Flashback Shelina Aston
Maret 2010
Aku menghembuskan nafas pelan lalu meletakkan novel yang kubaca di atas meja. Tak ada seorang pun selain diriku di dalam perpustakaan ini. Hening dan sepi. Jam tanganku menunjukkan jam lima sore.
Kuhembuskan lagi nafas lelah. Lelah menunggunya yang tak kunjung datang. Dua jam lebih aku berada di perpustakaan kampus menunggu Marcus datang. Bahkan aku sudah selesai membaca novel yang tadi kuambil. Kemana pria itu? Dia bilang kelasnya akan selesai jam empat sore, tapi sampai jam lima tak ada sedikitpun tanda-tanda kehadirannya. Jika Marcus tak bisa pulang bersamaku, seharusnya dia mengatakannya atau sejak awal jangan memintaku untuk menunggu. Dasar menyebalkan! Marcus menyebalkan!
Dua tangan tiba-tiba menutup mataku dari belakang. Pandanganku gelap seketika. Aku terdiam mencoba untuk tenang walau sebenarnya sedikit takut mengingat keadaan perpustakaan yang sepi. Bahkan tak ada seorang mahasiswa di sekitar meja panjang ini. Bagaimana jika orang di belakangku adalah orang jahat? Bagaimana jika dia berniat ingin menculik atau memperkosaku?
Kugenggam erat kedua tangan dan menariknya agar terlepas, namun tak bisa. Tangannya terlalu kuat menutup mataku. Aku terdiam, hembusan napas hangat menerpa belakang telinga, tubuhku bergetar pelan akan rangsangan yang datang begitu cepat. Aroma kayu manis bercampur mint menyadarkanku. Aku tersenyum pelan menyadari siapa orang yang berada di belakangku.
"Marcus!" Teriakku kesal.
"Yaissh bagaimana kau bisa mengetahuinya?" Decak Marcus tak percaya. Tangannya melepaskan kedua mataku.
"Yak! Jangan mencoba mengalihkan situasi. Apa kau tahu sudah berapa lama aku menunggumu di sini?!" Teriakku marah menoleh ke arah belakang. Marcus memberikanku senyum polos tak berdosa miliknya. Menyebalkan! Aku ingin sekali mencekiknya sampai dia sesak napas namun aku terlalu mencintai Marcus hingga tak pernah melakukan hal yang bisa menyakiti pria itu. Kedua tangannya kini melingkari pundakku. Bahkan dia menumpukan dagunya di sana. Kepalanya sedikit menunduk. Napas hangatnya menerpa kulitku.
"Maaf, membuatmu menunggu lebih lama." Suara lirihnya membuat aku terdiam. Ada apa dengannya? Dia seakan memiliki waktu dan masalah berat hingga aku melupakan amarah dan kekesalanku.
"Ada apa, hmm?" Tanganku terangkat membelai rambut halusnya. Dia terdiam, matanya terpejam lelah. Aku terus menunggu jawaban. Kepalanya mendongak mengamatiku dengan mata sendu. Dan sedetik kemudian binar matanya berubah menjadi cerah.
"Aku merindukanmu," bisik Marcus lembut dengan senyuman lebar yang selalu sukses menular kepadaku. Aku mendengus tak percaya. Kupikir dia sedang berada dalam masalah, ternyata.... Aku tersenyum lebar tak bisa bertahan lama untuk marah padanya. Seakan semua amarah dan kesalku menguap terbawa angin. Aku membalikkan tubuhku menghadapnya dan langsung memeluk Marcus erat.
"Aku juga merindukanmu." Aku mengeratkan lingkaran tanganku di tubuhnya. Pelukan Marcus selalu hangat. Aku terlena dan memejamkan mata menikmatinya. Feromon Marcus begitu memabukkan hingga memenuhi penciuman dan mengisi ulang energiku.
Perlahan Marcus melepaskan pelukannya. Namun dia tak menjauhkan tubuhnya. Mata Marcus menatapku begitu dalam. Aku terhanyut dalam kegelapan mata hitam pekatnya membuat aku tersesat tak tahu lagi arah pulang. Perlahan wajah Marcus mendekat. Dengan mata yang berfokus ke arah bibirku, membuat aku ikut menatap bibir tebalnya. Deru napasnya menerpa wajahku. Semakin hangat seiring wajahnya yang kian mendekat. Mataku langsung terpejam menantikan kelembutan bibir tebalnya.
Benda selembut kapas dan sekenyal jelly mendarat sempurna di bibirku. Menghantarkan ribuan bunga di hati. Hatiku bersorakan girang mendapatkan ciuman darinya. Bibir itu tak diam, ia mulai bergerak pelan mengecap , membasahi dan **** bibirku. Aku terlena dan mengalungkan tangan ke lehernya, menarik Marcus semakin mendekat agar aku bisa membalas.
Aku semakin terhanyut dalam kelembutan yang begitu menakjubkan. Bibir tebalnya membuat aku semakin candu dan terus ****, mencampurkan saliva kami dalam ciuman lembut yang perlahan semakin menuntut hingga menggebu.
Lama kami saling mengecap dan berbagi saliva sampai desakan paru-paru yang membutuhkan oksigen menyadarkanku untuk menghentikan ciuman panas ini. Dia terengah menghirup udara dengan memburu, sama seperti diriku. Membuktikan jika kami berdua sama-sama menggebu dan terhanyut dalam ciuman panjang penuh gelora.
Perlahan tangan Marcus terulur menyentuh daguku. Jempolnya bergerak membersihkan saliva kami di sekitar bibirku. Matanya terus terfokus menatapku. Aku semakin jatuh cinta kepadanya. Dia tersenyum begitu indah dan memukau. Jantungku tak bosan berdetak kencang, tiap kali senyuman indah nan mematikan miliknya muncul. Aku tak pernah bisa melirik pria lain selain dirinya. Hanya dia, hanya Marcus pria yang aku inginkan di dunia ini.
"Ayo pulang. Ini sudah sangat sore." Tangannya membelai kepalaku sayang. Aku mendengus pelan, teringat kekesalanku yang menunggu kedatangannya begitu lama.
"Siapa yang datang terlamat? Menyebalkan," gerutuku pelan sambil membereskan tas dan barang-barangku yang ada di atas meja. Marcus langsung menggenggam erat tanganku ketika aku sudah berdiri tegap. Menarikku untuk berjalan keluar dari perpustakaan kampus.
˙°♡♡♡°˙
Aku berjalan memasuki apartemen Marcus. Membawa plastik besar berisi minuman soda dan makanan ringan. Malam ini kami berencana menonton film. Sudah beberapa kali aku datang kemari. Terkadang datang hanya untuk membersihkan apartemen dan terkadang datang untuk menonton film bersama seperti saat ini.
"Marc, aku akan menyimpan ini di dalam kulkasmu." Aku mengangkat plastik yang berisi makanan instan dan beberapa bahan makanan. Meninggalkan Marcus yang mulai menyusun makanan ringan dan minuman soda di atas meja. Marc adalah panggilan sayangku kepada Marcus.
Setelah selesai menyimpan makanan di dalam kulkas, aku segera berjalan menuju ruang tengah. Dimana Marcus menungguku untuk menonton film bersama. Tv berukuran 42 inch yang terpasang di dinding sudah menampilkan tampilan awal film.
"Apa sudah mulai?" Aku berjalan semakin dekat ke arah Marcus.
"Cepat kemari, Lina," Marcus menatapku, tangannya terulur memintaku meraih dan mengikuti kemauan ptia itu untuk duduk di sampingnya. Dia lebih suka memanggilku Lina.
"Kau lelah ya? Ini minumlah!" Dia menyodorkan sekaleng minuman soda dingin ke arahku. Aku tersenyum menerimanya.
Sebenarnya aku tak lelah tapi cukup haus. Marcus sejak tadi terus menatapku. Dia tersenyum ke arahku. Senyumannya sedikit mencurigakan. Tunggu, dia menyeringai bukan tersenyum, ada yang tidak beres di sini.
Belum kutemukan hal tak beres itu, tanganku sudah membuka tutup kaleng soda. Semprotan air soda langsung menyerang wajahku. Mataku terpejam cepat dengan refleks. Aku mengernyit ketika wajahku sudah basah oleh air soda.
Suara kekehan pelan mengusik telingaku. Kekehan yang semakin lama semakin besar dan berubah menjadi tawa yang menggelegar. Mataku terbuka melirik Marcus yang tertawa keras. Mentertawakanku? Oh ya Tuhan. Decakkan tak percaya keluar begitu saja. Rahangku mengeras, mata mulai menajam mengamati Marcus yang masih saja tertawa bahagia. Kuusap wajah dengan frustasi.
"Yak!" teriakku keras meluapkan amarah. Dengan cepat aku meraih sekaleng soda di atas meja. Kukocok dengan sangat kencang menggunakan kedua tangan. Marcus berhenti tertawa. Wajahnya mulai panik dan waspada. Matanya menatapku awas.
"Apa kau mau membalasku?" Sebelah alisnya naik tak percaya.
"Ya." Sudut bibirku naik sebelah. Aku tak akan melepaskannya. Aku akan membalasnya.
Marcus mulai berdiri. Aku terus mengocok kaleng soda sambil berdiri perlahan. Mataku tajam menatap Marcus, seakan dia adalah kelinci polos yang siap kuterkam saat ini juga. Matanya menatap awas kaleng soda di tanganku. Aku sudah berhenti mengocoknya. Dan siap menyerang Marcus. Dia berjalan mundur menghindariku. Berjalan ke sudut meja tapi aku tak akan melepaskannya begitu saja. Aku berjalan ke arahnya. Dan Marcus mulai berlari menghindariku. Aku mengejarnya.
"Yak! Kemari kau!" Aku mengejar Marcus yang terus berlari untuk menghindar.
"Tidak akan," jawab Marcus dengan memasang wajah bodoh dan menjulurkan lidah mengejekku.
Amarah dan kesalku semakin menggunung. Kami masih kejar-kejaran di dalam apartemen Marcus. Hingga kami berada di dapur. Ketika jarak Marcus cukup dekat denganku. Dengan cepat aku membuka tutup kaleng itu. Sontak semburan air soda keluar begitu deras mengenai tubuh Marcus. Walau jaraknya tak begitu dekat tapi semburan itu sukses membasahi wajah dan kemeja Marcus. Dia sangat mengenaskan. Matanya terpejam rapat dengan kedua tangan yang mencoba menutupi tubuhnya.
"Hahaha," tawaku pecah karena penampilan Marcus. Dia seperti kucing yang baru saja terkena hujan lebat. Rambut dan bajunya basah.
Perlahan tangannya turun. Mata tajam Marcus terbuka. Mata itu membara dipenuhi oleh tekad yang kuat. Membunyikan alarm peringatan untuk menghindarinya secepat mungkin. Marcus melangkah mendekat. Aku berjalan mundur.
"Akhh," teriakku panik dan berlari menghindarinya. Tak ayal kembali terulang aksi kejar-kejaran di antara kami. Bukan ketakutan yang menghampiriku tapi kebahagiaan bisa menghindari kejarannya. Aku tertawa senang hingga tanpa sengaja aku menginjak lantai yang basah. Membuat kakiku terpeleset dan kehilangan keseimbangan. Tubuhku melayang di udara. Mataku terpejam takut akan sakitnya membentur lantai. Namun tiba-tiba ada tarikan kencang di tanganku.
Semua terjadi begitu cepat tanpa bisa aku cegah. Mataku masih terpejam sangat erat. Hingga kehangatan dari bawah tubuh menyadarkanku. Mataku terbuka perlahan. Dada bidang dan kuat menyambutku. Aku mendongak. Wajah Marcus begitu dekat di depanku. Aku berada di atas tubuhnya. Mata Marcus terus menatap, mengunciku dalam mata hitam pekatnya. Tangannya menyentuh tengkukku mendorong dengan pelan agar wajahku semakin mendekat. Matanya perlahan menutup membuat aku juga menutup mata hingga bibirnya melumatku. Kami saling mengecap dan ****. Tak ada ciuman lembut. Kami berdua seakan hilang kendali dalam ciuman menggebu nan panas yang sangat manis karena air soda yang sebelumnya mengenai wajah kami. Ini sangat nikmat. Bahkan aku tak ingin melepaskannya.
Tapi ciuman panjang ini membuat pasokan oksigenku habis dan mulai melepasnya. Tapi Marcus tak bisa berhenti. Dia mencium rahangku, menjilatinya seakan mencari air soda yang masih tersisa di sana. Lidah basah nan hangatnya membelaiku, menghantarkan geli yang menggelisahkan dan tak menentu. Menimbulkan perasaan mendamba untuk mendapatkan perhatian lebih. Bibirnya terus bergerak di leherku. Sesekali dia berhenti hanya untuk **** kulitku dan berharap meninggalkan bekas di sana.
Kepalaku mendongak ke atas memberikannya akses lebih untuk menyentuhku. Dengan cepat dia membalikkan posisi kami. Kini aku berada dibawah Marcus. Dia semakin bersemangat menyusuri leher dan pundakku dengan bibir dan lidah hangatnya.
"Kau sangat nikmat, rasa soda yang manis," ucap Marcus pelan dengan hembusan nafas hangat menerpa ceruk leherku. Tubuhku semakin meremang membutuhkannya. Aku sudah tak berdaya dan pasrah di bawah Marcus. Tak ingin melawan ataupun menolaknya karena aku memang tak bisa. Sentuhan Marcus bagaikan candu dan aku membutuhkan hal lebih.
"Marc." Suara serak dan pelan keluar dari mulutki. Dia mengerti dan kembali mencium bibirku. Aku tersenyum lembut di sela ciuman panas kami. Tanganku mengalung erat di lehernya. Perlahan tangannya mengusap dan membelai lembut tubuhku. Aku semakin bergairah dan menginginkannya. Tangan Marcus dengan cepat membuka kancing bajuku.
Aku tak tahu bagaimana dia dengan cepat menanggalkan pakaian kami. Yang aku sadari tubuhku dan Marcus sudah polos tanpa sehelai benang pun. Dan kami masih berbaring di lantai dapur.
Oh astaga. Kudorong pelan dadanya. Mencoba menghentikan aktifitas Marcus yang mempermainkan puncak dadaku dengan bibir dan lidah basahnya. Dia mendongak dan menatapku penuh tanya. Sorot matanya waspada dengan kalimatku. Dia seakan takut aku akan menghentikan aktivitas panas ini.
"Kamar," ucapku mencoba menjelaskan. Hanya satu kata itu saja yang bisa kukatakan karena aku masih kesulitan mengontrol deru napas yang memburu. Dia tersenyum mesum menyadari bahwa aku sama sekali tak menolaknya.
"Lingkarkan kakimu." Marcus menuntun pahaku melingkarinya. *** bokongku gemas. Bibir tebalnya yang sudah membengkak dan merah sangat menggiurkan, membuat aku ingin mengulumnya lagi. Marcus mencoba bangkit berdiri dengan aku yang berada dalam gendongannya.
Desahan kecil keluar tanpa bisa kutahan ketika tubuh kerasnya tanpa sengaja menyentuh pusat sensitifku. Aku semakin basah dan tak tahan tiap kali Marcus melangkah, tiap kali juga tubuhnya menyapa dan menggodaku. Aku sangat ingin meraih dan menenggelamkannya dalam tubuhku.
Oh shit, aku sudah kehilangan kesadaran dan kabut gairah membutakanku. Tapi aku tak akan pernah menyesali ini. Dengan perlahan Marcus menghempaskan tubuh polosku ke atas ranjang besar dalam kamarnya. Lalu kembali menindihku. Tangannya begitu aktif membelai kulitku. Dengan sangat lihai bibirnya mulai mengecup. Tak ada satu pun sudut yang terlewatkan dari bibirnya. Memujaku begitu dalam. Melambungkan aku ke langit ketujuh dengan perlakukan lembutnya. Memberikan banyak jejak tanda kepemilikannya di tubuhku. Di tempat-tempat yang tak pernah terpikirkan oleh otak polosku.
Hingga kami bersatu berburu kenikmatan dunia. Saling berlomba mencapai puncak kenikmatan. Malam panjang yang begitu indah dengan erangan dan desahan kami yang menghangatkan. Malam pertama dan tak terlupakan untukku.
Berjam-jam telah berlalu, beronde-ronde percintaan panas sudah dilalui dan berbagai gaya terlah kami lalukan. Hingga tubuhku begitu lemas tak berdaya juga lengket oleh keringat. Bibirku kebas dan membengkak. Deru nafasku mulai kembali stabil. Tangan besar dan hangat menarik pundakku. Membawa aku masuk dalam dekapan hangat tubuh Marcus. Dia memelukku begitu erat.
"Aku sangat mencintaimu, Lina. Tak ada seorang pun wanita yang bisa membuatku gila dan kehilangan kontrol selain dirimu. Hanya kau yang membuat tubuhku begitu panas dan bergairah. Dan hanya dirimu yang aku inginkan di dunia ini, sekarang, nanti dan untuk selamanya. Jangan pernah pergi meninggalkanku."
Pergi meninggalkannya? Tak akan pernah kulakukan. Dia telah merebut sebagian jiwaku. Aku tak bisa pergi dan menjauh ketika dia bagaikan oksigen untukku. Terlalu sesak dan mencekik jika dia tak ada disisiku.
"Aku khawatir jika kaulah yang akan pergi meninggalkanku," lirihku sedih dengan memeluk pinggangnya begitu erat. Khawatir dan takut dia pergi begitu saja jika aku meregangkan pelukanku.
"Tak akan pernah, sayangku." Belaian lembut tangan Marcus di puncak kepala dan panggilan sayangnya untukku memberikan efek yang menakjubkan. Ribuan bunga bertebaran, jutaan kupu-kupu terbang menghantarkan kebahagian yang membuncah. Tak ada hal lain yang aku butuhkan di hidup ini, hanya bersama dengannya maka semua akan baik-baik saja.
Tangannya melepaskan pelukanku. Tubuhnya berbalik dan mengambil sesuatu di laci nakas samping ranjang. Dan kembali menatap mataku intens. Meraih jemariku dan perlahan memakaikan sebuah cincin silver bertahtakan batu shapire.
Mataku membesar ketika cincin itu sudah melekat indah di jari manisku. Lalu mengarahkan jemari itu mendekati mataku. Cincin yang begitu memukau. Batu shapire biru yang indah dan berkilau.
"Maukah kau menikah denganku?" Aku menoleh cepat ke arah Marcus. Tak percaya dengan kalimat yang diucapkannya.
"Lina, aku mencintaimu. Aku ingin kau menjadi wanitaku , menemani aku sepanjang hidupmu. Menjadi istri sekaligus ibu dari anak-anakku. Maukah kau menikah denganku? Menghabiskan seluruh sisa hidupmu bersamaku hingga maut memisahkan kita."
Tangan Marcus terulur, membelai pipiku lembut. Mataku berkaca-kaca. Tak pernah terpikirkan Marcus akan melamarku.
"Aku juga mencintaimu, Marc. Sangat-sangat mencintaimu. Aku mau menghabiskan sisa hidupku hanya bersamamu. Menjadi istri, sandaran dan ibu dari anak-anakmu."
Mata Marcus bersinar penuh kebahagiaan tersenyum begitu lebar menghantarkan aku pada kebahagian terbesar dalam hidupku.
"Aku akan menikahimu sehari setelah acara wisudaku."
Janji Marcus kepadaku dan mengecup kening hangat sebagai pengesahan akan janjinya. Aku sangat bahagia. Acara wisuda Marcus enam bulan lagi. Itu artinya kami akan menikah enam bulan lagi. Aku langsung memeluk Marcus erat, menenggelamkan tubuhku dalam dekapan hangat tubuhnya.
Tak ada hal lain yang aku inginkan lagi. Selama dia selalu disampingku maka aku takkan meminta apapun lagi padaMu Tuhan. Karena hanya dia yang aku butuhkan. Hanya Marcus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Rokiyah Yulianti
tapi mereka pisah kenapa ya? penasaran
2020-12-04
1
octyarine
Thor visualnya donk
2020-07-25
2
KimNana's_3112
weh udh bkas ank ny jg g prawan lgi
2019-12-14
0