NovelToon NovelToon

Tanteku Istri Mafia

Aku semakin besar

Namaku William, aku biasanya dipanggil Wili atau Wil. Usiaku 19 tahun, dengan tubuh yang tinggi semampai, 173 cm. Aku termasuk idola di sekolahku.

Ibuku telah tiada, dan sekarang aku tinggal dengan adik angkatnya ibuku. Sedangkan ayah hidup bahagia dengan lembaran baru.

Aku tumbuh menjadi pria yang manis dan menawan, kehidupan yang bahagia dan tercukupi oleh tanteku membuat kehidupan ini terasa lebih baik. Ia bekerja sebagai gadis penjaja mulai dari orang miskin hingga orang kaya ia layani.

"Kak, aku berangkat sekolah dulu ya," ucapku seraya mencium tangan kanannya dengan lembut. Aku memang selalu memanggilnya Kakak, meskipun usianya hanya terpaut lima tahun dariku. Dia tersenyum hangat.

"Iya, Wil. Kamu udah tambah tinggi aja," katanya sambil tertawa kecil.

"Eh, maksud Kakak apa?" tanyaku, ikut tertawa.

"Itu, kamu makin tinggi aja. Kakak yang cuma 160 cm kalah jauh nih," candanya sambil membandingkan tinggi kami.

Aku tertawa kecil. "Ah, Kakak jangan minder. Aku kan tinggi biar bisa jagain Kakak."

Dia tersenyum, lalu menepuk pundakku dengan lembut. "Iya, makasih ya, Wil."

Setelah berpamitan, aku berbalik badan hendak pergi, tapi tiba-tiba aku mendengar Kakak berteriak pelan. Saat aku menoleh, dia tersandung dan kehilangan keseimbangan. Refleks, aku menangkapnya, dan kami berdua jatuh di sofa dengan posisi yang cukup dekat. Untuk beberapa detik, mata kami saling menatap, dan suasana menjadi canggung namun hangat.

"Lututmu gak apa-apa, Kak?" tanyaku dengan khawatir.

"Enggak, Kakak baik-baik aja, kok. Terima kasih ya," jawabnya sambil tersenyum.

Kami akhirnya bangkit dari sofa dengan sedikit tertawa untuk menghilangkan kecanggungan. Kakak kemudian menyuruhku untuk segera berangkat ke sekolah.

"Hati-hati ya di jalan, Wil," katanya sambil melambaikan tangan dengan senyuman yang begitu manis.

"Iya, Kak," jawabku sebelum melangkah keluar, masih merasakan debaran yang tak biasa di dada.

Di luar rumah, aku bertemu dengan Damar, teman lama Kakak yang tampaknya kurang suka melihatku. Dia menatapku tajam, tapi aku hanya tersenyum tipis dan berlalu. Suasana di antara kami memang seringkali aneh, tapi aku lebih memilih untuk tidak memikirkannya terlalu jauh.

Tok tok tok...

Diketuknya pintu, Alisya dan Willi pun tersadar.

"Ah, Willi ya sudah kamu hati-hati ya ke sekolahnya. Dah, sana berangkat." Ucapnya berusaha tenang.

"I, iya kak." Willi kabur dengan perasaan yang tak karuan. "Manis." Ujar Willi mengusap bibirnya.

Sejenak Damar dan Willi bertatapan dengan tajam. Mereka tampak saling tidak menyukai.

"Siapa dia Sya?" Tanya Damar.

"Ah itu, adikku Mar."

"Mesra banget, ku kira pelanggan kamu. Kan kamu sudah aku booking seharian ini."

"Iya, maaf. Aku hanya memberikan perhatian padanya sebagai seorang saudara, udahlah kamu mau kita ke kamar langsung?"

"Iya terserah." Damar mengunci pintu rumah, kemudian menarik tangan Alisya dengan kasar. Alisya sudah terbiasa dengan itu. Damar berani membayar jutaan rupiah untuk sehari bersama Alisya.

