Sambil menepuk-nepuk telapak tangan dengan niat membersihkan debu dan kerikil kecil yang sedikit menempel, Dira melirik ke samping, di mana pria yang sudah menabraknya berada. Tutur katanya begitu lembut dan rasanya cukup membuat tenang.
Siapa dia? Sepertinya nggak asing. Mata itu .... Perasaan ini juga tenang. Harusnya gue marah karena dia udah nabrak. Tapi ....
“Halo, kenapa diam? Mari saya antar ke dokter, takutnya kamu ada lecet atau luka dalam,” tawar sang pria yang lagi-lagi membuat hati Dira bergetar.
Dira tak begitu jelas melihat wajah sang pria. Hati gadis itu begitu tak karuan hanya mendengar suaranya saja.
“Sa-saya nggak pa-pa. Maaf, saya buru-buru karena pagi ini ada kelas,” ucap Dira yang masih merasa enggan menatap mata pria yang sudah membuatnya terjatuh.
Dira bergegas merapikan semua buku yang tercecer di tanah, kemudian dengan cepat pergi begitu saja tanpa menoleh sedikit pun.
“Hei, tunggu,” panggil sang pria tetapi Dira tetap tak menggubrisnya. Dia pun hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Kedua tangannya lantas dimasukkan ke dalam saku celana. “Ternyata nggak pernah ada yang berubah. Kepala itu selalu tertunduk saat berhadapan dengan laki-laki lain.”
Sang pria kembali ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya menuju fakultas ekonomi dan bisnis. Di sana, dia memarkirkan mobilnya di depan ruang dosen.
Lima menit lagi, kelas Dira akan dimulai, tetapi sang gadis belum juga menampakkan batang hidungnya. Aira dan Jonatan, dua sahabat Dira yang selalu menemaninya dalam keadaan apa pun, begitu cemas menantikan gadis itu.
Berkali-kali Aira dan Jo (sapaan akrab Jonatan) melihat ke jam tangan masing-masing. Mereka bahkan celingukan ke kiri dan kanan, berharap segera mendapati sang sahabat.
“Dira bener-bener, ya. Masa dia lupa kalau pagi ini ada kelasnya Pak Usman? Kalau telat, dia nggak akan dibolehin masuk. Mana quiz lagi, hari ini. Ya ampun,” omel Aira yang memang merasa cemas pada Dira.
“Mungkin dia kesiangan, terus sekarang lagi kejebak macet. Kenapa nggak lo jemput aja sih, tadi, Ra?” Kali ini Jo justru mengomel pada Aira yang padahal tak tahu menahu soal keterlambatan Dira.
Mahasiswa lain mulai berhamburan masuk ke dalam kelas, saat dosen berperawakan kurus dan tak terlalu tinggi itu mulai terlihat batang hidungnya. Secara penampilan, mungkin Pak Usman terlihat biasa saja, tak semenyeramkan dosen lain yang berpostur tinggi berotot. Namun, ketegasan dan kedisiplinannya membuat para mahasiswa pun menjadi segan dan takut padanya. Tak jarang dia memberi nilai D atau E pada mahasiswanya yang dirasa tak menerapkan kedisiplinan dalam mata kuliah yang diampunya.
“Guys, belum masuk, kan?” tanya Dira yang baru saja tiba sambil terengah-engah.
“Astaga, Dira, bisa nggak, jangan selalu bikin orang khawatir?” omel Aira.
“Udah, udah, jangan ngomel dulu. Kita masuk aja sekarang, tuh si botak udah deket. Bisa-bisa kita dikunciin kalau keduluan dia yang masuk kelas,” lerai Jo seraya menarik Dira masuk ke dalam kelas, dan membiarkan Aira menyusul.
“Kebiasaan. Dira doang yang dipeduliin. Gue kagak!” gerutu Aira melihat perlakuan Jonatan.
Mata kuliah Pak Usman berjalan lancar. Semua mahasiswa bernapas lega saat dosen yang dicap galak itu keluar dari kelas.
Aira yang sudah merasa lapar, lantas mengajak Dira dan Jo ke kantin. Namun, tak langsung mendapat respons dari Dira yang justru tampak diam dan tak berkedip sedikit pun.
Jo dan Aira beradu tatap, memberi kode dengan memicingkan mata dan menggerakkan kepala, seolah saling bertanya, apa yang terjadi pada sahabat mereka.
“Dira, lo lagi mikirin apa?” tanya Aira seraya menepuk pundak Dira, mengagetkan sang pemilik tubuh.
“Ah, kenapa?” tanya Dira polos dan itu sungguh membuat Aira geregetan.
“Lo kenapa sih? Tadi dateng telat, sekarang bengong mulu. Kesambet apaan?” tanya Aira sekali lagi.
Dira menggelengkan kepala dan hendak menjawab pertanyaan sang sahabat, tetapi pertanyaan Jo selanjutnya sukses menginterupsinya.
“Lengan lo lecet, lo kenapa? Abis jatuh apa kenapa?” Jo menunjuk ke lengan Dira yang saat itu memang mengenakan kemeja body fit berwarna biru muda. Terlihat juga ada sedikit noda lumpur di baju gadis itu.
Dira tak serta merta menjawab pertanyaan Jonatan. Dia masih melihat kondisi lengannya yang ditunjuk oleh Jonatan. Seketika pikirannya terlempar ke kejadian pagi tadi, sekaligus makin membuat Dira memikirkan sosok pria yang sudah membuatnya harus mendapat pertanyaan dari Jo.
“Oh, ini ... tadi nggak sengaja keserempet ....”
“Kok bisa? Siapa yang berani-beraninya nyerempet lo? Anak kampus ini juga? Jurusan apa? Gue samperin sekarang juga ....” Jonatan terlalu emosi, sungguh dia tidak ingin terjadi sesuatu sedikit pun pada Dira.
Dira langsung bangkit, dan menahan Jonatan yang sudah hendak keluar kelas. “Bukan, bukan mahasiswa di sini deh kayanya. Soalnya penampilan dia rapi, pakai kemeja dan celana kain. Sekilas aku lihat sih, kayanya seumuran sama Kak Eka.”
“Jangan-jangan itu dosen baru yang lagi banyak diomongin anak-anak,” celetuk Aira.
“Dosen baru?” tanya Dira dan Jonatan bersamaan.
Aira berpindah tempat dan duduk di antara kedua sahabatnya. Tak lupa, dia juga meletakkan tas yang dia bawa ke atas meja. Dia pun mengangguk sebelum menjawab pertanyaan Dira dan Jonatan.
“Yeppy, jadi, Bu Salma kan lagi cuti melahirkan. Nah, denger-denger yang gantiin beliau itu dosen baru, cowok, cakep, ya emang seumuran gitulah sama Kak Eka desas-desusnya,” terang Aira.
Jangan-jangan bener kata mama, ucap Jo dalam hati.
“Katanya juga, masih single,” lanjut Aira.
“Huuu, inget, Ra! Kita di sini tuh kuliah, buat cari ilmu. Cowok mulu yang lo pikirin!”
“Sewot aja lo jadi orang! Inget ya, Jo! Kita udah kuliah, bukan lagi siswa sekolah yang emang dilarang kawin ....”
“Nikah dulu, Ra, nikah. Napa jadi kawin coba,” celetuk Dira seraya merapikan buku dan tasnya, kemudian bangkit berniat pergi ke kantin.
“Ya, itu maksud gue. Nikah. Eh, by the way, nanti kan mata kuliahnya Bu Salma, berarti bentar lagi kita bakal ketemu dosen baru itu dong,” ucap Aira dengan senang hati.
“Cowok terus yang lo pikirin, Ra! Jomlo akut, sih!” ledek Jonatan yang kemudian menyusul Dira, karena lebih dulu pergi.
“Eh, buset! Tadi gue ngajak ke kantin nggak ada yang respons. Sekarang gue lagi ngehalu dosen tampan, kalian malah ninggalin gue. Kampret emang ye!” omel Aira mengejar kedua sahabatnya menuju ke kantin. “Wey, tunggu napa sih! Astaga, buru-buru amat kalian!”
“Gue laper, Ra, tadi belum sempet sarapan,” ungkap Dira sambil menoleh ke belakang, karena Aira berjalan sangat pelan bagaikan siput.
“Dir, awas!” teriak Jonatan yang hendak menarik tubuh sang sahabat, karena akan menabrak seseorang. Namun, sayangnya terlambat, Dira sudah lebih dulu menghantam tubuh seorang pria hingga tumpukan kertas yang dia pegang, berhamburan ke lantai.
“Maaf, maaf. Saya nggak sengaja.” Dira langsung membantu merapikan kertas-kertas yang berserakan, sebagai rasa tanggung jawab karena sudah menabrak orang tersebut.
“Lain kali, lebih hati-hati lagi.” Suara itu sukses membuat Dira menghentikan aktivitasnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Retno Marsudi
rupanya Jonathan jg suka sama dira ya
2020-06-21
0
Keita Puspa
Cinta segitiga antara sepupu...
2020-04-22
0
Re-Kun
siapakah lelaki itu?
jejejeng...
2020-03-05
0