A Wife
Arum Kemuning, gadis berusia sembilan belas tahun yang hari ini menjadi istri seorang Agam Wira Dhamendra, laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun. Saat ini laki-laki itu tengah menatap Arum dengan tatapan sayu sambil menghisap sebatang rokok. Bau minuman keras tercium dari tubuhnya, jelas dia sedang mabuk berat.
Kamar hotel yang luas dan mewah itu terlihat senggang, dua orang yang sejak tadi menghuni ruangan tersebut membiarkan keheningan menguasai sekeliling. Tidak ada yang berniat memulai percakapan di antara mereka berdua, baik itu Agam maupun Arum.
Dua orang yang saling tidak mengenal itu seperti sama sekali tidak penasaran dengan satu sama lain. Arum sejak tadi hanya menunduk di bawah tatapan Agam yang tidak teralihkan sedikit pun darinya, sejak laki-laki itu memasuki kamar.
Arum tidak takut sama sekali, sungguh, jantungnya yang bertalu-talu ini disebabkan oleh rasa gugup yang tiba-tiba muncul.
Mungkin karna ini adalah pengalaman pertamanya, Arum menjadi gugup. Agam adalah laki-laki pertama baginya, laki-laki pertama yang pernah berada satu kamar dengannya. Arum menunduk bukan karna dia takut, hanya saja tatapan Agam membuatnya tidak nyaman.
Pernikahannya dengan Agam memang terbilang sangat mendadak, mereka bahkan tidak memiliki kesempatan untuk lebih mengenal satu sama lain. Mereka hanya berkenalan pada pertemuan pertama dan pada pertemuan kedua mereka langsung menikah, pernikahan yang hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat.
Arum hanya tau Agam adalah laki-laki yang baru saja pulang dari luar negeri dan diminta untuk segera menikah oleh keluarganya. Selebihnya Arum tidak tau apa-apa.
“Ini malam pertama kita.” Agam yang sejak tadi memerhatikan Arum dalam diam tiba-tiba berseru, dia lalu mematikan rokoknya di dalam gelas berisi air putih yang isinya tinggal sedikit sebelum beranjak mendekati ranjang.
Arum mengangkat wajahnya mendengar suara serak Agam. Posisi duduknya yang menghadap langsung ke arah Agam membuatnya bisa melihat dengan jelas ekspresi wajah laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya itu.
Dengan sedikit sempoyongan Agam melangkah ke arah ranjang. Wajah merah Agam dan matanya yang sayu membuat Arum menahan nafasnya gugup. Bau minuman keras semakin kuat menguar dari tubuhnya.
Tanpa bisa menghindar kedua bahu Arum didorong oleh Agam, membuatnya terbaring dengan kaki menjuntai ke bawah. Tangannya bergerak cepat membuka kancing kemeja putih yang sudah terlihat kusut di tubuhnya. Tatapannya tidak lepas dari Arum yang sekarang sedang bergerak mundur, naik sepenuhnya ke atas ranjang sambil menatapnya dengan mata terbelalak. Arum menelan ludahnya kasar. Apa Agam akan melakukannya?
Agam melempar kemeja putih yang berhasil dia lepas ke atas lantai. Tangannya kini beralih membuka tali pinggang yang juga dilempar sembarangan ke lantai. Agam menaiki ranjang, lututnya menindih kasur, mendekat dengan perlahan ke arah Arum yang setengah berbaring di atas ranjang.
Tatapan Agam bagaikan laser yang memindai Arum dari atas ke bawah. Meneliti setiap lekuk tubuh kecil yang terbungkus piyama kebesaran yang menampilkan belahan dada perempuan itu.
“Setidaknya tidak terlalu mengecewakan,” seru Agam. Tangannya bergerak menarik kaki Arum, membuat gadis itu tersentak. Kedua kakinya kini terkurung di antara paha kokoh Agam. Arum terkurung di bawah kungkungan Agam yang membuat tubuhnya kaku.
Agam menunduk, mengendus sekitar leher Arum sebelum menenggelamkan wajahnya di sana. Aroma buah yang menyegarkan menyapa indra penciuman Agam, Aroma yang entah berasal dari mana.
Arum sekali menelan ludahnya kasar, tenggorokannya kering saat tiba-tiba merasakan lehernya basah oleh ciuman Agam yang semakin agresif, sementara tangannya tidak tinggal diam menyentuh tubuh Arum. Nafas Arum memburu, merespon setiap sentuhan Agam, tubuhnya terasa dinging sementara wajahnya memanas.
Tubuh Arum seolah pasrah tanpa perlawanan sedikitpun kala satu persatu kain yang melekat di tubuhnya dibuka oleh Agam.
***
Pukul satu siang Arum dan Agam meninggalkan hotel menuju rumah baru yang akan mereka tempati, rumah pemberian Biantara yang merupakan kakak laki-laki Agam. Rumah itu berjarak lima belas menit dari rumah Biantara.
Selama di perjalanan, Arum dan Agam tidak banyak bicara, sama halnya ketika mereka berada di hotel. Situasi ini memang sudah diprediksi oleh Arum. Tentu saja, apa yang kamu harapkan dari dua orang asing yang tiba-tiba menikah. Arum bahkan ragu suaminya itu mengingat nama lengkapnya.
Sampai di rumah, Arum dan Agam disambut oleh Utari, Biantara juga istrinya Kemala, mereka memang sudah duluan sampai di sana.
Selama berinteraksi dengan keluarga ini, Arum tidak merasa kecil sedikitpun meski berasal dari kalangan bawah. Utari, Ibu mertuanya adalah sosok perempuan sederhana yang sangat baik dan perhatian. Menurut yang dia dengar, perempuan berusia lima puluh lima tahun itu memang memiliki sifat penyayang, apa lagi kepada menantunya, hal itu disebabkan oleh karena Utari tidak memiliki anak perempuan.
Di dalam keluarga ini, sejauh Arum memperhatikan, hanya suaminya yang lebih banyak diam. Laki-laki itu memilih sibuk dengan ponselnya dari pada ikut dalam obrolan mereka. Agam seolah tidak peduli dengan sekelilingnya, sikapnya dingin dan sedikit kasar.
Agam tidak hanya bersikap dingin kepada Arum, laki-laki itu juga bersikap dingin kepada Ibu dan Kemala kakak iparnya yang tengah mengandung. Sedangkan pada Biantara, Agam terlihat begitu hormat, setiap kakaknya itu berbicara dia akan langsung fokus mendengarkan, seolah apa yang keluar dari mulut Biantara adalah sesuatu yang sangat penting.
Setelah satu jam lebih, Utari, Biantara dan Kemala pamit untuk kembali ke rumah mereka, meninggalkan Arum dan Agam yang kini menciptakan keheningan di rumah itu.
Arum mengedarkan pandangannya, meneliti rumah yang akan menjadi tempat tinggalnya mulai hari ini. Perempuan itu memutuskan berkeliling sebentar sebelum memasukkan barang-barangnya ke dalam kamar.
Rumah itu memiliki dua lantai dengan ukuran yang cukup luas untuk dihuni oleh dua orang saja. Karna terbiasa tinggal di rumah sempit Arum merasa dia akan butuh sedikit waktu untuk menyesuaikan diri di rumah itu. Kemala mengatakan bahwa rumah ini didesain langsung oleh Biantara, begitu juga furnitur di dalamnya, kakak iparnya itu sendiri yang memilihnya dengan meminta masukan dari Utari dan Kemala.
Setelah puas berkeliling dan melihat-lihat Arum menggeret kopernya menaiki tangga menuju lantai dua, Kemala memberitahunya sebelum perempuan itu pergi bahwa kamar mereka sudah dirapikan olehnya dan siap dipakai, kakak iparnya itu bahkan sudah mengisi kulkas di dapur. Rumah ini memang sangat siap untuk ditempati, Arum sangat bersyukur untuk hal itu.
Sampai di lantai dua, Arum pun segera menuju kamar yang dimaksud oleh Kemala, kamar yang merupakan kamar utama di rumah ini, terletak di sebelah kanan setelah menaiki tangga. Tangan Arum bergerak memutar handel pintu, namun sebelum berhasil mendorong pintu tersebut agar terbuka, suara berat Agam segera menghentikannya.
“Siapa yang mengizinkanmu masuk ke sana? Cari kamar lain!”
Agam menabrak bahu Arum lalu memasuki kamar tersebut dan langsung mengunci pintunya dari dalam.
Arum menatap pintu yang tertutup di depannya sembari menghela nafas. Sepertinya drama pernikahan ini tidak akan mudah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments