Tanteku Istri Mafia

Tanteku Istri Mafia

Aku semakin besar

Namaku William, aku biasanya dipanggil Wili atau Wil. Usiaku 19 tahun, dengan tubuh yang tinggi semampai, 173 cm. Aku termasuk idola di sekolahku.

Ibuku telah tiada, dan sekarang aku tinggal dengan adik angkatnya ibuku. Sedangkan ayah hidup bahagia dengan lembaran baru.

Aku tumbuh menjadi pria yang manis dan menawan, kehidupan yang bahagia dan tercukupi oleh tanteku membuat kehidupan ini terasa lebih baik. Ia bekerja sebagai gadis penjaja mulai dari orang miskin hingga orang kaya ia layani.

"Kak, aku berangkat sekolah dulu ya," ucapku seraya mencium tangan kanannya dengan lembut. Aku memang selalu memanggilnya Kakak, meskipun usianya hanya terpaut lima tahun dariku. Dia tersenyum hangat.

"Iya, Wil. Kamu udah tambah tinggi aja," katanya sambil tertawa kecil.

"Eh, maksud Kakak apa?" tanyaku, ikut tertawa.

"Itu, kamu makin tinggi aja. Kakak yang cuma 160 cm kalah jauh nih," candanya sambil membandingkan tinggi kami.

Aku tertawa kecil. "Ah, Kakak jangan minder. Aku kan tinggi biar bisa jagain Kakak."

Dia tersenyum, lalu menepuk pundakku dengan lembut. "Iya, makasih ya, Wil."

Setelah berpamitan, aku berbalik badan hendak pergi, tapi tiba-tiba aku mendengar Kakak berteriak pelan. Saat aku menoleh, dia tersandung dan kehilangan keseimbangan. Refleks, aku menangkapnya, dan kami berdua jatuh di sofa dengan posisi yang cukup dekat. Untuk beberapa detik, mata kami saling menatap, dan suasana menjadi canggung namun hangat.

"Lututmu gak apa-apa, Kak?" tanyaku dengan khawatir.

"Enggak, Kakak baik-baik aja, kok. Terima kasih ya," jawabnya sambil tersenyum.

Kami akhirnya bangkit dari sofa dengan sedikit tertawa untuk menghilangkan kecanggungan. Kakak kemudian menyuruhku untuk segera berangkat ke sekolah.

"Hati-hati ya di jalan, Wil," katanya sambil melambaikan tangan dengan senyuman yang begitu manis.

"Iya, Kak," jawabku sebelum melangkah keluar, masih merasakan debaran yang tak biasa di dada.

Di luar rumah, aku bertemu dengan Damar, teman lama Kakak yang tampaknya kurang suka melihatku. Dia menatapku tajam, tapi aku hanya tersenyum tipis dan berlalu. Suasana di antara kami memang seringkali aneh, tapi aku lebih memilih untuk tidak memikirkannya terlalu jauh.

Tok tok tok...

Diketuknya pintu, Alisya dan Willi pun tersadar.

"Ah, Willi ya sudah kamu hati-hati ya ke sekolahnya. Dah, sana berangkat." Ucapnya berusaha tenang.

"I, iya kak." Willi kabur dengan perasaan yang tak karuan. "Manis." Ujar Willi mengusap bibirnya.

Sejenak Damar dan Willi bertatapan dengan tajam. Mereka tampak saling tidak menyukai.

"Siapa dia Sya?" Tanya Damar.

"Ah itu, adikku Mar."

"Mesra banget, ku kira pelanggan kamu. Kan kamu sudah aku booking seharian ini."

"Iya, maaf. Aku hanya memberikan perhatian padanya sebagai seorang saudara, udahlah kamu mau kita ke kamar langsung?"

"Iya terserah." Damar mengunci pintu rumah, kemudian menarik tangan Alisya dengan kasar. Alisya sudah terbiasa dengan itu. Damar berani membayar jutaan rupiah untuk sehari bersama Alisya.

Dengan langkah yang tergesa-gesa, mereka memasuki kamar. Damar kemudian meletakkan kedua tangan Alisya di sisi ranjang dengan tali yang ada pada kasur itu. Ia mengeluarkan sebuah alat untuk memancing perasaan, kemudian memasukkan ke tempatnya Alisya.

Kegiatan panas pun terjadi.

****

Willi memasuki gerbang sekolah, ia berjalan menuju kelas. Bertemulah dengan teman-teman. Saat membayar uang kas, ia tak sengaja menyenggol Boba temannya, Intan yang memiliki tubuh paling dewasa di kelas dengan tinggi badan 166 cm.

"Willi, kamu sengaja ya!"

"Sengaja apa?"

"Kamu senggol-senggol punyaku."

"Maaf intan, aku gak sengaja."

"Sini, aku beri pelajaran kamu." Intan menarik tangan Willi menuju gudang sekolah.

Sesampainya disana, dengan berani ia buka bajunya dan menampakkan brah berwarna merah muda. Willi menelan ludahnya dengan kasar.

"Intan, kamu apa-apaan sih." Pakai lagi bajunya. Kepalanya mulai panas ketika nafsu naik ke ubun-ubun.

"Gak mau, salah kamu sendiri." Ia mengalungkan lengannya ke leher Willi dan menakutkan lidah dengan penuh gairah. Intan sudah lama memiliki perasaan pada Willi hanya saja Willi tak menyadari itu. Willi lebih penasaran dengan tantenya yang sekarang menjadi kakaknya.

"Ugh, intan." Willi membalas kuluman intan, lumatan demi lumatan terjadi. Intan mengeluarkan suara indah. Tak ingin membiarkan Bobanya menganggur, Willi meremas Boba intan dengan lembut. Intan tampak menikmati itu. Dan sampaikanlah di puncaknya rok intan yang tersingkap. Selesai dengan bagian atas, Willi menjilati bagian bawah membuat intan merasakan sensasi terbang.

"Aghhh, Wil." Di remasnya rambut Willi.

Hal itu berlangsung selama satu jam, dan membuat mereka ketinggalan jam pelajaran.

Persilatan lidah berakhir, Intan merasa lemas  sekaligus kebahagiaan karena telah dekat dengan sang pujaan. Mungkin ini akan menjadi awal bagi hubungan mereka.

Intan berdiri karena merasa tak yakin terus berada disini meskipun tubuhnya terasa begitu lemas akibat rangsangan.

"Willi, kita telat nih gimana?"

"Udah deh, bolos aja."

"Kalo bolos kita kemana juga?"

"Udah, ke rumahku aja. Kita lanjutin ini."

"Nggak ah, aku udah lemes. Kita disini aja kali ya nunggu sampai pulangan."

"Dari pada disini, mending kita ke perpustakaan, lebih bersih. Kita juga bisa sambil baca buku." Ujar Willi.

"Okey." Jawab Intan setuju.

Willi dan Intan melenggang pergi. Saat menuju perpustakaan, mereka memilih jalan yang tak melewati kelasnya. Dengan sedikit berlari, akhirnya sampai ke perpustakaan.

"Eh Wil, sunyi juga ya perpustakaan. Kamu yakin kita disini aja?"

"Ya, yakin justru bagus kalo sunyi. Gak ada yang akan ngadain kita ke wali kelas."

"Benar juga, yok kita duduk di kursi itu."

"Iya, kamu aja duluan. Aku mau lihat-lihat buku." Willi masuk ke dalam perpustakaan, ia kemudian menyusuri tiap rak buku mencari sebuah novel ternama tentang filsafat, Dunia Shope. "Seharusnya, buku itu ada di rak buku filsafat atau novel. Ya kan?" Ujarnya berbicara sendiri. Saate jelajahi rak buku filsafat, ia tak menemukan. Dan berlanjut ke rak buku novel, dan beruntung. "Akhirnya ketemu!" Seru Willi.

"Ketemu apa Wil?" Tanya intan setengah berteriak.

"Oh, ini. Aku ketemu buku novel impianku. Kamu harus baca deh." Willi duduk disamping Intan lalu mengenalkan buku tersebut.

"Males ah, aku lebih suka dengerin orang ngerumpi."

"Ya elah, dasar perempuan. Ya udah gini aja, kita ngerumpiin buku deh." Willi menawarkan.

"Hah, emang ada? Gimana coba?"

"Ya membicarakan isi buku lah, sinopsis, review buku. Ya semacam itu."

"Ohh, yaudah gih cerita. Aku dengerin aja. Hehehe." Intan tertawa

"Tadi katanya lemes, kok masih ketawa."

Intan memukul kepala Willi berkali-kali dengan pelan, "Udah dong, apa sih. Gak usah dibahas."

"Ya, ya, ya." , "Baiklah aku mulai ya Tan."

"Tan Tan Tan, emang aku bekanta?"

"Bukan, aplikasi biro jodoh."

"Udah dong Wil, serius nah. Biar aku makin rajin baca dulu."

"Iya, aku mulai. Jadi buku ini bisa kamu beli di toko buku maupun aplikasi belanja online."

"Okey Wil aku tau itu, tentang isinya Willi. Sama, filsafat itu apa?"

"Sabar dong intan, kita masuk pelan-pelan. Tentang filsafat dulu ya,"

"Iya." Intan memotong pembicaraan Willi.

"Okey, filsafat. Filsafat itu ya, salah satu cabang ilmu pengetahuan yang tentang berpikir kritis gitu."

"Oh, ini definisi berdasarkan google atau kamu ngarang?"

"Nggak keduanya sih, tapi aku buat dalam kalimat yang lebih sederhana aja." Jawab Willi.

"Hem, lanjut."

"Nah, contoh berpikir kritis itu ialah ketika kita mempertanyakan tentang esensi atau keberadaan dari suatu hal. Pemikiran yang wow sekali dan tampak sepele adalah, apakah ada itu benar-benar ada? Ada definisi ada? Apakah tidak sama berarti kosong? Ya gitu lah."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!