Jam belajar para siswa usai sudah. Semua berhambur keluar kelas.
Banyak siswa yang sudah dijemput oleh para supir pribadi, banyak juga yang mengandalkan transportasi online.
Hari ini tak ada kegiatan ektrakulikuler, karena beberapa guru pembimbingnya mau ada acara sendiri.
Jadi setelah dirasa anak-anak sudah pulang semua, pak Slamet dan pak Yahya, dua orang penjaga sekolah yang juga tinggal di area sekolahan, segera menutup dan mengunci pintu gerbang.
"Kita bisa istirahat lebih awal, pak Slamet," ucap pak Yahya.
"Iya, syukurlah. Saya juga lagi kurang enak badan ini," sahut pak Slamet.
"Ya udah, sekarang pak Slamet istirahat. Minta dipijitin ama nyonya," ucap pak Yahya sambil nyengir.
"Nyonya...kayak istri bos aja," sahut pak Slamet.
"Pinjem istilahnya sebentar kan enggak apa-apa, Pak. Mumpung di sini enggak ada bos. Hehehe."
Pak Slamet hanya geleng-geleng kepala. Dan pak Yahya segera berlalu. Dia juga ingin istirahat. Meski dia tinggal sendirian.
Istrinya meninggal beberapa tahun yang lalu karena sakit yang tak mampu diobati.
"Assalamualaikum. Bu...!" salam pak Slamet di depan pintu rumah dinasnya. Begitu dia selalu dengan bangga menyebutnya.
"Waalaikumsalam!" sahut bu Slamet dari dapur sambil tergopoh-gopoh. Dia khawatir suara pak Slamet membangunkan Lily yang masih sangat lelap tidurnya.
Terlihat dia sangat mengantuk dan lelah.
Dengan sigap bu Slamet menyalami tangan suaminya dengan takzim.
"Kok cepet pulangnya, Pak?" tanya bu Slamet.
Karena biasanya pak Slamet baru kembali ke rumah dinasnya menjelang sore.
"Hari ini enggak ada kegiatan ekstrakulikuler, Bu. Jadi Bapak bisa pulang lebih cepet," jawab pak Slamet sambil melangkah masuk.
"Loh, itu?"
Pak Slamet menunjuk ke arah bale-bale dengan tatapan heran.
"Neng Lily, Pak. Dia tadi ke sini dan bilang mau numpang tidur. Kayaknya dia ngantuk dan capek banget. Kasihan, Pak," jawab bu Slamet.
"Tapi sekarang jam sekolah udah selesai. Apa enggak dibangunin aja, Bu?" tanya pak Slamet.
"Tapi, Pak...Kayaknya tidurnya masih lelap banget. Ibu kok enggak tega, ya," jawab bu Slamet.
Sebagai seorang perempuan yang merindukan kehadiran seorang anak, bu Slamet sangat menyayangi Lily.
Pernikahan mereka yang sudah puluhan tahun, tak juga diberikan momongan.
"Ya udah, kalau begitu biarin aja tidur dulu," ucap pak Slamet mengalah seperti biasanya.
Sebagai suami yang merasa tak bisa membahagiakan istri dengan materi, pak Slamet berusaha membahagiakan dengan sikap yang baik.
"Bapak laper, Bu. Nanti abis makan, tolong Bapak dipijit, ya. Badan rasanya kurang enak," pinta pak Slamet.
"Loh, Bapak sakit?"
Bu Slamet langsung meraba kening suami tercintanya.
"Kayak meriang gitu, Bu. Untung hari ini enggak sampai sore. Jadi Bapak bisa istirahat," jawab pak Slamet.
Dia menarik kursi kayu yang ada di dapur kecil mereka.
"Ya udah, Ibu siapin makannya. Nanti selesai makan, minum jamu biar masuk anginnya ilang. Itu Bapak mesti masuk angin. Semalam begadang kan, sama pak Yahya?" cerocos bu Slamet.
"Nonton bola, Bu. Cuma sekali-kali aja, kan." Pak Slamet membela diri.
"Iya, sekali-kali tapi sampai hampir subuh," sahut bu Slamet.
Pak Slamet hanya diam. Dia berusaha meraih piring yang masih dibawa istrinya.
"Ibu belum selesai ngambilinnya, Pak." Bu Slamet menjauhkan tangannya.
"Lah Ibu ngomel terus, gimana mau cepet selesai," ucap pak Slamet.
"Bapak kalau Ibu enggak ngomel, pasti nanti diulangi lagi. Kalau udah masuk angin, kan Ibu juga yang repot," sahut bu Slamet masih dengan tangan menyendokan makanan ke piring suaminya.
"Hmm. Terserah Ibu lah. Yang penting nanti Bapak dipijitin," ucap pak Slamet.
Padahal kalau mau menuruti emosi, pingin rasanya membungkam mulut istrinya yang suka bawel itu.
"Ini, Pak. Makan dulu. Ibu ke warung sebentar, ya. Beli jamu buat ngilangin masuk angin."
Bu Slamet menyodorkan piring yang sudah penuh dengan nasi dan sayur.
Meski barusan tadi ngomel-ngomel, tapi setelah puas, bu Slamet akan kembali baik dan lembut.
"Iya, Bu. Makasih," sahut pak Slamet sambil memandang wajah istrinya dengan perasaan sayang.
Wajah yang puluhan tahun lalu selalu mengusik mimpinya.
Seorang perempuan desa yang sangat sederhana. Bukan kembang desa, tapi bagi pak Slamet muda, sangat mempesona.
Dan gayung bersambut. Cinta pak Slamet tak bertepuk sebelah tangan.
Tak lama setelah masa pendekatan, mereka pun menikah.
"Kok Bapak ngeliatin Ibu kayak gitu?" tanya bu Slamet risi.
"Ibu masih cantik. Kayak puluhan tahun yang lalu," jawab pak Slamet.
"Halah, gombal!"
Bu Slamet memalingkan wajahnya yang bersemu merah. Dia sedikit salah tingkah juga dipuji seperti itu.
Sudah lama sekali suaminya tak pernah memuji. Mungkin karena sudah bosan melihat dirinya setiap hari.
Atau mungkin karena faktor usia. Kan lucu juga kalau sudah tua masih gombal-gombalan.
"Enggak gombal, Bu. Bapak ngomong apa adanya," sahut pak Slamet.
"Ah, terserah Bapak lah. Udah, Ibu ke warung dulu."
Bu Slamet bergegas keluar. Di ruang depan di lihatnya Lily belum juga berubah posisi. Artinya tidurnya sangat lelap.
Bu Slamet keluar area sekolahan lewat pintu kecil di bagian belakang gedung. Itu salah satu aksesnya untuk keluar masuk tanpa harus melewati pintu gerbang utama.
Tak lama, dia pun kembali setelah membeli apa yang dia perlukan.
"Udah selesai makannya, Pak?" tanya bu Slamet.
"Ibu kok cepet banget?" Pak Slamet malah balik bertanya.
"Kan cuma beli ini," jawabnya sambil memperlihatkan jamu yang dibelinya.
"Ini diminum, Pak. Sebentar, Ibu bukain." Bu Slamet pun mencari gunting.
"Nih."
Pak Slamet segera menenggak jamu sachet itu.
"Ah...!"
"Jadi dipijitnya?" tanya bu Slamet.
"Jadilah. Biar badan fit lagi," jawab pak Slamet.
"Ya udah, di kamar yuk," ajak bu Slamet.
Pak Slamet pun menurut. Dia berjalan mengikuti istrinya ke kamar kecil mereka.
Kamar yang hanya muat satu tempat tidur saja. Itu pun bukan yang berukuran king size.
"Lepas bajunya, Pak," ucap bu Slamet. Lalu dia menyiapkan minyak urut yang biasa digunakan memijat.
"Celananya sekalian, Pak. Biar enak," ucap bu Slamet lagi.
Pak Slamet menurut. Dia lepas juga celana panjangnya.
"Nah, begini kan lebih enak. Bapak mau terlentang apa tengkurap dulu?" tanya bu Slamet.
"Terlentang dulu deh, Bu. Kalau tengkurap dulu, Bapak bisa keenakan dan ketiduran," jawab pak Slamet.
"Ya udah. Tangannya bawa sini, Pak." Pak Slamet mengulurkan tangannya agar dipijat lebih dulu.
"Enak, Pak?" tanya bu Slamet yang melihat suaminya mulai merem melek menikmati pijatannya.
"Enak banget, Bu. Agak naik sedikit, Bu." Bu Slamet menuruti kemauan suaminya.
"Iya! Begitu makin enak, Bu."
Lily yang tadi sudah menggeliatkan badannya, mendengar suara suami istri itu dari dalam kamar, merasa tak enak hati.
Lagi ngapain ya, mereka di kamar? Tanya Lily dalam hati dengan penasaran.
Dengan perlahan Lily turun dari bale-bale. Lalu mendekatkan telinganya ke dinding kamar yang bersebelahan dengan ruang depan.
"Terus, Bu. Naik lagi. Iya, gitu. Enak banget, ah...!"
Mata Lily langsung terbelalak. Dia membayangkan suami istri itu sedang bercinta siang bolong di dalam kamar.
Lalu dengan segera Lily menutupi kedua telinganya dan beringsut keluar.
Jantungnya berdegup dengan sangat cepat. Seolah dia baru saja menyaksikan adegan yang memacu adrenalin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments