Bab 11

Daren membawa adiknya ke rumah sakit, karena ia khawatir dengan keadaan Ana yang belum sadarkan diri, setelah di periksa dokter Ana hanya pingsan karena pengaruh obat bius tak lama lagi ia pun akan sadar penuturan sang Dokter, Daren yang masih khawatir bertanya lagi pada Dokter.

"Beneran adik saya baik-baik aja kan Dok?"

"Ia, nggak ada masalah yang serius, tapi kenapa dia bisa berakhir seperti ini?"

"Ada masalah sedikit tadi Dok"

Daren menjawab ambigu, karena ia tak ingin masalah Ana di ketahui orang lain.

Tak berapa lama Ana pun mulai sadar, ia merasa kebingungan karena kini ia sudah berada di tempat yang berbeda tepatnya ia kini terbaring di hospital bed, Gladis yang menyadari Ana sudah sadar bertanya pada sahabatnya itu.

"An, kamu udah sadar, Giman ada yang sakit nggak?"

"Nggak ada, tapi kok Aku bisa di sini?"

Ana masih bingung karena ia tak ingat sama sekali bagaimana ia bisa sampai di tempat ini.

"Kak, Daren yang bawa kamu ke sini"

"Oh, syukurlah, ternyata Kak Daren, sudah ku duga pasti kak Daren datang menyelamatkan ku"

"Itu....sebenarnya bukan kak Daren yang menyelamatkan mu, tapi Daffa"

Ana mengernyit kan keningnya.

"Maksudnya?"

Gladis menceritakan semua dari Daren yang minta tolong agar ia memeriksa keadaan Ana dan saat Gladis bertemu dengan Daffa di parkiran sekolah sampai saat Daffa mendobrak pintu dan menyelamatkan Ana yang hampir di lecehkan sama Adrian, bahkan Daffa juga sempat menghajar ke empat laki-laki yang kurang ajar itu.

Ana pun akhirnya mengerti, saat ia sudah merasa baikan ia pun meminta agar mereka pulang saja ke rumah, karena ia mau beristirahat di rumah saja, Daren pun menyetujui, sebelumnya mereka mengantar Gladis dan kemudian kembali ke rumah.

"Kamu istirahat aja, kakak mau pergi"

"Kakak mau kemana?"

"Keluar sebentar, udah kamu nggak usah khawatir, Aku nggak ngapa-ngapain"

"Janji nggak bikin masalah, ingat besok Mama sama Papa pulang"

"Iya, cerewet, kamu istirahat aja dulu"

Ana pun mengangguk menyetujui perintah kakak nya.

Ana sedang berbaring di atas kasurnya, tiba-tiba Bi Minah bertanya padanya apa ia nggak mau makan.

Ana sampai lupa kalau ia belum makan siang, tapi saat ini ia tak nafsu makan.

"Nggak Bi, ntar malam aja makannya"

Bi Minah pun mengerti dan meninggalkan Ana sendiri di kamar.

Ana kesal sendiri karena mengingat kelakuan Adrian yang sangat keterlaluan, tapi Ia lebih penasaran dengan Daffa yang sudah menolongnya, ia jadi bertanya-tanya, seorang Daffa mau membantunya, apa ia nggak salah dengar.

Entah mengapa tiba-tiba hatinya menghangat ketika membayangkan wajah Daffa saat pertama kali mereka bertemu, Pemuda itu berwajah dingin dan terkesan galak, bahkan mulutnya sangat tajam kalau sedang bicara padanya, Ana jadi berpikir apa yang selama ini Ana lihat hanya dari luarnya saja, tapi bukan dari dalamnya, ternyata orang yang ia kira jahat adalah orang yang membantunya.

"Besok Aku harus berterimakasih padanya!"

Di tempat lain...

Daffa sedang bermain game menggunakan ponselnya, ia sangat kesal karena selalu kalah saat bermain game online dengan teman-teman dunia maya nya, karena kesal ia melempar ponselnya ke tempat tidur, entah berapa kali ia mengganti ponselnya akibat rusak ia lemparkan sembarangan, kadang kalau sedang emosi ponsel itu hancur berkeping-keping, Marissa sampai kesal pada adiknya yang menghabiskan uang hanya untuk membeli ponsel baru.

Kemudian Ia beralih ke meja belajarnya dan menghidupkan laptop di atas meja belajar itu, Ia ingin berinteraksi dengan sahabat dunia mayanya yang bernama Mr. D, tapi sepertinya temannya itu sedang tidak Online, Ia pun mendengus kesal.

Ia pun kembali ke kasur dan menjatuhkan tubuhnya terlentang, wajahnya menghadap ke langit-langit kamarnya, entak mengapa tiba-tiba ia membayangkan wajah seseorang yang sangat ia benci, dia membayangkan wajah Ana yang sedang pingsan saat dalam dekapannya.

Ia menutup matanya sambil mengacak-acak rambutnya, karena kesal sudah dua kali ia memikirkan gadis yang bernama Ana bahkan dalam rentang waktu beberapa jam, prilakunya sangat berbeda dengan dirinya yang dulu ia tak perduli dengan siapa pun, ia tak suka memikirkan orang lain apa lagi seorang perempuan, karena satu-satunya wanita yang ada di dalam hatinya hanyalah Mamanya, bahkan Marissa yang sudah mengurusnya dari kecil tak pernah ia perduli kan.

Bahkan kini ia penasaran dengan ke adaan Ana, ia juga tak tau kenapa tiba-tiba pikirannya di penuhi dengan Ana, hal itu lah yang membuatnya semakin kesal.

****

Ana sengaja datang lebih awal ke sekolah, ia membuat kotak sarapan berupa roti lapis berisi coklat yang terlihat sangat lezat, di atas kotak makanan itu ia membuat sebuah tulisan sebuah ucapan terimakasih dengan kertas memo berwarna putih.

Sebelum Daffa datang Ia meletakkan kotak itu di laci mejanya, tak ada maksud apa-apa, Ana hanya berpikir dengan cara ini ia bisa membalas Daffa yang sudah menolongnya kemarin.

Jam pelajaran pertama di mulai, Guru pun sudah masuk ke kelas mereka, pelajaran pertama adalah sejarah mereka pun menyerahkan tugas yang di berikan kepada mereka waktu itu, Ana dan Gladis mengumpulkan tugas, saat itu Ana teringat dengan ucapan Gladis yang ingin mengeluarkan Daffa dari kelompoknya, sebelum Gladis mengumpulkan tugasnya Ana memeriksa tugas Gladis, ternyata Gladis mencantumkan nama Daffa di sana, sehingga Ana menjadi lega, Gladis pun menyadari Ana sangat perhatian pada Daffa.

"Tenang aja, Aku nggak jadi mengeluarkan dia"

Ana melirik Gladis.

"Bukan gitu, Aku cuma nggak enak aja, kalau dia di hukum"

"Oh, gitu!"

"Udah...udah...jangan berisik nanti kita di marahin sama Pak Guru"

Ana mengalihkan agar Gladis tak melanjutkan pembicaraan mereka, yang ujung-ujungnya nggak berfaedah.

Mereka belajar dengan tekun tak ada suara berisik di kelas mereka, semua pada mendengar dan memperhatikan Pak Guru, kelas mereka termasuk kelas yang di huni murid-murid berprestasi dan hanya beberapa orang saja yang terbilang anak nakal, tapi mereka pun masih bisa di nasehati.

Saat jam istirahat...

Daffa mendapati sebuah kotak di dalam laci mejanya, ia memperhatikan kotak aneh itu, melihat ada sebuah tulisan berucap kan terimakasih, ia mengernyitkan kening, ia masih berpikir mencari tau siapa pengirim kotak bekal padanya.

Ia berjalan ke meja Ana dan melempar kotak bening itu ke meja Ana, sehingga membuat Ana dan Gladis terkejut, tindakannya itu juga menarik perhatian teman-teman yang masih berada di dalam kelas.

Ana memejamkan mata, kemudian ia berdiri menghadap Daffa, memberanikan diri menatap mata Pemuda itu.

"Ada apa?"

"Apa maksudnya itu?"

Daffa menunjuk kotak yang ia lempar di meja Ana, beruntung kotak itu tak jatuh ke lantai.

"Oh, ini, ini makanan, kenapa rupanya?"

"Siapa suruh di letakkan di tempat ku?"

"Ya, karena ini untuk kamu, ya Aku letakkan di tempat mu lah!"

"Aku nggak butuh, makanan sampah seperti itu"

"Apa kamu bilang, ini makanan sampah"

Kini Ana emosi mendengar ucapan Daffa yang terlalu sombong, ia pun membuka kotak itu dan mengeluarkan isi bekal itu, dengan cepat ia memasukkan makanan itu ke mulut Daffa, sehingga Pemuda itu dengan spontan membuangnya, namun ia masih bisa merasakan roti lapis itu, rasanya lumayan tapi ia tak mau mengakui.

"Gimana, rasanya seperti sampah nggak?"

"Dasar brengsek"

Daffa mengangkat tangannya ingin menampar Ana, namun tangannya masih tergantung, karena sebenarnya ia tak suka memukul seorang wanita.

Gladis yang melihat Ana dan Daffa merasa bingung,

"Eh...udah...udah...kalian ini kalau ketemu selalu aja bertengkar, jangan-jangan kalian sebenarnya saling suka"

"NGGAK MUNGKINNNN!!!"

Ana dan Daffa mengucapkan kata-kata yang sama, membuat Gladis tersenyum dan meyakini ke dua orang ini sebenarnya jodoh.

Karena kesal akhirnya Daffa memutuskan untuk pergi meninggalkan Ana dan Gladis.

"Ih, kesal banget, tau gitu ngapain Aku capek-capek buatin dia bekal, dasar nggak tau berterimakasih"

"Udah, nggak usah di pikirin, kamu kayak nggak kenal Daffa aja, sifatnya kan memang gitu, kalau dia lembut dan perhatian berarti dia bukan Daffa tapi Teddy"

Gladis menyimpulkan sendiri, dan Ana pun menyetujui pemikiran sahabatnya itu, Karena Daffa tak menerima bekalnya akhirnya Ana dan Gladis yang menghabiskan roti lapis itu.

"Dasar si Daffa, roti enak begini dia nggak mau"

Ucap Gladis yang sedang mengunyah roti dengan lahap.

"Nggak usah sebutin nama dia lagi, selera makan ku jadi berkurang"

Ucap Ana karena ia masih kesal mengingat tingkah Daffa yang sombong.

Terpopuler

Comments

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

😁😄🤣

2024-08-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!