Our Love (REVISI)
Seorang gadis kecil sedang bermain ayunan. Namun, kepalanya selalu menoleh ke salah satu arah blok perumahan elit di kawasan Jakarta yang dia tinggali bersama kedua orang tua dan seorang kakak laki-lakinya. Beberapa kali dia menghela napas dengan kasar saat seseorang yang ada dalam pikiran belum juga menampakkan batang hidungnya.
“Dira pasti sedih banget kalau tahu Kevin dan keluarganya akan pindah ke Jogja,” bisik sang mama kepada suaminya yang memang sedang menemani kedua anaknya bermain di taman komplek.
Bermain di taman, apalagi saat weekend adalah rutinitas keluarga mereka. Namun sayangnya kali ini rasanya berbeda, karena hari itu mereka akan berpisah dengan salah satu tetangga yang memang sudah sangat akrab, layaknya saudara.
“Ya mau gimana lagi? Bisnis keluarga mereka sedang berkembang pesat. Mau nggak mau, ya, mereka memang harus pindah untuk melebarkan bisnis juga. Momen kaya gini untuk pebisnis nggak akan datang dua kali. Papa juga nggak akan pikir panjang kalau mendapat kesempatan bagus.”
Sang istri malas menanggapi. Lebih penting untuknya memperhatikan Dira, yang sudah hampir tiga puluh menit menekuk wajahnya karena merasa kesal menunggu kehadiran sosok yang selalu membuatnya tersenyum.
Lain halnya dengan Dira yang hanya bisa berdiam diri tanpa bisa menikmati ayunan, sang kakak, Eka rupanya lebih santai mengayuh sepeda mengelilingi lintasan sepeda di pinggir taman.
“Dira ...,” panggil seorang bocah laki-laki yang langsung membuat senyum Dira yang saat itu masih berusia empat tahun, langsung mengembang. Binar di matanya langsung membentuk gugusan bintang yang begitu indah.
Dira turun dari ayunan dengan tangan tetap berpegang pada tali. Dia memperhatikan bocah laki-laki yang berlari menghampirinya. Usia mereka mungkin terpaut delapan tahun, tetapi keduanya sangat akrab, karena Kevin yang selalu menemaninya bermain. Sangat jauh berbeda dengan Eka, yang selalu menolak bermain dengan sang adik.
“Kak Kevin, akhirnya dateng juga.” Dira menyugar rambut bagian samping ke balik telinganya.
“Vin, ayolah main! Ngapain sih, main sama Dira terus? Cowok tuh mainnya sama cowok!” ajak Eka yang langsung mengubah air muka Dira.
Sang gadis kecil memicingkan mata, pipinya seketika menggembung diikuti bibirnya yang manyun. Kedua tangan terlipat di pinggang.
“Kak Eka apaan sih? Suka-suka Kak Kevin dong mau main sama siapa. Harusnya Kak Eka tahu yang nemenin aku main!”
“Sudah, sudah. Aku ke sini sebenernya mau pamitan sama kalian semua,” ucap Kevin yang sebenarnya dia katakan dengan sangat berat hati.
Eka lantas turun dari sepeda, membiarkannya tergeletak begitu saja di tanah. Kemudian, dia berlari mendekat pada Kevin dan Dira.
“Kak Kevin mau pergi?” tanya Dira yang hanya diangguki oleh Kevin. “Jadi, hari ini aku cuma main sama Kak Eka?” lanjutnya.
Kevin menggelengkan kepala, lalu meraih tangan Dira untuk dia genggam. “Dir, hari ini aku akan pergi ke Jogja ....”
“Wah, mau liburan nih. Nanti kasih tahu, ya, Jogja tuh tempatnya kaya gimana!” sela Eka memotong kalimat Kevin.
“Nggak. Aku, mama, sama papa akan tinggal di Jogja. Jadi, mulai hari ini Dira mainnya berdua sama Eka aja.”
Mendengar hal itu, mama Dira pun bangkit menghampiri sang putri. Memegangi pundak putri kecilnya, memberinya kekuatan agar tidak menangis.
“Kevin ke sini nggak sama mama-papa?” tanya mama Dira sambil menundukkan tubuh.
“Sebentar lagi mereka ke sini, Tante.” Jawaban itu hanya mendapat anggukan kecil dari mama Dira.
“Jogja itu jauh?” tanya Dira yang masih berusaha mencerna kalimat yang Kevin utarakan.
“Kata mama sih, jauh banget.” Kevin merogoh sakunya untuk mengeluarkan sesuatu.
“Kamu serius, Vin? Nggak balik-balik lagi dong ke sini?” celetuk Eka yang sontak membuat Dira merasa begitu sedih.
“Kata mama, kapan-kapan bisa kok ke sini lagi. Cuma nggak tahu, kapan pastinya.” Kevin mengeluarkan sebuah liontin yang tertulis namanya dan Dira di kedua sisinya. “Tante, boleh kan, kalau aku kasih kalung ini buat Dira, sebagai kenang-kenangan?”
“Uuu ... so sweet sekali. Pa, coba deh lihat, anak sekecil Kevin aja sweet banget loh, masa Papa kalah, sih?” rajuk mama Dira kepada sang suami yang hanya direspons dengan memutar bola matanya. “Iya, boleh Sayang, sini biar Tante yang pakein. Oh iya, kalungnya bagus banget. Siapa yang beli?”
Kevin menyerahkan kalung itu kepada mama Dira. “Semalem waktu mama ngajak aku ke mall, Tante. Di sana ada yang jual kaya gini dan bisa dikasih nama. Jadi aku beli. Aku juga beli buat Eka, tapi nanti katanya dibawa mama ke sini.”
“Kevin, sudah pamitan?” sapa seorang wanita cantik yang tak lain adalah mama Kevin.
“Sudah, Ma.” Sang bocah kecil lantas berlari dan berhambur ke pelukan sang mama, dan meraih sebuah paper bag yang dibawa untuk dia serahkan kepada sahabatnya, Eka.
“Thank’s ya, Vin. Nggak asyik nih bentar lagi mainnya sama Dira doang.”
“Mbak, aku pamit dulu ya. Penerbangannya tiga jam lagi. Takut kejebak macet.” Kali ini mama Kevin yang berpamitan kepada keluarga Dira. Keduanya begitu merasa terharu.
Dua keluarga itu memang sangat dekat, layaknya saudara. Tak heran apabila mereka sama-sama merasa sedih untuk perpisahan yang mereka sendiri tidak tahu, kapan bisa akan bertemu lagi.
“Sayang, Kak Kevin ikut Bunda dulu, ya. Nanti kalau ada waktu, kami akan ke sini lagi, atau kalian juga bisa ke Jogja. Oke. Jangan sedih, ya!” mama Kevin berpamitan kepada Dira, gadis kecil yang memang sudah dia anggap putrinya sendiri. Bagaimana tidak? Sejak hamil, dia sudah sering menemani mama Dira ke mana pun, terutama saat mengecek kandungan.
Tak jarang celetukan untuk menjadikan Dira menantunya sejak dalam kandungan, dilontarkan oleh mama Kevin. Sayangnya itu hanya direspons sebuah senyuman oleh ibu sang gadis cilik.
“Dir, tunggu aku ya, aku pasti balik ke sini!”
Dira mulai menitikkan air mata tanpa bisa mengatakan sepatah kata pun. Tangisannya makin menjadi saat Kevin mulai melangkah menjauh darinya.
***
“Kak Kevin!” teriak Dira yang kemudian terbangun dari tidurnya.
Sekujur tubuhnya basah dengan keringat. Bayangan masa lalu itu tak henti mengganggu pikiran. Hanya liontin pemberian Kevin yang masih dia pakai yang mampu memberikan sedikit ketenangan.
Dira menyugar rambutnya dengan sangat kasar dan menariknya sedikit keras untuk menyadarkan hati, kalau kalimat terakhir Kevin itu hanya sebuah penenang. Nyatanya, lebih dari sepuluh tahun berlalu, laki-laki itu belum juga menampakkan batang hidung di hadapannya.
“Lupain dia, Dir! Lupain! Dia nggak akan balik!” gumamnya pada diri sendiri.
Tak lama, terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar yang diikuti suara bariton seorang pria memanggil namanya.
“Itu kan suaranya ....”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
julyantilucy julyanti
semangat cinta tulus
2022-10-14
1
My sister...
hai thor. . semangat berkarya. .
salam dari CINTA KU dan 15 MENIT YANG LALU
yuk saling mendukung. .
2020-09-03
0
Alensa
semangat Thor, kerennnn ❤❤❤ mampir yuk "surga kedua dihatiku" like, comment, vote nya kakak 😍😍🙏🙏🙏
2020-05-07
1