[ Author ]
"Kak Sherlyna udah pulang?"
"Tumben pulang cepet."
"Kak Sherlyna bawa apa?"
"Ramma mau itu."
"Ferry juga mau."
"Biasanya kalau orang pulang kerja itu di sambut dengan senyuman dan pelukan hangat bukan malah segudang pertanyaan." ucap Sherlyna menghempaskan dirinya di sofa sebelumnya ia sudah meletakkan kue pemberian tante Siska di meja.
"Aduh nggak gitu juga kali, gue nggak bisa napas, lo berdua mau buat gue mati muda." ucap Sherlyna saat kedua adiknya itu memeluknya dari samping kiri dan kanannya.
"Lah katanya mau di peluk." ucap Ferry.
"Gilirian udah di peluk malah ngomel." timpal Ramma.
"Ya peluknya yang biasa aja dong, jangan yang buat orang susah napas."
"Kak kita boleh makan ini nggak?" tanya Ferry meraih toples dari atas meja.
"Kakak beli makanan ini dari mana?" tanya Ramma saat ikutan memakan kue kacang yang menurutnya sangat enak.
"Tadi di kasih sama tante Siska?" Balas Sherlyna.
"Siapa tante Siska? Kok kita baru dengar nama itu?" tanya Ferry.
"Kepo deh kalian... Udah makan aja, jangan di habisin. Sisain untuk ayah juga." ucap Sherlyna bangkit dari sofa setelah kedua adiknya itu mengangguk.
"Bunda."
Reflek kedua adik Sherlyna langsung bangkit dari sofa saat mendengar ucapan Sherlyna yang lirih itu. Mereka kini berdiri di samping Sherlyna dan menatap orang yang berjalan kearahnya dengan tatapan kesal. Berbeda dengan Sherlyna yang malah tersenyum senang melihat Bundanya.
"Bunda apa kabar?" tanya Sherlyna dan langsung memeluk sang Bunda. "Sherlyna kangen banget sama Bunda."
"Bunda juga kangen sama kamu sayang, kabar kalian baik baik aja kan?"
Sherlyna melepaskan pelukannya lalu tersenyum. "Kami baik baik saja Bunda, Ayah juga baik."
"Kalian nggak mau peluk Bunda, nggak kangen sama Bunda?" tanya Bundanya Sherlyna.
Ferry dan Ramma dengan kompak menggelengkan kepalanya dan berkata.
"Nggak."
"Kalian nggak boleh ngomong sama nada kayak gitu sama Bunda." ucap Sherlyna menegur kedua adiknya.
Ramma dan Ferry menghiraukan ucapan Sherlyna. "Lagian ngapain dia kesini?" tanya Ramma.
"Ramma!"
"Kenapa kak? Gue bener kan?, buat apa dia kesini lagi? Ramma benci sama Bunda, Ramma nggak mau liat Bunda lagi." ucap Ramma kesal lalu berlari kearah tangga dan naik ke lantai atas, mungkin ke kamarnya.
"Ferry sama kayak Ramma... Ferry juga benci sama Bunda, Bunda itu adalah Bunda yang paling jahat yang pernah ada di dunia ini."
Setelah berkata seperti itu Ferry juga mengikuti Jejak Ramma yang meninggalkan Bundanya dan Sherlyna.
"Maaf." lirih Bunda pelan, beliau mengusap air matanya. Dia tau bahwa kesalahannya itu tidak akan termaafkan.
"Maafkin Ferry dan Ramma ya Bunda, mereka cuma butuh waktu." ucap Sherlyna lirih, walau Sherlyna tau bahwa Bundanya memang salah dan seharusnya ia juga membenci Bundanya seperti kedua adiknya. Tapi Sherlyna tidak bisa, karena ia terlalu sayang dengan Bundanya dan telah memaafkan kesalahan apapun yang Bundanya lakukan, karena Sherlyna percaya bahwa surga ada di telapak kaki Ibu.
"Seharusnya Bunda yang minta maaf sana kalian."
"Bunda nggak perlu minta maaf, Bunda itu nggak salah. Tapi keadaan lah yang salah." ucap Sherlyna.
"Terima kasih karena kamu masih sangat menyayangi Bunda setelah apa yang Bunda lakukan padamu, Anna."
[Annastasia Sherlyna Veronica]
"Ayolah Sherlyna, temani gue malem ini."
"Nggak bisa Ben, gue lagi males keluar."
"Lo tega banget sama gue sih Sherlyna."
"Bukanya gitu, tapi gue bener bener lagi males keluar rumah."
"Ayolah Sherlyna, sahabat gue yang paling baik dan paling gue sayang... Temani gue ya ya, masa iya sih gue datang sendirian sementara teman teman gue yang lain pada bawa pasangan masing masing."
"Yaudah lo bawa pasangan lo aja, gitu aja kok repot."
"Yaelah Sherlyna, kan pasangan gue itu lo."
"Tailah."
"Tuhkan malah di katain gue."
"Emang ada acara apaan sih?" tanya gue pada akhirnya.
"Lo mau temani gue kan?" ucap Beni dengan suara yang antusias.
"Tergantung."
"Udah dari dulu gue di gantungin mulu sama lo Sherlyna." ucap Beni sok dramatis.
"Nggak nyambung bego!" ucap gue.
"Lah emang bener kan? Dari dulu gue di gantungin sama lo."
"Jadi kagak ni?"
"Oke oke, acara kayak biasa sih." ucap Beni dan gue tau di sebrang sana pasti dia nyengir.
Gue pun mendengus. "Gue tunggu lo lima menit lagi di rumah gue atau gue nggak jadi ikut lo."
Setelah berkata seperti itu gue langsung memutuskan sambungan telfon. Beni adalah salah satu teman atau sahabat yang paling dekat sama gue dan karena gue nggak punya kakak jadi gue pun sudah menganggap Beni sebagai kakak gue.
"Kak ada kak Beni diluar." ucap Ramma dari balin pintu.
Eh buset dah, cepet banget datangnya tuh anak? Setan kalinya.
Tanpa menunggu lama gue pun langsung keluar kamar gue dan turun ke lantai bawah, dan benar saja bahwa sudah ada Beni yang sedang mengobrol bersama Ferry di ruang tamu.
"Kak mau pergi ya?" tanya Ramma yang entah sejak kapan sudah ada di samping gue.
"Lo ngagetin gue Ramma, untung gue nggak punya riwayat penyakit jantung." ucap gue sebal.
Ramma malah memanyunkan bibirnya ikutan kesal. "Kan cuma nanya."
Gue mengabaikan Ramma dan berjalan kearah ruang tengah. "Lo cepet banget Ben, kayak setan."
Beni malah cengengesan lalu berkata. "Tadi gue udah di depan rumah lo hehe."
"Yaudah ayo berangkat." ucap Gue.
"Kak gue ikut ya." ucap Ferry dengan wajah memelas.
"Gue juga ikut." ucap Ramma yang langsung berdiri di sebelah Ferry.
Gue menaikkan sebelah alis gue. "Nggak! Kalian nggak boleh ikut gue, kalian masih anak-anak... Dirumah aja jaga rumah siapa tau nanti di bawa keong." ucap gue lalu menarik tangan Beni untuk keluar rumah, gue bisa mendengar Ferry dan Ramma yang berseru kesal.
Setengah jam kemudian, gue dan Beni sudah sampai di tempat tujuan.
"Yakin lo mau balapan disini?" tanya gue sambil melihat kanan dan kiri jalanan yang cukup rame.
"Yakin banget."
"Kenapa nggak di tempat biasanya aja sih? Di sini banyak kendaraan yang lewat." ucap gue.
Beni menatap gue sekilas. "Nggak karena Mario maunya disini." lalu Beni turun dari mobil.
"Woahh dateng juga lo Ben, gue kira lo nggak berani dateng kesini." ucap Mario salah satu rival Beni saat melihat kami berjalan kearahnya.
"Gue bukan pengecut kayak lo." ucap Beni sinis.
"Woa santai bro.... Oh hai Sherlyna."
"Hai Mario." sapa gue balik.
"Kapan mulainya." ucap Beni malas melihat Mario yang memeluk gue dari samping.
"Santai dikit napa Ben, lo kok hari ini keliatannya sensi banget sih? Lagi datang bulan ya." ucapan Mario membuat orang lain yang ada di tempat itu tertawa.
"Oke, lo masih ingat perjanjian kita kan?" tanya Mario lagi.
"Gue nggak pikun." ucap Beni.
Rehan berjalan kearah Beni lalu berkata. "Lo yakin bro dengan perjanjian itu?" tanya Rehan sambil melirik gue.
Membuat gue penasaran sama apa sebenarnya yang jadi bahan taruhan mereka kali ini, karena gue bisa melihat teman teman Beni-ya teman gue juga sih- menatap Beni nggak yakin.
"Emangnya apa taruhan lo kali ini?" tanya gue karena terlalu penasaran ingin tau.
Belum sempat Beni mengucapkan sesuatu Mario sudah mengintruksi untuk Beni segera bersiap. Sebelum melangkah mengikuti Beni yang sudah memasuki mobil, gue bertanya pada Rehan. "Han, emang taruhannya apa?"
Rehan malah tersenyum. "Lo juga nanti bakal tau."
Dih kok pada nyebelin sih!
Dengan malas gue berjalan kearah mobil yang sudah siap untuk balapan.
"Ngapain lo masuk?" tanya Beni.
"Kenapa? Emangnya nggak boleh? Biasanya juga gue ikut kok." ucap gue santai.
"Tapi ini bahaya Sherlyna."
"Udah tau bahaya, tapi masih aja mau balapan disini." ucap gue kesal.
"Turun sekarang." ucap Beni.
"Nggak mau."
"Dasar keras kepala."
"Lo juga."
"Kepala batu."
"Lo juga."
Akhirnya Beni mengalah dan membiarkan gue ikut balapan sama dia
Gue nggak tau kenap kali ini Beni dan Andre memilih jalan raya buat balapan, padahal mereka tau jika balapan di jalan raya yang banyak kendaraan walau sudah larut malam ini sangat rawan kecelakaan.
Awalnya mobil yang kami kendarai berjalan lancar dan meninggalkan Mario jauh di belakaang kami, namum nggak lama kemudian Mario pun menyalip mobil kami.
"Ben, sebenarnya apa sih yang jadi taruhan kalian?" tanya gue.
"Diam dulu Sherlyna, gue lagi konsen ini." ucap Beni dan berhasil menyalip mobil di depan kami.
"Beni--
"Sherlyna diam."
"Ben--
"Diam atau kita mati karena kecelakaan."
Tepat saat Beni berhenti bicara, saat itu juga mobil yang Beni kendarai berusaha menyalip mobil Mario.
"Ben---
Brak!!
Gue mengerang saat merasakan kepala gue yang terasa sangat sakit, mengusap kening gue dan gue langsung terkejut saat ada darah di tangan gue. Dengan secepat mungkin gue melihat kearah kemudi.
Mata gue langsung terbelalak kaget saat melihat Beni yang tidak sadarkan diri.
"Beni bangun."
Gue menggoyangkan badannya berkali kali sambil terus memanggil namanya tapi Beni tetap hanya diam nggak bergerak atau pun bersuara membuat gue semakin panik.
Gue mencoba membuka pintu mobil untuk mencari bantuan, tapi sial karena pintu nggak bisa kebuka. Gue melihat ke kanan dan kekiri yang ternyata sepi, gue berusaha sekuat tenaga untuk membuka pintu mobil tapi tetap ngak bisa.
Kepala gue terasa semakin pusing saat tiba tiba sebuah mobil berhenti di sebelah mobil Beni, orang itu menggedor pintu mobil dekat kemudi dan sepertinya berusaha membuka pintu itu secara paksa dari luar.
Sampai akhirnya pintu itu berhasil terbuka dan gue bisa melihat jelas siapa yang menolong kami, sebelum pada akhirnya gue kembali kehilangan kesadaran gue.
"Michael." bisik gue sangat pelan
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments