NovelToon NovelToon

Menjadi Selamanya

Secarik Dari Hidup Alula Divi

Divi melangkah dengan gontai, lemah, lesu, seperti raga tanpa jiwa. Harapan yang tadinya melambung tinggi lima belas menit yang lalu, kini menguap begitu saja setelah kakinya keluar dari ruangan HRD. Satu-satunya tempat yang diharapkan bisa menjadi jalan keluar rupanya malah meruntuhkan jiwanya yang malang.

“Div, gimana?” tanya Seli, rekan kerjanya, satu divisi dan duduk tepat disebelah kubikel Divi.

Kepala Divi menggeleng lesu. Tatapannya kosong, bahunya lemas.

“Kok bisa sih? Setau gue, si Juju baru banget minggu kemaren ngajuin pinjaman dan di ACC loh!” Seli merasa bingung dengan hasil yang diterima rekannya itu.

“Pak Ado bilang, masa kerja gue belum memenuhi syarat, minimal gue harus udah satu tahun. Sementara gue setengah tahun aja belom.” Divi membuang napasnya berat, tubuhnya merunduk di atas meja, dengan sebelah pipinya mendarat di atas meja. “Gue harus nyari duit sebanyak itu dimana lagi ya? Masa iya gue harus kerja yang haram?”

“Ih amit-amit deh, Div, nggak usah ngaco! Pasti ada jalan keluarnya kok.” Seli mengetukkan jarinya ke jidat kemudian mengetukkannya lagi ke permukaan meja sambil melotot melihat Divi.

“Tapi dimana gue bisa dapat uang sebanyak itu dalam waktu satu minggu, Sel?” Divi menegakkan kembali tubuhnya, tangannya bergerak mencengkram rambutnya yang sepanjang bahu.

“Tapi kan nggak mungkin juga lo ngebiayain operasi dan pengobatan nyokap lo pake uang haram, Div! Gila apa lo?!”

Divi duduk setengah melorot di atas kursinya, bibirnya mengerucut, rambutnya berantakan. Jika saja bukan karena ibunya, Divi pasti sudah menyerah dengan hidupnya. Rasanya dia sudah tidak sanggup berjalan lagi menapaki jalan yang penuh pecahan beling dengan kaki telanjangnya, tanpa penerangan dan entah dia harus sejauh apa lagi bertahan berjalan di jalan yang gelap itu.

Ponselnya berdenting, tanda notifikasi dari grup karyawan kantor muncul pada layar ponselnya, tapi Divi sama sekali tidak berniat untuk membukanya.

“Oh my god!” Pekik Seli dengan suara tertahannya. Tangannya bahkan ikut menepuk-nepuk bahu Divi. “Ada Pak Kael datang, Div!”

Seketika saja Seli yang sedari tadi mengomeli Divi karena sempat berpikiran untuk bekerja haram, senyumnya merekah, perempuan itu langsung memoleskan lagi liptint merahnya, dan memastikan tidak ada sehelai rambut pun yang berdiri dari kepalanya. Sementara Divi hanya bisa menghela napas berat, boro-boro memoleskan pewarna bibir, tangannya malah menggaruk kepalanya, membuat rambutnya semakin megar seperti baru saja tersengat listrik.

Semua karyawan kompak berdiri ketika pintu lift khusus itu bergerak terbuka, dua pria melangkah keluar dari dalam kotak besi itu, tapi sepertinya Divi tidak mempunyai semangat untuk menyapa CEO mereka yang terkenal dingin dan pelit toleransi.

Seli buru-buru menarik Divi berdiri atau nasibnya akan semakin buruk. Selain menarik Divi berdiri, Seli juga menepuk punggung Divi agar perempuan itu membungkukkan tubuhnya ketika CEO berwajah tampan tapi berekspresi datar itu melewati kubikel mereka untuk menuju ruangannya.

“Lo mau kehilangan kerjaan?!” Omel Seli dengan suara tertahan setelah CEO dan asistennya itu sudah masuk ke dalam ruangannya.

Divi membuang napasnya seraya mendaratkan kembali bokongnya di atas kursi. “Lo punya kenalan yang kenal sama mucikari ga sih?”

Pletak!

Bukannya mendapatkan jawaban, Divi malah mendapatkan sentilan keran pada keningnya.

* * *

Divi mengusap wajahnya berkali-kali sebelum akhirnya dia menarik kedua sudut bibirnya untuk membuat sebuah senyuman pada wajah letihnya. Dia menarik napas dan menghembuskannya sebelum kakinya melangkah masuk ke dalam rumah.

“Lama banget sih kamu pulangnya?” Suara ketus perempuan yang duduk sambil mengangkat kakinya di atas sofa langsung menyambut Divi. Bukan, perempuan itu bukan ibu dari Divi yang membuat Divi rela jika memang dia harus menjadi wanita malam demi mendapatkan biaya. Perempuan dengan dandanan medok itu adalah Yeni, adik dari ibunya Divi. Perempuan usia kepala empat yang masih melajang. Baju super ketat dengan motif macan tutul dan celana legging motif garis-garis hitam putih itu berdiri, setiap gerakkannya membuat lemak pada sekujur tubuhnya juga ikut bergerak, melihat tampilan tantenya itu membuat Divi bergidik ngeri. Kalau Divi menjadi wanita malam, pastinya Divi harus memakai pakaian yang lebih ekstrem dari apa yang dipakai Yeni, kan?

Kayaknya gue nggak bisa deh jadi perempuan begituan. Keluh Divi dalam kepalanya.

“Kamu kenapa ngelihatin Tante kayak gitu, iri ya sama badan Tante yang aduhai?” kata Yeni dengan rasa percaya diri yang luber-luber.

Divi mengernyit.

“Tante udah makan?” Divi memilih untuk berlalu dari perempuan itu, jika saja Yeni tidak membantu Divi menjaga ibunya, sudah dipastikan Divi tidak mau berinteraksi dengan Yeni. Selain karena sikapnya yang menyebalkan, ocehan Yeni juga kadang membuat Divi ingin menyumpal mulut Yeni dengan kertas bekas nasi uduk.

“Udah lah, tadi ada pacar Tante yang datang kesini bawain Tante makanan. Makanya kamu tuh dandan sekali-kali, Div, biar bisa punya pacar kayak Tante nih, banyak yang naksir sama Tante, jadi hidupmu nggak miskin-miskin amat.”

Divi menggigit dindin mulutnya bagian dalam, menahan rasa gemas untuk membalas ucapan Yeni dengan telak. Sayangnya, Divi masih mengingat pelajaran tentang menghormati orang yang lebih tua yang sudah diajarkan sejak taman kanak-kanak.

“Ibu juga udah makan, kan, Tan?” tanya Divi, mengabaikan ucapan menyebalkan Yeni.

“Belom lah, ya kali pacar Tante ngebeliin buat ibu kamu juga.” Jawab Yeni dengan nada acuh.

“Ibu aku itu kakaknya Tante juga.” Sahut Divi dengan gigi yang dikatupkan.

“Ya tapi kan bukan berarti pacar aku harus beliin buat Mbak Inna juga.”

“Aku nggak bilang pacar Tante harus beli makanan untuk Ibu, tapi kan aku udah kasih uang ke Tante untuk beli makanan, terserah Tante mau beli online atau di warung, yang penting ibu makan!”

“Eh, kamu kok jadi ngegas gitu sih! Udah untung Tante mau jagain Mbak Inna! Harusnya kamu tuh terima kasih, bukannya malah ngegas gitu!” Yeni balas Divi sambil melipat kedua tangannya di depan lemak perutnya yang bertingkat.

Baru saja Divi membuka mulut untuk membalas ocehan Yeni tentang apa itu arti terima kasih, tepat ketika Inna keluar dari kamar. Wajahnya pucat, langkahnya pelan dengan tangannya yang berpegangan pada dinding, dan tiba-tiba saja ibunya ambruk, jatuh pingsan tepat di depan matanya.

“Ibu!”

Divi duduk termenung di depan ruangan dokter yang baru saja mengatakan bahwa tumor yang diderita ibunya harus segera diangkat jika tidak, maka tubuh ibunya hanya akan bertahan selama enam bulan saja. Dimana dia harus mendapatkan uang?

Rasanya Divi ingin sekali teriak sekuat tenaganya untuk melepaskan rasa sesaknya. Kenapa kebahagiaan tidak pernah sekali saja bertahan disisinya?

Divi berdiri, kepalanya menunduk, tapi kakinya melangkah gontai tanpa arah di koridor rumah sakit itu. Dia tidak bisa menemui ibunya dengan perasaannya yang kacau.

Bugh!

Akibat kepalanya yang menunduk, Divi menubruk seseorang. Divi mengangkat wajahnya, tapi entah lelaki yang ditubruknya itu terlalu tinggi atau Divi yang terlalu mungil, pandangan Divi dengan kepalanya yang tidak mendengak hanya sampai pada dada bidang lelaki itu.

“Maaf.” kata Divi pelan. Setelah itu, Divi menggeser tubuhnya untuk bisa melanjutkan langkahnya yang seperti jurus dewa mabuk.

“Itu dia, kan?” tanya lelaki yang ditubruk Divi tadi pada lelaki yang berdiri disebelahnya.

“Iya, itu dia.”

.

.

.

Bersambung~

Chap 2. Rencana Arkael

Sepuluh jam yang lalu, Arkael Harsya, atau rekan-rekan bisnis juga semua orang biasa menyebut namanya dengan Kael, datang ke perusahaan setelah menghadiri meeting di luar kantor. Meski pertemuan dengan klien itu memberikan hasil yang baik, tidak berarti suasana hati Kael ikut merasa baik, apa lagi setelah sebuah berita tersebar di setiap media yang membuat hatinya terbakar.

Semua orang seketika berhenti dan menyapa Kael dengan sopan. Mereka yang duduk juga langsung berdiri dan membungkuk untuk menyapa CEO muda yang ketenaran sikap dinginnya dan minim toleransinya pada kesalahan kecil itu sangat dikenal luas.

Setiap karyawan tidak ingin dipecat hanya karena kesalahan kecil seperti tidak bersikap sopan kepadanya. Bimo, asistennya yang juga teman sedari kecil itu paling tahu tabiat sahabatnya itu, karena itu begitu mereka keluar dari dalam lift, Bimo langsung menyapu pandangannya kepada semua staf yang kubikel kerjanya akan dilalui oleh Arkael.

Mata Bimo langsung memberikan kode pada Seli, agar staf yang berada disebelah Seli untuk berdiri dan membungkuk sebentar ketika Kael lewat. Jangan sampai karyawan itu dipecat karena alasan konyol si bos yang sedang tantrum.

“Lo lihat karyawan yang tadi ogah-ogahan berdiri nggak?” Pertanyaan Kael langsung membuat Bimo paham kemana arah dan tujuannya.

“Kayaknya tadi dia lagi sakit, deh, El, mana tahu dia lagi demam, jadi nggak bertenaga gitu.” Bimo mencoba untuk bersikap tenang menghadapi Kael yang suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja.

“Lo nggak usah ngebelain orang yang nggak niat kerja disini, ya, Bim!” kata Arkael tajam.

“Nggak ngebelain, El.” Sahut Bimo, sabar sekali menghadapi ketantruman Kael. “Karena biasanya juga dia nggak begitu kok.”

Arkael hanya membuang napasnya kasar.

“Lo coba tenangin diri lo sendiri dulu deh. Supaya bisa berpikir jernih, jadi nggak main pecat-pecat orang aja. Siapa tau, perempuan tadi juga lagi mengalami hari yang buruk, mungkin juga suasana hatinya lagi kacau kayak lo gini.”

Mata tajam Arkael seketika menghunus lambung Bimo, tapi Bimo sudah kebal dengan serangan hunusan itu.

“Lo mau gue pecat juga?” kata Arkael dingin.

“Eits, santai Bos. Kalo bukan gue, siapa yang berani jadi asisten lo?”

Arkael mendengkus, dalam hati mengakui memang tidak akan ada yang bisa menggantikan kinerja Bimo.

“Lo nggak bisa melampiaskan kekecewaan lo sama orang lain, El. Kalo lo kayak gitu, itu hanya membuat Rana nggak menyesal udah mencampakkan lo demi aktor pendatang baru itu.”

“Sial! Bisa diem nggak lo!” Bimo langsung merapatkan bibirnya, dia tahu saat ini temannya itu sedang berada dalam kawasan berbahaya. Kenyataan bahwa wanita yang selama ini dia jaga di dalam hatinya telah memilih bersama pria lain bukan lah hal yang mudah untuk diterima Arkael.

Masih hangat dalam memori Bimo ketika dulu wanita yang bernama Rana itu memutuskan hubungannya dengan Arkael dengan alasan ingin fokus pada karirnya di dunia entertainment dan adanya larangan untuk mempunyai pacar atau pun suami, hari itu adalah hari terburuk bagi Arkael. Bimo menjadi saksi bagaimana kali kedua pria yang selalu terlihat tangguh dan dingin itu hancur. Arkael bukan tipe orang yang dengan mudah terpesona pada orang lain, apa lagi bisa memberikan hati juga cintanya pada orang lain, namun pada saat dia telah menentukan pilihan, maka dia akan menjaganya sepenuh hati, karena itu, sejak Rana pergi, Arkael masih setia menjaga hatinya untuk Rana, dengan harapan suatu saat wanita yang dicintainya itu akan kembali.

Tapi apa yang dia dapatkan saat ini? Bimo bahkan bisa mendengar suara hati yang patah dari kawannya itu.

Arkael berdiri, ekspresi wajahnya mengeras, sorot matanya dingin dan tajam, sebelah tangannya masuk ke dalam kantong saku celana, sementara yang lainnya mengepal hingga urat-urat pada punggung tangannya itu terlihat.

“Dia akan menyesal.” Ucapnya dengan nada rendah.

Bimo mengusap tengkuknya yang tiba-tiba merinding, atmosfer disekitarnya mendadak berat dan dingin.

“So, apa yang akan lo lakukan?” tanya Bimo.

“Menikah.”

“Hah?”

Tentu saja Bimo terkejut. Arkael akan menikah? Begitu saja? Setelah berbulan-bulan dia menolak setiap kencan buta yang diatur mamanya, kini pria itu akan menikah? Tunggu, pasti ada yang salah dengan keputusan besar yang diucap Arkael, kan?

“Lo maumenikah?” Bimo mengulang, hanya untuk meyakinkan pendengaranya. Tapi ternyata pendengarannya masih berfungsi sebagaimana mestinya karena Arkael menganggukkan kepalanya. “Sama siapa? Perempuan yang dikenalin sama Tante Paulina?”

Kali ini Arkael menggeleng, mata tajam Arkael menatap Bimo dengan serius, “Tapi dengan perempuan yang nggak akan pernah suka sama gue.”

Bimo mengernyitkan dahinya. Masalahnya, memang ada? Meskipun Arkael terkenal dengan sikapnya yang dingin seperti batu es, tapi itu tidak membuat kaum hawa berpaling dari seorang Arkael, sikap dinginnya malah menjadi nilai tambah untuk pria itu.

“Dan,” Arkael menambahkan. “Perempuan itu harus jauh di bawah standar cantik, berdasarkan sudut pandang Rana.” katanya dengan nada rendah dan tenang. Saat itulah kernyitan pada kening Bimo menghilang, kini kedua alisnya malah bergerak naik begitu menyadari rencana apa yang di dalam kepala Arkael.

“Lo yakin?”

Arkael mengangguk.

Otak Bimo pun langsung bekerja super kilat, tangannya merogoh saku jas dan mengeluarkan benda ponsel pintarnya, jempolnya menari-nari sebentar di atas layar datar itu, kemudian dia menunjukkan sebuah pesan masuk dari HRD.

“Gue nggak tau dia nggak suka sama lo atau nggak, tapi melihat dari pesan itu, gue rasa situasi perempuan itu bisa lo manfaatkan. Gimana?”

Arkael mengangkat wajahnya, “Siapa?”

Bimo kembali mengambil alih ponselnya, lagi, jempolnya menari-nari dengan cepat di atas layar datar itu, kemudian menunjukkan sebuah data diri seseorang lengkap dengan potretnya.

“Ini, kan, yang tadi?”

Bimo mengangguk. “Gimana?”

* * *

Kalau bukan karena dia menyayangi kakeknya, Arkael memilih untuk beralasan lembur dari pada menjenguk kakeknya yang katanya sakit dan dirawat. Bukan karena Arkael tidak berbakti pada kakeknya, hanya saja Kakeknya sudah melakukan sandiwara berpura-pura sakit dan dirawat berkali-kali hanya untuk meminta Arkael menikah dengan selalu membawa-bawa usia dan permintaan terakhir seorang kakek dipenghujung usia senjanya.

Bimo menemaninya, selain karena Bimo mengenal kakeknya Arkael, masih banyak yang harus mereka diskusikan, mengenai pekerjaan, jadwal-jadwal meeting juga termasuk menyempurnakan rencana pembalasan dendamnya pada Rana.

“Jadi kapan lo mau ketemu sama dia?”

“Besok. Lebih cepat lebih baik.”

“Oke. Untuk kontrak kesepakatannya, mau lo atau gue yang buat?”

“Gue aja.”

“Oke.” Bimo mengangguk sambil mengetikan rencana-rencana mereka pada ponsel pintarnya.

Bugh!

Langkah kedua pria itu berhenti ketika seorang gadis dengan kepalanya yang tertunduk menubruk dada Arkael. Gadis itu mengangkat kepalanya, tapi tidak sampai wajahnya berhadapan dengan wajah Arkael, matanya hanya lurus menatap dada pria itu.

“Maaf.” katanya dengan nada lesu dan sorot matanya yang kosong. Kemudian dia berlalu begitu saja.

“Itu dia, kan?” kata Kael bertanya pada Bimo.

“Iya itu dia.” jawab Bimo.

Arkael mendengkus. “Apa lo nggak punya kandidat lain selain perempuan yang nggak sopan itu?”

“Nggak ada. Kalo lo pengen rencana ini cepat berjalan, ya dia yang paling pas latar belakangnya. Dengan begitu dia nggak akan berani bermain perasaan sama lo.”

“Gue punya firasat itu perempuan akan menyusahkan gue.” Keluh Arkael sembari melanjutkan langkahnya.

“Jadi, mau lo ganti aja?”

.

.

.

Bersambung

Chap 3. Seorang Arkael ditolak

Divi tetap harus menjalani harinya, dia tetap harus bekerja meski pikirannya sedang carut marut, setidaknya dia punya pekerjaan yang dapat memberikannya pemasukan, meski gaji yang diterimanya tidak bisa dipakai untuk biaya operasinya ibunya, bahkan untuk bayar DP saja pun tidak bisa.

Dia membuang napasnya kasar, entah sudah seribu sekian kalinya, tanganya menopang kepanya sambil menjambak bagian kanan dan kiri rambutnya. Dadanya sesak, tapi untuk menangis pun rasanya sulit, air mata tidak bisa dipakai untuk membiayai pengobatan ibunya, kan?

“Uang…uang…uang…” Mulutnya terus mengucapkan satu kata itu berulang-ulang, seperti orang yang sedang merapalkan mantera.

“Divi!” Seli datang sambil menepuk bahu Divi, membuat Divi terkejut setengah mati, beruntung dia tidak punya riwayat penyakit jantung. “Lo dipanggil Pak Bimo!”

“Hah?” Dia butuh beberapa detik untuk mencerna ucapan Seli. “Gue?”

“Iya! Lo punya salah apa sampe dipanggil Pak Bimo

gitu? Aduh gawat ini!” kata Seli, malah dia yang panik.

“Gue perasaan nggak-”

“Udah deh sana cepet ke Pak Bimo, jangan sampe dia

nunggui lo kelamaan.” Seli menarik Divi untuk berdiri dan merapihkan rambut Divi sebelum mendorong rekannya itu untuk berjalan meninggalkan kubikelnya.

Jantung Divi berdebar gugup sekaligus takut, otaknya

terus berputar mencoba mengingat kesalahan apa yang sudah dia perbuat sampai-sampai asisten CEO itu memanggilnya. Tapi biasanya, jika pun seorang

staf melakukan kesalahan, yang dipanggil adalah ketua divisinya. Lalu ini apa?

Telapak tangan Divi mulai dingin, dia meremas-remas tanganya, mencoba menciptakan kehangatan pada telapak tangannya. Tapi, semakin terlihat jelas

Bimo berdiri beberapa meter di depannya, usahanya untuk membuat telapak tangannya hangat gagal total.

Masalah apa lagi sekarang? Batin Divi.

Oke, tenang Divi. Batinnya berusaha untuk meyakinkan dirinya untuk tenang.

“Bapak panggil saya?” tanya Divi dengan sopan setelah membungkukkan badan di depan Bimo.

“Ya, Pak Kael menunggu kamu di dalam.” Jawab Bimo

dengan tenang.

Glek!

Keringat dingin semakin mengalir deras pada punggungnya. Dipanggil Bimo saja sudah membuat kedua telapak tangannya hampir membeku.

“Ayo masuk, jangan membuat Pak Kael menunggu lebih lama.”

Divi menarik napas panjang dan menghembuskannya. Bimo menahan senyumnya melihat bagaimana Divi ketakutan. Ya, siapa yang tidak takut ketika dipanggil oleh Arkael langsung. Apa lagi posisi Divi yang seharusnya tidak perlu ada interaksi langsung dengan CEO itu.

Divi melangkah ragu-ragu di belakang Bimo, tangannya saling meremas ketika atmosfer dingin dan berat seolah ingin menenggelamkannya. Tatapan tajam dan dingin dari Arkael yang duduk di balik meja besarnya membuat nyali Divi menciut.

Divi membungkukkan tubuhnya sebentar sebelum kembali meluruskan punggungnya, namun kepalanya tetap menunduk, seakan tatapan mata Arkael dapat membuatnya hidungnya mimisan.

“Apa kamu tau kenapa kamu saya panggil?” Pertanyaan Arkael terdengar.

“Tidak Pak.” Jawab Divi dengan hati-hati.

“Bagus.”

Divi mengernyitkan dahi tidak mengerti.

Apanya yang bagus?

“Tidak melihat lawan bicaramu saat bicara adalah tidak sopan. Dan saya tidak menyukai ketidaksopanan.” kata-kata Arkael seperti cambuk

yang membuat kepala Divi seketika terhentak tegak.

“Duduk!” Titahnya.

“Eh?”

“Satu lagi, saya paling tidak suka mengulangi kata-kata dan perintah.” Ucap Arkael diiringi tatapan tajam.

Bimo menggerakkan tangannya agar Divi tidak sungkan untuk duduk di atas sofa yang ada di dalam ruangan beraura mematikan itu.

Arkael berdiri dari tempatnya, gerakannya lambat

seperti seekor singa yang sedang mengendap-endap untuk menyergap mangsanya. Sebelah tangannya membawa sebuah map berwarna hitam. Dia terus mendekat dimana Divi duduk, kemudian duduk tepat diseberang Divi, dia meletakkan map hitam itu

di atas meja yang berdiri diantara mereka.

“Baca!”

Divi melirik Bimo, dan Bimo mengangguk agar Divi

segera membacanya. Gerakan bola mata Divi yang bergerak kea rah Bimo tak luput dari perhatian Arkael.

“Cih, untuk apa kamu minta persetujuan Bimo? Saya yang memberikan perintah, bukan Bimo!”

“M-maaf, Pak.” kata Divi, kemudian langsung menyambar map hitam itu lalu membacanya. Perlahan setiap kalimat yang dibacanya membuat kening Divi berkerut, dan semakin banyak kalimat yang dibacanya, kerutan pada dahinya semakin dalam.

Divi mengangkat wajahnya, dari ekspresinya, Arkael dan Bimo tahu perempuan itu kebingungan.

“Kamu tahu apa itu?” tanya Kael dengan nada suaranya yang mengintimidasi.

Divi menggeleng.

“Apa kamu tidak bisa membaca judul dari dokumen yang kamu baca itu?”

“M-maaf Pak, saya tau ini kontrak pernikahan, tapi

saya tidak mengerti kenapa saya harus membaca ini.”

“Karena pihak kedua yang ada di dalam kontrak itu

adalah kamu.”

“Hah?”

Bimo menghela napas, dia sudah tahu Arkael pasti akan melakukannya dengan cara paling payah. Bagaimana orang bisa bertahan dengannya kalau dia selalu sekaku itu. Paling tidak seharusnya Arkael melakukan trik Tarik ulur sehingga orang akan mempertimbangkan tawarannya.

“Kamu akan menikah dengan saya.”

“Hah?!” Kali ini kedua mata Divi melebar, mulutnya

terbuka tapi otaknya tidak bisa menyusun kosakata apa pun untuk diucapkan dengan bibirnya.

“S-saya nikah s-sama B-bapak?”

“Ya.”

“T-tapi…”

“Jangan geer dulu. Kamu bukan tipe saya, jadi jangan

kamu pikir saat ini saya sedang melamarmu.” kata Arkael dengan nada tidak suka.

“Lalu ini maksudnya apa, Pak?” tanya Divi, dia masih

berada didunia antah berantah, tidak memiliki petunjuk apa pun atas apa yang barusan saja terjadi.

“Seperti apa yang kamu pegang ditanganmu, pernikahan ini hanya pernikahan kontrak.” Bimo mengambil alih jawaban, ketika kepala Arkael mengangguk padanya. “Jadi ini bukan pernikahan sungguhan. Kamu dan Pak Kael hanya perlu melakukan sandiwara seperti yang sudah tertulis di kontrak pernikahan itu.”

Divi mengatur napasnya sejenak. Dia merasakan

kelegaan, karena rupanya kedatangannya ke ruangan ini bukan karena Divi telah melakukan kesalahan dan hidupnya diujung tanduk, tapi karena dokumen konyol di tangannya itu.

“Jadi, maksudnya saya dipanggil kesini, adalah untuk

ini?” Divi mengangkat map hitam itu.

“Ya. Kamu dan Pak Kael akan menikah sampai batas waktu yang Pak Kael tentukan. Dan selama pernikahan itu, kamu tidak lagi bisa bekerja disini, sebagai gantinya, kamu akan mendapatkan bulanan layaknya gaji dari Pak Kael.”

“Maaf, Pak, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya ke Bapak, tapi apa yang membuat Bapak pikir saya mau menikah dengan Bapak walaupun hanya sandiwara?” tanya Divi pada Arkael.

Pertanyaan yang membuat sudut-sudut bibir Bimo

bergerak ke atas. Wah, ini menarik! Pikirnya.

“Maksud kamu, kamu menolak saya?” Sebelah alis mata Arkael naik. Ia tidak percaya, gadis di depannya itu menolaknya!

“Iya. Saya menolak Bapak yang mengajukan kontrak

pernikahan ini. Maafkan saya kalau saya lancang, Pak. Tapi bagi saya pernikahan itu bukan ikatan untuk dipermainkan.” jawab Divi dengan lebih tenang setelah

kedua telapak tangannya tidak lagi terasa dingin.

“Saya tau kamu sedang kesulitan mencari dana untuk

biaya operasi ibumu, kan? Kamu bahkan mencoba untuk mengajukan pinjaman kemarin.”

“B-bagaimana Bapak bisa tau Ibu saya harus operasi?”

tanya Divi bingung. Bukan karena Arkael tahu Divi mengajukan pinjaman, tapi karena situasi Ibunya yang harus segera dioperasi. Bagaimana Arkael bisa tahu?

Arkael tersenyum tipis. “Saya bisa tahu apa pun yang

ingin saya ketahui.” kata Arkael dengan nada rendah yang mengintimidasi.

Entah kenapa Divi merinding mendengarnya.

Arkael memajukan tubuhnya sedikit, sehingga Divi bisa melihat dengan jelas sorot mata yang tajam itu.

“Saya akan menanggung semua biaya operasi dan

pengobatan ibu kamu sampai sembuh, kalau kamu menerima kontrak ini, bagaimana?”

Divi tentu saja tergoda, sudah berhari-hari ini

kepalanya nyaris pecah memikirkan dari mana dia bisa mendapatkan biaya untuk ibunya. Tapi, ketika jawaban atas segala kemumetan kepalanya ada di depan mana,

kepalanya itu justru mengkhianatinya, dia menggeleng, sebagai penolakan atas tawaran kontrak pernikahan yang diberikan oleh Arkael.

“Bagi saya, pernikahan adalah ikatan suci. Kalau Bapak hanya ingin bermain-main dengan ikatan paling sakral itu, silahkan cari perempuan lain. Saya memang butuh uang, tapi bukan berarti saya mau mempermaikan pernikahan.”

Nah, kemana perginya Divi yang bahkan ingin menjadi

wanita malam untuk mendapatkan biaya?

.

.

.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!