"Wow, Willi. Itu hal yang sepele banget kok dipertanyakan?" Intan bertanya dengan nada agak heran.
"Ya, memang begitu. Filsafat itu juga seringkali mempertanyakan hal-hal mendasar tentang asal usul manusia tanpa mengaitkannya dengan sains atau agama. Misalnya, tentang asal usul alam semesta, serta pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti kenapa, apa, dan bagaimana segala sesuatu ada. Banyak hal yang dipertanyakan dalam filsafat," jawab Willi dengan penuh semangat.
"Tapi, bukannya kesannya mengeluhkan ya? Misalnya, kita bertanya tentang kenapa kita terlambat masuk kelas," Intan mencoba menggali lebih dalam.
"Apa sih Intan, katanya sudah tidak mau membahas itu lagi. Tapi malah kamu yang membahasnya," Willi membalas dengan nada sedikit menggoda.
"Hehehe, bukan gitu Wil. Aku lagi mencoba menerapkan ilmu baru yang kamu berikan saja," jawab Intan sambil tersenyum.
"Meh, serahmulah. Terserah," ucap Willi dengan nada santai.
Willi lalu membuka halaman demi halaman buku, membaca dengan cepat menggunakan teknik scanning. Ia sudah pernah membaca buku tersebut sebelumnya, hanya saja sedikit lupa tentang detail isi buku yang harus diceritakan kembali.
"Cepat amat kamu, Wil," Intan berkata, merasa takjub dengan kecepatan Willi.
"Iya Tan, sengaja. Dengan kejeniusan otakku, semenit saja sudah hafal," Willi menjawab dengan penuh percaya diri.
"Sombong banget deh, ternyata otak kamu gak cuma mesum tapi juga museum," Intan menggoda.
"Oh jelas, makanya aku jadi idaman di kelas," jawab Willi dengan nada bangga.
"Cih, perasaan gak ada yang suka sama kamu di kelas," Intan membantah sambil tertawa kecil.
"Jelas ada dong, ini. Perempuan yang di sampingku," Willi menunjuk Intan sambil tersenyum. Keduanya pun tertawa bersama.
Tak banyak memakan waktu, Willi akhirnya menyelesaikan buku tersebut. "Huh, sudah selesai. Benarkan aku bisa secepat ini."
"Ya memang benar sih, tapi kamu sudah 10 menit lebih loh," Intan mengingatkan.
"10 menit itu juga kan sebentar, tetap keren kan," Willi tetap dengan nada percaya dirinya.
"Okey, kamu keren. Puas?" Intan pun mengalah dan sedikit jengah mendengar kesombongan Willi.
"Hahaha, puas banget. Apalagi kalau tangan kamu ke sini," Willi menunjuk anak kecil yang ada di antara kedua kakinya dengan nada bercanda.
"Wil, udah dong. Aku malu, jangan bahas itu," Intan merespons dengan nada malu.
"Baiklah, intanku," Willi mengelus pucuk kepala Intan dengan lembut.
"Sejak kapan aku jadi intanmu?" Intan berdiri dengan berkacak pinggang, wajahnya bersemu merah. Sebenarnya, ia merasa senang, tetapi gengsinya membuatnya enggan mengakui perasaannya.
"Intan, aku sudah baca nih. Kamu mau dengar isinya gak?" Willi menawarkan.
Intan tak langsung menjawab, hanya mengangguk. Willi lalu mulai menceritakan kisah dari buku yang baru saja dibacanya. Buku itu menceritakan tentang seorang anak perempuan yang memiliki ibu tetapi tidak memiliki ayah. Di dalam cerita tersebut, tidak dijelaskan secara jelas tentang keberadaan ayahnya. Cerita dimulai ketika anak perempuan itu menemukan sebuah surat kaleng yang berisi penjelasan tentang filsafat dan sejarah. Surat tersebut ditemukan Shopee dan anjingnya di semak-semak dan mereka biasanya mengambilnya setelah pulang sekolah.
Cerita semakin kompleks ketika si anak perempuan semakin penasaran dengan siapa orang yang mengirimkan surat tersebut. Ia bertemu dan belajar tentang filsafat, dan dalam cerita itu ada unsur magis. Di akhir cerita, terungkap bahwa orang yang mengajarinya filsafat adalah ayahnya sendiri.
"Wow, amazing banget! Aku suka cerita ini karena menggambarkan perjuangan Shopee untuk mencari tahu siapa sebenarnya Bapak tua yang ada di surat itu. Walaupun pelajaran tentang filsafatnya terkait dengan suatu agama, kadang aku skripsi di bagian informasi filsafat tersebut. Aku tidak mau terpengaruh oleh agama, hehehe. Aku cuma mau membaca tentang filsafat non-agama," jelas Willi dengan semangat.
"Oh, menarik juga ya. Tapi agak membosankan bagiku," Intan merespons dengan nada ragu.
"Nggak membosankan juga kok, soalnya filsafatnya nggak terlalu menonjol, lebih menggambarkan cerita novel. Aku yakin kamu pasti suka. Kamu harus membacanya," Willi meyakinkan.
"Huh, malas aku. Aku sukanya yang romance seperti Juliet, kisah cinta Laila Majnun, sama pujangga yang bikin banget itu, siapa ya lupa," Intan mengungkapkan ketidaksukaannya.
"Pujangga mana banyak banget kok yang bucin," tanya Willi penasaran.
"Lah iya ya, lupa aku namanya siapa. Pokoknya aku suka banget," Intan menjawab sambil mengingat-ingat.
Willy dan Intan melanjutkan waktu mereka di perpustakaan dengan membahas kesukaan masing-masing. Mereka berbagi pandangan tentang buku, sastra, dan filsafat, menikmati setiap momen kebersamaan sambil terus belajar dan tertawa.
"Damar, eengh." Alisya melenguh saat Damar memberikan perhatian khusus kepadanya dengan lembut. Meskipun mereka sering menghabiskan waktu bersama, Damar belum pernah menunjukkan perhatian sedalam ini. Suara dan ekspresi Alisya menunjukkan kepuasan dan kenyamanan.
Damar kemudian menghentikan sentuhannya dan melepaskan pelukan lembutnya, dan mereka berbaring di kasur setelah momen tersebut. Alisya merasa relaks meskipun ada sedikit kekuatan yang masih terasa.
"Damar, apakah kita akan terus seperti ini?" tanya Alisya, mencoba untuk berbicara terbuka.
"Entahlah sayang, bagaimana menurutmu Alisya?" Damar berbaring miring dan menatap Alisya dengan penuh perhatian. Alisya berbaring menghadap ke atas, sementara Damar dengan lembut menggenggam tangannya.
"Apakah kita akan selalu melakukan ini tanpa membicarakan apa yang kita rasakan?" Alisya bertanya lagi.
Damar merasakan ketulusan dalam pertanyaan Alisya. "Aku ingin kita lebih dari sekadar momen-momen seperti ini. Aku ingin kita lebih terbuka dan saling memahami."
Saat Damar menyadari pentingnya berbicara tentang perasaan mereka, mereka saling berpelukan dengan penuh pengertian. Keduanya merasa nyaman dan saling mendukung.
Bel sekolah berbunyi, menandakan waktu pulang tiba. Willi dan Intan memutuskan untuk pulang bersama dan menuju kelas mereka yang sudah kosong.
"Wil, menurutmu kita akan dihukum karena telat?" tanya Intan dengan cemas.
"Rasanya tidak, teman kita baik. Bisa jadi mereka akan mengurus absen kita," jawab Willi.
"Oh, iya ya. Sepertinya kita aman," Intan merasa lebih tenang.
Willi merasa ingin lebih dekat dengan Intan. "Intan, bolehkah aku minta nomor WhatsApp kamu?"
Intan ragu sejenak. "Aku punya kakak laki-laki yang cukup protektif, jadi aku khawatir jika dia tahu."
"Bagaimana kalau aku simpan nomormu dengan nama teman perempuan? Itu mungkin lebih aman," saran Willi.
Intan setuju, dan mereka saling bertukar nomor WhatsApp dengan cara yang aman.
Setibanya di rumah, Willi mengetuk pintu kamar Kak Alisya namun tidak ada jawaban. Ia mendengar suara dari dalam dan merasa sedikit khawatir.
"Oh, sepertinya Kak Alisya sedang sibuk. Aku harus menunggu sebentar," pikir Willi.
Willi memutuskan untuk masuk melalui pintu belakang yang sering dibiarkan tidak terkunci. Saat memasuki rumah, ia mendengar percakapan antara Kak Alisya dan Damar. Meskipun Willi tidak bisa melihat dengan jelas, ia menghormati privasi mereka.
Willi kembali ke kamarnya dan mencoba untuk fokus pada kegiatan lain, menghargai ruang pribadi Kak Alisya dan Damar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Subah Man
rezdod bati bali
2024-09-14
0