Aku sudah menangis selama 20 menit, tetapi air mataku terus mengalir dan kesedihan dalam hatiku belum juga hilang. Aku mengelap wajahku dengan bajuku, mencoba menghilangkan bukti bahwa aku baru saja habis menangis.
Ketika aku keluar kamar, Ibuku sedang duduk di ruang keluarga. Ditemani oleh Ibu Mbak Putri dan Mbak Putri di sana. Ibuku menelpon semua orang di kontaknya, mulai dari kedua nenekku, paman-pamanku, bibi-bibiku, sampai teman-teman Ayahku. Setelah selesai memberi kabar kepada satu orang, Ibu akan menelpon yang lainnya.
Di luar, semua orang sedang sibuk mempersiapkan sebuah papan dan selang air. Mereka mengatakan akan membawa Ayah keluar untuk dimandikan di sana, mereka juga memasang sebuah tenda sebagai penghalang agar tempat Ayah akan dimandikan menjadi tertutup.
Para anak muda di lingkunganku juga mengangkat kursi dan meja yang berada di ruang keluarga ke luar, mencoba memberikan ruang untuk memasang kain yang akan Ayah gunakan setelah habis dimandikan.
Adik-adikku hanya terdiam di ruang keluarga, mereka duduk di lantai dan tidak berekspresi sama sekali. Saat itu beberapa orang masuk dan menggotong Ayah ke luar, mereka mengatakan bahwa papan untuk memandikan Ayah telah selesai disiapkan.
Aku mengikuti mereka ke luar ketika membawa Ayah, mereka masuk ke dalam tenda dan membaringkan Ayah di atas papan, mereka mulai mengalirkan air. Memotong seluruh pakaian Ayah agar mudah dibuka, saat melihat mata Ayah yang masih terbuka saat itu, seseorang di sana berinisiatif menutupnya.
Ada 5 orang yang membersihkan tubuh Ayah saat itu, satu orang memotong kuku Ayah, satu orang mengalirkan air, satu orang menggosok tubuh Ayah dengan sabun, satu orang menyikat gigi Ayah, dan satu orang lain membersihkan tubuh bagian bawah Ayah.
Tangan Ayah yang sudah kaku membuat mereka kesulitan untuk menyatukan lengan Ayah, ketika mereka ingin menyatukan lengan Ayah dan menaruhnya di dada, setiap gerakan yang mereka lakukan aku mendengar suara seperti tulang patah yang kaku.
Aku hanya bisa melihat ketika Ayah dibersihkan oleh orang-orang di dalam sana, sampai seseorang menawarkanku untuk membersihkan tubuh Ayahku.
“Nih mandiin Ayahnya.” Seorang pria tua yang memegang selang memberikan selangnya kepadaku.
Aku menerimanya, dia mengatakan bahwa aku harus menyiramnya dan menggosok tubuh Ayah perlahan. Aku mengikuti perkataannya, ketika tanganku menggosok tubuh Ayahku. Aku tidak tahu kapan Ayah menjadi sekurus ini, tubuh Ayah seakan hanya terisi tulang dan tidak ada daging di dalamnya.
Saat aku terus mengalirkan air dan menggosok tubuh Ayah, air mataku keluar lagi. Aku mencoba menahannya, tetapi itu malah mengaburkan pandanganku. Aku mengatakan kepada diriku, aku tidak boleh menangis di sini, karena di sini ada banyak orang dan orang-orang itu akan melihatnya. Aku adalah seseorang yang malu untuk menangis di depan orang lain, tetapi saat ini kesedihanku mengalahkan rasa maluku. Aku tidak bisa menahan air mataku di depan banyak orang, dan aku sudah tidak lagi memikirkan bagaimana orang melihatku menangis saat aku adalah seorang pria.
Saat air mataku menutupi pandanganku, ingatanku mulai kembali ketika aku mengatakan bahwa aku ingin memandikan Ayah. Aku memang mengatakan itu sebelumnya dan sekarang aku sedang memandikan Ayah, tetapi ini bukanlah yang kumaksud. Aku tidak pernah menyangka bahwa perkataan itu akan menjadi terakhir kalinya aku mengatakan itu.
Saat aku tidak bisa menahan air mataku, Adik-adikku tenyata berdiri di belakangku. Mereka melihat Ayah terbaring kaku di atas papan, dengan tubuh yang basah dan kurus. Mereka juga menahan air matanya, tetapi mereka juga gagal melakukannya. Aku kemudian memberikan selang air yang kupegang kepada Adikku, meminta mereka untuk memandikan Ayah secara bergiliran.
Setelah selesai membersihkan tubuh Ayah dan mengeringkannya, mereka kembali menggotong Ayah ke dalam. Di ruang keluarga, kain putih sudah disiapkan di atas karpet. Mereka membaringkan Ayah di atasnya, membungkus Ayah dengan kuat hingga aku hanya bisa melihat wajah Ayah di sana.
Aku mendekat dan duduk di samping Ayah, wajah Ayah yang sebelumnya pucat menjadi sangat bersih. Ayah bahkan telihat tersenyum tipis seperti mendapatkan ketenangan di sana.
Nenekku dari Ayah saat itu panik ketika mendengar Ayah sudah tidak ada lagi di dunia ini. Jarak rumah Nenek dan rumah kami terpisah sepanjang 165 Kilometer, butuh 1 sampai 2 jam untuk sampai ke sini.
Ayahku adalah anak dari 3 bersaudara, dan Ayah adalah anak pertama. Di dalam keluarga Ayah, hanya Ayah yang tinggal jauh dari orang tuanya karena pekerjaan Ayah. Paman dan Bibiku masih tinggal bersama dengan Nenek, jadi saat mereka mendengar Ayah sudah tidak ada, Pamanku langsung bersiap-siap untuk pergi saat itu juga.
Aku hanya duduk di samping Ayah, tidak melakukan apapun dan hanya menatap Ayah. Aku mengetahui jelas ini adalah waktu terakhir aku bisa melihat wajah Ayah secara langsung, jadi aku akan terus memandangi wajah Ayah sambil mengingat-ingat momen-momen yang kulewati bersama Ayah.
Ayah selalu memarahiku sedari kecil karena aku selalu bermain game, Ayah juga adalah penggemar game maka dari itu sifatnya menurun kepadaku. Namun, setiap kali aku bermain game terlalu lama, Ayah selalu mengatakan bahwa game tidak akan membawa apapun dalam hidup, Ayah juga sering mengatakan bahwa dia bermain game dan tidak menjadi apapun. Dia selalu mengajarkanku bahwa dunia ini tidak selalu berpusat kepada diri kita sendiri, terkadang kita harus melakukan sesuatu yang tidak kita sukai karena ada kewajiban di dalamnya.
Setiap mendengar nasihat Ayah yang seperti itu terkadang aku menjadi kesal, aku selalu membantah Ayah dan mengatakan bahwa yang terpenting bagiku adalah nilaiku tidak turun dan aku selalu mendapatkan rangking di sekolah. Saat itu aku selalu membuktikan perkataanku dan membuat Ayah tidak berkutik, akhirnya setelah aku menginjak bangku SMP, Ayah tidak pernah menasihatiku lagi tentang buruknya bermain game.
Namun, tetap saja. Setiap kali aku bermain terlalu lama dan selalu berada di depan komputer Ayah akan tetap memarahiku. Saat itu aku tidak tahu apa yang salah dari melakukan itu, aku sudah melakukan apa yang dia minta dan aku hanya meminta agar aku dibiarkan bermain.
Setiap kali Ayah marah karena aku bermain terlalu lama, aku selalu kesal dan membenci dirinya saat itu, karena dia selalu membanting komputerku dan mematikan komputerku secara paksa ketika aku berada di tengah permainan. Aku juga selalu menjawab apa yang dia katakan, dan selalu membantah. Tapi sekarang, aku berharap bahwa Ayah bisa sekali lagi memarahiku dan menasihatiku seperti yang selalu dia lakukan saat aku masih kecil.
Ayahku mungkin bukanlah Ayah yang terbaik di dunia, tetapi mungkin aku juga bukanlah anak terbaik di dunia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments