Kamboja
"Lily! Kamu Lily, kan?" teriak seorang gadis berseragam putih biru. Seragam yang sama seperti yang dikenakan Lily.
Lily menoleh. Ditatapnya gadis seusianya itu dengan tajam.
Lavender.
Ada apa dia memanggilku? Tumben amat. Batin Lily.
Lily dan Lavender duduk di kelas yang sama. Meja mereka berseberangan. Tapi mereka nyaris tak pernah saling menyapa.
Bukan cuma Lavender yang tak pernah menyapa Lily, bahkan seluruh penghuni kelasnya juga tak ada yang mau berkomunikasi dengan Lily.
Mereka semua menjauhi Lily. Mungkin karena pakaian Lily yang lusuh. Atau mungkin Lily yang tak pernah ikutan ngumpul di kantin sekolah saat jam istirahat.
"Kenapa kamu malah ngeliatin aku kayak gitu?" tanya Lavender terheran. Dia tadi memang berteriak memanggil Lily. Itu karena jarak antara dia dan Lily berdiri, cukup jauh.
"Oh, maaf. I...Iya. Aku Lily," sahut Lily sedikit gelagapan.
Dalam hatinya heran. Kenapa Lavender masih menanyakan namanya. Bukankah mereka berada dalam satu kelas dari pertama kali masuk ke sekolah itu?
Aneh. Batin Lily.
"Kamu dipanggil bapak Kepala Sekolah!" ucap Lavender dengan congkaknya. Kedua tangannya dia lipat di depan dadanya yang masih rata.
Lily terdiam. Lalu menghela nafasnya dalam-dalam.
Bukan hal yang aneh kalau bapak Kepala Sekolah memanggilnya. Itu sudah jadi tradisi saat pertengahan bulan seperti ini. Apalagi kalau bukan soal uang bayaran sekolah Lily yang menunggak.
Lavender menatap wajah Lily sekilas. Lalu memalingkan wajahnya seakan jijik melihat Lily.
Dan dengan langkah tergesa, dia tinggalkan Lily yang masih terpaku di tengah pintu kelas.
Lily melangkah gontai ke ruangan kepala sekolah yang berada di lantai dua. Dia berusaha menguatkan hati untuk menghadapi dan mendengar omelan dari kepala sekolahnya nanti.
Sampai di depan pintu ruangan yang tertutup, Lily mengetuk pelan.
Tok. Tok. Tok.
"Masuk!"
Terdengar sahutan keras dari dalam. Itu adalah suara kepala sekolah yang hampir tak pernah ramah pada Lily.
Lily menghela nafasnya. Lalu menarik handle pintu.
Kreeek.
Sang kepala sekolah sedang asik membuka buku laporan keuangan siswa yang menunggak.
"Selamat siang, Pak," ucap Lily dengan hormat dan sedikit bergetar.
"Siang!"
Hadi sang kepala sekolah mendongakan kepalanya.
"Kamu yang namanya Liliani?" tanya Hadi.
Lily mengangguk pelan.
"Hm. Kamu tau kenapa saya memanggilmu?" tanya Hadi lagi.
Lily kembali mengangguk.
"Bagus! Lalu alasan apa yang akan kamu katakan sekarang?"
Lily tercekat. Bahkan dia belum punya alasan apapun.
"Bulan lalu kamu sudah menunggak uang pembayaran sekolah. Dan sampai detik ini, kamu belum juga melunasinya!" Mata Hadi menatap kertas yang dipegangnya.
Lily menundukan kepala. Dia hanya bisa terdiam.
Mau menjawab apa, karena kenyataannya dia belum dikasih uang untuk melunasi pembayaran sekolah oleh ibunya.
"Kenapa diam?" bentak Hadi dengan suara keras.
Lily terjengit. Tubuhnya bergetar.
"Kapan kamu akan melunasinya?" tanya Hadi bak seorang debt collector yang sedang menagih hutang.
"A...anu, Pak. Ma...maksud...saya...ibu saya..be..belum punya uangnya," jawab Lily terbata-bata.
"Belum punya uang katamu?"
Mata Hadi melotot ke arah Lily. Membuat Lily bergidig ngeri.
"Kamu pikir sekolah ini akan memberikan toleransi dengan alasan klise seperti itu, hah?" bentak Hadi.
Lily menelan ludahnya yang tiba-tiba terasa kering.
"Heh! Katakan pada orang tuamu, kalau sekolah di sini tidak gratis! Semua fasilitas di sekolah ini ada harganya. Dan seluruh pengajar di sini tidak dibayar dengan ucapan terima kasih!" bentak Hadi lagi.
"I...Iya, Pak." Lily kembali menundukan wajahnya. Tak berani menatap wajah kepala sekolah yang seperti hendak memangsanya.
"Iya, Iya! Terus kapan kamu akan melunasinya?" tanya Hadi.
Aduh, gimana ini? Sedangkan ibu saja belum punya uang. Lily kebingungan menjawabnya.
"Jawab! Jangan diam saja!" Suara Hadi makin meninggi.
"I...Iya, Pak. Nanti saya bicarakan sama..ibu saya," sahut Lily.
Gimana caranya aku bicara sama ibu? Ibu sendiri lagi butuh banyak biaya untuk pengobatannya. Tanya Lily dalam hati.
"Baik. Silakan kamu bilang ke orang tuamu. Saya kasih waktu tiga hari. Kalau sampai batas waktu itu belum juga ada pembayaran, silakan kamu cari sekolah yang lain!" ucap Hadi dengan ketus.
Jeder!
Bagai tersambar petir di siang bolong, mendengarnya.
Mana mungkin mencari sekolah lain, yang pastinya harus mengeluarkan biaya lagi untuk pendaftarannya. Sedangkan untuk membayar dua bulan tunggakan saja, mereka tak mampu.
Lily terpaku di tempatnya berdiri. Lututnya terasa lemas. Matanya berkaca-kaca.
"Ngapain kamu masih berdiri di sini?" hardik Hadi.
"Ma...maaf, Pak," sahut Lily dengan suara serak.
Setengah mati Lily berusaha menguatkan kakinya agar bisa melangkah keluar.
"Keluar dari ruangan saya! Bikin pengap saja!" Hadi mengibas-ngibaskan kertas yang dipegangnya, memberi tanda kalau Lily harus segera enyah dari hadapannya.
Lily yang masih berkaca-kaca, menatap penuh kebencian pada kepala sekolahnya itu.
Dasar kepala sekolah tak punya akhlak! Mata duitan! Maki Lily dalam hati.
Lily menghela nafasnya dalam-dalam, lalu membalikan badan.
Tanpa mengucapkan salam, Lily keluar sambil menutup pintu dengan kasar.
Blum!
Hadi terperanjat mendengarnya.
"Dasar anak sialan! Enggak punya sopan santun! Masih kecil sudah berani berbohong!" umpat Hadi.
Sejujurnya Hadi tak pernah tahu tentang kondisi kehidupan Lily. Dia hanya tahu, semua siswa yang bersekolah di sekolah itu adalah anak orang berduit.
Sebagai kepala sekolah, Hadi hampir tak pernah berinteraksi dengan siswanya. Yang dia dekati hanya orang tua siswa yang menitipkan anak padanya.
Tentu saja ada nilai tersendiri di situ. Nilai yang bisa lebih dari gajinya sebulan.
Lily berlari meninggalkan ruangan kepala sekolah dengan perasaan hancur. Air matanya tak bisa dibendung lagi.
Beberapa pasang mata yang berpapasan, menatapnya penuh keheranan. Tapi Lily tak menggubrisnya. Toh mereka juga tak pernah mengenal Lily.
Lily terus berlari menuruni anak tangga dan langsung menuju toilet yang berada di bawah tangga.
Ruangan toilet itu sepertinya kosong. Para siswa lebih memilih menghabiskan jam istirahat di kantin.
Kecuali saat jam belajar, toilet akan penuh dengan siswa yang pura-pura kebelet demi menghindari pelajaran.
Lily masuk ke ruangan itu. Lalu dia nyalakan kran dari wastafel. Dengan mata yang masih berurai air mata, Lily menatap wajahnya di cermin.
Lily masih menangis. Bahkan kali ini tangisnya semakin kencang.
"Aaakkhh...!" teriak Lily dengan keras.
Klek!
Satu pintu toilet yang tertutup, tiba-tiba terbuka.
"Heh! Ngapain lu teriak-teriak? Pakek nangis segala!" tanya seorang siswa yang keluar dari toilet itu.
Lily yang tak mengira akan ada yang melihatnya pun tercekat.
Buru-buru dia basuh wajahnya, tanpa mempedulikan tatapan heran dari siswa itu.
Siswa itu mengangkat bahunya lalu melenggang keluar.
"Dasar anak sinting!" umpatnya.
Lily tak mendengar. Dia sibuk mengeringkan wajah dengan tissue.
Setelah merasa lebih baik, Lily pun keluar. Di depan pintu toilet, matanya menatap ke kiri dan kanan. Berharap siswa tadi tak ada lagi.
Dan dengan langkah gontai, Lily kembali ke kelasnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments