Dira bergegas bangkit dan membuka pintu kamar setelah melempar selimut yang telah menghangatkan tubuhnya semalaman, ke sembarang arah. Mata indah itu seketika berbinar diikuti lengkingan teriakan dari bibirnya yang kemerahan.
“Kak Eka ...,” ucap Dira yang langsung berhambur dalam pelukan sang kakak.
Saking bahagianya, Dira bahkan tak menyadari kalau pelukan itu terlalu kencang hingga membuat Eka merasa agak sesak. Beberapa kali pria yang kini menjalankan bisnis properti keluarganya itu menepuk tangan sang adik, berharap gadis itu akan melepaskannya.
“Aku seneng banget, akhirnya Kak Eka pulang. Aku kangen tau!” ucap Dira dengan girang, tanpa melepas pelukannya pada sang kakak.
Hingga akhirnya, Eka yang benar-benar merasakan sakit di lehernya, meminta Dira untuk membebaskannya detik itu juga.
“Sakit, Dir. Sumpah! Astaga! Untung aja nggak patah nih leher! Coba kalau sampai patah, nggak ada suku cadangnya. Dipikir buatan China, apa?” gerutu Eka seraya memijit leher yang memang terasa nyeri.
Dira hanya tersenyum dengan memainkan jarinya, merasa sedikit bersalah. “Ya maaf, sih. Aku kan seneng lihat kakak aku pulang.”
“Yaelah, malah cengengesan lagi. Nggak ada gitu rasa bersalahnya.”
“Kan udah minta maaf.” Bibir Eka hanya diam, tetapi tatapannya begitu tajam merespons ucapan sang adik. “Eh iya, Kak Eka kapan dateng?”
“Semalem,” jawab Eka dengan nada ketus.
“Ish ... kebiasaan. Nggak bisa apa, ke adik sendiri tuh ngomongnya alus, nadanya yang lembut gitu?”
“Nggak bisa! Udah, buruan mandi, terus kita sarapan bareng. Nanti aku yang antar kamu ke kampus!”
“Oh my God! Gue lupa!” Dira menepuk keningnya sendiri saat sang kakak membahas tentang kampus. “Pagi ini, jam delapan ada quiz dari Pak Usman, si dosen yang nggak pernah senyum itu!” Sang gadis lantas berlari masuk kembali ke kamarnya setelah mendaratkan sebuah ciuman di pipi kakak kesayangannya.
“Astaga, Dira! Lo jorok banget, sih! Belum mandi, masih bau jigong juga malah cium-cium gue!” teriak Eka seraya mengusap pipi bekas ciuman Dira.
Dira tak menggubris hal itu, dan justru lebih memilih menertawai Eka dengan keras dari dalam kamarnya. Sesungguhnya Eka tidak benar-benar kesal mendapat perlakuan tersebut dari Dira. Dia tahu betul kalau sang adik memang sangat suka bercanda.
Eka yang memang sudah sangat siap dengan penampilannya, kembali turun menuju meja makan, di mana mama dan papanya sudah berkumpul dan siap menyantap sarapan.
“Dira belum bangun juga?” tanya sang mama saat melihat Eka turun hanya seorang diri.
“Udah, kok. Sekarang lagi mandi.” Eka lantas duduk di salah satu kursi dan menyajikan nasi goreng yang sudah disiapkan ke pirinya.
“Astaga, Eka! Kamu tahu, kan, adik kamu itu kalau dandan lama. Bisa telat dia ....”
“Ma, Dira bukan anak kecil lagi. Dia mungkin dandannya lama, tapi dia tahu kok, jadwalnya dan kapan harus berangkat,” sela Eka.
“Betul kata Eka. Mama jangan terlalu mikirin keseharian Dira. Dia udah gede ....” Papa Dira kini mulai bersuara.
“Dan yang paling penting, sebentar lagi dia akan jadi istri!” sambung Eka lagi yang mulai melahap makanan favoritnya sejak kecil, nasi goreng jawa buatan Mbok Nah, ART yang sudah bekerja untuk keluarga mereka sejak dia masih kecil.
“Siapa yang akan jadi istri?” tanya Dira sambil terburu-buru menuruni anak tangga yang memang berada tepat di sebelah ruang makan.
“Nyamber aja lo, kaya bajaj! Udah siap kan?” tanya Eka yang lalu menyuapkan suapan terakhir ke mulutnya.
Dira memicingkan mata, sedetik kemudian meletakkan buku-buku yang hendak dia bawa kuliah dengan kasar ke atas meja.
“Gue leper, Kak. Sarapan dululah!” Dira menuang Air ke dalam gelas gosong kemudian meneguknya sampai habis. Dia hendak duduk dan membalikkan piring kosong di hadapannya. Namun, dengan cepat Eka meletakkan sebuah kotak bekal di hadapan Dira. “Apaan nih?”
“Itu kotak bekal. Buta?” Lagi-lagi Eka bersikap judes pada sang adik. Beruntung Dira tak pernah menanggapinya dengan serius. Dia kenal betul bagaimana sang kakak yang memang jarang bersikap manis. Kadang kala, hal itulah yang membuatnya teringat dan merindukan sosok Kevin.
“Anak TK juga tahu kali ini kotak bekal. Maksudnya buat apaan? Gue kan nggak minta ini!”
Eka tak merespons pertanyaan itu dengan sebuah perkataan, dia hanya menunjukkan jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Hal itu sontak membuat mata Alya membulat sempurna.
“Masih mau sarapan? Lo tahu, kan, perjalanan kita dari rumah ini ke kampus lo ....” Belum sempat Eka melanjutkan perkataannya, Dira langsung meraih buku-bukunya kembali dan menarik lengan kekar sang kakak.
“Eh, Dir, bekal kamu ....” teriak sang mama sambil meraih kotak makan dan hendak mengejar kedua anaknya.
“Nggak usah, Ma. Ribet. Nanti aku beli makanan di kampus aja!” teriak Dira.
Eka melajukan mobil dengan agak cepat, karena tak ingin sang adik terlambat.
Selama di perjalanan, tak ada satu pun di antara keduanya yang mencoba membuka obrolan. Masing-masing sibuk dengan pemikirannya.
Dira terus saja melihat ke arah samping, tangannya tak henti memegangi liontin yang sudah melekat di lehernya sejak dirinya berusia lima tahun.
Hal itu rupanya tak luput dari perhatian sang kakak. Hingga membuat Eka berinisiatif membuka percakapan.
“Masih belum bisa move on?” tanya Eka membuyarkan lamunan gadis yang kini sedang menempuh pendidikan manajemen bisnis di salah satu kampus ternama di Jakarta.
Dira menoleh ke arah bangku pengemudi. “Maksudnya?” tanya balik Dira pura-pura tidak memahami maksud pertanyaan sang kakak.
“Kevin,” jawab Eka singkat, padat, jelas, tanpa sensor.
Dira menghela napas, lalu membuka liontin dan menampilkan wajah dua bocah kecil di sana. Telunjuknya mengusap foto bocah laki-laki yang sedang tersenyum.
“Mungkin nggak sih, Kak, kalau cinta masa kecil itu bener-bener akan jadi jodoh kita?” tanya Dira yang kini sedang ingin berbicara serius dengan sang kakak.
“Bisa ya, bisa nggak. Lo tahu sendiri kan, jodoh, maut, rezeki, itu udah diatur sama Tuhan. Lo emang harus berbaik sangka sama takdir Tuhan, tapi bukan berarti lo biarin diri lo berdiam diri nunggu takdir itu terjadi. C’mon, Dir, cowok di dunia ini nggak hanya dia. Lo masih muda, dan lo harus bisa nikmatin hal ini. Kalau emang kalian jodoh, nggak akan ke mana, kok!”
“Nggak mudah, Kak. Lo bisa anggap gue bucin tolol, karena emang itu kenyataannya ....”
“Usia Kevin dan gue itu sama. Usia kami ini udah mateng banget buat nikah. Misalnya lo ketemu dia lagi, tapi ternyata dia udah nikah dan lupa sama lo gimana?”
Pertanyaan yang sesungguhnya membuat hati Dira terasa sakit. Namun, logikanya tak bisa menyangkal, hal itu memang bisa saja terjadi.
“Dir, menurut penelitian, cowok itu melupakan sebagian besar janjinya. Gue aja kadang lupa kan, kalau ada janji sama lo, atau nyokap? Ya emang sih, gue dan Kevin nggak bisa disamakan, tapi rata-rata cowok ya emang gitu.”
“Gue akan lupain Kevin kalau emang ternyata dia udah punya istri,” pungkas Dira yang kemudian meminta sang kakak menurunkannya di depan gerbang kampus.
Jarak dari gerbang ke fakultas Dira memang cukup jauh, dan jalan kaki ke sana akan sangat melelahkan. Akan tetapi, lebih melelahkan mendengar ocehan sang kakak yang terus saja mengatakan hal buruk tentang Kevin.
Dira berjalan kaki dengan agak cepat. Bibirnya terus menggerutu mengingat hal-hal buruk yang dilontarkan Eka. Hal itu tentu membuat fokusnya berkurang dan tak memperhatikan jalanan.
“Au,” pekik Dira saat terjatuh, karena tak sengaja diserempet sebuah mobil hitam bermerek Mercedez. Buku-buku yang dia peluk pun berhamburan di jalanan.
Si pengemudi langsung turun dan menghampiri Dira seraya meminta maaf karena telah teledor, menyetir sambil bermain ponsel.
“Kamu nggak pa-pa, kan? Apa perlu ke rumah sakit? Saya antar sekarang?” tanya si pengemudi yang ternyata adalah seorang laki-laki.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Retno Marsudi
kayaknya seru nih
2020-06-21
0
adhie poetra
perbedaan usia Dira dan Kevin itu berapa?
2020-03-31
2
Re-Kun
nulis novel, walau online, jangan pakai singkatan...
2020-03-05
1