Chapter 8

“Itu punya Ayahku, kayanya agak gede sih.” Melissa menyerahkan helm yang dia ambil dari bagasi motornya kepadaku.

“Gapapa.” Aku menerimanya dan tersenyum. “Tiket parkirnya ada?” Tanyaku.

Melissa membuka salah satu resleting di tasnya dan mengeluarkan tiket parkir yang dia simpan. “Ini ada.” Dia menunjukkannya kepadaku.

“Sini.” Aku mencoba mengambil tiket itu dari tangannya, dengan maksud aku yang akan membayar parkirnya karena dia sudah mengantarkanku pulang. Aku tidak ingin hanya menumpang secara gratis atau semacamnya, setidaknya walaupun aku tidak bisa mengendarai sepeda motor inilah yang bisa kulakukan.

Namun, dia tidak memberikannya.

“Udah gapapa sama aku aja.” Kata Melissa sambil mengenakan helmnya.

“Senggaknya biar aku yang bayar.” Aku meraih dompetku dan mencoba mengeluarkan uang pecahan 20 ribu dari dalamnya.

“Ini aku udah nyiapin, udah biarin.” Melissa menolak mengambil uang yang kukeluarkan. Tiba-tiba dia kembali menoleh ke belakang. “Eh iya, tadi bayar minuman pake uang kamu ya?”

“Oh gapapa santai.” Ya aku melupakan itu, setidaknya harga kopi itu cukup mahal jika dibandingkan dengan tiket parkir. Jadi anggap saja aku akan membayar kopi dan donat itu untuknya.

“Eh gak boleh, berapa?” Dia mengeluarkan uang dari kantongnya, uangnya sangat berantakan dan tidak beraturan. Pecahan besar dan pecahan kecil bercampur menjadi satu.

“Udah biarin, sini aku yang keluarin motornya.” Aku mencoba menolaknya dan mencoba mencari alasan agar dia melupakannya. Karena kunci motornya sudah dia pasang, aku bisa mengambil alih kemudi dan memundurkan sepeda motornya ke belakang. Melissa tidak berbicara apapun lagi dan bergerak ke pinggir untuk memberikan jalan.

Melissa kemudian naik ke sepeda motornya, menyalakan mesinnya dan mencoba mengecek kaca spion dari kedua sisi. Dia kemudian melihat ke arahku.

“Ayo naik!” Dia Bilang.

“Iya.” Aku mencoba naik, tetapi saat melihat Melissa duduk di depan dan aku akan duduk di belakang, aku berpikir itu akan terasa aneh. Bagaimana jika aku duduk terlalu dekat dengannya, itu pasti akan menjadi ketidaknyamanan untuk kita berdua. Tetapi aku tidak memiliki pilihan lain, aku mencoba naik dan tidak mencoba tidak menyetuh tubuhnya sama sekali. Bahkan aku mencoba duduk sedikit lebih jauh dan memberi ruang di antara kita agar aku tidak bersentuhan dengannya.

Kami berputar-putar untuk mencari pintu keluar. Setelah membayar tiket parkir, kami sudah keluar dari parkiran mall dan menuju jalan raya kecil untuk pergi lewat belakang karena tidak bisa melewati jalan raya besar. Jalan raya besar hanya memiliki sistem satu arah, jika kami melewati jalan itu maka kami harus berputar dan itu cukup jauh untuk pergi ke rumahku.

Melissa sepertinya sangat tahu jalan kerumahku, dia bahkan tidak repot-repot bertanya ke arah mana kita harus pergi. Kami berada di tengah-tengah kota, tetapi jalan belakang cukup sepi karena melewati perkampungan dan gang yang cukup kecil yang hanya muat untuk satu mobil lewat.

Sepeda motor yang melaju kencang membuatku seperti melewati angin yang tebal, aku bahkan tidak bisa mendengar apapun kecuali angin yang menyambar di wajahku.

Sampai beberapa menit kemudian saat kami berada di jalan, Melissa mencoba berbicara kepadaku. Tetapi suara angin membuat aku tidak bisa menangkap apa yang Melissa katakan. Aku mencoba mendekatkan kepalaku dan memintanya mengulangi perkataannya kembali.

“Apa?” Kataku mencoba berbicara dekat kepalanya tapi tetap mencoba menjaga jarak agar aku tidak menyentuhnya sedikit pun.

“Kamu duduknya kejauhan, deketan.” Melissa berkata sambil mencoba menoleh ke belakang, tapi dia tidak bisa melepaskan pandangannya dari jalan yang ada di depannya.

“Ha?” Sebenarnya aku mendengar apa yang dia katakan, tapi aku berpura-pura tidak mendengarnya karena aku tidak ingin bergerak lebih dekat dan menempel kepada dirinya. Bagaimana bisa dia mengatakan itu kepada seorang pria sepertiku, apakah dia pikir aku orang suci atau semacamnya dan tidak bisa berpikir yang aneh-aneh? Tolong, aku adalah pria normal, aku tidak ingin sesuatu terjadi di luar kendaliku.

Namun, secara diam-diam dia mencoba mundur ke belakang sedikit demi sedikit.

“Nanti jatuh! Kamu duduk terlalu belakang, motornya berat.” Kata Melissa dengan suara yang bercampur angin, tapi kali ini aku bisa mendengarnya dengan jelas. Dengan enggan, aku mencoba menyeret bokongku untuk duduk sedikit ke depan dan tetap mencoba menjaga jarak agar paha atau tubuhku tidak menyentuh Melissa.

“Kamu gak pegangan?” Dia bertanya lagi.

“Sudah.” Aku sudah menempatkan kedua tanganku di bagian belakang motor dari awal. Walaupun ini tidak terlalu aman jika dibandingkan dengan memegang seseorang yang berada di depan, aku tidak memiliki pilihan lain.

Beberapa menit kemudian kami sudah berada di Jalan Jambu, jalan panjang dua arah yang lebar dan lurus. “Nanti kalau deket rumahmu tunjukkin jalannya ya.” Kata Melissa sambil terus melihat ke depan.

“Iya, nanti ada gang kecil di sebelah kiri abis klinik.” Aku mencoba memberinya petunjuk lebih awal.

Melissa mengebut, dan ketika klinik itu sudah terlihat di depan mataku, aku menunjuk klinik itu agar Melissa bisa melihatnya. Dia memperlambat laju sepeda motornya, ketika berada di depan klinik, dia berhenti. Dia kemudian melihat sekitar seperti mencari sesuatu.

“Rumah kamu yang mana?” Tanya Melissa.

“Ini, masuk ke gang ini.” Aku mencoba melepas helmku dan turun, tetapi Melissa menhentikannya.

“Ngapain? Ayo di anter sampe depan rumah, tanggung banget.” Kata Melissa.

Entah kenapa aku tidak menolak dan hanya berkata: “Oh.” Dan langsung memakai helmku kembali. Kami masuk ke dalam gang kecil dan berkendara sekitar 300 meter.

“Rumahku yang ujung warna abu-abu itu.” Aku menunjuk rumah yang terlihat di depan mataku, Melissa Mengangguk untuk menjawab.

Ketika kami sudah sampai di depan rumahku, aku turun dan berterima kasih kepadanya.

“Makasih ya.” Kataku sambil turun dari motor.

Aku berdiri diam melihat dirinya, bermaksud menunggu dia sampai pergi untuk menunjukkan kesopananku. Namun, tiba-tiba dia menunjuk kepalaku.

“Helmnya.” Kata Melissa.

Cerobohnya diriku, aku melupakannya. “Oh iya.” Aku buru-buru melepas helmnya dan memberikan kepadanya. Tetapi setelah dia memasukan kembali helmnya ke dalam bagasi, dia tidak langsung pergi. Karena dia tidak pergi, aku juga belum bisa masuk rumah.

Dia berdiri diam seakan menunggu sesuatu.

“Kenapa?” Tanyaku karena dia belum pergi.

Melissa mengeluarkan ponsel dari kantongnya dan berkata: “Minta nomor kamu dong.” Sambil membuka kunci layar ponselnya.

Aku tidak memikirkan apapun saat ini, aku juga tidak bisa menolak permintaannya. Aku bukan tipe orang yang mudah memberikan nomor kontakku kepada orang lain, tetapi aku merasa dia sudah bukan orang asing lagi. Jadi untuk membalas kebaikannya aku mengiyakan permintaan Melissa dan menyebut nomor kontakku dan memberikan kepadanya dengan senang hati.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!