"Mas harap kamu tidak akan mengulanginya lagi, kalau sampai terjadi lagi, kamu akan berurusan denganku!"
Peringatan dari Biantara membuat kepala Agam mengangguk lemah.
Pagi-pagi sekali Biantara, Utari juga Kemala sudah tiba di rumah Agam dan Arum. Sebelumnya Biantara sudah menghubungi adiknya itu, memberitahukan kedatangan mereka supaya Agam tidak berangkat ke kantor.
"Ibu minta maaf Agam, semua ini salah Ibu, jika ingin marah, marah saja pada Ibu, jangan kamu sakiti Arum, dia tidak salah apa-apa."
Utari mengelus sayang punggung tangan Arum di dalam genggamannya saat mengatakan itu.
Arum sejak tadi hanya diam mendengarkan, dia tidak mengatakan apa-apa, takut jika dia mengatakan sesuatu maka Agam akan kembali marah.
"Agam tidak akan mengulanginya lagi Ibu, Agam berjanji." Agam berucap sungguh-sungguh sembari menatap Utari. Dia tidak suka melihat Utari bersedih.
***
Arum tidak tau apa yang harus dia lakukan atau katakan saat ini, seolah dia tidak bisa menemukan kalimat yang tepat untuk membuka pembicaraan di antara dia dan Agam setelah mereka ditinggal berdua saja. Rasa takut tentu masih ada, karna itulah Arum memilih diam saja, menghindari kesalahan yang akan kembali menyulut amarah Agam.
Beberapa saat yang lalu Biantara, Utari dan Kemala sudah pulang, meninggalkan Agam dan Arum yang sekarang masih saling diam.
Agam yang saat ini tengah diam pun merasakan hal yang sama. Terlihat dari cara duduknya yang kini terlihat tidak nyaman. Dia berusaha mengalihkan pandangannya dari Arum yang kini duduk di hadapannya.
Meski begitu tidak baik jika mereka hanya berdiam seperti ini. Agam lah yang bersalah dan dia mengakuinya karna itulah dia yang bertanggung jawab memecah keheningan di antara mereka.
“Aku minta maaf.” Agam berkata pelan. Badannya kini tegap, wajah mereka berhadapan, membuat Agam dapat melihat dengan jelas wajah lelah Arum, juga bekas luka di atas keningnya. Itu ulahnya!
“Tidak seharusnya aku melampiaskan kemarahanku padamu,” tambah Agam.
Sikap kasar serta kalimat-kalimat tajam yang dia ucapkan ditambah lagi tangannya yang kerap melukai Arum selama seminggu ini, dia sadari penuh merupakan kesalahan. Tidak seharusnya dia menyakiti Arum hanya karena dia tersakiti lantaran cintanya pada Ayu yang akan benar-benar kandas. Ayu akan menikah, karna itulah dia menggila.
Meski dalam hati kecilnya dia sedikit menyalahkan Arum namun yang terjadi antara dia dan Ayu benar-benar tidak ada kaitannya dengan Arum. Hadir ataupun tidaknya Arum dalam hidupnya, dia dan Ayu tidak akan pernah bisa bersama.
“Untuk kali ini aku maafkan. Aku harap kamu tidak mengulanginya lagi. Meski aku belum mencintaimu bukan berarti sikapmu tidak menyakitiku. Aku menghormati semua batasan yang kamu tetapkan di antara kita, karna aku mengerti, kamu masih belum bisa menerimaku. Aku harap kamu juga bisa sedikit mengerti posisiku.” Arum berucap panjang. Meski bibirnya sedikit bergetar namun dia bisa menyelesaikan kalimatnya.
“Aku akan mengingatnya.” Agam mengangguk. Dia paham betul jika Arum selalu berusaha tidak melewati batasan yang dia buat, seharusnya dia menghargai itu dengan tidak menyakiti perempuan ini.
Sebagai seorang istri Arum bukalah perempuan yang buruk. Selama hampir satu bulan tinggal bersama, Agam belum menemukan hal yang buruk tentang Arum. Dia istri yang baik, penurut, telaten dalam mengerjakan pekerjaan rumah, juga bijak dalam mengelola uang yang dia berikan untuk keperluan rumah tangga mereka. Arum hanya membeli barang yang memang benar-benar mereka butuhkan, tidak pernah Agam mendapati Arum membelanjakan uang yang dia berikan untuk membeli barang-barang pribadi perempuan itu. Arum tidak kurang apa pun, hanya saja cinta Agam sudah dimiliki orang lain.
***
Setelahnya hari-hari berlalu seperti berlari.
Sikap Agam berubah, dia tidak lagi mabuk-mabukkan ataupun marah-marah. Namun dia menjaga jarak. Interaksi mereka semakin hari semakin sedikit. Arum bahkan hanya bisa melihat Agam pagi hari saat sarapan, selebihnya Agam tidak terlihat. Arum tidak pernah tau kapan laki-laki itu pulang.
Pernah sekali Arum menunggu, namun hingga pukul satu dini hari Agam belum juga pulang dan akhirnya Arum tertidur.
Pernikahan mereka yang sudah seumur jagung ini terlihat semakin tidak memiliki masa depan. Arum tidak tau harus bagaimana. Dia jelas tidak menginginkan hal ini tapi dia juga takut Agam akan berubah kasar lagi jika dia nekat untuk mendekati laki-laki itu.
Jadi Arum hanya menunggu, menunggu Agam melihatnya. Yang perlu dia lakukan adalah memastikan tugasnya sebagai istri tidak lalai dia lakukan.
Malam ini seperti biasa, pukul sembilan lewat Arum masuk ke dalam kamarnya. Rasa kantuk masih belum dirasakan namun, dia sudah tidak lagi memiliki perkerjaan lain, karna itu dia memilih untuk berbaring di dalam kamar sambil menunggu kantuk.
Baru beberapa menit berbaring di kasur, dari luar sayup-sayup Arum mendengar suara mobil mendekat, Arum menajamkan indra pendengarannya, memastikan bahwa suara mobil tersebut berasal dari depan rumah.
Didorong rasa penasaran Arum kemudian bangkit dari tidurnya, lalu mengintip dari balik tirai kamarnya yang menghadap langsung ke depan rumah.
Terlihat mobil hitam milik Agam memasuki pekarangan rumah. Laki-laki itu pulang. Setelah sekian lama, Arum akhirnya melihat Agam pulang.
Dengan sedikit bersemangat Arum berjalan cepat menuju pintu, dia harus menghangatkan makan malam untuk Agam. Tapi tepat saat tangannya hendak memutar handel pintu, rasa ragu menghampirinya. Bagaimana jika Agam akan marah jika melihatnya? Arum berdiam diri sebentar. Tapi bisa jadi laki-laki itu belum makan malam, menawarkan makan malam bukan masalah besar bukan? Tapi, bagaimana jika Agam marah?
Arum kebingungan, haruskah dia mencoba peruntungannya? Atau tidak?
Setelah berfikir beberapa saat Arum akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Dia hanya akan melihat apakah Agam sudah memasuki kamarnya atau tidak, jika mendapat keberanian maka dia akan menawarkan makan malam pada laki-laki itu.
Dengan langkah pelan Arum keluar dari kamarnya. Perempuan itu mengedarkan pandangannya, mencari tau keberadaan Agam.
Tidak ada. Mungkin dia sudah naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamarnya. Arum kemudian memutuskan untuk pergi ke dapur, dia tiba-tiba merasa haus.
Saat melewati ruang makan langkah Arum seketika berhenti, Agam ada di sana. Duduk di kursi meja makan dengan kepala tertunduk. Penampilannya kusut sekali.
Seperti inikah penampilan laki-laki itu setiap kali dia pulang selama ini? Jika iya, maka Arum harus merasa kasihan pada Agam. Terlepas dari apa yang pernah Agam lakukan dua bulan lalu, laki-laki itu kini terlihat menyedihkan. Entah apa yang membuatnya begini. Apa ini karna dirinya? Karna pernikahan mereka? Atau, karna cintanya pada perempuan bernama Ayu itu?
Agam belum menyadari keberadaannya, tapi Arum memilih mendekat. Jari-jari Arum saling meremas, gugup. Dia tidak tau bagaimana dia harus memanggil Agam, mereka tidak pernah membicarakannya, lagi pula mereka jarang berbicara, jadi mereka tidak punya panggilan untuk satu sama lain.
Memanggil Agam dengan namanya rasanya sangat tidak sopan, apa lagi Agam jauh lebih tua darinya, tapi canggung rasanya memanggil laki-laki itu dengan sebutan 'Mas' seperti yang Kemala pakai saat memanggil Biantara, sepertinya Agam juga tidak akan suka.
"Apa kamu sudah makan malam?" Pertanyaan ragu-ragu yang akhirnya lolos dari bibir Arum mengisi keheningan. Pertanyaan tidak terduga yang membuat Agam sedikit terkejut, laki-laki itu mengangkat wajahnya. Dia kemudian menatap Arum heran. Sedangkan Arum yang ditatap begitu tak bisa menyembunyikan raut gugup bercampur takut yang sangat bisa terbaca dari wajahnya.
Agam yakin, butuh keberanian yang besar bagi Arum untuk berbicara padanya saat ini. Terlihat dari ekspresinya, Arum masih sangat takut padanya.
"A-apa k-kamu ingin aku menghangatkan makan malam?" Arum kembali bertanya melihat keterdiaman Agam.
Agam menggeleng lemah sebagai jawaban.
“Aku ingin sendiri,” ucap Agam.
“Baiklah, aku permisi.” Dengan langkah cepat Arum segera meninggalkan Agam yang kini kembali menundukkan kepalanya di atas meja makan. Arum bahkan melupakan rasa hausnya.
Tepat saat Arum memutar tubuhnya membelakangi Agam, Agam memutar kepalanya, melihat tubuh belakang Arum yang menghilang di balik tembok. Agam tidak membenci perempuan itu, hanya saja dia tidak menyukai keberadaannya.
Lama terdiam dalam lamunannya, ponsel Agam yang berada di saku celananya tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk. Jantung Agam seketika bertalu-talu. Sebuah pesan berisi satu kata ‘tolong’ yang dikirim oleh Ayu.
Tanpa berfikir panjang Agam segera bergegas. Sembari menghubungi nomor Ayu yang sudah tidak bisa dihubungi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments