Aku adalah orang yang selalu tidur tepat jam 10 malam, aku tidak pernah be ataupun tidur sampai larut malam sebelumnya. Ini demi menjaga kesehatanku, setidaknya ini adalah hal yang kulakukan untuk menjaga tubuhku tetap sehat.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 2 pagi, kami berbicara dan membahas banyak hal. Kami tertawa bersama, aku menyukai situasi ini. Berbicara dengan Melissa seperti aku telah menemukan salah satu diriku yang lain.
Karena terlalu banyak berbicara, tenggorokanku sekarang menjadi kering dan mulutku tidak lagi mengeluarkan air liur. Aku juga belum meminum apapun setelah makan tadi, jadi aku mengatakan kepada Melissa bahwa aku akan keluar sebentar untuk mengambil minum.
“Tar ya, ambil minum dulu. Haus.”
“Ya.” Melissa mengatakannya dengan panjang, nadanya seperti seseorang yang manja. Aku langsung meletakkan ponselku di kasur dan pergi keluar kamar, aku membawa piring kotor yang kugunakan sebelumnya untuk makan untuk sekalian di cuci.
Ketika aku pergi ke meja makan, aku menuangkan air dari tekor dan minum. Meja makan dan tempat tidur Ayah berseberangan, jadi aku bisa melihat Ayah sedang tertidur di sana.
Aku memperhatikan perut Ayah, itu sama sekali tidak bergerak. Aku menunggu beberapa lama dan terus melihatnya, tapi tetap saja itu tidak bergerak. Aku berlari mendekat dan memanggil Ayahku.
“Yah, Ayah.” Aku menggoyangkan tubuh Ayah. Namun, tidak ada respon. Ayah masih tertidur dengan posisi lengan yang menutup matanya.
Aku memperhatikan perut ayah sekali lagi, tapi tidak ada gerakan. Aku sangat khawatir sekarang, perasaanku menjadi tidak enak dan membayangkan sesuatu yang buruk. Aku mengangkat lengan ayah untuk mengecek keadaan Ayah. Tetapi yang aku temukan adalah sesuatu yang aku pikirkan sesaat sebelum aku mengangkat tangan Ayah.
Mata Ayah melotot dan wajahnya putih pucat. Ayah seperti orang yang membeku dan hanya diam saja.
“Bun! Bun! Ayah kenapa?” Aku berteriak kepada Ibuku yang tidur di bawah lantai, tepat di samping Ayah. Ibuku yang terkejut langsung bangun dan menoleh ke arahku.
Saat itu tubuhku berguncang, air mataku tanpa aku sadari sudah mengalir dan membasahi pipiku. Ibuku bangun dan mengecek keadaan Ayah, dan Ibu sama terkejutnya dengan diriku.
“Ayah, Ayah!” Ibu menyentuh wajah Ayah, tubuh Ibu juga ikut bergetar. Kemudian Ibu terus mencium tangan Ayah, tetapi tangan Ayah sangat dingin.
Aku membangunkan adik-adikku. Aku tidak tahu apa yang bisa dilakukan pada situasi saat ini.
Ibuku kemudian mengatakan. “Panggil Mbak Putri, minta periksa Ayah!” Ibuku menangis sambil menyatukan lengannya dan lengan Ayah.
Aku tidak berpikir apapun saat itu, aku langsung pergi keluar dan berlari ke rumah Mbak Putri yang jaraknya hanya 2 rumah dari rumahku. Mbak Putri putri bukanlah dokter atau perawat, tetapi dia adalah seseorang yang mengambil sekolah kebidanan. Aku tidak peduli tentang itu, dia memiliki kualifikasi untuk memeriksa orang lain, dia adalah orang yang harus kuharapkan.
Aku tahu ini bukanlah waktu yang bagus untuk berteriak di depan rumah orang lain, membangunkannya dan mengetuk pintu rumahnya. Tetapi aku mengesampingkan moralku dan melakukan apa yang harus aku lakukan.
“Permisi! Permisi!” Aku terus berteriak di depan rumah Mbak Putri, mengetuk pintunya dengan keras. Berharap seseorang cepat membukakan pintu untukku.
Tidak lama kemudian aku mendengar suara kunci terbuka dari dalam, pintu itu kemudian terbuka dan muncul seorang wanita paruh baya yang baru saja bangun. Dia adalah Ibu dari Mbak Putri.
Aku tidak bisa basa-basi, jadi aku langsung mengatakan inti kedatanganku saat ini.
“Mbak Putrinya ada? Ayah saya, tolong periksa Ayah saya!”
“Oh iya sebentar.” Wanita paruh baya itu langsung masuk dan pergi untuk memanggil anaknya. Aku bisa mendengar suara teriakan wanita itu, beberapa saat kemudian Mbak Putri keluar. Dia adalah seseorang yang seumuran denganku, dengan wajah yang masih mengantuk, dia menggunakan jaketnya dan membawa sebuah kotak berwarna hijau yang berisi peralatan kedokterannya.
Adikku tiba-tiba menyusul dengan wajah cemas.
Mbak Putri yang melihat itu mengerti jelas bagaimana situasinya. Dia tidak berbicara apapun dan langsung berlari menuju rumahku, aku tidak langsung mengikuti mereka. Aku mencoba meminta pertolongan dari kepala desa yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari sana.
Aku sekali lagi berteriak, Pria tua berumur 70 tahunan keluar.
“Ada apa?” Dia adalah seorang pria tua yang baik, aku jadi tidak enak ketika mengganggu tidurnya.
“Ayah, Pak. Ayah sama gak gerak sama sekali.” Aku mengatakan maksudku.
Pria tua itu tidur tanpa mengenakan pakaian, ketika beliau membuka pintu dia saat itu hanya menggunakan kaos dalam dan memperlihatkan tubuhnya yang sudah keriput.
“Oh ya bentar.” Pria tua itu langsung masuk ke dalam, aku tidak bisa menunggunya. Jadi aku langsung berlari ke rumah.
Saat aku tiba di rumah, Mbak Putri sedang memeriksa keadaan Ayahku. Dia menggunakan stetoskop miliknya dan memeriksa dada Ayahku. Ayah sama sekali tidak bergerak ketika bajunya di angkat. Mbak Putri juga mencoba menggunakan tensimeter untuk mengukur tekanan darah Ayah.
Aku tidak mengerti angka-angka yang ada di tensimeter itu, jadi aku hanya menunggu apa yang akan Mbak Putri katakan.
Setelah melepaskan tensimeter itu dari lengan Ayah, Mbak Putri dengan ekspresi yang tidak enak mencoba mengatakan sesuatu, dia seakan ingin menahan perkataan yang tidak enak itu. Namun, dia tahu bahwa dia tidak bisa merahasiakan itu dari kami.
“Ini Bapak, tensinya normal Bu. Tapi nafasnya udah kecil banget, masih ada, cuma kecil.” Kata Mbak Putri.
Untuk pertama kalinya, aku mendengar bahwa tensi Ayahku normal. Karena Ayah penderita darah tinggi, Ayah tidak pernah mendapatkan ucapan itu ketika tekanan darahnya diperiksa. Bahkan dokter-dokter yang memeriksa Ayah sangat kebingungan dan terkejut karena tensi ayah yang mencapai angka 200, tetapi saat diperiksa seperti itu, Ayah selalu mengatakan bahwa dirinya tidak merasa pusing atau apapun. Dokter yang memeriksa Ayah terkadang memasang wajah aneh sambil terus menerangkan bahwa jika seseorang yang memiliki tensi tinggi seperti itu seharusnya sudah pingsan.
Meskipun Mbak Putri berkata tensi Ayah normal, tetapi aku tidak merasa itu sebagai berita yang baik. Aku tidak bisa melepaskan ayah begitu saja, sesuatu harus aku lakukan agar Ayah bisa kembali seperti semula.
Beberapa saat kemudian, Kepala Desa datang membawa warga. Seketika rumah kami dipenuhi oleh warga desa dari berbagai usia dan kalangan. Bahkan ada beberapa anak kecil yang datang ke rumahku.
“Gimana neng?” Tanya Kepala Desa kepada Mbak Putri yang baru saja memeriksa Ayahku, Mbak Putri kemudian menjelaskan situasinya kepada Kepala Desa. Tetapi pria tua itu hanya diam saja dan tidak berbicara, seakan mulutnya ditutup oleh sesuatu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments