Hai, kenalin, namaku Adeeva. Aku adalah seorang guru honorer di desaku. Guru honorer termuda diantara guru-guru yang lain. Aku baru saja lulus dari bangku SMA dan langsung mendaftar untuk bakti disalah satu sekolah dasar di desa ini.
Sebagai seorang guru, aku tentunya harus mengabdikan diriku untuk mendidik tanpa melihat seberapa besar aku digaji. Yah, kalian tentu tahu berapa gaji seorang guru honorer. Cuma cukup untuk membeli segelas affogato dingin. Tapi ini bukan tentang affogato sih.... Ini tentang 'KAMI'.
...Jadi begini ceritanya......
...****************...
Kriingggg..... Kriiinggg...
Alarm terus berbunyi kencang memecah kesunyian kamarku. Namun aku masih enggan untuk bangkit dari tempat tidurku karena semalam sungguh sangat melelahkan. Warung mi yang dikelola oleh ayahku sangat ramai pembeli. Memang sama seperti hari-hari biasanya sih, namun entah mengapa semalam sangat diluar ekspektasi kami.
"Adeeva.... Adeeva... " suara ibu menusuk gendang telingaku. Seperti samar-samar terdengar. Aku bergegas bangun dan membukakan pintu kamar.
"Ya bu... " jawabku lirih dengan mata masih setengah tertutup.
"Sudah jam berapa ini? " tanyanya.
Aku menolehkan kepala ke arah jam dinding kamarku. Ya Tuhan, sudah pukul 6.30 ? Aku langsung berlari masuk ke dalam kamar mandi. Hari ini senin ada upacara. Kalau sampai aku terlambat, aku pasti akan sangat malu. Anak-anak murid ku pasti menganggapku bukan guru yang baik dan patut untuk dicontoh. Kepala sekolah juga pasti akan menegurku. Bagaimana ini?
Ibu hanya tersenyum melihat aku yang kocar kacir tidak menentu. Ibu sangat tahu bagaimana karakter anak gadisnya ini. Susah sekali untuk bangun pagi. Bahkan sholat subuh saja aku sering kesiangan. Kebiasan buruk yang sepertinya sudah boleh untuk aku buang jauh-jauh.
Sebenarnya dulu aku sangat mudah untuk bangun pagi, tapi sejak kami membuka usaha warung mi yang buka sampai tengah malam, aku jadi sering kesiangan bangun pagi. Jadi sekarang siapa yang harus disalahkan? Aku? Atau warung mi ayah?
Setelah selesai berkemas, aku langsung turun ke bawah. Ibu menyuruhku untuk sarapan dulu, tapi aku sudah tidak punya waktu. Segera aku berlari untuk mengambil sepatu heel ku yang aku beli lewat majalah trendy. Heel dengan tinggi 10 cm itu bagaikan sendal jepit bagiku kalau dalam situasi seperti ini.
"Bu... Adeeva pergi ya..." teriakku berpamitan.
“Kamu nggak sarapan dulu Deev?” Tanya ibu.
“Adeev uda telat nih Bu... Besok aja lagi ya?” kataku sambil terus berlari keluar warung.
Ibu cuma bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah ku.
Aku langsung berlari-lari kecil melewati toko-toko. Bertemu banyak orang dengan berbagai aktivitas mereka. Ada seorang ibu tukang sapu. Sepasang suami istri tua yang baru keluar dari masjid. Abang-abang yang hendak membuka toko-toko mereka. Aku memberi senyum pada mereka meski dalam situasi genting seperti sekarang ini. Sebab melempar senyum pada mereka sudah seperti kebiasaan bagiku setiap pagi.
Matahari pagi yang cerah kemerahan, mulai muncul malu-malu disebalik gunung yang hijau. Ini adalah pulau yang indah. Di sini tak banyak fasilitas yang memadai. Pembangunan di desa ini juga dapat dikatakan belum merata. Mungkin karena pulau, jadi pemerintah belum menjangkaunya sampai ke sini. Namun soal pemandangan, pulau ini sangatlah Indah. Kalau tidak masuk dalam rekomendasi pulau yang wajib di kunjungi, mana mungkin warung kami sering kedatangan pembeli bule dari luar negeri.
Seperti beberapa hari yang lalu, saat ayah sedang memasak mi pesanan pelanggan. Seorang bule masuk dan menanyakan apakah ada daging?
"Excuse me, is there meat? "
"Mit.. mit apa? ' tanya ayah yang tidak mengerti maksud si bule.
" Meat... meat... " Bule itu kembali mempertegas namun ayah tetap tidak mengerti. Si bule sepertinya tidak begitu mahir berbahasa Indonesia dan ayah juga buta akan bahasa Inggris. Mereka memang sangat cocok jika bertemu. Hehe.
Langsung ayah menyuruh ibu untuk memanggilku. Aku sih memang tidak begitu hebat juga dalam berbahasa Inggris, yah tapi setidaknya ada beberapa kosa kata yang aku mengerti artinya.
"Meat...? Oh daging.. ? " Aku menunjukkan padanya daging sapi. Dia mengangguk dengan ekspresi bahagia.
"Daging yah... dia minta mi pakai daging. " Jelasku pada ayah.
Bule itu kembali bertanya...
" Cold drinks? "
" Here... " Aku menunjukkan kulkas minuman di dekat rak jus. Bule itu langsung membukanya dan mengambil dua botol teh botol.
Kalau ingat kejadian itu, aku dan ayah juga ibu suka tertawa. Lucu. Ditambah saat bule itu akan membayar. Ayah tak tahu cara mengatakan tagihan yang harus dia bayar dalam bahasa Inggris. Akhirnya aku sebutkan jumlah tagihan makanannya. Bule itu tampak takjub mendengar bahasa inggris ku yang lumayan bagus.
Dia mengatakan... "Nice... very nice.. " Aku pun mengucapkan terimakasih padanya. Dan berharap dia akan mampir lagi ke warung kami di lain waktu. Jika ingat kejadian itu, aku berasa seperti menjadi tourget.
"Buru-buru amat dek? " sapa salah seorang penjaga toko
"Iya nih, uda telat bang...” Jawabku seraya terus melangkah.
Jarak dari warung ibu ke sekolah memang lumayan jauh. Mungkin sekitar 1 kilometer, tapi aku sudah terbiasa dengan heel-ku berjalan sejauh itu untuk sampai ke sekolah. Aku juga sebenarnya tidak sendiri, nanti di tengah jalan aku akan bertemu dengan teman seperjuanganku. Namanya Kak Una. Kak Una sudah lebih dari 15 tahun mengabdi sebagai guru honorer. Umur nya juga mungkin sudah sekitar 38 tahunan... dia belum menikah.
"Assalamu'alaikum... kak Una..." Aku memanggilnya dari luar.
"Iya waalaikumsalam. Yuk..." Ajak kak Una.
Kami pun kemudian berangkat bersama menuju sekolah. Dari rumah kak Una ke sekolah memang tidak jauh lagi, mungkin sekitar 500 meteran.
Letak SDN 1 tempat aku mengajar berada di kaki gunung. Lokasinya jauh dari jalan raya. Jadi tidak ada bising kendaraan yang mengganggu kegiatan belajar mengajar. Di sana lah ratusan anak menimba ilmu untuk masa depan mereka. Berbagai latar belakang mereka dan karakter mereka aku temui disini. Ada yang mudah di mengerti ada juga yang sangat sulit untuk didekati. Ada yang patuh, tapi ada juga yang suka menentang. Namun aku tahu, aku disini bukanlah hadir sebagai hakim untuk menghukum mereka jika salah, aku hadir disini adalah sebagai lentera untuk menerangi mereka dengan ilmu pengetahuan. Jadi, seberat apapun yang kujalani dalam mendidik mereka, aku senang dan bahagia. Aku harus ikhlas. Harus punya kesabaran yang luas. Sebab aku sadar, jika aku sedang mendidik masa depan negeri ini. Yang mana juga akan menjadi masa depanku dikemudian hari.
Sesampainya disekolah. Kak Una mengajakku untuk sarapan terlebih dulu mumpung bel belum berbunyi. Makanan favorit kami adalah nasi goreng Wak Ti di kantin sekolah. Ditambah dengan mi gorengnya sedap sekali. Untung aku tidak terlambat, jadi sempat sarapan. Kalau tidak... bisa sempoyongan saat upacara.
Belum lama kami menyantap makanan kami, bel pun berbunyi. Aku dan Kak Una bergegas menuju kantor untuk menaruh tas. Bersiap menuju ke lapangan untuk mengikuti upacara bendera. Hari ini kepala sekolah sendiri yang menjadi pembina upacara. Semua siswa sudah berkumpul di lapangan. Membentuk barisan rapih dan tertip. Tapi namanya anak-anak SD, sudah di arahkan tapi masih saja ada yang tidak mau mengikuti. Apalagi murid-murid dari kelas 1, sungguh menguji ke imanan dan kesabaran. Heh...
Siswa kelas enam menyanyikan lagu Indonesia Raya saat bendera sedang di naikkan. Semua mengangkat tangan hormat pada Sang Saka Merah Putih. Bendera kebanggaan kita semua. Dan hari ini, upacara berjalan dengan lancar dan khitmad.
" Hari ini ngajar dikelas berapa?" Tanya kak Una selesai upacara bendera.
" Kelas 3 kak " jawabku.
" Haduh, yang sabar ya... " Kak Una membuatku tersenyum.
" Emangnya kenapa kak? " Tanyaku.
" Si Fedi tau kan? Keponakannya kepala sekolah. Ampun dah, itu anak bandelnya luar biasa. Kakak selalu habis kesabaran kalau sama dia. " Kak Una berkata setengah berbisik. Dia mungkin takut jika ibu kepala sekolah mendengarnya.
" Ada-ada aja kakak... " Jawabku sambil tertawa.
"Serius Deev. Kakak ya kalau masuk kelas Si Fedi ini,.dijamin kalau migrain kakak bakalan kambuh. Ya uda ya, kakak mau ke kelas 6 dulu.. " Katanya sambil berlalu.
Aku menarik nafas panjang. Bagiku sih sebenarnya tidak ada anak yang nakal, tapi yang ada hanyalah anak yang mencari perhatian. Aku tahu cerita tentang Fedi ini. Dia anak yang ditinggal oleh ibunya. Ayahnya kemudian menikah lagi dan tidak membawanya turut tinggal bersama mereka. Jadi Fedi di asuh oleh ibu kepala sekolah. Namanya anak yang tidak mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuanya, sudah tentu dia tumbuh menjadi anak yang tidak terarah. Dia jadi gampang emosi. Suka melawan. Tidak mau mendengar dengan baik. Itu semua dipengaruhi oleh rasa sedihnya yang tak dapat dia ungkapkan.
Aku melangkah menuju ruang kelas 3. Suara hiruk pikuk dan tangisan seorang anak sudah terdengar dari luar. Aku langsung mempercepat langkah kakiku. Saat aku tiba di depan pintu, Fedi sedang menarik rambut salah seorang murid perempuan.
"Ya Allah, Fedi... Lepasin... " Aku berteriak dari depan pintu kelas. Namun Fedi tidak menghiraukan teriakan ku. Aku lantas menghampirinya dan memegang tangannya dengan cepat.
"Fedi... ada apa ini Nak? " Tanyaku. Dia menatapku tajam. Auranya jelas dia sedang menentangku.
"Biarin... " Katanya lalu dia berlari ke kursinya.
"Sakit? " Tanyaku pada anak perempuan itu. Dia hanya menganggukkan kepala.
"Rasain... " teriak Fedi.
"Fedi... nggak baik kayak gitu Nak. Sekarang minta maaf sama temannya." Perintahku padanya.
"Nggak mau... " Dia lalu berlari keluar kelas.
Aku tidak mengejarnya. Aku membiarkan dia melakukan apa yang bisa membuat jiwanya lebih tenang. Aku menyuruh semua murid untuk kembali duduk dan memulai kegiatan belajar.
Anak itu unik. Mereka tak dapat kita tebak. Apa yang membuatnya sering marah dan menentang kita itu semua hanya dia yang tahu. Namun yang harus kita pelajari adalah bagaimana untuk menumbuhkan rasa sabar yang besar saat berhadapan dengan jenis anak seperti ini.
Fedi mungkin salah satu murid yang sulit untuk di mengerti. Masalah hidupnya yang begitu kompleks harus dia rasakan diusianya yang masih 10 tahun itu, membuat dia tumbuh menjadi pribadi yang emosian. Karena dia tidak tahu, harus dengan cara apa untuk mengungkapkan rasa marahnya, kecewanya atau pun sedihnya.
Selang beberapa menit dari Fedi meninggalkan kelas. Tiba-tiba dia kembali lagi.
“Permisi Bu Adeeva...” kepada sekolah sudah berdiri didepan pintu kelas.
“Iya Ibu Kepala...” jawabku sambil menoleh ke arah pintu kelas. Aku melihat Ibu kepala sekolah sudah berdiri di depan pintu kelas. Dia bersama Fedi, keponakannya.
“Masuk kamu...” Kepala sekolah menyuruh Fedi masuk ke dalam kelas.
Aku lalu menghampiri mereka. Ku lihat Fedi wajahnya murung sekali. Seperti orang yang baru selesai menangis. Dia berjalan perlahan kembali duduk dikursinya.
“Kasih tahu saya ya Bu, kalau dia berani keluar kelas lagi saat jam belajar.” Kepala sekolah terdengar menahan emosinya. Suasana kelas seketika hening.
“Baik bu...” jawabku seraya tersenyum.
"Dia itu, memang su... sah sekali untuk dinasehati Bu. Saya kadang kehabisan kata kalau mengajarinya. " Kepala sekolah tampak putus asa.
"Sabar Bu, suatu hari nanti, dia pasti akan mengerti. Untuk saat ini, mungkin masih terlalu dini bagi dia untuk memahami keadaannya."
"Saya sebenarnya kasihan Bu sama dia. Kalau buka saya yang peduli padanya, siapa lagi? "
"Saya paham Bu... " Aku mencoba untuk menenangkan Ibu Kepala Sekolah yang sudah sangat emosional.
"Ya udah Bu, kalau gitu saya kembali ke kantor. "
"Baik Bu... "
Kepala sekolah kemudian meninggalkan ruang kelas tiga. Aku menghela nafas panjang. Aku cuma bisa berharap, semoga Fedi tidak membuat ulah lagi. Aku mau dia bisa belajar dengan baik, karena ini demi masa depannya.
“Baik anak-anak, kita lanjut kan belajarnya ya?” kataku pada semua murid.
“Baik bu...” jawab mereka serempak.
Pulau Cinta 2009
Berawal dari sini
Hari itu, semua murid SMAN 1 berkumpul di perkarangan masjid. Katanya akan ada acara penyuluhan narkoba. Judul acara yang di angkat juga sangat menarik. BERSAMA POLRI KITA BERANTAS NARKOBA. Spanduknya juga terpampang besar di depan pintu masjid.
Sesuai dengan judulnya, ada banyak anggota polisi yang hadir. Beberapa dari mereka terlihat masih sangat muda. Sepertinya anak-anak yang baru lulus pelatihan.
Aku duduk di bawah pohon sambil menunggu temanku. Namanya Mawar. Mawar sebenarnya adik letingku, dia masih kelas 11, sedangkan aku sudah kelas 12 yang sebentar lagi akan mengikuti ujian kelulusan. Namun karena kami sering ikut pengajian bersama, kami pun menjadi akrab.
Aku sebenarnya adalah murid pindahan dari kota dingin. Dulu orangtuaku, tepatnya ayahku membuka usaha disana. Kami cukup lama tinggal di kota dingin, hampir 15 tahun. Faktor ekonomi yang membuat kami hijrah ke pulau. Jadi aku belum punya banyak teman di sini, hanya beberapa saja yang aku kenal.
"Uda lama ya kak? " Tegurnya. Aku pun menoleh ke arahnya.
"Eh Mawar, enggak kok, kakak juga baru nyampek. Sini duduk. " Ajakku.
"Rame ya kak? " tanyanya.
"Iya, kalau nggak buru-buru masuk bisa nggak kebagian tempat duduk nih kita." kataku pada mawar.
"Jadi kak? " tanyanya. Aku melihat ke arahnya dan dia juga melihat ke arahku.
Saat kami sedang ngobrol, suara salah seorang guru terdengar dipengeras suara masjid. Semua murid pun diperintahkan oleh guru untuk masuk ke dalam masjid karena acara akan segera di mulai.
"Satu dua tiga.. " kataku pada mawar.
Kami pun berlari kencang ke dalam masjid karena takut tidak kebagian tempat duduk.
Di dalam masjid, semua orang sudah berkumpul untuk mengikuti acara penyuluhan ini. Beberapa orang anggota polisi duduk di bagian shaf laki-laki. Kami para murid dan guru duduk dibagian shaf wanita. Layar tancap juga sudah di nyalakan. Laptop dan beberapa kertas juga tampak ada didekat beberapa orang anggota polisi.
"Duduk sini yuk..." ajakku pada Mawar.
Kami duduk tepat di tengah-tengah hadirin. Paling depan. Paling tengah. Paling dekat dengan para anggota polisi. Strategis.
"Hmm... adik-adik, apa masih ada yang diluar. Jika masih ada yang diluar dimohon untuk segera masuk ke dalam masjid, karena acara akan segera kita mulai. " Seorang anggota polisi berbicara dengan pengeras suara memanggil murid-murid yang masih ada diluar.
Acara pun akhirnya dimulai dengan pidato perwakilan pihak sekolah. Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan tentang bahaya narkoba oleh pihak kepolisian. Hingga sampailah di acara yang ditunggu-tunggu, yaitu sesi tanya jawab murid dengan pihak kepolisian.
"Adik-adik, sekarang kita masuk sesi tanya jawab. Kami membukanya dengan 6 pertanyaan saja. berhubung sudah mau masuk waktu sholat zuhur. Jadi kita membatasi penanyanya ya...". Kata polisi yang paling tua diantara mereka.
"Untuk sesi pertama 3 orang penanya. Siapa yang mau bertanya? " sambungnya.
Beberapa orang murid pun mengangkat tangan mereka.
"Saya pak.. saya... saya pak...." dan dipilihlah 3 orang penanya. Setiap pertanyaan dijawab oleh anggota polisi yang berbeda-beda. Sampai pada sesi kedua. Aku mengangkat tanganku sambil terus berdiri.
"Penanya berikutnya. Siapa mau?" tanya polisi itu.
" Saya Pak... saya... " Aku mengacungkan tangan dan berteriak dengan sangat kencang.
"Iya kamu, siapa namanya? " tanya polisi itu padaku. "Tolong, berikan microphone pada adik kita. " perintahnya.
Aku segera menerima microphone itu dan mulai bertanya.
"Perkenalkan nama saya...Adeeva. Adeeva Arunika Pak... " Kataku lantang.
"Iya... silahkan... kamu mau bertanya apa? " Tanya polisi itu.
"Pertanyaan saya Pak, jika orang menyalahgunakan narkoba kan, akan ditangkap dan dihukum sesuai ketentuannya. Yang ingin saya tahu, bagaimana jika hal itu dilakukan oleh oknum polisi itu sendiri? Apakah polisi juga akan di hukum jika ketahuan memakai atau menjual narkoba? Karena kan pak, diluar sana ada banyak sekali para oknum polisi yang menyalahgunakan narkoba pak. Harusnya kan mereka juga bisa ditangkap dan di hukum pak. Hukum harusnya harus adil dan tidak pilih tebang kan pak? Sekian pertanyaan saya pak. Terimakasih! " kataku yang membuat semua orang didalam masjid terdiam.
Seketika suasana hening. Jam seperti berhenti berdetak. Semua orang melihatku. Semua polisi menatapku. Emang ada yang salah ya dengan pertanyaanku? Aku berbisik dalam hati.
Memang benarkan adanya. Diberita yang sering kita dengar hanyalah penangkapan pengguna narkoba yang dilakukan oleh warga sipil biasa. Sementara oknum-oknum nakal diluar sana seakan kebal hukum.
Si bapak Polisi pun tersenyum melihatku.
"Dik, siapapun yang melanggar hukum, tanpa terkecuali harus menerima hukumannya. Sekalipun yang melanggar itu adalah oknum polisi itu sendiri. Pertanyaan adik sangat baik.. Saya salut karena adek yang masih SMA ini, sudah berani kritis pada penegakan hukum di Indonesia ini. Jadi kita semua yang disini harus tahu, biar pun dia polisi, dia juga terikat dan harus tunduk pada UU yang berlaku di negara kita, jelas ya? " tanya si bapak. Aku hanya mengangguk-ngangguk.
Namun mataku seketika merilik polisi yang memainkan laptop sedari tadi. Kulihat dia sedang menahan tawanya sambil menutup mulutnya. Apakah dia menertawaiku. Apakah ada yang salah dengan pertanyaanku? Jika tidak, mengapa dia sampai tertawa. Dasar!
Waktu penyuluhan pun berakhir. Kami semua bubar dan kembali ke sekolah. Dan itu adalah penyuluhan terakhir ku sebagai murid kelas 12 karena sebentar lagi aku akan ujian nasional dan lulus dari bangku SMA.
"Balik sekolah yuk dek?" Ajakku pada Mawar.
"Yuk kak.. " Jawabnya.
Saat aku dan Mawar hendak keluar perkarangan masjid, tiba-tiba mataku menangkap seseorang yang tengah memperhatikanku. Aku langsung menoleh ke arahnya. Seorang polisi, dia sedang mengikat tali sepatunya.
Sial, bukannya dia polisi yang tadi menertawaiku? Sekarang dia malah melihatku seperti aku ada hutang padanya. Atau jangan-jangan...
"Yuk cepat yuk... " Kataku pada Mawar.
"Ada apa sih kak? " Mawar tampak bingung.
"Ada yang merhatiin kita dari tadi. Kakak takut. " Jelasku.
"Mana...? " Tanya mawar.
"Udah jangan diliatin. Ntar dia tau. Takut ah. Yuk.. " Aku dan Mawar bergegas kembali ke sekolah. Tatapan polisi itu sangat mengerikan. Apa mungkin dia tersinggung dengan pertanyaanku tadi ya?
Aku tahu, dia pasti salah satu oknum yang menyalahgunakan barang haram narkoba. Iya, pasti. Dan dia, dia pasti tersinggung mendengar pertanyaanku tadi. Mampus. Semoga aja dia tidak menandai wajahku. Kalau sampai dia ingat namaku dan wajahku, bisa habis aku kalau ketemu diluar sana. Cari perkara sih kami Adeeva. Sok-sokan kritisi aparat negara, sekarang jadi takut sendiri kan?
Gimana kalau tiba-tiba aku diculik, trus dibunuh, trus di buang ke sungai. Nggak ada yang tahu. Nggak ada yang nemu. Sampai busuk. Jadi kerangka. Tidaakkk.....!
Cuaca siang hari ini begitu terik. Matahari seakan enggan untuk beranjak pergi. Awan-awan seolah tidak mau menampakkan wujudnya. Aku terbaring lemah tak berdaya di atas ranjang kamarku. Suhu badanku 38°C, demam. Hari ini saja aku izin kepada kepala sekolah untuk tidak masuk mengajar. Lebih fokus untuk penyembuhan saja.
Jam menunjukkan pukul 16:30. Aku bangkit dari ranjang. Bergegas pergi ke kamar mandi untuk wudhu dan melaksanakan sholat ashar. Kaki masih sangat gemetar dan kepala terasa sangat berat. Aku melangkah perlahan-lahan.
"Allahuakbar"...Aku mulai hanyut dalam kekusyukan bersama Robb-ku. Benar, sholat memang sesuatu yang membawa kita pada kedamaian yang hakiki. Dengan sholat, semua masalah hidup kita pasti akan di mudahkan oleh-Nya. Sholat juga merupakan kunci bagaimana kita menjalani hidup ini.
Usai sholat, aku masih nyaman berada di atas sajadah. Sesekali bibirku membisikkan dzikir dan tahmid. Tubuh masih sama seperti tadi belum ada perubahan. Namun saat aku masih larut dalam suasana damaiku, tiba-tiba pintu kamarku ada yang mengetuknya.
"Kak... kak... " terdengar suara wanita dibalik pintu.
Aku bergegas berdiri dan membukakan pintu. Tampak seorang gadis berusia sekitar 19 tahunan.
"Kak, kenalin aku Ayu." katanya sambil dia mengulurkan tangannya. Aku langsung menyambut uluran tangannya.
"Iya, ada apa ya? " ku kira dia pelanggan diwarung kami.
"Boleh nggak, kita bicara sebentar? " tanyanya padaku.
Aku hanya mengangguk pelan sambil ku persilakan dia untuk masuk dan duduk dipinggir ranjang tempat tidurku.
"Kak... ada yang mau kenalan sama kakak" dia langsung to the point.
"Hah, siapa?" tanyaku seraya tersenyum.
"Kakak tau nggak, polisi yang di kampung sebelah. Yang sering naik motor satria. Dia minta nomor HP kk. " sambungnya.
Sontak saja aku tambah terkejut, begitu mendengar profesi orang yang mau berkenalan denganku itu adalah seorang polisi. Aku tertawa pelan. Ayu tampak heran melihat aku tertawa. Mungkin dia merasa aneh atau mungkin juga tersinggung. Entahlah apa yang dia pikirkan saat ini aku tidak tahu.
"Kak... kok ketawa sih? Ayu serius loh, dia nungguin dibawah. Katanya Ayu harus dapetin nomor HP-nya kakak. " Ayu sedikit memaksaku.
Kenapa jadi kayak FTV sih? Tiba-tiba ada yang datang, baru kenal, minta nomor HP. Maksa lagi. Sungguh membingungkan.
"Aduh, maaf ya dek. Maaf banget....Kalau polisi kakak angkat tangan. Mohon maaf sekali, kakak enggak suka sama polisi. Maaf nih ya, enggak ada yang salah sih sama profesinya, cuma ya itu, kakak enggak mau aja dekat atau kenal sama orang-orang berseragam. " Aku menjelaskan padanya tanpa bermaksud untuk menyombongkan diri. Entah mengapa dari dulu aku memang tidak begitu tertarik untuk dekat dengan pria yang profesinya polisi. Disaat diluar sana banyak gadis-gadis yang tergila-gila dengan pria berseragam, aku lebih tertarik dengan pria yang biasa-biasa aja.
Mendengar responku, tiba-tiba Ayu turun dari ranjang tempat tidur dan berlutut di depanku. Dia mengatupkan kedua tangannya seperti orang hendak menyembah. Aku tentu sangat terkejut, ada apa dengan anak ini pikirku?
"Kak... please.... Ayu mohon, kasih ya nomor HP kakak. Ayu ini cuma orang kerja kak di kios si abang. Dia ngancem, katanya kalau enggak berhasil dapat nomor HP kakak, Ayu bakalan di pecat kak. " Ayu memohon dengan serius kepadaku.
Aku melongok tidak percaya. Aku sungguh tidak percaya sama sekali. Masa sih, polisi itu sebegitunya ingin mendapatkan nomor HP-ku, seorang aku lagi... why?
"Oke oke.. kamu boleh bangun Ayu. Ayo bangun. Nggak perlu sampek nyembah-nyembah gitu. Baik, kakak bakalan ngasih nomor HP kakak. " kataku yang membuat Ayu sumringah kegirangan.
"Nih, sekarang kamu enggak perlu lagi takut di pecat. Bilang sama bos kamu, jangan suka ngancem-ngancem anak buah. " sambungku.
Ayu pun segera mengambil nomor HP ku yang sudah ku tulis disecarik kertas. Dia tampak sangat lega. Tidak lupa dia berpamitan dan mengucapkan banyak terima kasih padaku. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya. Entahlah apa yang si polisi itu akan lakukan dengan nomor HP ku, yang jelas aku tidak mau hidupku yang damai menjadi kacau balau karenanya. Awas saja.
Dulu waktu kami masih tinggal di kota dingin, tempat usaha kami sangat dekat dengan kantor polsek. Aku dan kak Wina nyaris setiap hari mendapatkan godaan dan ajakan oleh polisi-polisi muda di sana, tapi tak ada satu pun yang bisa membuat kami tertarik apa lagi sampai tergila-gila.
Bahkan aku sangat ingat dulu, ada seorang polisi yang mengajakku untuk bertemu di acara pasar malam dekat rumah. Namanya Juan. Dia cukup tampan tapi tak cukup menarik bagiku yang memang sangat anti dengan yang namanya polisi.
Juan mengajakku bertemu namun aku tidak pernah datang sama sekali. Hal itu membuat harga diri Juan seolah tercabik-cabik. Mungkin, dia belum pernah mendapatkan penolakan dari perempua selama ini. Yah, karena dia berseragam polisi. Tapi dia salah mengajak perempuan kali ini. Aku, aku bukanlah seperti perempuan pada umumnya. Aku memang terlahir dari keluarga yang bisa dibilang yah, miskin. Tapi aku sangat menjunjung tinggi yang namanya harga diri. Kalau kata TNI NKRI itu Harga mati. Kalau kataku harga diri itu dijaga sampai mati!.
Esoknya saat Juan datang ke warung ayah, dia sangat marah karena merasa aku mempermainkannya. Padahal, aku tidak pernah bilang akan datang padanya. Dianya saja yang terlalu yakin kalau aku akan datang menemuinya.
"Adek jahat sama abang. " katanya padaku. Aku terus mengaduk kopi yang dia pesan.
"Jahat apa sih bang? " tanyaku
"Abang nungguin adek sampek malam, tapi adeknya nggak datang. Kan jahat itu namanya. " dia berkata dengan ekspresi sedih.
"Kan adek nggak bilang kalau adek akan datang. Abangnya aja yang terlalu berharap. "
"Baru kali ini abang ditolak sama cewek. Biasanya cewek-cewek demen banget kalau di ajak nge-date sama cowok yang berprofesi sebagai polisi. " dia seolah sedang membanggakan dirinya sendiri.
"Ya itu mereka, bukan adek.. " kataku sambil terus berlalu membawakan kopi pesanannya dan meletakkannya diatas meja.
"Apa sih kurang abang dek...? " tanyanya sambil terus mengikutiku.
Aku berhenti sejenak dan menoleh ke arahnya. Menarik nafas dalam.
"Kurang abang? Kurang abang cuma satu." kataku.
"Apa???? " tanyanya serius.
"Karena abang polisi. " Aku lalu melempar senyum nyengir ke arahnya.
Dia cuma bisa terpaku mendengar kata-kataku. Tentu saja, sesuatu yang tidak biasa dia dengar dari mulut wanita yang pernah dia temui. Dan... dan itulah aku. Aku tidak sama dengan wanita pada umumnya. Aku bukan wanita yang gila akan pangkat dan jabatan. Aku justru lebih tergila-gila pada seorang pria yang biasa-biasa saja. Yang terpenting agamanya baik dan dia pekerja keras. Kayak ustadz yang waktu itu ngisi pesantren kilat di sekolah. Ya Allah, falling in love deh aku dibuatnya. Meleleh. Tapi sayang, waktu aku tahu dia sudah punya istri... hatiku hancur berkeping-keping. Sad banget!
Kak Wina pun tidak lepas dari godaan polisi-polisi BKO yang dulu tugas didekat rumah kami. Bahkan Kak Wina pernah di perlakukan kurang ajar oleh salah seorang oknum.
Jadi begini ceritanya, hari itu, Kak Wina akan menaruh kopi pesanan si Oknum. Eh, tangan Kak Wina malah di colek. Pelecehankan itu namanya? Tapi Kak Wina tentu tidak cuma tinggal dima saja. Esoknya, Kak Wina balas dendam.
"Dek kopi ya. " Kata si oknum.
Kak Wina masih melayani dia seperti biasanya, tak ada gelagatnya yang membuat si Oknum curiga. Tapi diam-diam, Kak Wina menaruh garam di kopi pesanannya. Garam. Bukan gula. Bisa bayangin nggak, gimana rasa kopi dikasih garam?
"Ih, apa ini. Kok ngga enak rasanya? " Kata oknum itu.
"Loh, kenapa? " tanya Ibu.
Oknum itu melirik padaku dan Kak Wina. Dia pasti tahu kalau kami yang sudah membuat kopinya terasa asin.
"Enggak Bu, nggak ada apa-apa. " jawabnya berbohong.
Besoknya, eh si oknum datang lagi dong. Dia kembali memesan kopi.
"Bu, kopi satu. " katanya pada Ibu.
"Wina... tolong bikinkan kopi untuk abang ini satu. " teriak Ibu pada Kak Wina.
"Bu... Ibu aja yang bikinin ya... " kata oknum itu.
"Loh kenapa? " tanya Ibu yang memang tidak tahu apa-apa.
"Kemarin adek itu bikinin asin. Dia kayaknya sengaja deh ngasih garam ke kopi saya. " Jelasnya.
"Hmm... kamu ada buat apa sama anak Ibu? " tanya Ibu. Oknum polisi itu diam tak menjawab.
"Kamu ada bikin salah pasti kan? Makanya, sama anak-anak Ibu jangan macem-macem. Mereka ini nggak sama kayak perempuan-perempuan yang kamu temui diluar sana. Merek ini beda! " Jelas Ibu.
"I.. I.. iya bu. Ibu aja yang bikinin ya... " pintanya.
Aku dan Kak Wina terkekeh di belakang mendengar percakapan Ibu dan Oknum itu. Rasain itu, makanya kalau mau berbuat dipikir dulu, kataku dalam hati.
Kami memang tidak men-judge bahwa semua polisi itu jahat. Kak Wina dan Ibu malah mereka punya teman yang sangat baik dari kalangan polisi. Bahkan ada yang sudah Ibu anggap seperti anaknya sendiri. Saat mereka kembali ke kampung halamannya setelah selesai bertugas, polisi itu masih suka menghubungi Ibu. Dan kak Wina, dia sempat cinlok dengan seorang BKO dekat rumah. Heh!
Tapi aku tidak tahu dengan polisi yang mengirim Ayu kerumah hari ini. Entah dia adalah orang yang baik atau punya niat tertentu. I don't know. Kita lihat saja nanti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!