...Damar Pria Normal?...
Entahlah...
Damar menghentikan pelukannya dengan Exa. "Jangan peluk aku terlalu lama, aku sudah mandi, aku sudah tampan. Ingat aku seorang pria normal." Ucapnya dengan memasang wajah datar. Berusaha merapikan seluruh penampilannya yang acak-acakan.
"Hahaha, aku tau. Kau menghancurkan momen haru kita dam."
"Ah lupakan saja, antar aku ke kamarku."
Exa menghampiri Damar lebih dekat, memapah bahu Damar menuju keluar. Badan Damar cukup apik, tinggi, putih, dan berotot. Namun jika dibandingkan dengan Exa, jelas Damar hanyalah adik kecil baginya. Exa memiliki tubuh setinggi 180 cm, dan ia lima centimeter lebih tinggi dari Damar. Badannya begitu kokoh dengan pahatan roti sobek pada dada maupun perutnya. Memapah Damar bukanlah hal yang berat baginya.
Langkah demi langkah dilalui, Damar tampak sempoyongan. Alkohol itu mulai bereaksi pada tubuhnya, padahal tadi ia baik-baik saja.
Exa menggeram kesal melihat temannya yang hidup dalam kehampaan. Mau bagaimana lagi, mereka telah berteman begitu lama. Dan saling merasa nyaman. Sehingga Exa merasa tak keberatan untuk menjadi bawahan temannya. Karena ikatan persahabatan yang begitu kuat.
Damar mengalungkan tangannya pada leher Exa, dan pria kokoh itu menggenggam lengan Damar serta melingkarkan tangannya pada pinggang pria mabuk.
Exa dan Damar pernah berjanji untuk tidak jatuh cinta pada perempuan, karena mereka pernah bertengkar akibat memperebutkan perempuan yang sama. Cinta semasa sekolah, memang dapat membuat gila. Cinta gila, cinta monyet.
"Aku tak akan jatuh cinta lagi dengan perempuan."
"Aku juga, kamu janji?"
"Janji " menyatukan dua jari kelingking.
Ya, penggalan janji cinta mereka. Bukan, bukan cinta. Tapi komitmen untuk tidak jatuh cinta. Namun, seiring berjalannya waktu dan banyaknya masalah pekerjaan yang harus ia tangani Damar merasa perlu sebuah kelembutan yang menghangatkan. Itu hanya ada pada wanita.
Ketika menaiki tangga menuju lantai dua, Damar tersandung tangga, "aghh, kakiku!"
"Maaf dam, aku akan menggendongmu.
Damar hanya mengangguk menerima perlakuan Exa yang begitu perkasa.
Digendongnya Damar ala monyet gantung, Damar memeluk Exa dari depan begitu erat seerat gadis perawan di malam pertama dalam sebuah rumah hantu.
Suasana yang sunyi menambah cita rasa yang lebih nyaman. Damar nampak nyaman dalam dekapan pria kokoh. "Xa, aku merindukanmu."
Exa tak memperhatikan ucapan temannya. Ia hanya ingin mengantarkan Damar ke dalam kamarnya, dan membaringkan pria malang itu.
Perjalanan menuju kamar terasa lama, dengan setiap langkah Exa yang terasa berat. Namun, ia tetap teguh, memastikan Damar tidak terjatuh. Akhirnya, mereka tiba di kamar. Exa perlahan menurunkan Damar ke tempat tidur, merebahkan tubuh sahabatnya yang lemas.
Saat Exa bersiap untuk berdiri, tiba-tiba Damar yang setengah sadar menarik tangan Exa dengan kuat. Keseimbangan Exa hilang seketika, dan tubuhnya terjatuh ke atas tempat tidur, tepat di samping Damar. Keduanya terdiam sejenak, mata mereka saling bertemu dalam keheningan malam yang hangat. Exa merasa jantungnya berdetak kencang, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Namun, tanpa diduga, Damar hanya tersenyum kecil, kemudian memejamkan mata, tenggelam dalam tidur nyenyak. Exa menghela napas lega, meski masih bisa merasakan degup jantungnya yang belum tenang. Ia kemudian bangkit pelan-pelan, memastikan Damar nyaman sebelum meninggalkan kamar dengan hati yang masih berdebar.
"Apa-apaan ini, katanya sudah normal. Jika ia masih mengharapkanku seharusnya ia jauhi semua wanita itu."
Exa meninggalkan kamar Damar dengan perasaan yang bimbang. Antara harus memperjuangkan janjinya atau menerima takdir yang tak dapat mempersatukan mereka dan hubungan apapun.
Damar terlelap begitu dalam, tubuhnya terbenam dalam kasur empuk yang terasa seakan menelan seluruh keletihannya. Napasnya teratur dan lembut, seiring dengan naik turunnya dada yang perlahan. Dalam tidurnya, wajah Damar terlihat tenang, seolah-olah semua beban yang ia rasakan telah terlepas. Dalam mimpi, Damar mungkin berada di tempat yang damai, jauh dari hiruk-pikuk malam sebelumnya.
Sementara itu, pagi mulai merangkak naik, sinar matahari perlahan menyelinap masuk melalui jendela kamar. Di ruangan lain, Intan, adik Damar, mulai terbangun. Dengan mata setengah terbuka, ia bangkit dari tempat tidurnya, masih terselimuti rasa kantuk. Namun, begitu ia mengingat kejadian kemarin, kantuk itu seketika sirna. Pikirannya kembali pada momen bersama Willi di gudang sekolah. Mereka berdua, dalam keheningan ruangan yang sunyi, terjebak dalam perasaan yang menggelora. Tatapan Willi yang dalam, sentuhan lembut yang tak terduga, membuat hati Intan berdegup kencang setiap kali mengingatnya.
Ia menuju kamar mandi dengan langkah pelan, namun hatinya berdebar. Di sana, di bawah pancuran air, pikirannya terus melayang pada kejadian kemarin. Ia membiarkan air mengalir di tubuhnya, namun tidak benar-benar merasakannya. Lamunan tentang Willi, tentang cara ia tersenyum, tentang sentuhan lembut yang masih terasa di kulitnya, membuat Intan berlama-lama di kamar mandi. Ia tersenyum sendiri, membayangkan bagaimana kelanjutan hubungan mereka.
Sementara itu, Damar akhirnya terbangun dari tidurnya. Masih setengah sadar, ia menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri. Namun, di tengah-tengah mencuci rambut dengan sampo, ia menyadari bahwa air kerannya tiba-tiba mati. Sampo yang masih menempel di rambutnya membuat kepalanya terasa gatal, dan ia merasa harus segera menemukan air. Tanpa berpikir panjang, Damar keluar dari kamar mandinya dengan sampo yang masih berbuih di kepalanya, menuju kamar mandi Intan.
Ia mengetuk pintu kamar mandi adiknya, tetapi tidak ada jawaban. Dengan perasaan mendesak, Damar mencoba membuka pintu, dan ternyata tidak terkunci. Ia masuk tanpa berpikir panjang, hanya untuk menemukan Intan yang masih terjebak dalam lamunannya di bawah pancuran air. Intan tersentak ketika menyadari kehadiran Damar, namun sebelum ia sempat protes, Damar sudah meminta izin untuk menggunakan air.
Damar dengan cepat menundukkan kepala di bawah pancuran air yang sama, berusaha membilas sampo yang sudah mulai mengganggu matanya. Intan, yang masih terkejut dengan kehadiran kakaknya di kamar mandi, hanya bisa terpaku sejenak. Rasa malunya mulai naik ke wajah, membuat pipinya memerah. Dia tidak pernah membayangkan harus berbagi momen seperti ini dengan kakaknya.
"Aduh, Damar! Keluar dari sini!" seru Intan, suaranya bercampur antara kesal dan malu. Namun, Damar tetap tenang dan tak berhenti membilas rambutnya.
"Sebentar aja, mata gue perih banget nih," jawab Damar dengan nada yang sedikit memohon. Ia tahu situasinya canggung, tapi ia benar-benar tidak punya pilihan lain.
Intan semakin kesal. Dia merasa privasinya telah dilanggar, meskipun ia juga tahu Damar tidak punya maksud buruk. Dengan cepat, ia mengangkat tangannya dan memukul punggung Damar dengan telapak tangan. "Keluar, Damar! Ini kamar mandi cewek!"
Damar meringis sedikit, menahan rasa sakit dari pukulan adiknya yang walaupun tidak terlalu keras, tapi cukup membuatnya kaget. "Iya, iya! Sebentar aja, sumpah!" katanya lagi sambil menutup matanya rapat-rapat, berusaha secepat mungkin membersihkan sisa-sisa sampo dari rambutnya.
Intan yang merasa serba salah, hanya bisa mengalihkan pandangannya, menunggu kakaknya menyelesaikan urusannya. Dalam hati, ia mengutuk dirinya sendiri karena terlalu lama melamun hingga menyebabkan situasi aneh ini terjadi. Suasana kamar mandi yang tadinya penuh dengan lamunan romantis kini berubah menjadi momen yang penuh ketegangan dan sedikit rasa canggung.
Akhirnya, Damar berhasil membilas semua sampo dari rambutnya. Ia menghela napas lega dan segera mundur dari pancuran, memberi ruang bagi Intan. "Oke, selesai. Maaf ya, nggak ada maksud ganggu," katanya sambil menunduk sedikit, menunjukkan rasa bersalah.
Intan menghela napas panjang, masih merasa malu, tetapi ia bisa merasakan ketulusan dari permintaan maaf kakaknya. "Ya sudah, lain kali jangan gitu lagi. Ganggu orang mandi aja," ucapnya, suaranya lebih lembut namun tetap penuh peringatan.
Damar hanya mengangguk sebelum cepat-cepat keluar dari kamar mandi, meninggalkan Intan yang berusaha menenangkan diri dan melanjutkan mandinya. Suasana kembali hening, hanya suara air yang mengalir yang terdengar, namun rasa canggung masih tersisa di udara, enggan sedikit canggung, Damar mencuci rambutnya di bawah pancuran yang sama, sementara Intan perlahan mulai kembali ke realitas. Pagi itu diwarnai dengan keheningan yang aneh, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments