Sudah satu mingguan semenjak Arkael memanggil dan memberikan Divi kontrak pernikahan konyol itu, Divi pikir, karena penolakannya, dia akan kehilangan pekerjaan ini, nyatanya sudah satu minggu ini, Divi masih bekerja disana, meski dengan perasaan khawatir setiap harinya, karena bisa saja itu menjadi hari terakhirnya bekerja. Arkael dan Bimo pun tak terlihat datang ke kantor, katanya sih, ke luar negeri untuk urusan bisnisnya. Entahlah, Divi tidak terlalu peduli
Selain khawatir soal pekerjaan dan ibunya yang sakit,
keresahan Divi pun semakin menjadi ketika Bayu, kekasihnya – yang hampir jarang bertemu itu – sulit untuk dihubungi. Punya kekasih tapi rasa jomblo!
Tantenya bahkan sampai berpikir kalau Divi tidak punya pacar, padahal punya, hanya saja tak kasat mata!
Akhirnya sore setelah pulang dari kantor, Divi memilih
untuk mencari Bayu dikosannya, tapi sayangnya pencariannya tidak membuahkan hasil. Kemana si Bayu pergi? Lelaki itu bagaikan hilang ditelan bumi saja. Atau jangan-jangan diculik alien?
“Lho, Divi, kan?” tanya seorang lelaki yang Divi ingat
adalah salah satu penghuni kos itu juga.
“Eh, iya.”
“Ada apa kesini?”
“Nyari Bayu.”
“Bayu? Bukannya kalian udah putus, ya?”
“Hah?”
“Lho, jadi belum?” Lelaki itu pun juga terlihat bingung.
“Memang Bayu bilang apa?”
“Ya dia bilang, dia udah putus sama lo, trus dia balik ke Pekanbaru, katanya nikah.”
“Apa? N-nikah?”
Melihat keterkejutan yang nyata di mata Divi, lelaki itu pun yakin Divi tidak tau apa-apa soal pernikahan kekasihnya itu.
“Wah parah nih si Bayu!” Lelaki itu menggelengkan
kepala. “Dia bilang dijodohin, jadi ya dia terima aja, dari pada ngejomblo katanya.”
Ah, nahas sekali nasibnya. Kenapa disaat dirinya membutuhkan sandaran, Bayu malah mengkhianatinya dengan sangat telak. Dia bukan
hanya selingkuh, tapi menikah! Bahkan memalsukan status hubungan mereka yang terang-terangan masih terjalin.
“Sabar ya, Div.” kata lelaki itu, menepuk bahu Divi sekilas kemudian pergi meninggalkan Divi yang rasanya ingin tenggelam saja di Pantai laut Selatan!
Kemana perginya air mata? Disaat seperti ini rasanya
sangat pas untuk menangisi takdir dirinya yang jauh dari kata beruntung. Tapi, dia tidak bisa menangis, sesakit hatinya dia rasakan, air mata itu tidak juga
keluar.
Divi menarik napas panjang dan dalam, kemudian dia
membuangnya dengan kasar. Dia menengadahkan kepalanya, matanya menatap langit dengan tatapan nanar. Apa yang salah pada dirinya? Apakah dirinya tak pantas untuk merasakan dicintai dan mencintai seseorang?
Kakinya melangkah gontai di koridor rumah sakit, sudah berkali-kali dia membuang napasnya dengan berat. Dia harus tetap mengangkat kepalanya, bukan? Demi sang ibu. Dia tidak punya waktu untuk meratapi kisah asmaranya yang menusuk hatinya dengan sangat.
“Hei, kamu Divi, kan?”
Langkah kaki Divi berhenti, dia melihat seorang pria,
tua, berkumis lebat, berperut buncit, rambutnya yang tipis sudah beruban sepenuhnya., dan tingginya tidak lebih tinggi dari Divi. Di belakang pria itu berdiri dua orang lelaki dengan pakaian hitam ketat sampai menunjukkan bentuk-bentuk otot pada lengannya yang mengerikan di mata Divi.
Divi mengernyitkan dahi, selama hidupnya, Divi tidak
pernah bertemu dengan orang itu, tapi bagaimana pria itu tahu nama Divi.
“Siapa ya?” tanya Divi.
“Hmm, sepertinya kamu belum tau ya?” kata pria itu
dengan kakinya yang melangkah mendekati Divi.
“Maaf, tapi Kakek siapa ya?” tanya Divi dengan nada
sopan.
Pria itu mendengkus. “Kakek?” Tatapannya menatap Divi dengan tatapan meremehkan. “Aku ini calon suamimu.”
“Hah?!” Mata Divi hampir saja menggelinding keluar
dari rumahnya. “C-calon s-suami?” Divi tertawa aneh. “Kakek nggak salah orang?”
Pria tua itu malah tertawa mencemooh dan mengajak dua pria yang lebih mirip atlet binaragawan itu mentertawai Divi.
Divi meringis, apa lagi orang-orang yang ada di sana
mulai memperhatikan.
“Maaf, Kek, tapi Kakek pasti salah orang. Permisi.”
Tapi langkah Divi seketika dicegat oleh salah satu pria berotot lebay itu.
“Aku nggak mungkin salah mengenali calon istriku yang ke lima.”
“Maaf, ya, Kek, dari tadi saya udah berusaha bersikap
sopan, tapi kayaknya Kakek nggak ngerti. Saya bukan calon istri siapa-siapa, dan saya juga nggak kenal Kakek siapa, jadi tolong banget jangan ngomong yang
aneh-aneh!” kata Divi mulai jengkel.
“Hei, tapi kamu itu memang calon istri aku, sudah ada
di kontrak perjanjian antara aku dan Yeni.”
“Yeni?” Divi menautkan kedua alisnya.
“Ya, Yeni tantemu itu. Asal kamu tau, Tantemu yang
selalu bergaya hedon itu sudah meminjam uang padaku, dan dia menjadikan kamu jaminan atas hutang-hutangnya. Dan hari ini sampai jam delapan malam nanti, batas waktunya selesai, karena dia nggak melunasinya maka kamu adalah jaminannya.” Seringaian terpatri pada wajah tua dan berkumis itu.
Bisik-bisik orang yang mendengar dan melihat apa yang terjadi mulai terdengar. Ada yang mencela perbuatan pria tua itu, ada yang mengutuk perbuatan tantenya, ada pula yang mengasihani Divi sebagai korban yang tak tau apa-apa.
“Tunggu!” Divi mengangkat kedua tangannya. Ia memejamkan kedua matanya sejenak untuk mencerna ucapan kakek tua itu juga untuk mencerna kesialan lain yang dia hadapi saat ini.
“Kalau batas waktunya sampai jam 8 malam, itu artinya saya masih punya waktu 2 jam lagi untuk bisa melunasi hutang tante saya, ya kan?”
Pria itu tertawa, lagi-lagi dengan nada merendahkan.
“Memangnya dari mana kamu bisa melunasi hutang tiga puluh delapan juta dalam waktu dua jam, ha?!”
“Ap-apa? Tiga puluh delapan juta?” Kaget bukan kepalang. Untuk apa Tantenya itu meminjam uang sebanyak itu?
“Ya, jadi, baik-baik di dalam ruang rawat ibumu, aku
akan jemput kamu jam 8 nanti! Hahaha!”
“Enggak!” Tolak Divi cukup keras. Keributan itu
membuat sekuriti meminta Divi dan pria tua beserta pengawalnya keluar dari dalam rumah sakit. Tapi Divi juga menolak untuk ditarik keluar dari sana, dia malah berusaha bersembunyi di balik punggung sekuriti yang berusaha membuat Divi keluar, sementara pria tua itu sudah melenggang dengan santai ke luar dari gedung.
Karena satu orang tak cukup untuk membuat Divi keluar, alhasil Divi harus diseret dengan dua orang sekuriti.
“Tolong Pak, tolong, jangan bawa saya keluar. Kakek
tua itu akan menculik saya! Saya harus bawa ibu saya pulang, Pak, tolong, tolong-” ucapan Divi berhenti diujung bibirnya begitu sekuriti berhasil membawa
Divi sebagai tontonan semua orang yang dilalui, mata bulatnya melihat bagaimana kakek tua itu tengah berdiri dan menerima sesuatu dari seseorang yang berdiri tinggi di depannya.
“Pak Kael…” Lirih Divi.
“Silahkan selesaikan urusan kalian di luar, mohon
untuk tidak membuat keributan!” kata salah seorang sekuriti yang masih fokus pada Divi, sementara sekuriti yang lain sudah berdiri tegap sambil menoel-noel rekannya dengan gugup.
“Apa sih?”
“Itu…” jawab rekannya dengan lirikan mata.
“Pak Kael!” Rekannya itu terkejut melihat keberadaan
Arkael disana dengan ekspresi yang jengkel.
“Bawa orang-orang ini keluar dari rumah sakitku!”
Titah Arkael kepada dua sekuriti yang sudah melepaskan Divi, setelah menunjuk pria tua dan dua bodyguardnya.
“B-baik, Pak!” Jawab dua sekuriti itu serempak dan
langsung melakukan apa yang diperintahkan Arkael.
Divi hanya melongo saja melihat Arkael dan Bimo yang
berjalan melewatinya begitu saja. Orang-orang masih setia menontoni Divi yang kini terlihat kebingungan di depan pintu lobi. Begitu kesadarannya berkumpul,
Divi langsung menyusul langkah Arkael dan Bimo.
“T-tunggu!” Divi menarik tangan Arkael, begitu mereka
berada di koridor yang tidak terlalu ramai.
Bimo pun langsung sigap melepaskan tangan Divi dari
Arkael sebelum bosnya itu menghentak tangan Divi dengan kasar.
Arkael berhenti, dia menatap Divi dengan tatapan tajam yang menusuk, ditambah dengan ekpresinya yang datar, seharusnya itu cukup membuat siapa pun merasa terintimidasi.
“T-tadi, apa yang Bapak berikan ke orang itu?” tanya
Divi langsung pada intinya, disituasi seperti ini, rasanya berbasa-basi bukan hal yang tepat.
“Cek.” Jawab Arkael.
“Cek apa?”
Alih-alih menjawab, Arkael malah memanggil Bimo. “Bim, jelaskan padanya.” Setelah itu, Arkael meneruskan langkahnya hingga ia memasuki lift dan menghilang dari pandangan Divi.
“Jadi,” Bimo bersuara, “Pak Arkael melihat semua yang
dilakukan pria tua tadi, jadi Pak Kael memutuskan untuk melunasi hutang yang disebabkan Tantemu itu, jadi kamu nggak lagi menjadi jaminan hutang pada
rentenir itu.”
“Apa?” Kedua alis mata Divi memanjat naik, kedua
kelopak matanya pun melebar.
“Tapi tentu saja itu tidak gratis.”
.
.
.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments