4. Tak Masuk Akal

Ezar membuka matanya ketika mendengar suara kicauan burung yang begitu merdu di pagi hari. Ezar bahkan tidak tahu jika hari sudah mulai pagi. Matanya berusaha menyesuaikan cahaya yang memenuhi kamar kecil itu. Perlahan Ezar duduk walau kepalanya masih agak pusing. Kening Ezar berkerut melihat kamar kecil yang dipenuhi warna pink itu. Bahkan kamarnya sangat kecil dan berantakan. Membuat Ezar tidak betah melihatnya.

Tunggu..

Kamar yang kecil?

Bukankah kamarnya sangat luas? Bahkan jika dibandingkan lebih luas kamar mandinya dibandingkan ruang kamar bernuansa pink ini.

"Aku .. ada di mana?" tanya Ezar pada dirinya sendiri.

Ezar berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi dan kenapa dirinya bisa ada di sini. Ezar hanya ingat kalau kemarin ia bertemu dengan seorang gadis gila yang memohon-mohon padanya lalu kepalanya tiba-tiba terasa pusing dan pandangannya mulai menggelap. Setelah itu Ezar tidak ingat apa-apa lagi dan Ezar langsung tersadar bahwa mungkin saja dirinya berada di rumah gadis gila itu sekarang. Ah, Ezar merutuki dirinya sendiri karena sudah jatuh pingsan di jalanan.

Sekarang ke mana perginya gadis gila itu?

Ezar melempar handuk kecil yang menempel di keningnya. Mungkin itu untuk mengompresnya semalaman. Diduga Ezar mengalami demam setelah jatuh pingsan. Kemudian Ezar merasa telah menduduki sesuatu di bawah sana karena terasa ada yang mengganjal. Tangannya pun menarik benda yang terasa mengganjal itu. Sebuah tali. Ezar semakin kencang menarik tali itu dari bawahnya.

"Apa ini?"

Ezar mengerutkan keningnya. Ia baru saja menduduki sebuah bra milik gadis gila itu. Bra berwarna pink dengan gambar princess pada cup-nya. Ezar mengerjap. Sangat kekanakan. Tanpa sadar Ezar pun mengukur cup bra yang terbuat dari busa itu dengan telapak tangannya.

"Ternyata ukuran miliknya sangat kecil," gumamnya.

Ceklek

Ezar menoleh dan matanya langsung bertatapan dengan Embun yang baru saja hendak masuk ke dalam kamar.

"Sudah kuduga ternyata kau yang membawaku ke mari," sahut Ezar.

"I-Itu..."

Embun menunjuk ke arah benda yang dipegang oleh Ezar dengan gemetar. Wajah Embun pun memerah padam. Merasa bingung akhirnya Ezar melirik benda yang berada di tangannya itu Seketika mata Ezar langsung membulat. Sambil berteriak heboh Ezar melempar bra itu.

"Ah, m-maaf."

Embun hanya mampu menunduk malu. Bagaimana bisa pria yang baru saja dikenalnya sudah tahu ukuran miliknya? Dan kenapa bisa ada benda itu di sana?

Kemarin Embun bersusah payah membopong tubuh bongsor Ezar masuk dan langsung menidurkan Ezar di kasurnya sampai lupa kalau banyak pakaian dalam miliknya di atas kasur. Untungnya tadi pagi Embun sempat membereskan semuanya sebelum Ezar bangun. Tapi ternyata masih ada satu yang tersisa. Dan kenapa harus yang bergambar princess itu yang tertinggal?

"Maaf. Aku tidak sengaja." Ezar pun mengusap tengkuknya dengan canggung.

"I-Iya. Lupakan saja."

Kemudian Embun meletakkan nampan berisi bubur dan teh hangat itu di kasur sambil berusaha bersikap seperti biasa. Tapi nyatanya wajahnya itu masih berwarna merah. Ezar pun mengamati pergerakan Embun.

"Makanlah. Sepertinya kemarin kau masuk angin dan demam." 

Lalu Embun pun terburu-buru pergi keluar kamar. Setelah Embun keluar kamar Ezar pun menghela napas lega. Kini Ezar jadi merasa bersalah. Pasti gadis itu sangat malu sekarang. Bagaimana bisa Ezar melakukan hal konyol yang tidak pernah ia lakukan selama hidupnya? Astaga. Sepertinya memang benar kalau Ezar harus segera menikah karena akal pikirannya mulai tidak sehat.

"Mungkin setelah ini aku harus sedikit merayunya agar dia memaafkanku."

Kemudian Ezar pun segera menyantap bubur yang dibawakan oleh Embun. Perutnya kosong sejak kemarin. Tidak bisa berbohong, Ezar sangatlah lapar. Itulah yang menyebabkan dirinya tumbang kemarin. Semuanya terjadi karena pekerjaan.

...* * *...

"Carrel, kurasa hari ini aku tidak bisa pergi magang di cafemu."

"Apakah sesuatu telah terjadi?"

Embun menghela napas kemudian memindahkan ponselnya ke tangan satunya. "Yah, begitulah. Ada seorang pria sakit di rumahku jadi aku harus merawatnya."

"Apa? Seorang pria? Siapa dia? Seumur hidup aku baru mendengar ada seorang pria datang ke rumahmu selain Roy dan para anak buahnya. Itu pun mereka datang hanya untuk menagih hutang."

"Hmm begitulah. Aku juga bingung kenapa ini bisa terjadi."

"Dari mana kau kenal pria itu? Jangan-jangan dia pria yang kau minta untuk menjadi suamimu ya? Bukankah kemarin kau bilang mau mencari suami?"

Embun menggigit bibir bawahnya. Bingung harus menjelaskan darimana. Ia sangat ingin menceritakan semuanya pada Carrel tapi.. rumahnya terlalu kecil dan membuat jarak antar ruangan sangat dekat. Jika Embun menjelaskannya saat ini juga di telepon Embun takut Ezar akan mendengarnya dan itu akan sangat memalukan.

"Carrel, sebenarnya-"

"Nona, aku sudah selesai memakan buburmu."

Suara itu tiba-tiba datang dari belakang tubuhnya. Embun terperanjat kaget dan hampir menjatuhkan ponselnya. Kemudian Embun melirik Ezar yang berdiri di belakang tubuhnya sambil membawa nampan berisi mangkuk dan gelas kosong. Rupanya pria itu menghabiskan sarapan yang Embun buatkan.

"Carrel, aku tutup ya. Nanti aku hubungi lagi."

Buru-buru Embun menutup sambungan teleponnya dan langsung mengambil alih nampan itu. Keduanya terlihat canggung dan gugup satu sama lain. Mungkin karena kejadian tadi. 

"Terima kasih atas makanannya," ujar Ezar dengan gugup.

Embun hanya mengangguk lalu melengos pergi ke dapur. Bahkan gadis itu tak berani bertatapan langsung dengan mata Ezar. Ternyata Ezar malah mengikutinya ke dapur lalu dengan setia menunggu Embun selesai mencuci mangkuk dan gelas kotor sambil memperhatikannya dari belakang. Ia sama sekali tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Setelah Embun selesai mencuci piring barulah Ezar berjalan mendekat.

"Namaku Ezar. Maaf sudah merepotkanmu dan membuatmu malu karena..." 

"Kalai soal yang itu tidak perlu dibahas dan dijelaskan lagi! A-Aku mengerti kok," tukas Embun dengan cepat.

"Baiklah kalau begitu."

Embun pun duduk di kursi makan agar Ezar juga mengikutinya. Kini mereka duduk saling berhadapan. Sekarang Embun merasa harus bersikap tegas karena mungkin ini kesempatannya untuk tidak membiarkan pria seperti Ezar hanya menumpang lewat di hidupnya. 

"Tuan Ezar, apakah anda tahu bahwa anda baru saja membuat seorang gadis malu karena ulahmu?" tanya Embun dengan nada tegas.

Ezar mengerjapkan matanya. Padahal baru saja Embun melarangnya untuk membahas hal itu lagi tapi sekarang gadis itu sendiri yang kembali membahasnya. Lalu dengan polosnya Ezar pun mengangguk. 

"Maaf."

"Akan aku maafkan jika kau jadi suamiku, bagaimana?" Raut wajah Embun langsung berubah menjadi sumringah. Alis Embun bergerak naik turun menunggu jawaban Ezar.

Ezar meringis. Apakah kesalahan yang Ezar lakukan sangatlah besar sehingga Ezar mendapat hukuman didesak untuk menikah oleh dua orang wanita? 

"Nona, dengarlah,  aku tidak sengaja menyentuh ... benda milikmu. Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa menyentuhnya sejauh itu. Aku tidak sengaja melakukannya." Ezar berusaha membuat pembelaan.

"Tuan Ezar, pertama-tama kenalkan aku Embun. Aku adalah gadis gila yang sudah menyelamatkanmu kemarin dan kau harus membayar jasaku, Tuan. Kau tahu bahwa di dunia ini tidak ada yang gratis."

Ezar berdecak. "Baiklah. Aku akan membayar berapa pun yang kau mau."  Ezar bersiap mengeluarkan dompetnya.

Namun dengan cepat Embun menahannya. "Bayarlah dengan jadikan aku istrimu," kata Embun dengan mantap.

"Apa? Apa kau bercanda, Nona?"

"Tidak, aku serius. Apalagi kau sudah menyentuh benda yang menjadi privasiku dengan sangat intim atau bahkan mungkin kau juga sudah sejauh itu sambil berimajinasi. Yang kutahu pikiran laki-laki itu tidak bisa ditebak," tukas Embun dengan sangat serius. 

"Nona, itu hanya sebuah benda maksudku ... aku juga tidak sengaja dan itu adalah sebuah pakaian, bukan benda aslinya. Bahkan aku juga sering melihat tetanggaku menjemur pakaian dalamnya dan itu sudah hal yang biasa bukan? Dan aku sama sekali tidak pernah berimajinasi kotor seperti yang kau pikirkan," tegas Ezar.

Embun menghela napas lalu menggeleng. "Tetap saja, Ezar. Seharusnya kau langsung melemparnya begitu tahu benda itu adalah benda pribadi milik perempuan."

"Nona, tapi-"

"Selain kau harus membayar jasa penyelamatanmu ini, anggap saja kau juga bertanggung jawab atas hal sudah menyentuh benda pribadiku."

Ezar menelan salivanya. Tidak. Ezar tidak siap menikah. Apalagi menikah hanya karena ia tidak sengaja menyentuh pakaian dalam wanita. Itu terdengar sangat tidak masuk akal. 

"Tidak. Aku tidak mungkin menikahimu hanya karena aku sudah menyentuh benda milikmu, Embun. Itu alasan yang sangat tidak masuk akal."

"Harus! Itu benda berharga yang seharusnya menjadi privasiku tapi kau malah-"

"Nona Embun, kenapa kau terobsesi sekali untuk menikah? Sebenarnya apa yang kau incar dari pernikahan? Apakah semua wanita begitu terobsesi pada sebuah pernikahan?" tanya Ezar dengan raut wajah yang serius. 

Embun kembali menghela napas. Wajahnya langsung berubah menjadi murung. Padahal ia juga muak mendapat caci maki dari orang-orang yang tidak tahu perjalanan hidupnya dan seolah merendahkan dirinya yang seperti sangat menginginkan pernikahan. Sebenarnya jika seseorang sangat ingin menikah itu wajar sekalipun ia tidak memiliki pasangan hanya saja pada kasus Embun ini ia sampai rela menawarkan dirinya di tengah kota kemarin dan Ezar menjadi saksi.

Walau begitu, Ezar terlihat seperti pria yang baik meskipun tutur katanya sangat sarkas jadi Embun sangat berharap besar pada Ezar. Jika Embun menceritakannya masalahnya pada Ezar, kira-kira maukah Ezar membantu dan menikahinya? 

Oke, mungkin cara terakhir adalah meminta belas kasihan dan mencari simpati.

"Hari ini akan ada orang yang datang ke mari untuk menagih hutang." Embun buka suara.

Ezar menaikkan sebelah alisnya. "Lalu? Apa kau memintaku untuk membayarnya? Begitu kah?" 

Embun menggeleng pelan. "Hutangku sangat banyak. Aku bukan pengemis yang meminta uang seperti itu tapi orang itu akan mengambil tubuhku karena aku tidak sanggup membayarnya. Dia memberiku waktu sampai besok tapi aku yakin hari ini dia akan datang ke mari. Aku juga sudah berjanji padanya."

"Mengambil tubuhmu bagaimana? Apa tubuhmu akan dimutilasi lalu dijual organnya di pasar gelap?"

Embun tersenyum kecil sambil menggeleng. "Tidak, Tuan Ezar. Tubuh dan hidupku adalah jaminannya. Jika aku tidak sanggup bayar maka aku harus siap dijadikan bahan pemuas nafsu mereka. Mungkin aku akan jadi ****** untuk mereka." Embun pun menunduk.

"Apa itu yang mereka minta?" tanya Ezar yang mulai serius mencermati cerita Embun.

"Tidak. Sebenarnya aku yang sudah menjanjikan seperti itu agar mereka mau pergi dari rumahku dan berhenti untuk mencoba menghancurkan rumahku, Ezar."

"Kalau begitu bukankah kau memang murahan? Lagipula kau sendiri yang menjanjikan itu pada mereka. Bahkan kau lebih memilih mengambil pilihan menjual tubuhmu daripada rumahmu dihancurkan oleh mereka." Ezar tersenyum sinis.

Tangan Embun tiba-tiba terkepal. Murahan? Mungkin Ezar tidak mengerti apa inti dari ceritanya atau mungkin Ezar memang tidak peduli terhadap hidup seorang wanita. Sebenarnya bukan ini yang diharapkan Embun. Ia juga sangat terpaksa menjanjikan tubuhnya para Roy karena tahu kalau Roy itu penggila wanita. Hanya itu alibi yang bisa membuat Roy melemah.

Setelah mendengar respon Ezar pun Embun jadi semakin menyadari kesalahannya dan menyesal. 

"Tapi aku tidak murahan," lirih Embun sambil menunduk.

"Hei, jangan tersinggung. Aku berkata seperti itu karena melihatmu seharian memohon kepada para pria untuk menikahimu bahkan kau juga sempat berjanji akan memuaskan mereka. Itu saja sudah terdengar murahan bagiku."

"Benarkah? Apa seperti itu cara pria menilai tindakanku kemarin?"

Dengan ragu Ezar pun mengangguk. Pantas saja tidak ada yang mau menerima Embun karena mungkin Embun sudah terlalu agresif sampai-sampai dinilai wanita murahan oleh Ezar.

"Kumohon, Tuan Ezar ... bantulah aku. Aku tidak ingin tubuhnya dipermainkan oleh para preman itu. Nikahilah aku," pinta Embun dengan penuh permohonan.

Mata gadis itu berkaca-kaca menatap mata elang Ezar. Pria itu hanya menghela napas. Apa ini? Seorang gadis kembali memohon agar Ezar segera menikahinya? yang benar saja. Ezar tidak suka gadis gila seperti Embun. Apalagi mengetahui kalau Embun ini punya banyak hutang. Meski Ezar kaya tapi dia beranggapan kalau latar belakang hidup Embun ini tidak baik. Sangat jauh dengan ekspetasi Ezar untuk wanita yang akan menjadi istrinya.

"Maaf Nona, kau salah orang jika ingin meminta bantuan seperti itu. Lagipula aku tidak ingin menikah dalam waktu dekat dan mungkin tidak berencana menikah. Terima kasih atas semua bantuanmu. Aku pamit dulu."

Ezar pun bangkit dan setelah ini dia berniat langsung pergi. Masih banyak pekerjaan menantinya. Ezar tidak ingin mendengar kata-kata pernikahan lagi. Cukup hanya mamanya saja yang memintanya menikah. Jangan ada gadis lain yang membebani Ezar juga. 

Begitu keluar rumah Embun ponsel Ezar berdering. Itu telepon dari Marisa, mamanya.

Ah, Ezar lupa mengabari kalau ia menginap di rumah Embun. Pasti wanita itu khawatir karena dirinya tidak pulang semalam. 

"Iya halo, Ma."

"Ezar kau ada di mana?"

"Sedang dalam perjalanan pulang, Ma. Jangan khawatir."

"Apa kau menginap di rumah calon istrimu?"

Ezar mendengus "Tidak. Sudahlah Ezar juga sedang mau pulang."

"Kau harus pulang membawa menantu Mama."

Ezar seketika baru ingat soal perdebatan dengan mamanya kemarin. Lagi-lagi soal pernikahan. 

"Ma, Ezar-"

"Mama tidak mau tau, Ezar. Ingat perkataan Mama kemarin? Kalau hari ini kau tidak datang dengan kekasihmu maka Mama akan menjodohkanmu dengan Bella. Jadi berhenti menyembunyikan menantu Mama dan segera bawa ke rumah."

"Tapi Ma-"

Sambungan telepon langsung terputus. Marisa yang mematikan teleponnya duluan seperti tidak mau tahu lagi. Ezar pu  meremas rambutnya. Sekarang Ezar harus apa? Pasrah menerima perjodohan begitu saja? Oh, sial. Ezar kenal dengan gadis bernama Bella yang tadi mamanya maksud. Bella adalah anak teman bisnis orang tuanya dan Ezar sangat kenal dengan Bella.

Bella adalah gadis paling menyebalkan yang pernah Ezar temui. Selain manja, Bella juga sangat licik. Ezar tidak suka. Lantas apa jadinya jika Ezar dijodohkan lalu menikah dengan Bella? Mungkin inilah akhir hidup Ezar.

"Ekhem."

Lamunan Ezar buyar saat tiba-tiba ada tiga orang pria berbadan besar dan berpakaian serba hitam itu berdiri di depannya. Oh, mungkin ini orang yang dimaksud Embun. Ezar langsung menegakkan badannya. Ia tidak ingin terlibat tapi tetap ingin membantu Embun sedikit. 

"Siapa?" tanya Ezar hanya sekedar iseng.

Namun ketiga pria berbadan besar itu tidak menjawab dan malah berteriak memanggil Embun. Mereka mengabaikan Ezar karena tidak kenal.

"Embun, keluarlah!" sahut Roy.

Tak lama Embun pun keluar. Ezar bisa melihat tubuh Embun yang langsung bergetar dan wajah gadis itu pucat. Jadi gadis itu benar-benar sedang dalam masalah yang rumit ya? Setakut itukah Embun jika tubuhnya diambil?

"Roy."

"Bagaimana? Apa yang akan kau berikan hari ini? Uang atau ... tubuhmu?" tanya Roy dengan senyuman jahatnya.

Embun meremas bajunya. Gadis itu menarik napas dalam dan berusaha tidak terlihat tegang atau ketakutan.

"Kemarin kubilang kan besok atau lusa. Itu artinya hari ini atau besok, Roy."

Roy berdecak. Tapi kemudian matanya melirik Ezar sebentar. "Baiklah. Jangan berusaha terlalu keras untuk mencari uang penggantinya, Embun. Aku lebih menginginkanmu daripada uang itu." Roy mencolek dagu Embun sambil tersenyum genit.

Roy pun langsung pergi sambil tertawa bersama kedua anak buahnya. Mereka senang sekali melihat wajah Embun yang ketakutan. Selepas Roy pergi tubuh Embun langsung lemas dan nyaris terjungkal. Ezar dengan sigap menahan punggungnya.

"Kau baik-baik saja?" 

Embun mengangguk. "Kukira kau sudah pergi."

"Jadi dia pria yang ingin mengambil tubuhmu?" 

Embun kembali mengangguk dengan pelan.

"Jadi tujuanmu mencari suami kaya raya adalah untuk membayar semua hutangmu? Begitukah?"

Lagi-lagi Embun mengangguk. Syukurlah jika Ezar mengerti tujuannya karena setidaknya ada satu orang yang mau memahami masalah hidupnya.

Ezar berdecak. "Kau benar-benar murahan, Embun. Bagaimana bisa kau berpikir mencari pria yang mau menjadi suamimu di pinggir jalan lalu kau berniat meminta uangnya untuk menutupi semua hutangmu? Ternyata kau bisa sangat licik."

Embun menghela napas kasar. Gadis itu memberanikan diri menatap Ezar dengan tajam. Ezar tertegun melihat mata Embun yang penuh dengan linangan air mata namun masih bisa menatapnya dengan penuh kebencian. 

"Kalau begitu pergilah! Aku tidak butuh dikatai murahan seperti itu! Ya, aku memang licik dan murahan tapi seperti inilah caraku bertahan hidup, Tuan Ezar! Sekarang pergilah dari rumah gadis gila yang murahan ini!" teriak Embun.

Kemudian Embun langsung masuk ke dalam rumah. Embun muak. Sangat muak. Ia juga membenci Ezar. Pria kaya yang sok baik tapi nyatanya hanya bisa menghinanya. Ezar bahkan tidak tahu apa-apa tentang alur hidup Embun.

Tiba-tiba Ezar menahan pintu yang akan ditutup oleh Embun. Mata mereka pun bertemu. Embun sudah kepalang menatap pria yang sudah ia tolong dengan tatapan kebencian. Ezar juga melihat ada setetes cairan bening yang mengalir dari mata itu.

"Cepat ganti pakaianmu lalu ikut denganku," ujar Ezar dengan wajah datar.

"Apa?"

"Ikut denganku jika kau mau aku menikahimu."

Terpopuler

Comments

Baiq Dwi Yunita Ratmawa

Baiq Dwi Yunita Ratmawa

ceritanya bgs

2020-06-09

0

Hanik Suyanti

Hanik Suyanti

mantap

2020-03-06

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!