Chapter 7

Aku bersandar ke kursiku, mencoba menikmati minuman yang kupesan. Tiba-tiba seorang pelayan wanita dengan topi khas pegawai kafe tersebut mendatangi meja kami, dia membawa sesuatu di tangannya tetapi aku tidak tahu apa itu.

“Permisi, kak. Ini tadi hampir kelupaan, hari ini kita ada promosi buat ngasih gelang couple. Tadi temen saya ngira kakak sendirian, jadi dia lupa ngasih ini.” Pelayan wanita itu menaruh sepasang gelang berwarna perak ke meja kami.

“Oh engga, kami bukan..” Aku belum menyelesaikan penjelasanku kepada pelayan wanita itu. Tiba-tiba Melissa menyelaku berbicara.

“Oh iya, Mbak. Makasih.” Melissa menerima gelang itu dan membuat pelayan wanita itu pergi.

Aku hanya bisa melihat pelayan itu pergi, Melissa mengambil salah satu dari gelang itu dan segera memakainya.

“Eh, bagus lho ini, liat!” Melissa menunjukkan lengannya yang memakai gelang pemberian pelayan wanita itu.

Aku hanya tersenyum karena tidak tahu harus bereaksi apa, bagaimana bisa seorang pelayan mengira kami adalah pasangan dan memberikan kami sebuah gelang. Dan bagaimana bisa orang ini menerima begitu saja, apakah dia tidak merasa jengkel saat seseorang menganggap kita berdua adalah pasangan?

“Ini kamu pake.” Melissa menyerahkan gelang yang lainnya kepadaku.

Aku menolaknya, “Gak pake gituan aku.”

“Ayolah, tidak apa-apa. Sini tangan kamu.” Melissa menarik lenganku, telapak tangannya yang lembut sekali lagi menyentuh kulitku membuat jantungku berdebar. Dia memakaikan gelang itu ke lenganku dan menyatukan lengan kami.

“Kan, bagus.” Dia tersenyum seolah dia mendapatkan apa yang dia selama ini inginkan.

Aku tidak bisa berkata apapun, aku ingin segera melepas ini tetapi aku tidak enak dengan Melissa, jadi aku menahannya. Kemudian dia melanjutkan aktivitas menggambarnya.

***

Sudah hampir 2 jam kami duduk di kafe ini, Melissa masih sibuk dengan kertas dan pensilnya. Aku mencoba meminum minumanku seteguk demi seteguk agar tidak menghabiskannya sekaligus. Aku bukan tipe orang yang bisa melakukan itu, beberapa saat lalu minumanku sudah habis dan aku perlu menunggu beberapa menit untuk esnya mencair menjadi air agar gelasku tidak terlihat kosong.

Aku ingin mengatakan kepada Melissa bahwa aku ingin pulang, tetapi melihat dia sedang fokus membuatku tidak bisa mengganggunya. Jadi aku hanya bisa menunggu dia selesai menggambar lalu berbicara.

“Ah beres.” Dia mengangkat bukunya dan membantingnya ke meja, terlihat ekspresi puas di wajahnya. Begitu juga denganku, aku senang karena akhirnya aku bisa berbicara untuk mengatakan kepadanya bahwa kita harus segera pulang.

Dia mendorong kedua lengannya ke depan, suara seperti tulang patah terdengar ketika dia meregangkan tubuhnya.

“Eh..” Dia melihat ke arah jam tangan yang dia pakai di tangan kirinya. “Sudah sore ternyata ya?”

“Iya.” Aku senang dia menanyakan itu, jadi aku tidak perlu berkata apapun untuk bisa pergi dari tempat ini.

“Yaudah pulang yu.” Dia membereskan peralatannya, memakan sisa donat yang tinggal setengah dan menghabiskan minumannya dalam sekali sedot. Saat aku juga sedang sibuk membereskan meja agar terlihat rapi dan memudahkan pelayan kafe untuk membersihkannya, dia tiba-tiba memberiku kunci sepeda motor. “Nih.”

“Ha? Apa ini?” Aku kebingungan ketika dia menyodorkan kunci sepeda motor kepadaku, aku tidak mengerti apa maksudnya. Lagi pula aku tidak bisa mengendarai sepeda motor untuk apa dia memberikan itu kepadaku.

“Pulang kita, rumah kamu di mana emang?” Tanya Melissa yang sudah beranjak dari tempat duduknya.

“Gak jauh dari sini.” Aku menunjuk ke arah acak.

“Oh yaudah ayo, kamu bawa motor aku biar pulangnya bareng.” Melissa berkata dengan ringannya.

“Lho? Emang rumah kamu di mana?” Tanyaku yang masih mencoba menolak.

“Di Jalan Kencana.” Kata Melissa.

“Oh ya beda arah, aku ke Jalan Jambu.”

“Oh kamu bawa motor?” Melissa bertanya, tangannya masih lurus dengan mantap menyodorkan kunci sepeda motor ke arahku tanpa bergerak sama sekali.

“Engga, naik angkutan umum.” Ucapku.

Melissa terdiam beberapa saat, dia menurunkan tangannya dan berkata: “Yaudah bareng aja naik motor.”

Sial, dalam hatiku. Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku tidak bisa mengendarai sepeda motor, walaupun itu bukan rahasia yang ingin kusembunyikan dari siapapun. Tetap saja, bagaimana bisa seorang pria tidak bisa mengendarai sepeda motor, memikirkan itu saja sudah membuatku malu.

Namun, karena Melissa terus memaksa, aku tidak memiliki pilihan lain selain jujur kepadanya.

“Aku gak bisa naek motor.” Ucapku menanggung rasa malu.

Melissa kemudian menoleh ke arahku, dia tampak terkejut ketika aku mengatakannya. Tetapi apa yang dia katakan selanjutnya adalah sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehku, walaupun aku sudah menyiapkan skenario jawaban yang buruk di dalam kepalaku.

“Oalah.” Raut wajah Melissa berubah menjadi sedih dan tidak enak hati. Dia kemudian menoleh ke arahku lagi dan berkata: “Yaudah aku yang bonceng, ayo! Aku parkir di bawah soalnya.”

Itu adalah jawaban yang tidak terpikirkan olehku, dia seperti seseorang yang tidak menyerah untuk mengajakku pulang bersama. Namun, aku memikirkannya, aku harus duduk di belakang seorang wanita, aku akan dibonceng oleh seorang wanita. Membayangkannya saja sudah cukup memalukan bagiku.

Melissa berjalan keluar duluan, dia menoleh ke belakang dan masih melihatku berada di dekat meja yang baru saja kami duduki.

“Ayo!” Melissa menggerakkan kepalanya untuk mengajakku berjalan.

Aku tidak bisa menolak orang ini, dia sangat bersemangat. Aku biasanya orang yang sangat keras kepala, jika sudah menolak maka aku akan menolak sampai kapanpun dan tidak membiarkan seseorang mengubah jawabanku. Namun, orang ini, aku tidak bisa melawannya. Kepribadiannya yang dominan membuatku tidak bisa berkutik.

Aku mengikutinya menuju parkiran bawah tanah. Dalam perjalanan menuju ke sana, dia sesekali menengok ke belakang, seperti mencoba memastikan bahwa aku masih bersamanya dan mengikuti.

Sesampainya kami di parkiran bawah tanah, kami tiba di depan motor matic berwarna putih. Tapi aku hanya melihat satu helm yang menggantung di sana. Kemana satu helm lagi? Apakah aku tidak perlu menggunakan helm? Itu sangat beresiko karena aku tidak ingin ditilang. Atau dia melupakan itu dan akan mengatakan? “Oh iya, helmnya cuma 1.” Jika dia sampai mengatakan itu ketika aku sudah mengikutinya sampai di sini, aku akan malu saat itu juga.

Aku berdiri di sebelahnya, dia menengok ke arahku.

“Hei, kenapa bengong?” Tanya Melissa sambil melambaikan tangannya. “Apa kamu pikir aku tidak membawa helm 1 lagi?” Pertanyaan yang dia katakan tepat seperti apa yang kupikirkan saat ini. Dia kemudian membuka bagasi motornya dan mengeluarkan helm berwarna hitam dari dalam sana.

“Engga, gak kenapa-napa.” Aku reflek menjawab sambil menggeleng. Aku tidak bermaksud menjawab seperti itu, tapi bagaimana dia bisa tahu apa yang aku pikirkan, itu membuatku sedikit takut.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!