnya lagi. Kau belum sembuh dari traumamu." Aku mengangguk patuh. Dan kembali memasukkan dress itu ke dalam koper. Lebih baik aku meletakkannya di sini.
"Ayo turun untuk makan malam. Aku yakin kau pasti lapar." Tiba-tiba perutku berbunyi. Aku lupa jika dari siang aku sama sekali belum makan. Aku tersenyum dan berdiri. Mengikuti Andrew yang berjalan keluar kamarku.
"Marcus pasti sudah lapar karena menunggu kita sejak tadi." Kakiku terhenti. Marcus? Oh ya Tuhan, bagaimana aku lupa dengan keberadaan pria itu? Dan ekspresi seperti apa yang harus aku tunjukkan padanya setelah perbincangan tak menyenangkan yang kami lakukan siang tadi?
***
.○°˙♡˙°○.
Kini aku berada di ruang makan. Duduk tepat di samping Andrew dan di hadapan Marcus.
"Aku meminta Mbok Sari untuk memasakkan makanan kesukaanmu." Andrew menyodorkan piring berisi steak sapi mendekat ke arahku.
"Ya, terimakasih." Aku tersenyum menerima perhatiannya.
Kami mulai makan bersama. Sejak tadi Marcus hanya diam dengan tatapan tajamnya yang tak pernah lepas dariku. Aku mencoba mengabaikannya walaupun itu sangat sulit karena tiap kali aku mendongak, wajah tampan dan mata tajam itu yang menyambutku.
"Ini, kau harus makan banyak daging. Aku tak ingin pengantin wanitaku terlihat sangat kurus di hari pernikahan nanti." Andrew meletakkan potongan daging besar ke piringku. Aku tersenyum lebar ke arahnya.
"Terimakasih, kak. Kau juga harus makan banyak sayuran agar tetap sehat selalu." Aku membalas perhatiannya. Bukan untuk basa basi tapi aku memang tak ingin dia sakit. Dengan semua kesibukannya, aku selalu khawatir tentang kesehatan Andrew.
Suara sendok yang dibanting dengan keras mengejutkanku. Tubuhku terlonjak kaget dengan suara keras itu tepat setelah aku meletakkan sayuran di piring Andrew.
"Memuakkan! Bisakah kau berhenti berpura-pura." Mata Marcus menyipit semakin tajam ke arahku. Atmosfer berubah mencekam. Aku yakin akan terjadi pertengkaran lagi di ruangan ini.
"Apa maksudmu, Marcus?" Wajah Andrew mulai mengeras, dia sadar jika Marcus sudah mulai bertingkah menyebalkan kembali.
"Aku tahu niat licikmu, jalang rendahan. Bertingkah penuh perhatian padahal kau sangat ingin ayahku sakit, agar kau bisa menguras habis seluruh kekayaan keluarga Cho. Benar bukan?" Tidak bisakah dia berbicara lebih manis padaku? Mengapa dia selalu saja menghina dan selalu mencari masalah denganku? Apa karena aku terlalu muda dan miskin hingga tak layak menikah dengan Andrew?
"Marcus Cho, jaga ucapanmu. Sudah berapa kali aku katakan, berhenti memanggil Shelina seperti itu. Dia adalah tunanganku dan calon ibu tirimu, sudah seharusnya kau menghormati Shelina." Rahang Andrew mengeras, tangannya mengepal di atas meja. Aku tahu dia menahan amarahnya dan kuharap Marcus berhenti menyulut pertengkaran ini.
"Menghormatinya? Aku tak sudi punya ibu tiri yang lebih muda dariku. Aku yakin seluruh dunia pasti akan menertawakan keluarga kita. Dia lebih layak menjadi putrimu, ayah." Nada rendah penuh penekanan di akhir ucapan Marcus membuat kalimat itu penuh sindiran.
"Kau!!" Andrew bangkit dari duduknya. Gawat! Dengan cepat aku menahan lengannya. Aku harus mencegah apapun yang ingin Andrew lakukan.
"Tenanglah Andrew." Andrew menatapku setelah menyadari tanganku menahan pergerakkannya. Perlahan dia kembali duduk. Aku membelai lengannya dan perlahan mengenggam tangan Andrew erat.
"Aku mengerti Marcus masih belum bisa menerima keberadaanku. Aku juga sadar bahwa umurku sangat muda untuk menikah denganmu." Kutatap lekat mata hitam Andrew. Kuharap dia bisa menahan amarahnya. Aku sungguh tak ingin melihat dia bertengkar dengan Marcus. Aku berbalik dan menatap Marcus dengan lekat. Seakan menantang pria itu yang sudah menghina ketulusanku.
"Tapi Marcus, aku sungguh menyayangi Andrew. Tak peduli seluruh dunia menghina dan merendahkanku. Walaupun mereka semua mengatakan aku jalang licik mata duitan tapi aku tulus menyayangi Andrew dan akan tetap disisinya apapun yang terjadi."
"Shelina." Andrew menatapku tak percaya. Dia pasti terkejut aku bisa berbicara begitu berani di hadapan Marcus, pria yang menatapku dengan tajam dan benci. Andrew membalas genggaman tanganku erat. Kami saling menguatkan.
"Sampai kapanpun aku tidak akan merestui kalian. Akan kulakukan berbagai macam cara untuk mengagalkan pernikahan dan mengusirmu dari mansion ini, Shelina Aston. Camkan itu." Marcus langsung pergi setelah mengeluarkan semua amarahnya. Dia semakin marah menyadari aku tak gentar dengan semua perkataan kasarnya.
"Marcus , kau...." Lagi , aku menahan Andrew.
"Sudahlah kak. Biarkan dia tenang terlebih dahulu. Jika kau juga marah maka pertengkaran ini tak akan pernah selesai. Dan aku tak ingin kau bertengkar dengan anakmu."
"Tapi sikapnya sudah keterlaluan Shelina. Anak itu memang bersikap dingin dan suka bersenang-senang tapi aku tidak menyangka dia akan seperti ini padamu. Dulu dia tak pernah bersikap tidak sopan pada seorang wanita manapun." Raut Andrew berubah pilu, dia pasti menyalahkan dirinya sendiri.
"Tenanglah. Kurasa Marcus butuh waktu untuk menerimaku. Dan aku akan bersikap baik padanya. Aku yakin bisa meluluhkannya dan membuat Marcus menerima keberadaanku di sini." Tanganku terulur mengusap lembut pipi kirinya.
"Ya, kuharap juga begitu. Kau tau betapa aku menyayangimu bukan. Aku tak ingin melihatmu tersakiti lagi. Biarkan aku mengambil seluruh tanggung jawab dengan menikahimu. Dan aku tak mau ada yang menghalangi niatku itu." Andrew membelai lembut rambutku. Mataku terpejam dan hati terasa tenang. Seakan semua masalahku hilang tersapu ombak hanya dengan belaian itu.
"Ya. Terimakasih karena kau begitu menyayangiku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku saat ini jika kau tak hadir dalam hidupku. Mungkin aku sudah masuk rumah sakit jiwa atau bahkan sudah meninggal." Mataku berkaca-kaca. Andrew adalah segalanya. Pria ini yang menyelamatkan aku dari semua kesakitan dan kehidupan gelapku.
"Ssstt jangan pernah mengatakan hal itu. Aku berjanji akan memberikanmu kebahagiaan dan tak akan kubiarkan kau bersedih atau tersakiti lagi, Shelina." Andrew menarikku ke dalam pelukannya. Hatiku menghangat dan aku membalasnya.
˙°♡♡♡°˙
Aku sengaja bangun pagi sekali untuk menyiapkan sarapan. Sejak semalam aku sudah bertekad akan melakukan apapun untuk layak menjadi istri Andrew dan membuat Marcus menerima keberadaan dan statusku di rumah ini. Sebagai langkah awal aku akan memasak sarapan pagi untuk Andrew dan juga Marcus.
Marcus.
Aku selalu saja terdiam cukup lama tiap kali nama itu melintas dalam benakku. Tak bisa kupungkiri pria itu masih memiliki dampak tersendiri terhadapku. Tapi aku sudah bertekat menutup rapat perasaan jauh di dalam lubuk hati dan berusaha untuk melakukan hal yang terbaik demi Andrew. Pagi ini aku sengaja memasak nasi goreng sosis. Salah satu makanan kesukaan Marcus. Aku berharap dia bisa luluh dan tak bersikap sinis kepadaku. Nasi goreng buatanku akhirnya matang. Aku meletakkannya di atas piring ketika suara seseorang mengejutkanku.
"Apa ini? Kau memasak? Siapa yang mengizinkanmu untuk memasak di sini?" Aku berbalik dengan cepat. Marcus berdiri di dekat meja makan dengan alis terangkat, dia menatapku dengan pandangan tak suka. Seakan aku alien yang tak boleh menginjakkan kakiku di dapur ini.
"Andrew memberiku izin untuk melakukan apapun." Aku mengabaikannya dan kembali menata piring di atas meja makan yang tak jauh dari counter dapur. Hampir dua hari aku mendengar suara bernada sinis dan tatapan tajam dari Marcus, tentu saja aku mulai terbiasa. Lagipula aku tak akan menunjukkan kelemahanku di hadapannya. Tak akan kubiarkan dia semakin menginjakku.
"Belum menjadi istrinya saja, kau sudah berani bertingkah layaknya seorang nyonya besar di mansion ini. Haruskah aku ingatkan kedudukanmu. Kau hanya tamu tak diundang di sini."
Aku menggela napas panjang. Bagaimana aku bisa bersikap baik jika Marcus selalu saja sinis kepadaku? Ingin sekali aku berteriak tiap kali melihat kesombongan dan keangkuhannya itu. Aku berbalik dan melipat tanganku di depan dada.
"Harus berapa kali aku mengatakannya padamu, Marcus. Bersikap baiklah kepadaku, kau tak ingin mendapatkan ibu tiri yang jahat dan kejam bukan?" Alisku terangkat sebelah mengejek kelakuannya.
"Kau! Dasar...." geram Marcus tajam. Tawa Andrew menghentikan umpatan Marcus. Pria itu berdiri di belakang Marcus dengan stelan kerja lengkapnya.
"Ya, itu benar Marcus. Bersikap baiklah kepada Shelina. Kau tak ingin memiliki ibu tiri yang jahat bukan," goda Andrew yang semakin membuat wajah Marcus menggelap. Andrew berjalan menghampiriku dan dengan cepat mencium pipi kananku.
"Damn! Sialan. Aku tak akan membiarkan hal itu terjadi sampai kapanpun. Aku pergi." Marcus berbalik pergi begitu saja meninggalkan kami. Dia sangat kesal, bibirnya masih mengumpat dengan suara pelan.
"Kau tak ingin sarapan. Aku sudah memasakkan nasi goreng sosis untukmu." Marcus berhenti berjalan, dia terdiam di depan pintu. Sepertinya dia berubah pikiran. Aku ingat pria itu selalu suka dan ketagihan dengan nasi goreng buatanku.
Namun ternyata dugaanku salah. Pria itu berjalan pergi tanpa menoleh kebelakang sedikitpun. Dia sudah berubah. Tidak, dia tidak berubah, tapi inilah Marcus yang sebenarnya. Pria brengsek yang melakukan segala macam cara untuk mendapatkan seorang wanita. Ya, itu benar. Bagaimana mungkin aku lupa dengan semua rasa sakit yang aku lalui karena dirinya? Pria brengsek yang meninggalku begitu saja.
***
Kini aku berdiri di depan sebuah cafe dengan papan nama besar di atas pintu. Wonderful Cafe. Mataku berbinar bahagia. Akhirnya impianku sejak dulu terwujud. Mempunyai cafe milikku sendiri, walaupun sebagian modal Cafe ini meminjam uang Andrew. Tapi aku berjanji akan mengembalikan uangnya.
"Tunggu apa lagi, ayo potong pitanya Shelina." ucap seorang gadis di sisi kananku. Hari ini adalah pembukaan pertama Wonderful Cafe. Andrew yang berdiri di sisi kiriku langsung memberikan gunting. Aku tersenyum. Aku sudah mengatakan kepada mereka untuk melewatkan acara pemotongan pita ini, tapi mereka bersikeras agar aku melakukannya.
Aku harap Cafe ini disukai banyak orang dan ramai. Doaku dalam hati sebelum memotong pita yang melintang di depan pintu Cafe. Seketika sorak sorai tepuk tangan mendukungku untuk segera membuka pintu Cafe. Kami semua segera masuk. Di Cafe ini aku memasak beberapa kue hasil kreasiku. Bersama sahabatku, Evelyn yang akan membantu, dan bekerja sebagai kasir, kak Elena sebagai koki dan Merina sebagai pelayan. Setelah membersihkan semuanya, akhirnya Cafe siap di buka. Kak Elena sudah membuat beberapa kue kemarin.
"Shelina." Suara Andrew menyadarkanku. Aku menoleh.
"Maaf aku harus ke kantor, ada rapat penting yang tak bisa aku tinggalkan." Aku tersenyum maklum. Dia berada di sini saja sudah membuatku senang.
"Ya, pergilah." Andrew memelukku erat lalu mengecup keningku dan segera pergi meninggalkan Cafe.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Rokiyah Yulianti
marcus sebegitu bencinya kah terhadap shelina hadeh
2020-12-04
0
Stefania Eliza
🥰🥰🥰🥰
2020-07-04
0
ArdilaSusanti
biar aja si marcus nanti nyesal, sama andrew aja lena, kasian si lena
2019-12-10
3