Seorang pria berpakaian kasual dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya itu turun dari mobil hitam mewahnya. Kakinya langsung melangkah masuk ke dalam rumah besar yang menjadi istana kesayangannya. Rumah itu bahkan ia bangun sendiri dengan usaha dan kerja kerasnya. Meskipun orang tuanya sangat mampu memberikannya rumah secara cuma-cuma, tapi pria itu tetap bersikeras ingin berusaha diatas kakinya sendiri.
Begitu masuk pria itu langsung pria itu langsung disambut hangat oleh asisten rumah tangga yang sudah bekerja pada keluarganya sejak ia masih remaja.
"Selamat pagi, Tuan Ezar. Anda sudah kembali dari luar kota dengan cepat."
Pria bernama Ezar itu tersenyum kecil.
"Aku membawakan oleh-oleh untuk Bi Lasri. Minta tolong ambilkan saja pada pak Remon di bagasi, Bi."
Bi Lasri tersenyum. Setiap pulang dari luar kota atau luar negeri Ezar selalu membelikan oleh-oleh untuk para pekerja di rumahnya. Meskipun di luar sana Ezar terkenal arogan tapi sebenarnya pria itu masih punya hati yang sangat baik dan selalu memperhatikan orang-orang di sekitarnya.
"Terima kasih banyak, Tuan. Anda selalu tak pernah lupa membelikan saya oleh-oleh."
Ezar mengangguk kecil. "Kalau begitu aku mau membersihkan diri dulu. Hari ini aku harus kembali ke kantor."
Bi Lasri pun mengerjap. "Tapi anda baru saja kembali dari perjalanan jauh, Tuan. Apa tidak sebaiknya anda beristirahat dulu?"
"Tidak apa-apa lagipula hanya sebentar."
Bi Lasri hanya mengangguk pasrah. Ezar itu selalu bekerja keras sampai tidak kenal lelah. Bi Lasri lah yang selalu mengingatkan Ezar jika pria itu sudah terlalu banyak bekerja. Bi Lasri sudah seperti ibu pengganti bagi Ezar karena itu bi Lasri selalu khawatir jika Ezar tak memiliki waktu untuk istirahat.
Lihatlah sekarang bahkan di wajah pria itu terlihat jelas raut lelah akibat perjananan jauh. Tapi Ezar tetap ingin memaksakan diri ke kantor. Apakah perjalanan selama keluar kota kemarin itu belum cukup untuk mengurus pekerjaannya?
"Tuan, Nyonya Marisa dan Tuan Alfred ada di atas," sahut bi Lasri.
Ezar langsung berhenti melangkah ketika mendengar nama orang tuanya.
"Mereka sudah kembali dari Inggris?"
Bi Lasri mengangguk. "Mereka sangat ingin bertemu dengan tuan Ezar. Katanya ada urusan penting yang harus dibicarakan."
...* * *...
"Mama, Papa."
Kedua orang tua yang sedang duduk sambil menonton tv itu langsung menoleh. Mama Ezar lah yang paling heboh dan langsung berlari memeluk Ezar ketika melihat putranya sudah tiba. Ezar tertegun karena ia juga sangat merindukan ibunya.
"Astaga, Ezar! Mama rindu sekali denganmu."
Ezar membalas pelukan mamanya. "Ezar juga rindu Mama dan Papa. Kenapa kalian tidak bilang kalau mau pulang hari ini? Mungkin Ezar bisa menjemput kalian di bandara."
Marisa langsung melepaskan pelukannya. Tuan Alfred memberikan tepukan hangat di bahu Ezar. Tentunya sepasang suami istri itu tidak percaya melihat Ezar sudah tumbuh menjadi pria dewasa yang gagah dan tampan. Tiga tahun berpisah membuat nyonya Marisa dan tuan Alfred merasa pangling dengan anak mereka sendiri.
"Kami sudah tiba sejak semalam lalu Ibumu ingin segera bertemu denganmu. Jadinya kami langsung menginap di sini meskipun kau tidak ada," sahut tuan Alfred.
"Ya, Ezar juga mendengar dari bi Lasri bahwa kalian sangat ingin bertemu denganku. Tapi kenapa tidak menghubungiku dulu? Ini seperti sebuah kejutan padahal aku tidak sedang ulang tahun." Ezar pun terkekeh pelan.
"Katanya kau sedang mengurus proyek di luar kota jadi kami tidak ingin mengganggumu," sahut Marisa.
Ezar menghela napas. "Setidaknya kalau kalian mengabari mungkin aku bisa pulang lebih cepat."
"Tidak perlu, Ezar. Lagipula kepulangan kami kali ini ingin membicarakan sesuatu yang penting," ujar Marisa sambil melirik suaminya.
"Apa yang mau kalian bicarakan?"
"Jadi kami ke sini untuk-"
"Tunggu, Ma! Kalau begitu biarkan Ezar membersihkan diri dulu, Ma." Ezar menyela.
Ezar merasa tubuhnya lengket dan harus segera mandi. Ezar juga merasa tidak betah jadi ia harus langsung membersihkan diri apalagi setelah perjalanan jauh yang ditempuhnya.
"Ezar mandi dulu ya, Ma, Pa."
Ezar baru saja hendak melesat masuk ke kamarnya namun niatnya yang ingin mandi terlebih dahulu itu seperti dilarang oleh Marisa.
"Ezar, tunggu dulu." Nyonya Marisa langsung menahan tangan Ezar yang ingin pergi mandi.
"Ada apa, Ma?" tanya Ezar bingung. Pasalnya wanita itu terlihat menggebu-gebu ingin membahas sesuatu.
"Sebenarnya Mama dan Papa ingin kau segera menikah, Ezar," tukas Marisa dengan cepat.
"Apa?!" Ezar langsung memekik dan matanya melotot karena terkejut.
Tuan Alfred terlihat menghela napas dan langsung menarik istrinya agar tidak menghalangi jalan Ezar.
"Sudahlah, Sayang. biarkan anak kita mandi dulu. Ini terlalu cepat untuk diberitahu detik ini juga," sahut Alfred pada istrinya.
Marisa pun menghela napas. Mungkin memang benar kata Alfred. Wanita itu terlalu tidak sabar untuk membahas hal ini. Masalahnya sudah sejak lama juga Marisa menginginkan putra semata wayangnya segera menikah jadi jangan aneh kalau di sini Marisa lah yang paling antusias. Sementara Ezar langsung terdiam, masih berusaha mencerna perkataan ibunya.
Tiba-tiba Sang ayah memeluk bahunya.
"Ezar, kita bicarakan itu nanti. Kau urus saja dirimu dulu. Maafkan Ibumu yang terlalu tidak sabaran ini," bisik pria setengah baya itu.
Ezar menelan salivanya. Dengan ragu Ezar pun mengangguk lalu melenggang masuk menuju kamar pribadinya. Dalam hatinya Ezar berharap semoga saja ibunya itu hanya bergurau barusan.
...* * *...
Lima belas menit cukup untuk Ezar membersihkan dirinya. Ezar sudah kembali rapi dengan kemeja kantornya. Walaupun hari sudah siang dan ia baru kembali dari luar kota, Ezar tetap harus pergi ke kantor untuk mengurus beberapa urusan di sana. Sebenarnya Ezar sedang mengalami kesulitan di perusahaan karena beberapa kendala yang lambat ia selesaikan. Bulan kemarin Ezar terlalu banyak bersantai sehingga sekarang semua pekerjaan jadi menumpuk dan terhambat.
Belum lagi ada beberapa pegawai yang bermasalah. Saat ini Ezar juga sedang mempertimbangkan beberapa pegawai untuk ia pecat. Namun tentu tidaklah mudah melepas pekerja disaat perusahaan sedang membutuhkan bantuan banyak orang. Ezar bahkan tidak bisa tertidur nyenyak beberapa hari ini. Sebisa mungkin Ezar menyelesaikan semuanya dengan tenang.
Ezar langsung menemui orang tuanya di ruang keluarga. Tampaknya kedua orang tuanya pun sudah menunggunya sejak tadi. Terlihat dari Marisa yang langsung antusias melihat kedatangan Ezar.
"Duduklah, Nak," titah Alfred.
Ezar pun langsung duduk di samping ibunya.
"Jadi, apa maksud ucapan Mama tadi?" tanya Ezar tanpa basa-basi.
Kali ini Marisa tidak berniat menjawab dan malah melirik Alfred. Wanita itu ingin suaminya sendiri yang mengatakan semuanya dengan jelas agar Ezar lebih mudah mengerti karena sejak kecil Ezar cenderung lebih mengerti dan menurut jika papanya yang berbicara daripada mamanya. Mungkin karena mereka sesama lelaki.
"Kami ingin kamu segera menikah, Nak. Kamu sudah dewasa dan sudah pantas menikah. Mama dan Papa ingin melihatmu segera menemukan pendamping hidup," jelas Alfred.
Ezar merasa seperti tersambar petir di siang bolong. Ternyata orang tuanya benar-benar serius membicarakan soal pernikahan ini. Ezar sungguh tidak siap membahasnya. Jangankan membahasnya, selama ini Ezar juga belum ada pikiran untuk menikah. Ia hanya sedang menikmati pekerjaannya apalagi kini ia juga sedang dipusingkan oleh masalah kantor. Lalu sekarang kedua orang tuanya malah tiba-tiba menyuruhnya menikah.
"Apa? Barusan Ezar tidak salah dengar kan, Pa?"
"Tidak sayang. Papamu benar. Kami ingin kau segera menikah," sahut Marisa.
"Jadi soal ini yang kalian bilang sangat penting itu?" tanya Ezar dengan sedikit tak percaya.
"Benar, Ezar. Dalam sebulan kedepan kami ingin kau harus segera menikah." Marisa tersenyum penuh arti.
"Tapi kenapa? Ezar belum siap bahkan Ezar sedang harus fokus mengurus perusahaan. Ezar tidak setuju," bantah Ezar dengan tegas.
"Ezar!"
"Ezar tidak mau menikah, Ma." Ezar terus membantah.
"Kau seorang pria yang sukses jadi sudah seharusnya kau memiliki pendamping hidup yang akan mengurusmu, Ezar."
"Ezar bisa mengurus diri sendiri, Ma. Selama ini pun Ezar sudah terbiasa melakukan apa-apa sendiri."
Marisa dan suaminya itu saling bertukar pandang kemudian menghela napas.
"Kalau begitu kau harus mau menikah dengan kekasihmu sendiri atau dengan perempuan pilihan kami," tegas Marisa.
Ezar mendengus lalu berdecak kesal. Ezar tidak suka dipaksa soal pernikahan karena pernikahan bagi Ezar adalah sesuatu yang sakral dan sangat bersejarah dalam hidup. Untuk sesuatu yang sangat bersejarah dan sakral, Ezar tidak ingin ada unsur keterpaksaan di dalamnya. Jadi bagaimana bisa pernikahannya ada secara sangat mendadak seperti ini? Semua harus punya persiapan yang sangat matang bukan? Andai orang tuanya mengerti akan hal itu.
"Sudahlah, Ma. Ezar harus ke kantor. Pokoknya Ezar belum siap menikah."
Kemudian Ezar langsung beranjak dan bersiap berangkat ke kantor. Alfred pun menatap tajam putranya.
"Ezar, apa kau tidak kasihan pada kami? Di usia Papa dan Mama sekarang ini sudah sepantasnya kami sudah memiliki cucu darimu," sahut Alfred.
Ezar menatap papanya dengan dingin. Setelah tiga tahun jarak antara Indonesia dan Inggris memisahkan mereka, Ezar sudah bisa bersikap dingin pada orang tuanya sendiri. Masa bodo. Ezar tetap tidak ingin menikah.
"Ezar! Jangan menatap Papamu seperti itu!" bentak Marisa.
"Terserah. Ezar hanya tidak ingin dipaksa menikah."
...* * *...
Kini Embun berada di area sekitar mall besar dan mewah. Area yang ramai dan pas untuk Embun mencari tujuannya apalagi Embun tahu jika orang yang datang ke mall itu rata-rata orang-orang berdompet tebal dan memakai pakaian berbandrol harga tinggi. Embun tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mencari pria kaya raya di sana.
Matanya mulai mencari dan melihat-lihat pria yang berlalu lalang di sekitarnya. Untungnya mata Embun sudah hafal dan berpengalaman mengetahui ciri-ciri luar mana pria yang kaya dan mana pria yang hanya kaya tampilan saja. Kaya tampilan saja itu sama dengan Embun. Selama ini Embun memakai dan membeli barang-barang mewah dari teman-temannya. Mana mungkin Embun sanggup membeli baju baju dan tas mahal jika pekerjaan Embun hanyalah pegawai di cafe kecil milik Carrel.
Embun pun mulai kesulitan sendiri memikirkan bagaimana cara ia mendapatkan pria kaya untuk menjadi suaminya.
"Bukan main-main. Pria di sekitar sini hampir semuanya berdompet tebal," gumam Embun.
Seketika ia langsung mendapatkan semangatnya setelah mengamati pria-pria yang berlalu lalang itu. Benar-benar kawasan elit dengan penghuni yang juga elit. Embun langsung memulainya dengan pria yang lewat di depannya.
"Ekhem. Permisi Tuan."
Berhasil. Pria itu pun menoleh.
"Ya?"
"Itu .. apakah kau sedang mencari seorang istri?" tanya Embun dengan malu-malu.
Pria itu lantas tertawa. "Tidak. Aku seorang gay, Nona."
Lalu pria itu pun pergi. Embun langsung terdiam di tempatnya. Tubuhnya langsung membeku sekaligus merinding. Apa benar bahwa ia baru saja bertemu dengan seorang gay? Sangat disayangkan. Embun baru saja bertemu dengan pria gay. Astaga. Padahal pria barusan itu sangat tampan dan Embun yakin dompetnya juga sangat tebal.
"Baiklah. Pria pertama adalah seorang gay. Masih banyak pria lain yang normal kan. Tidak mungkin semua pria di sini adalah gay."
Embun pun mulai dengan pria kedua yang memakai jas berwarna navy.
"Permisi, Tuan."
"Oh, hai Nona. Ada yang bisa kubantu?"
Bagus. Pria kedua ini terlihat sangat ramah.
"Namaku Embun. Aku--"
"Halo Embun. Aku Aldo," balas pria itu dengan cepat.
Embun merasa senang karena pria itu benar-benar bersikap ramah padanya dan langsung membuka dirinya pada Embun.
Semoga saja dia pria normal.
"Apa kau berniat mencari seorang istri?" tanya Embun dengan hati-hati.
Aldo tampak berpikir sejenak lalu tersenyum. "Ya, aku berencana menikah tapi tidak dalam waktu dekat ini karena aku ingin bosku harus menikah duluan. Sebagai teman dan rekan yang baik aku tidak ingin mendahuluinya menikah."
"Ah, begitu. Bagaimana kalau saat menikah nanti, aku yang menjadi istrimu, Aldo?"
Aldo langsung tertawa melihat kepolosan mata Embun saat mengatakan itu padanya. Menurutnya Embun seperti tidak memiliki beban sama sekali mengajak seorang pria asing menikah. Embun pun bingung dengan reaksi yang ditunjukkan Aldo. Apakah kalimatnya terlalu lucu untuk Aldo?
"Maaf, Nona Embun tapi aku sudah punya kekasih. Kami sudah bersama sejak masa sekolah."
Perkataan Aldo membuat Embun kecewa.
"Ah, begitu ya."
Embun langsung menunduk malu. Poin kedua adalah ia juga harus memikirkan pria yang sudah punya kekasih. Tidak mungkin kan Embun mengajak menikah pria yang sudah memiliki pasangan. Embun juga memikirkan perasaan kekasihnya itu. Tapi bagaimana Embun bisa tahu mana pria yang melajang dan mana yang sudah menjalin hubungan.
"Embun, jangan sedih. Mungkin aku bisa merekomendasikanmu pada bosku. Dia lajang dan membutuhkan kasih sayang."
Embun tersenyum. "Terima kasih, Aldo. Kau cukup menghiburku."
"Kalau begitu sampai jumpa lagi, Embun. Aku benar-benar akan merekomendasikanmu padanya."
Embun menghela napas. Ternyata tidak semudah itu mencari seorang pria lajang yang mau menikah apalagi menikahi Embun. Baru dua pria yang Embun temui dan mereka sama-sama sudah membuat Embun frustasi di awal. Apakah Embun harus menyerah begitu saja?
Tidak.
Embun tidak ingin menyerah begitu saja. Bagaimana bisa ia menggugurkan prinsip yang selama ini ia pegang teguh dalam hidupnya hanya untuk pria seperti Roy? Sangat konyol.
Baiklah, mulai sekarang Embun akan mencoba lebih agresif dan berusaha lebih keras lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Bunga Jasmine
jejak...
2020-07-01
1
Aenur Eni
hutang nya berapa ! byk sekal.i buat apa uang nya .tapi lucu cerita nya semangat
2020-06-16
0
Nur Ain
Kenapa jd berhutang sebanyak tu... Malah malas tak bekerja LG...
2020-05-30
0