Damar melangkah keluar dari rumah Alisya dengan hati yang bercampur aduk. Udara malam yang sejuk seolah-olah tidak mampu meredakan gejolak perasaannya. Ia membuka pintu mobil sportnya, sebuah Ferrari berwarna merah yang mengilap di bawah sinar bulan. Dengan sekali tarikan napas dalam-dalam, ia memasukkan kunci dan mesin mobil menderu nyaring, memecah kesunyian malam.
Jalanan malam yang lengang menjadi saksi bisu perjalanan Damar. Di balik kemudi, pikirannya melayang mengenang momen-momen bersama Alisya. Namun, malam ini ia memutuskan bahwa segala sesuatunya harus berakhir. Lampu-lampu kota yang memudar menjadi bayang-bayang saat ia melaju ke arah pinggiran kota, tempat rumah megahnya berdiri.
Setibanya di depan gerbang rumahnya, Damar menekan tombol di dashboard mobilnya. Gerbang besar otomatis dari besi tempa terbuka perlahan, memperlihatkan jalan setapak yang dilapisi batu alam menuju rumah utama. Lampu-lampu taman yang dipasang rapi sepanjang jalan setapak memberikan kesan mewah dan elegan.
Rumah Damar adalah sebuah mansion bergaya klasik dengan sentuhan modern. Dinding-dindingnya yang tinggi dihiasi dengan ukiran-ukiran artistik, mencerminkan kemewahan yang tak tertandingi. Pilar-pilar besar menopang teras depan yang luas, di mana lampu kristal bergantung dengan anggun di langit-langit.
Damar memarkir mobilnya di garasi yang cukup untuk menampung lima mobil mewah. Ia melangkah masuk ke dalam rumah melalui pintu utama yang tinggi dan berat, terbuat dari kayu jati dengan ukiran yang rumit.
Di dalam, sebuah foyer luas menyambutnya dengan lantai marmer putih yang berkilau. Lampu gantung kristal besar menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya yang memukau ke seluruh ruangan. Tangga besar dengan pegangan besi tempa berornamen emas mengarah ke lantai atas, sementara dinding-dindingnya dipenuhi dengan lukisan-lukisan masterpiece dari pelukis terkenal.
Damar melangkah ke ruang keluarga yang luas, di mana sofa-sofa kulit berwarna krem tersusun rapi di sekitar perapian marmer. Di atas perapian, sebuah lukisan besar bergaya Renaissance menambah kesan aristokratik ruangan itu. Jendela-jendela besar dari lantai hingga langit-langit menawarkan pemandangan taman belakang yang luas, lengkap dengan kolam renang infinity dan gazebo mewah.
Damar duduk di salah satu sofa, menghela napas panjang. Kehidupan di rumah megah ini sangat berbeda dengan saat ia bersama Alisya. Di sini, semuanya tampak sempurna dan mewah, namun terasa hampa. Ia merindukan kehangatan dan kebersamaan yang ia rasakan saat berada di rumah Alisya.
Dengan segala kemewahan yang ia miliki, Damar menyadari bahwa kekayaan dan kemewahan tidak bisa menggantikan kehangatan sebuah rumah yang penuh cinta. Di malam yang tenang itu, di tengah-tengah kemewahan rumahnya, Damar menyadari bahwa ia harus menemukan keseimbangan antara harta dan hati.
Merasa kesal dengan kehidupannya. Dipanggilnya seorang pelayan rumah, "Kemari, ambilkan aku sebuah minuman berat."
"Baik tuan." Pelayanan melenggang pergi, menuju sebuah gudang penyimpanan minuman.
Ia mengambil sebuah botol berwarna unik, yang menjadi minuman favorit Damar. Setelah mengambil, pelayanan itupun bergegas menghampiri Damar dan menyerahkan minuman itu ke atas meja.
Pelayanan yang lain datang bersamaan dengannya, dan meletakkan sebuah gelas kaca. Mereka menuangkan minuman dengan posisi duduk bersimpuh di lantai. Begitu gugup rasanya menuangkan minuman dihadapan tuan. Pelayanan itu bernama Maryanti. Sedangkan pelayanan lainnya berdiri disisi kanan menunggu perintah selanjutnya.
Damar memandangi cara pelayanan menuangkan minuman. Matanya mendelik ketika menyadari gelas yang diambilkan tidak sesuai dengan keinginannya.
"Hei, apa-apaan ini. Mana gelas kelapaku!" Menggebrak meja. Tatapan tajam menusuk keluar dari wajah Damar. Para pelayan merasa ketakutan. "Maaf, tuan. Itu karena _" Belum sempat ia berbicara. Damar segera memotong.
"Umur kalian sampai disini saja. Exa! Kemari kau."
Seorang pria tegap dengan pakaian hitam datang menghampiri. "Ya tuan?"
"Kembalikan mereka pada tuhan, segera."
Exa tidak heran lagi dengan sikap sahabatnya itu, dia memang tidak berperasaan.
"Baik tuan, saya permisi dan akan mengurus ini semua."
Maryanti merasa lemas dibuatnya, Exa menarik tangan Maryanti juga temannya ke suatu tempat. Dan mengakhiri di tempat itu, kandang buaya. Ya, itu merupakan malaikat maut di rumah Damar. Malaikat dua alam.
"Tidaak, tuan kumohon ampunilah kami. Jangan biarkan kami mati sia-sia ini."
"Exa, jangan lemparkan kami seperti ini."
Teriak kedua pelayanan wanita itu ketika ia di dorong paksa ke dalam kandang buaya.
"Kalian mati dengan meninggalkan manfaat, mengenyangkan malaikat mautmu." Gumam Damar dari kejauhan.
Air darat terciprat ke atas mengenai dahi Exa. Ia mengusap wajahnya dengan lengan baju. Huhh, ia menghembus nafas secara kasar. "Sampai kapan kamu akan sekejam ini Dam?"
Para wanita menjerit kesakitan. Buaya yang kelaparan berlarian menghampiri dan mencabik daging itu dengan lahap. Ini hal yang buruk dan tidak berperasaan.
Namun Damar selalu selamat dalam segala masalah. Hanya karena gelas yang salah ia berani berbuat jahat. Bagaimana tidak, gelas kepala hijau merupakan gelas favoritnya. Gelas itu pemberian oleh mendiang neneknya. Gelas yang kuno dan memiliki nilai sejarah.
Damar merasa tidak ingin meminum dari gelas manapun. Demi memenuhi kepalanya dengan cairan, ia menegak air itu langsung dari botolnya. Meminum dengan rakus.
"Rasanya sedikit lebih masam dari pada ketika aku menggunakan gelas. Tapi ini cukup menyenangkan." Senyum smirk mengambang pada bibirnya, kepalanya terasa lebih ringan dari pada sebelumnya. Ia telah menghabiskan sebotol minuman. Meresa kurang, lalu ia pergi mendatangi bar pribadi/gudang penyimpanan minuman nya.
Damar duduk di bar pribadi di ruang bawah tanah rumahnya. Deretan botol-botol minuman keras berjejer rapi di rak-rak kaca, mencerminkan kemewahan yang sama dengan seluruh bagian rumahnya. Ia menuangkan whisky ke dalam gelas kelapa khasnya dan meneguknya dengan cepat. Rasanya panas, tetapi tidak cukup untuk mengusir dinginnya kesepian yang ia rasakan. Neneknya meninggalkan ribuan kelas kelapa hijau dan tersebar di seluruh ruangan sehingga mudah bagi pelayanan untuk menjangkau. Itulah yang membuat Damar murka, kenapa pelayannya tak dapat mengambilkan itu padahal tersedia di setiap ruang dan selalu di perbarui setiap digunakan.
Botol demi botol, Damar terus minum. Pikirannya semakin kabur, dan dunia di sekitarnya mulai berputar. Ia terhuyung-huyung, mencoba berdiri, tetapi hanya untuk jatuh kembali ke kursi bar yang tinggi. Matanya setengah tertutup, tetapi bayangan-bayangan dari masa lalunya terus menghantuinya.
Exa, sahabat sekaligus bawahannya yang paling setia, memasuki ruangan. Ia menemukan Damar dalam keadaan yang menyedihkan, mabuk dan terpuruk. Dengan cepat, Exa berjalan mendekat, matanya penuh keprihatinan.
"Damar, ini tidak bisa terus begini," kata Exa dengan suara tegas namun lembut. "Kamu menghancurkan dirimu sendiri."
Damar memandang Exa dengan mata yang buram. "Apa pedulimu, Exa? Ini hidupku, biarkan aku," gumamnya dengan suara serak.
Exa menghela napas panjang, lalu duduk di samping Damar. "Aku peduli karena aku sahabatmu, Damar. Aku tidak bisa melihatmu terpuruk seperti ini. Kamu punya segala yang orang lain impikan, tapi kamu memilih untuk menghancurkan dirimu sendiri."
Damar meraih botol whisky dan mencoba menuangkan lagi, tetapi Exa dengan cepat mengambil botol itu dari tangannya. "Sudah cukup, Damar," katanya dengan nada tegas.
Wajah Damar berubah merah, campuran antara kemarahan dan mabuk. "Kembalikan botol itu, Exa! Kamu pikir kamu siapa, berani-beraninya menasihatiku seperti ini?"
Exa tetap tenang, meskipun ia bisa merasakan kemarahan Damar yang semakin memuncak. "Aku sahabatmu, Damar. Itulah siapa aku. Aku ada di sini untuk memastikan kamu tidak menghancurkan dirimu sendiri."
Damar berdiri dengan goyah, menatap Exa dengan tajam. "Kamu tidak mengerti, Exa. Kamu tidak pernah mengerti," katanya dengan nada penuh kekecewaan.
Exa memegang bahu Damar dengan lembut namun tegas. "Mungkin aku tidak sepenuhnya mengerti, Damar. Tapi aku tahu satu hal: menghancurkan dirimu sendiri tidak akan menyelesaikan apa-apa. Kamu harus bangkit dan menghadapi masalahmu."
Untuk sesaat, Damar hanya berdiri diam, perasaan marah dan kecewa berkecamuk dalam dirinya. Tetapi di balik kemarahan itu, ada rasa sakit yang dalam. Ia tahu, di dalam hatinya, bahwa Exa benar.
Dengan berat hati, Damar melepaskan diri dari genggaman Exa dan duduk kembali. Matanya penuh air mata yang tertahan. "Aku tidak tahu bagaimana caranya, Exa. Aku benar-benar tidak tahu," katanya dengan suara yang hampir patah.
Exa duduk di sampingnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. "Kamu tidak sendirian, Damar. Aku ada di sini untukmu. Kita akan melewati ini bersama-sama."
Damar memandang Exa dengan penuh rasa terima kasih yang dalam. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tidak sendirian. Mungkin, dengan bantuan sahabat sejatinya, ia bisa menemukan jalan keluar dari kegelapan yang selama ini membelenggunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments