2 IPA 2
"Lha, baru gue doang yang dateng?" Ucap Jingga pada diri sendiri.
"Annyeong, ohayo gozimasu, zao shang hao, good morning, selamat pagiii...." Ucap Chika anak imut yang bikin tutup telinga karena suaranya.
"Morning, Chik." Jingga jawabnya datar karena sudah biasa dengan Chika. Ya iya, temenan dari SMP.
"Ngga, kok tumben lo udah dateng?" Chika.
"Iya. Gue naik bus tadi. Kan motor gue masih di kantor Bapake." Terang Jingga.
"Lah, kok bisa nginep gitu?" Tanya Chika bingung.
"Bapake tuh aneh aja. Motor gue dipinjem buat doi ke kantor kan. Sampai di kantor doi dapet tugas dinas keluar kota. Ya, motor di tinggal. Orang pergi dinasnya gak bawa motor. Naik pesawat. Emang dah, Bapake. Jadi gue beberapa hari ini naik bus." Jelas Jingga.
"Kan mobil bokap lo ada, Ngga. Pake aja mobil bokap lo." Ujar Chika.
"Jiaahh... mobil. Bawa motor aja gue minta izinnya setengah budeg. Mobil mah ada noh di rumah. Tapi kan ada Kanjeng Ratu. Gak akan diizinin." Terang Jingga.
"Lah, iya bener. Tapi lo bisa nyetir kan?" Tanya Chika.
"Bisaa... cuma belum lihai banget. Tapi bisalah, gocek-gocek di jalan mah. Hahaha..." Tawa Jingga.
"Ngga, perasaan lo pucet deh. Lo sakit ya?" Tanya Chika yang berbalik badan dan pindah ke meja Jingga.
Si empunya meja masih meletakkan kepala dikedua tangan sambil dilipat. Chika memegang kening Jingga dan benar saja. Jingga demam.
"Agak anget badan gue. Pas bangun tidur tadi pagi gue ngerasanya. Udah minum obat sebenarnya. Tadinya Kanjeng Ratu gak izinin gue sekolah. Tapi kan hari ini jadwal mading terbit. Ya kali gue gak masuk." Jelas Jingga.
"Lo mah, Ngga... hujan badai aja lo tetep sekolah. Emang rajin banget luh. Kalau pusing, bilang ya Beiibb..." Ucap Chika dengan gaya suara di manja-manja. Membuat Jingga bergidik ngeri. Tapi Chika malah tertawa.
"Lo udah sarapan? Nyari sarapan yuk." Ajak Chika ke kantin sekolah.
"Gue udah sarapan. Gue temenin aja, ya. Ayo." Jawab Jingga.
*****
Di kantin Jingga dan Chika duduk dekat taman belakang sekolah yang penuh dengan tanaman sayuran. Kadang di sekolah suka ada kegiatan bercocok tanam.
"Chik, itu Bimo bukan sih?" Tunjuk Jingga pada sekumpulan anak laki-laki yang sedang berbaring di taman sambil memegang botol topi miring.
"Hah?! Iya dah. Samperin, Ngga. Itu dia kenapa?" Ujar Chika.
Sekolah saat itu belum ramai karena masih jam 5:40. Pagi banget sih emang. Kantin juga belum semua buka.
"Bimo?" Panggil Jingga. Ia membangunkan Bimo sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.
"Ngga, itu dia mabok ya?" Tanya Chika yang sudah takut. Sebenarnya Jingga juga takut. Tapi gimana... masa mabok di taman belakang sekolah gini.
"Bimoo..." Panggil Jingga sekali lagi yang menggoyang-goyangkan tubuh Bimo.
"Ngga, udah yuk. Biarin aja. Gue takut, Ngga." Ujar Chika yang sudah gemetar ketakutan karena salah satu dari mereka sudah mulai menggeliat untuk bangun.
"Bentar, Chik. Kasian Bimo. Nanti kalau kena skors lagi gimana." Ujar Jingga.
"Bimo, bangun." Panggil Jingga yang sekarang berhasil membuat Bimo menggeliat bangun dari baringannya.
Jingga memundurkan tubuhnya karena sudah melihat Bimo bangun. Ia beranjak berdiri. Namun, salah satu tangan Jingga ditarik oleh Bimo hingga Jingga jatuh terduduk.
Bimo mendekatkan wajahnya ke wajah Jingga dengan matanya yang masih mengerjap.
Jingga refleks memundurkan wajahnya. Aroma tubuh Bimo berbau alkohol semua. Hembusan nafasnya juga rokok semua.
"Astagfirullah!" Ucap Chika refleks ketika salah satu dari mereka menggenggam tangan Chika.
Jingga melihat sekelilingnya masih sepi. Si tukang kantinnya juga pergi entah kemana. Benar-benar sepi hanya Jingga dan Chika yang berada disana.
"Chik, kita pergi sekarang. Hitungan ke 3 kita lari. 1... 2..." Belum sampai 3 Jingga hitung, Chika sudah berlari. Jingga menyusulnya dari belakang sambil berdecak sebal. Ditinggal masa... tapi ketika itu Jingga...
Brruugh
"Auw... aduh... sakit..." Ucap Jingga yang terduduk di lantai.
"Ngapain lo?!" Tanya Langit ketus.
"Ngapain? Menurut lo?!" Jingga membersihkan tangannya dan berdiri dari jatuhnya.
"Maksud gue, lo ngapain lari-lari?" Tanya Langit dengan nada yang agak lebih rendah.
"Oh, iya. Bimo, Bimo, dia di taman belakang." Ucap Jingga yang terburu-buru dan menarik tangan Langit untuk mengajaknya ke taman belakang.
"Lo apaan sih, tarik-tarik gue! Jingga!" Ucap Langit dengan marah.
"Lang... ituu.. merekaa..." Tunjuk Jingga pada sekumpulan laki-laki yang masih memegang botol minuman.
"Brengsek!! Sampah!!" Ucap Langit lirih dengan hujatannya.
"Ngga, ke ruang guru. Panggil salah satu guru." Ujar Langit.
"Tapi belum ada guru yang dateng Lang..." Ucap Jingga dengan pelan.
"Ada. Coba lo kesana dulu."
"Tapi masa lo sendiri. Gak mau ah."
"Jinggaa... ini gak bisa kita aja yang disini. Ini bukan teritorial kita. Panggil guru." Ucap Langit dengan nada lirihnya.
Jingga pun akhirnya menurut dan pergi meninggalkan Langit sendiri. Ia ke ruang guru. Mencari siapapun guru untuk melihat kejadian di taman belakang.
"Permisi..." Ucap Jingga.
"Iyaa... eh... Jingga. Ada apa Ngga?" Tanya Pak Tomo guru Olah Raga.
"Pak Tomo, boleh tolong ke taman belakang? Ada beberapa anak yang berbaring di taman. Langit lagi coba membangunkan mereka namun sepertinya mereka setengah sadar karena pengaruh alkohol." Jelas Jingga.
"Apa??!! Mabok??!! Berani-beraninnya mereka melakukan hal itu di sekolah. Pak Romi, ayo kita kesana!!" Ucap Pak Tomo dengan geram dan mengajak Pak Romi (Guru Fisika) ke taman belakang sekolah.
"Ada apa ini?!!" Teriak Pak Tomo.
Taman itu sudah gaduh dengan para pemuda yang mabok. Mereka semua digiring oleh Pak Tomo dan Pak Romi yang menggiring mereka ke ruang guru.
Bimo tidak ada di tempat itu. Langit pun juga tidak ada. Jingga yang kini bingung, kemana mereka, batin Jingga.
"Bim! Sadar!" Teriak Langit yang membawa Bimo ke padang ilalang.
"Lo ngapain masih peduli sama gue? Hah?!" Jawab Bimo setengah sadar dan tubuh yang sempoyongan.
"Terserah lo!" Ucap Langit. Yang kemudian pergi berbalik meninggalkan Bimo.
"Lo baik sama gue karena merasa bersalah udah buat Intan meninggal, kan? Iya?!!" Teriak Bimo kepada Langit.
"Inget, Lang! Lo gak akan pernah bisa buat Intan hidup lagi dengan baik sama gue. An***g!!" Ucap Bimo dengan suara bergetarnya.
"Kalau lo kayak gini, apa sih untungnya buat lo?" Tanya Langit dengan suara yang tenang.
"Buat lo semakin bersalah!! Buat hidup lo semakin menderita!! Buat lo sadar!! Bahwa uang gak akan menyelesaiakan apapun!! Mo***t!!!" Terang Bimo yang benar-benar terbakar amarah saat itu.
Langit tak menanggapi apapun. Dibalik ilalang Jingga mendengar semua pembicaraan mereka. Sakit sekali...
"Langit..." Panggil Jingga yang melihat Langit berjalan menjauh dari Bimo.
"Jingga?!" Ucap Langit yang terkejut melihat Jingga disana.
"Ke kelas, ayo. Udah mau masuk." Ujar Jingga kepada Langit.
Ia berjalan mendahului Langit. Langit berjalan di belakangnya.
"Ngga," Panggil Langit.
"Iya. Gue tau kok. Maaf ya, gak sengaja dengar. Udah nanti aja bahasnya."
Ajak Jingga kepada Langit dan menarik kemeja putih dengan jari telunjuk dan ibu jarinya yang berlambang SMA Merah Putih.
"Tapi__" Ucapan Langit belum selesai dan Jingga sudah memotongnya.
"Nanti aja. Gue belum ngerjain PR MTK. Nyontek yak. Hehehe..." Ujarnya dengan senyum yang menyembunyikan kesedihannya. Hanya untuk membuat Langit tidak khawatir.
*****
Entah kenapa hari ini membuat Jingga terlihat lelah karena banyak kejutan yang membuatnya untuk lebih bisa menerima tentang hidup.
"Ngga!" Panggil Nabila.
"Eh, kenapa?" Jawab Jingga yang terkejut karena panggilan Nabila.
"Yeee... dipanggil diajak diskusi dari tadi malah bengong." Ujar Nabila.
"Sorry, sorry. Hehehe..." Ucap Jingga yang memang sakit hari itu.
"Lo sakit ya, Ngga? Kok pucet gitu sih mukanya?" Tanya Mala yang khawatir dengan kondisi Jingga.
"Tadi pagi lo bilang, demam. Pas ada kejadian si Bimo, gue gak tau lagi Jingga gimana kondisinya. Soalnya gue lari ngeri." Ujar Chika.
"Lo mah emang mentingin diri sendiri. Temen susah. Malah ditinggalin." Ucap Nabila.
"Maaf ya Jingga..." Ujar Chika dengan menundukkan kepalanya.
"Iyaa... Chika cantik... gak apa. Lagipula gue juga takut itu. Kalo gak ada Langit, mana berani gue kesana lagi. Ngeringkus mereka. Hehehe..." Ucapnya dengan tawa riangnya.
"Eh, tapi Bimo gak ada katanya. Kemana deh?" Tanya Mala.
"Gak paham gue." Tungkas Jingga yang tidak ingin membahasnya.
Nabila yang sudah mengenal Jingga dari bangku TK hingga sekarang tau betul bahwa Jingga ada cerita yang tidak dia ceritakan.
Tapi Nabila hanya diam. Karena ia tau, Jingga akan cerita suatu saat nanti jika ia sudah siap.
Jingga, Mala, Nabila dan Chika sedang berada di ruang mading karena mading terbit hari ini.
Mereka sibuk mengetik, mengeprint, membuat hiasan pernak-pernik dan ada juga yang menggunting-gunting.
"Ngga, besok sabtu lo ikut gak?" Tanya Mala.
"Ikut kemana?" Tanya Jingga bingung.
"Lah... doi lupa, cuy." Ucap Nabila.
"Kan kita besok mau ngeliput pertandingan basket, cantiikk..." Ucap Chika.
"Astagfirullah. Gue lupa." Ujar Jingga sambil menepuk keningnya.
"Iya, iya. Gue ikut. Kamera sama siapa ya kemarin?" Tanya Jingga.
"Sama gue." Jawab Mala.
"Besok minta tolong bawain ya, Mal." Ucap Jingga.
"Siap. Juragan." Ujarnya yang mengundang tawa teman-temannya yang lain.
Langit memperhatikan Jingga dari kaca jendela. Ia terlihat senang dan sama sekali tidak memperlihatkan wajah sendunya.
"Hallo" Sapa Langit yang membuka pintu ruang mading dan menyapa Jingga serta teman-temannya.
"Haii... ganteng... tumben kesini..." Ucap Chika dengan manja dan centil. Membuat semua bergidik.
"Ngga" Ajak Langit yang memberi kode dengan tangannya untuk mengajak Jingga keluar ruangan.
"Yaah... om, saya juga cantik lho... masa yang dipanggil Jingga aja..." Ledek Mala. Mengundang semua tertawa.
Jingga dan Langit mengobrol diluar ruangan. Langit ingin membahas soal yang tadi di padang ilalang. Tentang Bimo. Tentang Intan. Kejadian 2 tahun lalu yang merenggut nyawa Intan.
Flashback On
Sore itu, Bimo dan Langit sudah punya janji untuk bertemu di sebuah taman. Membahas tentang Bimo, Langit, dan Intan.
Intan ini teman mereka namun beda sekolah. Intan teman kecil Bimo dan Langit. Mereka selalu bermain, bersanda gurau bersama.
Namun semakin mereka dewasa, mereka semakin berubah. Yang laki-laki semakin ganteng dan yang perempuan semakin cantik.
Terjadilah perlibatan asmara diantara ketiganya. Bimo suka dengan Intan, Intan suka dengan Langit, dan Langit mendukung Bimo dan Intan, namun Intannya tidak ingin dengan Bimo. Tapi Langitnya hanya ingin bersahabat dengan Intan.
Tapi Bimo tau bahwa Intan suka dengan Langit. Makanya, Bimo meminta Langit untuk jadi pacar Intan. Namun, Langit tidak mau. Karena ia tau bahwa itu akan menyakiti semuanya. Lambat laun Intan akan tau bahwa Langit hanya berpura-pura.
Pertemuan mereka hari itu karena Intan tau semua rencana mereka. Rencana Bimo lebih tepatnya. Namun, Intan tidak cerita kepada mereka. Intan sengaja datang di tengah-tengah mereka.
"Bim, gue gak bisa pokoknya kalau harus pur-pura untuk jadi pacar Intan." Ujar Langit yang duduk bersila di rumput taman tersebut.
"Tolonglah, Lang... Intan sayang banget sama lo. Kasian dia kalau harus sakit hati terus lihat lo sama dia." Ujar Bimo yang memohon kepada Langit.
"Enggak!! Gue gak mau!! Terserah lo mau bilang apa. Yang jelas gue gak mau!!" Tegas Langit.
"Lang!! Cuma sementara aja. Kenapa sih, segitunya banget lo gak mau bantuin gue?!" Ucap Bimo yang sama emosinya seperti Langit.
"Bim, hati, gak bisa dimainin!" Tegas Langit.
"Gue tau banget karakter Intan gimana. Dia itu hatinya lembut banget. Polos banget anaknya. Makanya gue gak mau jadiin dia pacar gue karena dia udah gua anggap seperti adik gue sendiri. Gak lebih dari itu."
"Lo bisa bayangin, gimana sakit hatinya Intan, kecewanya Intan, kalau tau ini cuma pura-pura? Lo pernah mikir sampe situ gak sih? Sebrengsek-brengseknya gue. Gue gak akan pernah ngelibatin perempuan disekitar gue kena imbasnya. Gak akan, Bim!!" Jelas Langit panjang x lebar.
Intan yang mendengar pembicaraan tersebut begitu marah dan sakit hati mendengarnya. Tapi karena Intan begitu mencintai Langit, ia nekat menghampiri Langit dan menerima rencana bodoh Bimo.
"Langit!" Panggil Intan dengan suara lantangnya.
"Intan?" Ucap Bimo yang berdiri dari duduknya.
"Gue gak masalah jadi cewek lo yang pura-pura itu. Ayo, kita pacaran." Ucap Intan dengan mudahnya.
Ia sekuat tenaga menyembunyikan wajah sedih dan sakit hatinya mendengar pernyataan Langit yang tidak menyukainya dan menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih dari itu.
"Ntan! Lo udah gila ya?! Gue gak mau!!" Jawab Langit tegas tanpa jeda. Ia pergi meninggalkan Intan dan Bimo di taman.
"Langit!! Yang penting gue cinta sama lo. Itu udah cukup!" Ucap Intan yang mengejar Langit dan menarik tangannya.
"Intan!! Cukup!! Gue muak sama lo berdua. Memperalat gue??!! Hah??!!" Ucap Langit dengan amarahnya.
"Lang!! Lo salah paham. Gue cuma mau lihat Intan bahagia dengan laki-laki pilihannya dan laki-laki itu lo. Bukan gue!" Ujar Bimo dengan pilu mengucapkannya.
"Dan gue tidak memilih Intan!!" Terang Langit dengan sangat tegas. Ia melangkahkan kakinya dengan kokoh.
Langit tau Intan memanggilnya. Tapi, tidak ia hiraukan. Sampai terdengar suara decit mobil.
Bbrraakk !!!
Langkah kaki Langit berhenti. Ia terlalu takut untuk menengok kebelakang. Saat ia memaksakan tubuhnya menengok kebelakang, ia melihat Intan sudah terbaring bersimbah darah. Intan tertabrak mobil.
Tanpa kata dan bicara mereka membawa Intan ke RS. Intan dioperasi. Namun, operasinya gagal karena Intan kehilangan banyak darah.
Dari kecil Intan tinggal hanya bersama Neneknya. Karena Mama dan Papanya sudah bercerai. Mereka sudah hidup dengan kehidupannya masing-masing. Walau keperluan sehari-hari Intan mereka tetap tanggung.
Intan meninggal tepat di hari ulang tahunnya. Dari Langit, ia berbicara jujur kepada Nenek, Mama dan Papa Intan tentang semua kejadian tersebut.
Mereka hanya mengangguk pasrah. Karena mau marah pun percuma. Intan tak lagi bangun. Ia sudah terbujur kaku.
Sejak itu, Bimo tak pernah bisa memaafkan Langit karena keegoisannya. Itu menurut pendapat Bimo. Tapi Langit tak pernah berkomentar apa-apa. Langit hanya diam.
Karena percuma dia berbicara dan memberikan penjelasan tapi kalau yang diberikan penjelasan selalu menganggapnya salah, gak akan pernah berhasil. Akhirnya hubungan pertemanan mereka pun renggang hingga kini.
Ini salah satu sikap Langit yang begitu dingin terhadap perempuan. Ia tidak ingin perempuan-perempuan itu menyukainya. Ia sangat risih jika ada yang seperti itu.
Hanya Jingga yang mampu untuk membuatnya nyaman.
*Kalau sudah nyaman, susah pindahnya.
*Asek... 😆
*Bodoamat thor 😑
Flashback off
*****
"Kenapa Lang?" Tanya Jingga.
"Eh, iya, besok gue ngeliput basket. Lo main kan?" Tanya Jingga dengan mata yang berbinar.
"Iya. Lo kesana besok?" Tanya Langit.
Jingga hanya mengangguk dengan semangat.
"Lo balik jam berapa?" Tanyanya.
"Hmm... gak tau... lo liat aja tuh meja mading masih berserakan kertas." Ujarnya sambil memonyongkan bibirnya.
"Yaudah, ntar kabarin kalo udah selesai." Ujarnya sambil berlalu.
"Lo mau kemana emang?" Tanya Jingga.
"Basket."
"Jangan capek-capek." Ucap Jingga yang membuat Langit menghentikan langkahnya dan berbalik badan.
"Kenapa?"
"Aku tuh syeedihh kalau lyihat kamyuu syakit... hahaha..." Ucap Jingga dengan candanya.
"Kampret!" Ujar Langit sambil melengos. Meski hatinya berkedut tak menentu karena rayuan pulau kelapanya Jingga.
Jingga tau, Langit itu sebenarnya laki-laki yang lembut terhadap perempuan. Hanya saja ia terlalu kaku untuk mengungkapkan isi hatinya.
Covernya sih ganteng, tegas, garis rahang yang memikat hati perempuan manapun. Galak, jutek, ketus, gak peduli. Tapi sebenarnya hatinya itu rapuh, mudah luluh. Melankolis-Koleris sekali dia.
Jingga kembali ke ruangan mading dengan senyum-senyum karena sudah mengerjai Langit.
Sahabat-sahabatnya hanya menggeleng-geleng. Tak heran lagi dengan Jingga dan Langit.
*****
kalau langitku sendu
aku tak mampu melihatnya
kalau akunya rindu
ku hanya mampu merasakannya
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Fifi Dwi Purtranti
baper oooeeee
2020-06-19
0
senjaku
authoorr sa AE uuu
2020-04-21
0