Dengan langkah yang tergesa-gesa, mereka memasuki kamar. Damar kemudian meletakkan kedua tangan Alisya di sisi ranjang dengan tali yang ada pada kasur itu. Ia mengeluarkan sebuah alat untuk memancing perasaan, kemudian memasukkan ke tempatnya Alisya.

Kegiatan panas pun terjadi.

****

Willi memasuki gerbang sekolah, ia berjalan menuju kelas. Bertemulah dengan teman-teman. Saat membayar uang kas, ia tak sengaja menyenggol Boba temannya, Intan yang memiliki tubuh paling dewasa di kelas dengan tinggi badan 166 cm.

"Willi, kamu sengaja ya!"

"Sengaja apa?"

"Kamu senggol-senggol punyaku."

"Maaf intan, aku gak sengaja."

"Sini, aku beri pelajaran kamu." Intan menarik tangan Willi menuju gudang sekolah.

Sesampainya disana, dengan berani ia buka bajunya dan menampakkan brah berwarna merah muda. Willi menelan ludahnya dengan kasar.

"Intan, kamu apa-apaan sih." Pakai lagi bajunya. Kepalanya mulai panas ketika nafsu naik ke ubun-ubun.

"Gak mau, salah kamu sendiri." Ia mengalungkan lengannya ke leher Willi dan menakutkan lidah dengan penuh gairah. Intan sudah lama memiliki perasaan pada Willi hanya saja Willi tak menyadari itu. Willi lebih penasaran dengan tantenya yang sekarang menjadi kakaknya.

"Ugh, intan." Willi membalas kuluman intan, lumatan demi lumatan terjadi. Intan mengeluarkan suara indah. Tak ingin membiarkan Bobanya menganggur, Willi meremas Boba intan dengan lembut. Intan tampak menikmati itu. Dan sampaikanlah di puncaknya rok intan yang tersingkap. Selesai dengan bagian atas, Willi menjilati bagian bawah membuat intan merasakan sensasi terbang.

"Aghhh, Wil." Di remasnya rambut Willi.

Hal itu berlangsung selama satu jam, dan membuat mereka ketinggalan jam pelajaran.

Persilatan lidah berakhir, Intan merasa lemas  sekaligus kebahagiaan karena telah dekat dengan sang pujaan. Mungkin ini akan menjadi awal bagi hubungan mereka.

Intan berdiri karena merasa tak yakin terus berada disini meskipun tubuhnya terasa begitu lemas akibat rangsangan.

"Willi, kita telat nih gimana?"

"Udah deh, bolos aja."

"Kalo bolos kita kemana juga?"

"Udah, ke rumahku aja. Kita lanjutin ini."

"Nggak ah, aku udah lemes. Kita disini aja kali ya nunggu sampai pulangan."

"Dari pada disini, mending kita ke perpustakaan, lebih bersih. Kita juga bisa sambil baca buku." Ujar Willi.

"Okey." Jawab Intan setuju.

Willi dan Intan melenggang pergi. Saat menuju perpustakaan, mereka memilih jalan yang tak melewati kelasnya. Dengan sedikit berlari, akhirnya sampai ke perpustakaan.

"Eh Wil, sunyi juga ya perpustakaan. Kamu yakin kita disini aja?"

"Ya, yakin justru bagus kalo sunyi. Gak ada yang akan ngadain kita ke wali kelas."

"Benar juga, yok kita duduk di kursi itu."

"Iya, kamu aja duluan. Aku mau lihat-lihat buku." Willi masuk ke dalam perpustakaan, ia kemudian menyusuri tiap rak buku mencari sebuah novel ternama tentang filsafat, Dunia Shope. "Seharusnya, buku itu ada di rak buku filsafat atau novel. Ya kan?" Ujarnya berbicara sendiri. Saate jelajahi rak buku filsafat, ia tak menemukan. Dan berlanjut ke rak buku novel, dan beruntung. "Akhirnya ketemu!" Seru Willi.

"Ketemu apa Wil?" Tanya intan setengah berteriak.

"Oh, ini. Aku ketemu buku novel impianku. Kamu harus baca deh." Willi duduk disamping Intan lalu mengenalkan buku tersebut.

"Males ah, aku lebih suka dengerin orang ngerumpi."

"Ya elah, dasar perempuan. Ya udah gini aja, kita ngerumpiin buku deh." Willi menawarkan.

"Hah, emang ada? Gimana coba?"

"Ya membicarakan isi buku lah, sinopsis, review buku. Ya semacam itu."

"Ohh, yaudah gih cerita. Aku dengerin aja. Hehehe." Intan tertawa

"Tadi katanya lemes, kok masih ketawa."

Intan memukul kepala Willi berkali-kali dengan pelan, "Udah dong, apa sih. Gak usah dibahas."

"Ya, ya, ya." , "Baiklah aku mulai ya Tan."

"Tan Tan Tan, emang aku bekanta?"

"Bukan, aplikasi biro jodoh."

"Udah dong Wil, serius nah. Biar aku makin rajin baca dulu."

"Iya, aku mulai. Jadi buku ini bisa kamu beli di toko buku maupun aplikasi belanja online."

"Okey Wil aku tau itu, tentang isinya Willi. Sama, filsafat itu apa?"

"Sabar dong intan, kita masuk pelan-pelan. Tentang filsafat dulu ya,"

"Iya." Intan memotong pembicaraan Willi.

"Okey, filsafat. Filsafat itu ya, salah satu cabang ilmu pengetahuan yang tentang berpikir kritis gitu."

"Oh, ini definisi berdasarkan google atau kamu ngarang?"

"Nggak keduanya sih, tapi aku buat dalam kalimat yang lebih sederhana aja." Jawab Willi.

"Hem, lanjut."

"Nah, contoh berpikir kritis itu ialah ketika kita mempertanyakan tentang esensi atau keberadaan dari suatu hal. Pemikiran yang wow sekali dan tampak sepele adalah, apakah ada itu benar-benar ada? Ada definisi ada? Apakah tidak sama berarti kosong? Ya gitu lah."

Pintu Belakang

"Wow, Willi. Itu hal yang sepele banget kok dipertanyakan?" Intan bertanya dengan nada agak heran.

"Ya, memang begitu. Filsafat itu juga seringkali mempertanyakan hal-hal mendasar tentang asal usul manusia tanpa mengaitkannya dengan sains atau agama. Misalnya, tentang asal usul alam semesta, serta pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti kenapa, apa, dan bagaimana segala sesuatu ada. Banyak hal yang dipertanyakan dalam filsafat," jawab Willi dengan penuh semangat.

"Tapi, bukannya kesannya mengeluhkan ya? Misalnya, kita bertanya tentang kenapa kita terlambat masuk kelas," Intan mencoba menggali lebih dalam.

"Apa sih Intan, katanya sudah tidak mau membahas itu lagi. Tapi malah kamu yang membahasnya," Willi membalas dengan nada sedikit menggoda.

"Hehehe, bukan gitu Wil. Aku lagi mencoba menerapkan ilmu baru yang kamu berikan saja," jawab Intan sambil tersenyum.

"Meh, serahmulah. Terserah," ucap Willi dengan nada santai.

Willi lalu membuka halaman demi halaman buku, membaca dengan cepat menggunakan teknik scanning. Ia sudah pernah membaca buku tersebut sebelumnya, hanya saja sedikit lupa tentang detail isi buku yang harus diceritakan kembali.

"Cepat amat kamu, Wil," Intan berkata, merasa takjub dengan kecepatan Willi.

"Iya Tan, sengaja. Dengan kejeniusan otakku, semenit saja sudah hafal," Willi menjawab dengan penuh percaya diri.

"Sombong banget deh, ternyata otak kamu gak cuma mesum tapi juga museum," Intan menggoda.

"Oh jelas, makanya aku jadi idaman di kelas," jawab Willi dengan nada bangga.

"Cih, perasaan gak ada yang suka sama kamu di kelas," Intan membantah sambil tertawa kecil.

"Jelas ada dong, ini. Perempuan yang di sampingku," Willi menunjuk Intan sambil tersenyum. Keduanya pun tertawa bersama.

Tak banyak memakan waktu, Willi akhirnya menyelesaikan buku tersebut. "Huh, sudah selesai. Benarkan aku bisa secepat ini."

"Ya memang benar sih, tapi kamu sudah 10 menit lebih loh," Intan mengingatkan.

"10 menit itu juga kan sebentar, tetap keren kan," Willi tetap dengan nada percaya dirinya.

"Okey, kamu keren. Puas?" Intan pun mengalah dan sedikit jengah mendengar kesombongan Willi.

"Hahaha, puas banget. Apalagi kalau tangan kamu ke sini," Willi menunjuk anak kecil yang ada di antara kedua kakinya dengan nada bercanda.

"Wil, udah dong. Aku malu, jangan bahas itu," Intan merespons dengan nada malu.

"Baiklah, intanku," Willi mengelus pucuk kepala Intan dengan lembut.

"Sejak kapan aku jadi intanmu?" Intan berdiri dengan berkacak pinggang, wajahnya bersemu merah. Sebenarnya, ia merasa senang, tetapi gengsinya membuatnya enggan mengakui perasaannya.

"Intan, aku sudah baca nih. Kamu mau dengar isinya gak?" Willi menawarkan.

Intan tak langsung menjawab, hanya mengangguk. Willi lalu mulai menceritakan kisah dari buku yang baru saja dibacanya. Buku itu menceritakan tentang seorang anak perempuan yang memiliki ibu tetapi tidak memiliki ayah. Di dalam cerita tersebut, tidak dijelaskan secara jelas tentang keberadaan ayahnya. Cerita dimulai ketika anak perempuan itu menemukan sebuah surat kaleng yang berisi penjelasan tentang filsafat dan sejarah. Surat tersebut ditemukan Shopee dan anjingnya di semak-semak dan mereka biasanya mengambilnya setelah pulang sekolah.

Cerita semakin kompleks ketika si anak perempuan semakin penasaran dengan siapa orang yang mengirimkan surat tersebut. Ia bertemu dan belajar tentang filsafat, dan dalam cerita itu ada unsur magis. Di akhir cerita, terungkap bahwa orang yang mengajarinya filsafat adalah ayahnya sendiri.

"Wow, amazing banget! Aku suka cerita ini karena menggambarkan perjuangan Shopee untuk mencari tahu siapa sebenarnya Bapak tua yang ada di surat itu. Walaupun pelajaran tentang filsafatnya terkait dengan suatu agama, kadang aku skripsi di bagian informasi filsafat tersebut. Aku tidak mau terpengaruh oleh agama, hehehe. Aku cuma mau membaca tentang filsafat non-agama," jelas Willi dengan semangat.

"Oh, menarik juga ya. Tapi agak membosankan bagiku," Intan merespons dengan nada ragu.

"Nggak membosankan juga kok, soalnya filsafatnya nggak terlalu menonjol, lebih menggambarkan cerita novel. Aku yakin kamu pasti suka. Kamu harus membacanya," Willi meyakinkan.

"Huh, malas aku. Aku sukanya yang romance seperti Juliet, kisah cinta Laila Majnun, sama pujangga yang bikin banget itu, siapa ya lupa," Intan mengungkapkan ketidaksukaannya.

"Pujangga mana banyak banget kok yang bucin," tanya Willi penasaran.

"Lah iya ya, lupa aku namanya siapa. Pokoknya aku suka banget," Intan menjawab sambil mengingat-ingat.

Willy dan Intan melanjutkan waktu mereka di perpustakaan dengan membahas kesukaan masing-masing. Mereka berbagi pandangan tentang buku, sastra, dan filsafat, menikmati setiap momen kebersamaan sambil terus belajar dan tertawa.

---

"Damar, eengh." Alisya melenguh saat Damar memberikan perhatian khusus kepadanya dengan lembut. Meskipun mereka sering menghabiskan waktu bersama, Damar belum pernah menunjukkan perhatian sedalam ini. Suara dan ekspresi Alisya menunjukkan kepuasan dan kenyamanan.

Damar kemudian menghentikan sentuhannya dan melepaskan pelukan lembutnya, dan mereka berbaring di kasur setelah momen tersebut. Alisya merasa relaks meskipun ada sedikit kekuatan yang masih terasa.

"Damar, apakah kita akan terus seperti ini?" tanya Alisya, mencoba untuk berbicara terbuka.

"Entahlah sayang, bagaimana menurutmu Alisya?" Damar berbaring miring dan menatap Alisya dengan penuh perhatian. Alisya berbaring menghadap ke atas, sementara Damar dengan lembut menggenggam tangannya.

"Apakah kita akan selalu melakukan ini tanpa membicarakan apa yang kita rasakan?" Alisya bertanya lagi.

Damar merasakan ketulusan dalam pertanyaan Alisya. "Aku ingin kita lebih dari sekadar momen-momen seperti ini. Aku ingin kita lebih terbuka dan saling memahami."

Saat Damar menyadari pentingnya berbicara tentang perasaan mereka, mereka saling berpelukan dengan penuh pengertian. Keduanya merasa nyaman dan saling mendukung.

---

Bel sekolah berbunyi, menandakan waktu pulang tiba. Willi dan Intan memutuskan untuk pulang bersama dan menuju kelas mereka yang sudah kosong.

"Wil, menurutmu kita akan dihukum karena telat?" tanya Intan dengan cemas.

"Rasanya tidak, teman kita baik. Bisa jadi mereka akan mengurus absen kita," jawab Willi.

"Oh, iya ya. Sepertinya kita aman," Intan merasa lebih tenang.

Willi merasa ingin lebih dekat dengan Intan. "Intan, bolehkah aku minta nomor WhatsApp kamu?"

Intan ragu sejenak. "Aku punya kakak laki-laki yang cukup protektif, jadi aku khawatir jika dia tahu."

"Bagaimana kalau aku simpan nomormu dengan nama teman perempuan? Itu mungkin lebih aman," saran Willi.

Intan setuju, dan mereka saling bertukar nomor WhatsApp dengan cara yang aman.

Setibanya di rumah, Willi mengetuk pintu kamar Kak Alisya namun tidak ada jawaban. Ia mendengar suara dari dalam dan merasa sedikit khawatir.

"Oh, sepertinya Kak Alisya sedang sibuk. Aku harus menunggu sebentar," pikir Willi.

Willi memutuskan untuk masuk melalui pintu belakang yang sering dibiarkan tidak terkunci. Saat memasuki rumah, ia mendengar percakapan antara Kak Alisya dan Damar. Meskipun Willi tidak bisa melihat dengan jelas, ia menghormati privasi mereka.

Willi kembali ke kamarnya dan mencoba untuk fokus pada kegiatan lain, menghargai ruang pribadi Kak Alisya dan Damar.

Mencintai dua pria

"Mumpung Damar sudah tidur, aku bukain pintu buat Willi deh. Kasihan dia baru pulang sekolah. Pasti kepanasan di luar sana." Alisya berkata lembut, suaranya sedikit bergetar seolah mengungkapkan rasa empati, la dengan hati-hati menyingkirkan. lengan kekar yang melingkar di tubuhnya. Pria itu benar-benar kelelahan, hingga tak sadarkan diri dan tertidur pulas.

Alisya mencium lembut dahi Damar, tepat di pucuk kepalanya, sebelum ia mengangkat tubuhnya dengan penuh kehati-hatian. Hanya sehelai handuk yang menutupi tubuhnya yang baru saja selesai bercinta. Bahkan, ia belum sempat membersihkan diri sepenuhnya. Di luar kamar, sejenak Alisya merasakan keraguan. Bagaimana pintu

kamar Willi bisa terbuka? la meraih gagang sapu di pojok pintu dengan ragu dan membuka pintunya perlahan. "Hei maling, bangun kamu!" seru Alisya dengan nada bercanda, namun suaranya tetap mengandung ketegasan,

Willi yang saat itu tenggelam dalam kehangatan selimutnya terkejut mendengar suara Alisya. "Kak, ini Willi," katanya sambil mencoba menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya. Celana Willi terbuka dan menunjukkan bagian tubuhnya yang terjaga dengan kuat

"Oh, maaf Wil. Kakak kira ini kamartya orang lain," ucap Alisya dengan sedikit kikuk, sambil memperhatikan bagian bawah Willi yang nampak lebih gagah dibandingkan Damar. "Tunggu sebentar, Wil. Kakak tutup dulu pintunya."

"Buat apa kak?" tanya Willi dengan rasa deg-degan le memperhatikan punggung Alisya yang mulus dan kaki-kaki mungilnya.

Saat matanya terus memandang. Alisya pun menyadari tatapan itu. Setelah menutup dan mengunci pintu, Alisya duduk di sisi ranjang Willi dengan hati-hati.

"Willi, kamu lihat apa?" tanya Alisya dengan suara lembut dan penuh rasa ingin tahu. lo duduk menghadap Willi, kemudian dengan lembut meletakkan tangan kanannya di paha Willi.

Willi terkejut saat merasakan sentuhan lembut itu menyentuh pahanya, semakin dalam dan semakin masuk, Saat itulah in sadar bahwa celananya telah hilang entah ke mana. "Kak, aku bisa jelasin," ucap Willi dengan gugup

"Jelasin, Wil. Kenapa kamu nggak pakai celana?" tanya Alisya dengan nada penasaran.

"Emh, itu gerah aja," jawab Willi sembarangan, berusaha menutupi rasa malunya. "Kakak, kok nggak bukain pintu tadi?"

"Lagi layani pelanggan, Wil, Maafin kakak ya Oh iya, kamu masuk lewat mana?" jawab Alisya, berusaha terdengar tenang meski hatinya bergetar.

Willi pura-pura ngambek dengan menyilangkan kedua tangannya di dada "Nggak mau

"Willi, kamu ini kaya anak kecil aja deh," kata Alisya sambil mengacak-acak rambut Will dengan penuh kasih sayang. Saat itulah tampak ketiaknya yang mulus, aroma wangi dan keringatnya menyebar ke penciuman Willi dengan penuh keberanian, Willi menggenggam lengan kanan Alisya dan menariknya ke arah dirinya, membalikkan. tubuh Alisya sehingga ia duduk di pangkuan Willi

"Willi, punya kamu mengganjal banget," ucap Alisya dengan nada santai, mencoba mengatasi ketegangan yang mulai membangun.

Willi tanpa menghilangkan ucapan Alisya, membuka handuk yang melilit tubuh Alisya dan menunjukkan punggungnya yang seksi. Di depan mereka terdapat lemari dengan kaca besar yang memantulkan gambar mereka. Dapat Alisya lihat wajah Willi yang penuh nafsu. "Kak, aku boleh peluk?" tanya Willi dengan lembut.

Alisya hanya mengangguk setuju. Willi memeluk Alisya dengan sangat erat, satu tangannya di bagian intim dan satunya lagi di payudaranya. Alisya merasakan ketegangan kembali pada tubuhnya, rasa lelah dan kepuasan bercampur menjadi satu.

la merasa sangat lemah dan tak bisa melawan. Willi memindahkan kedua tangannya ke bagian depan Alisya, meremas dengan lembut mengirimkan sinyal cinta pada otaknya.

"Egh, Willi," ucap Alisya dengan nada penuh rasa

"Sebut namaku, kak. Sebut," kata Willi, menginginkan pengakuan.

Wajah mereka berdua tampak sayu dan bersemangat pada layar cermin besar. Tangan kiri Willi berpindah memeluk perut. Alisya semeritara tangan kanannya turun menyusuri setiap inci bagian depan hingga ke bagian intim Alisya.

Alisya tampak terkejut ketika Willi mengelus bagian intimnya. Rasa geli namun juga sensasi yang membuatnya merasa terbang.

Sentuhan sentuhan lembut itu membuat Alisya bersandar pada dada bidang Willi, menekan bagian bawahnya dengan lembut.

Willi mendesah bersamaan dengan Alisya, dan semuanya berlangsung selama beberapa jam, Alisya merasa puas dan terhibur dengan lembutnya sentuhan Willi.

"Enghh, Will lagi. Masukin," kata Alisya dengan permohonan lembut.

"Iya kak, kamu yang minta," jawab Willi dengan penuh kepuasan. la mendorong Alisya dan mengarahkan tubuhnya untuk menungging Alisya hanya menurut tanpa banyak berkata. Dengan pengetahuan yang ia dapatkan dari melihat pelanggan kakaknya, Willi memasukkan dirinya dari belakang. Alisya menjerit saat itu, merasakan dorongan yang kuat. Pertarungan hebat kembali terjadi, berlanjut tanpa henti.

Damar terbangun dari tidurnya, la melihat jam dinding menunjukkan pukul 17.00. "Loh, Alisya mana?" tanya Damar pada dirinya sendiri, lalu cepat-cepat mengenakan pakaiannya dan mencari Alisya dengan tergesa-gesa.

Ketika ia keluar kamar, Damar mendengar suara jeritan dari kamar adiknya, Alisya. Merasa khawatir, ia memaksa membuka pintu yang ternyata tidak terlalu kuat kuncinya.

Di dalam kamar, dua makhluk itu terfokus pada kegiatan mereka. "Eh, main lagi kamu, nggak ajak-ajak," kata Damar dengan nada bercanda, bukan marah, la justru mendekat dengan penuh perhatian.

"Udah Wil, Alisya pasti capek. Kita berbaring aja. Aku mau sebelah kanan," kata Damar dengan nada penuh pengertian.

Willi segera memahami ucapan Damar dan tanpa ragu terlibat dalam persetubuhan bertiga. Alisya berbaring di antara Damar dan Willi. Tanpa banyak bicara, Damar melumat dan memainkan bagian depan Alisya sementara Willi melanjutkan aktivitasnya dengan Alisya. Alisya merasakan guncangan hebat dari semua sisi, merasakan kenikmatan yang luar biasa.

"Intan, kakak kamu mana ya? Gak biasanya dia belum pulang padahal sudah malam," tanya neneknya dengan nada khawatir, Intan tinggal bersama kakak laki-lakinya, nenek, dan beberapa pembantu rumah tangga serta keamanan.

"Nggak tahu, nek. Mungkin dia jalan-jalan sama pacarnya," jawab intan sambil berusaha tenang.

"Kakak kamu sudah punya pacar ya ternyata?" tanya neneknya lagi dengan rasa ingin tahu.

"lya kali, nek" jawab Intan singkat, kemudian memasuki kamarnya dan bertanya-tanya dalam hati. "Kalau benar kakak sudah punya pacar, seharusnya dia nggak melarang aku pacaran juga kan? Dia sudah nggak perlu aku.

Intan tidur dengan tanktop putih dan celana pendek hitam, tanpa bra maupun celana dalam. Setelah semua aktivitas berakhir, Damar mandi dan Willi tertidur pulas di tempat. "Aku pulang dulu ya, Sya," ucap Damar dengan lembut.

"Iya, apakah kamu puas dengan pelayananku?" tanya Alisya dengan penuh harap. "Entahlah, masih belum puas. Tapi besok lagi ya, mungkin suatu saat aku akan benar-benar puas," jawab Damar, meninggalkan Alisya dengan rasa penasaran.

Alisya mengangguk memahami. Damar memang sulit dipuaskan, sebab ia lebih. menyukai adiknya sendiri dengan tubuh yang lebih tinggi dan semok. Alisya sendiri juga semok, tapi lebih pendek.

Setelah Damar pulang, Alisya membereskan rumah dan kamarnya. "Huh, pekerjaan rumah jadi banyak terbengkalai. Mereka lama banget mainnya," keluh Alisya la membereskan piring-piring kotor, mencucinya, dan menaruhnya di rak piring.

Saat membuka kulkas, hanya ada sosis mahal yang tersisa, "Ada sosis doang nih, bisa masak apa ya buat lauk malam ini."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!