Sepuluh jam yang lalu, Arkael Harsya, atau rekan-rekan bisnis juga semua orang biasa menyebut namanya dengan Kael, datang ke perusahaan setelah menghadiri meeting di luar kantor. Meski pertemuan dengan klien itu memberikan hasil yang baik, tidak berarti suasana hati Kael ikut merasa baik, apa lagi setelah sebuah berita tersebar di setiap media yang membuat hatinya terbakar.
Semua orang seketika berhenti dan menyapa Kael dengan sopan. Mereka yang duduk juga langsung berdiri dan membungkuk untuk menyapa CEO muda yang ketenaran sikap dinginnya dan minim toleransinya pada kesalahan kecil itu sangat dikenal luas.
Setiap karyawan tidak ingin dipecat hanya karena kesalahan kecil seperti tidak bersikap sopan kepadanya. Bimo, asistennya yang juga teman sedari kecil itu paling tahu tabiat sahabatnya itu, karena itu begitu mereka keluar dari dalam lift, Bimo langsung menyapu pandangannya kepada semua staf yang kubikel kerjanya akan dilalui oleh Arkael.
Mata Bimo langsung memberikan kode pada Seli, agar staf yang berada disebelah Seli untuk berdiri dan membungkuk sebentar ketika Kael lewat. Jangan sampai karyawan itu dipecat karena alasan konyol si bos yang sedang tantrum.
“Lo lihat karyawan yang tadi ogah-ogahan berdiri nggak?” Pertanyaan Kael langsung membuat Bimo paham kemana arah dan tujuannya.
“Kayaknya tadi dia lagi sakit, deh, El, mana tahu dia lagi demam, jadi nggak bertenaga gitu.” Bimo mencoba untuk bersikap tenang menghadapi Kael yang suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja.
“Lo nggak usah ngebelain orang yang nggak niat kerja disini, ya, Bim!” kata Arkael tajam.
“Nggak ngebelain, El.” Sahut Bimo, sabar sekali menghadapi ketantruman Kael. “Karena biasanya juga dia nggak begitu kok.”
Arkael hanya membuang napasnya kasar.
“Lo coba tenangin diri lo sendiri dulu deh. Supaya bisa berpikir jernih, jadi nggak main pecat-pecat orang aja. Siapa tau, perempuan tadi juga lagi mengalami hari yang buruk, mungkin juga suasana hatinya lagi kacau kayak lo gini.”
Mata tajam Arkael seketika menghunus lambung Bimo, tapi Bimo sudah kebal dengan serangan hunusan itu.
“Lo mau gue pecat juga?” kata Arkael dingin.
“Eits, santai Bos. Kalo bukan gue, siapa yang berani jadi asisten lo?”
Arkael mendengkus, dalam hati mengakui memang tidak akan ada yang bisa menggantikan kinerja Bimo.
“Lo nggak bisa melampiaskan kekecewaan lo sama orang lain, El. Kalo lo kayak gitu, itu hanya membuat Rana nggak menyesal udah mencampakkan lo demi aktor pendatang baru itu.”
“Sial! Bisa diem nggak lo!” Bimo langsung merapatkan bibirnya, dia tahu saat ini temannya itu sedang berada dalam kawasan berbahaya. Kenyataan bahwa wanita yang selama ini dia jaga di dalam hatinya telah memilih bersama pria lain bukan lah hal yang mudah untuk diterima Arkael.
Masih hangat dalam memori Bimo ketika dulu wanita yang bernama Rana itu memutuskan hubungannya dengan Arkael dengan alasan ingin fokus pada karirnya di dunia entertainment dan adanya larangan untuk mempunyai pacar atau pun suami, hari itu adalah hari terburuk bagi Arkael. Bimo menjadi saksi bagaimana kali kedua pria yang selalu terlihat tangguh dan dingin itu hancur. Arkael bukan tipe orang yang dengan mudah terpesona pada orang lain, apa lagi bisa memberikan hati juga cintanya pada orang lain, namun pada saat dia telah menentukan pilihan, maka dia akan menjaganya sepenuh hati, karena itu, sejak Rana pergi, Arkael masih setia menjaga hatinya untuk Rana, dengan harapan suatu saat wanita yang dicintainya itu akan kembali.
Tapi apa yang dia dapatkan saat ini? Bimo bahkan bisa mendengar suara hati yang patah dari kawannya itu.
Arkael berdiri, ekspresi wajahnya mengeras, sorot matanya dingin dan tajam, sebelah tangannya masuk ke dalam kantong saku celana, sementara yang lainnya mengepal hingga urat-urat pada punggung tangannya itu terlihat.
“Dia akan menyesal.” Ucapnya dengan nada rendah.
Bimo mengusap tengkuknya yang tiba-tiba merinding, atmosfer disekitarnya mendadak berat dan dingin.
“So, apa yang akan lo lakukan?” tanya Bimo.
“Menikah.”
“Hah?”
Tentu saja Bimo terkejut. Arkael akan menikah? Begitu saja? Setelah berbulan-bulan dia menolak setiap kencan buta yang diatur mamanya, kini pria itu akan menikah? Tunggu, pasti ada yang salah dengan keputusan besar yang diucap Arkael, kan?
“Lo maumenikah?” Bimo mengulang, hanya untuk meyakinkan pendengaranya. Tapi ternyata pendengarannya masih berfungsi sebagaimana mestinya karena Arkael menganggukkan kepalanya. “Sama siapa? Perempuan yang dikenalin sama Tante Paulina?”
Kali ini Arkael menggeleng, mata tajam Arkael menatap Bimo dengan serius, “Tapi dengan perempuan yang nggak akan pernah suka sama gue.”
Bimo mengernyitkan dahinya. Masalahnya, memang ada? Meskipun Arkael terkenal dengan sikapnya yang dingin seperti batu es, tapi itu tidak membuat kaum hawa berpaling dari seorang Arkael, sikap dinginnya malah menjadi nilai tambah untuk pria itu.
“Dan,” Arkael menambahkan. “Perempuan itu harus jauh di bawah standar cantik, berdasarkan sudut pandang Rana.” katanya dengan nada rendah dan tenang. Saat itulah kernyitan pada kening Bimo menghilang, kini kedua alisnya malah bergerak naik begitu menyadari rencana apa yang di dalam kepala Arkael.
“Lo yakin?”
Arkael mengangguk.
Otak Bimo pun langsung bekerja super kilat, tangannya merogoh saku jas dan mengeluarkan benda ponsel pintarnya, jempolnya menari-nari sebentar di atas layar datar itu, kemudian dia menunjukkan sebuah pesan masuk dari HRD.
“Gue nggak tau dia nggak suka sama lo atau nggak, tapi melihat dari pesan itu, gue rasa situasi perempuan itu bisa lo manfaatkan. Gimana?”
Arkael mengangkat wajahnya, “Siapa?”
Bimo kembali mengambil alih ponselnya, lagi, jempolnya menari-nari dengan cepat di atas layar datar itu, kemudian menunjukkan sebuah data diri seseorang lengkap dengan potretnya.
“Ini, kan, yang tadi?”
Bimo mengangguk. “Gimana?”
* * *
Kalau bukan karena dia menyayangi kakeknya, Arkael memilih untuk beralasan lembur dari pada menjenguk kakeknya yang katanya sakit dan dirawat. Bukan karena Arkael tidak berbakti pada kakeknya, hanya saja Kakeknya sudah melakukan sandiwara berpura-pura sakit dan dirawat berkali-kali hanya untuk meminta Arkael menikah dengan selalu membawa-bawa usia dan permintaan terakhir seorang kakek dipenghujung usia senjanya.
Bimo menemaninya, selain karena Bimo mengenal kakeknya Arkael, masih banyak yang harus mereka diskusikan, mengenai pekerjaan, jadwal-jadwal meeting juga termasuk menyempurnakan rencana pembalasan dendamnya pada Rana.
“Jadi kapan lo mau ketemu sama dia?”
“Besok. Lebih cepat lebih baik.”
“Oke. Untuk kontrak kesepakatannya, mau lo atau gue yang buat?”
“Gue aja.”
“Oke.” Bimo mengangguk sambil mengetikan rencana-rencana mereka pada ponsel pintarnya.
Bugh!
Langkah kedua pria itu berhenti ketika seorang gadis dengan kepalanya yang tertunduk menubruk dada Arkael. Gadis itu mengangkat kepalanya, tapi tidak sampai wajahnya berhadapan dengan wajah Arkael, matanya hanya lurus menatap dada pria itu.
“Maaf.” katanya dengan nada lesu dan sorot matanya yang kosong. Kemudian dia berlalu begitu saja.
“Itu dia, kan?” kata Kael bertanya pada Bimo.
“Iya itu dia.” jawab Bimo.
Arkael mendengkus. “Apa lo nggak punya kandidat lain selain perempuan yang nggak sopan itu?”
“Nggak ada. Kalo lo pengen rencana ini cepat berjalan, ya dia yang paling pas latar belakangnya. Dengan begitu dia nggak akan berani bermain perasaan sama lo.”
“Gue punya firasat itu perempuan akan menyusahkan gue.” Keluh Arkael sembari melanjutkan langkahnya.
“Jadi, mau lo ganti aja?”
.
.
.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments