NovelToon NovelToon

Kamboja

Bab 1 Menunggak

"Lily! Kamu Lily, kan?" teriak seorang gadis berseragam putih biru. Seragam yang sama seperti yang dikenakan Lily.

Lily menoleh. Ditatapnya gadis seusianya itu dengan tajam.

Lavender.

Ada apa dia memanggilku? Tumben amat. Batin Lily.

Lily dan Lavender duduk di kelas yang sama. Meja mereka berseberangan. Tapi mereka nyaris tak pernah saling menyapa.

Bukan cuma Lavender yang tak pernah menyapa Lily, bahkan seluruh penghuni kelasnya juga tak ada yang mau berkomunikasi dengan Lily.

Mereka semua menjauhi Lily. Mungkin karena pakaian Lily yang lusuh. Atau mungkin Lily yang tak pernah ikutan ngumpul di kantin sekolah saat jam istirahat.

"Kenapa kamu malah ngeliatin aku kayak gitu?" tanya Lavender terheran. Dia tadi memang berteriak memanggil Lily. Itu karena jarak antara dia dan Lily berdiri, cukup jauh.

"Oh, maaf. I...Iya. Aku Lily," sahut Lily sedikit gelagapan.

Dalam hatinya heran. Kenapa Lavender masih menanyakan namanya. Bukankah mereka berada dalam satu kelas dari pertama kali masuk ke sekolah itu?

Aneh. Batin Lily.

"Kamu dipanggil bapak Kepala Sekolah!" ucap Lavender dengan congkaknya. Kedua tangannya dia lipat di depan dadanya yang masih rata.

Lily terdiam. Lalu menghela nafasnya dalam-dalam.

Bukan hal yang aneh kalau bapak Kepala Sekolah memanggilnya. Itu sudah jadi tradisi saat pertengahan bulan seperti ini. Apalagi kalau bukan soal uang bayaran sekolah Lily yang menunggak.

Lavender menatap wajah Lily sekilas. Lalu memalingkan wajahnya seakan jijik melihat Lily.

Dan dengan langkah tergesa, dia tinggalkan Lily yang masih terpaku di tengah pintu kelas.

Lily melangkah gontai ke ruangan kepala sekolah yang berada di lantai dua. Dia berusaha menguatkan hati untuk menghadapi dan mendengar omelan dari kepala sekolahnya nanti.

Sampai di depan pintu ruangan yang tertutup, Lily mengetuk pelan.

Tok. Tok. Tok.

"Masuk!"

Terdengar sahutan keras dari dalam. Itu adalah suara kepala sekolah yang hampir tak pernah ramah pada Lily.

Lily menghela nafasnya. Lalu menarik handle pintu.

Kreeek.

Sang kepala sekolah sedang asik membuka buku laporan keuangan siswa yang menunggak.

"Selamat siang, Pak," ucap Lily dengan hormat dan sedikit bergetar.

"Siang!"

Hadi sang kepala sekolah mendongakan kepalanya.

"Kamu yang namanya Liliani?" tanya Hadi.

Lily mengangguk pelan.

"Hm. Kamu tau kenapa saya memanggilmu?" tanya Hadi lagi.

Lily kembali mengangguk.

"Bagus! Lalu alasan apa yang akan kamu katakan sekarang?"

Lily tercekat. Bahkan dia belum punya alasan apapun.

"Bulan lalu kamu sudah menunggak uang pembayaran sekolah. Dan sampai detik ini, kamu belum juga melunasinya!" Mata Hadi menatap kertas yang dipegangnya.

Lily menundukan kepala. Dia hanya bisa terdiam.

Mau menjawab apa, karena kenyataannya dia belum dikasih uang untuk melunasi pembayaran sekolah oleh ibunya.

"Kenapa diam?" bentak Hadi dengan suara keras.

Lily terjengit. Tubuhnya bergetar.

"Kapan kamu akan melunasinya?" tanya Hadi bak seorang debt collector yang sedang menagih hutang.

"A...anu, Pak. Ma...maksud...saya...ibu saya..be..belum punya uangnya," jawab Lily terbata-bata.

"Belum punya uang katamu?"

Mata Hadi melotot ke arah Lily. Membuat Lily bergidig ngeri.

"Kamu pikir sekolah ini akan memberikan toleransi dengan alasan klise seperti itu, hah?" bentak Hadi.

Lily menelan ludahnya yang tiba-tiba terasa kering.

"Heh! Katakan pada orang tuamu, kalau sekolah di sini tidak gratis! Semua fasilitas di sekolah ini ada harganya. Dan seluruh pengajar di sini tidak dibayar dengan ucapan terima kasih!" bentak Hadi lagi.

"I...Iya, Pak." Lily kembali menundukan wajahnya. Tak berani menatap wajah kepala sekolah yang seperti hendak memangsanya.

"Iya, Iya! Terus kapan kamu akan melunasinya?" tanya Hadi.

Aduh, gimana ini? Sedangkan ibu saja belum punya uang. Lily kebingungan menjawabnya.

"Jawab! Jangan diam saja!" Suara Hadi makin meninggi.

"I...Iya, Pak. Nanti saya bicarakan sama..ibu saya," sahut Lily.

Gimana caranya aku bicara sama ibu? Ibu sendiri lagi butuh banyak biaya untuk pengobatannya. Tanya Lily dalam hati.

"Baik. Silakan kamu bilang ke orang tuamu. Saya kasih waktu tiga hari. Kalau sampai batas waktu itu belum juga ada pembayaran, silakan kamu cari sekolah yang lain!" ucap Hadi dengan ketus.

Jeder!

Bagai tersambar petir di siang bolong, mendengarnya.

Mana mungkin mencari sekolah lain, yang pastinya harus mengeluarkan biaya lagi untuk pendaftarannya. Sedangkan untuk membayar dua bulan tunggakan saja, mereka tak mampu.

Lily terpaku di tempatnya berdiri. Lututnya terasa lemas. Matanya berkaca-kaca.

"Ngapain kamu masih berdiri di sini?" hardik Hadi.

"Ma...maaf, Pak," sahut Lily dengan suara serak.

Setengah mati Lily berusaha menguatkan kakinya agar bisa melangkah keluar.

"Keluar dari ruangan saya! Bikin pengap saja!" Hadi mengibas-ngibaskan kertas yang dipegangnya, memberi tanda kalau Lily harus segera enyah dari hadapannya.

Lily yang masih berkaca-kaca, menatap penuh kebencian pada kepala sekolahnya itu.

Dasar kepala sekolah tak punya akhlak! Mata duitan! Maki Lily dalam hati.

Lily menghela nafasnya dalam-dalam, lalu membalikan badan.

Tanpa mengucapkan salam, Lily keluar sambil menutup pintu dengan kasar.

Blum!

Hadi terperanjat mendengarnya.

"Dasar anak sialan! Enggak punya sopan santun! Masih kecil sudah berani berbohong!" umpat Hadi.

Sejujurnya Hadi tak pernah tahu tentang kondisi kehidupan Lily. Dia hanya tahu, semua siswa yang bersekolah di sekolah itu adalah anak orang berduit.

Sebagai kepala sekolah, Hadi hampir tak pernah berinteraksi dengan siswanya. Yang dia dekati hanya orang tua siswa yang menitipkan anak padanya.

Tentu saja ada nilai tersendiri di situ. Nilai yang bisa lebih dari gajinya sebulan.

Lily berlari meninggalkan ruangan kepala sekolah dengan perasaan hancur. Air matanya tak bisa dibendung lagi.

Beberapa pasang mata yang berpapasan, menatapnya penuh keheranan. Tapi Lily tak menggubrisnya. Toh mereka juga tak pernah mengenal Lily.

Lily terus berlari menuruni anak tangga dan langsung menuju toilet yang berada di bawah tangga.

Ruangan toilet itu sepertinya kosong. Para siswa lebih memilih menghabiskan jam istirahat di kantin.

Kecuali saat jam belajar, toilet akan penuh dengan siswa yang pura-pura kebelet demi menghindari pelajaran.

Lily masuk ke ruangan itu. Lalu dia nyalakan kran dari wastafel. Dengan mata yang masih berurai air mata, Lily menatap wajahnya di cermin.

Lily masih menangis. Bahkan kali ini tangisnya semakin kencang.

"Aaakkhh...!" teriak Lily dengan keras.

Klek!

Satu pintu toilet yang tertutup, tiba-tiba terbuka.

"Heh! Ngapain lu teriak-teriak? Pakek nangis segala!" tanya seorang siswa yang keluar dari toilet itu.

Lily yang tak mengira akan ada yang melihatnya pun tercekat.

Buru-buru dia basuh wajahnya, tanpa mempedulikan tatapan heran dari siswa itu.

Siswa itu mengangkat bahunya lalu melenggang keluar.

"Dasar anak sinting!" umpatnya.

Lily tak mendengar. Dia sibuk mengeringkan wajah dengan tissue.

Setelah merasa lebih baik, Lily pun keluar. Di depan pintu toilet, matanya menatap ke kiri dan kanan. Berharap siswa tadi tak ada lagi.

Dan dengan langkah gontai, Lily kembali ke kelasnya.

Bab 2 Butiran debu

Ruangan kelas tiga A masih sepi. Padahal waktu istirahat tinggal beberapa menit lagi.

Lily berjalan gontai menuju bangkunya. Lalu membuka lagi buku catatan yang tadi ditulisnya.

Lily mencoba membaca lagi tulisannya yang sedikit berantakan.

Ah, sama sekali enggak menarik. Kalau aja aku punya uang untuk membeli buku paket, aku enggak perlu capek-capek menyalinnya. Batin Lily.

Sejak naik ke kelas dua, Lily tak pernah lagi bisa memiliki buku paket. Baginya sekarang, buku paket itu sangat mahal harganya.

Beda dengan saat pertama kali Lily masuk ke sekolah ini. Semua terasa menyenangkan. Seragam baru. Tas baru. Sepatu baru. Buku-buku baru dan semua buku paket yang ditawarkan pihak sekolah, mampu dibayar oleh ibunya.

Gendis nama ibu Lily. Perempuan yang terlihat renta meski usianya masih berkepala tiga.

Kehidupan ekonomi dan kesehatannya yang semakin memburuk, membuat wajahnya semakin kusam. Dan tubuhnya pun tak seindah beberapa tahun yang lalu.

"Ibu, Lily mau sekolah di sini?" tanya Lily waktu itu, yang baru pertama kalinya diajak Gendis mendaftar sekolah.

"Iya, Ly. Kamu suka?"

Lily langsung mengangguk senang. Senyuman tak lepas dari bibir mungilnya.

Gendis pun ikut tersenyum melihat gadis kecilnya bahagia.

Lily mengedarkan pandangan ke seantero gedung.

Wow! Gedung yang sangat mewah. Dan bertingkat pula. Batin Lily, mengagumi kemewahan sekolah favorit itu meski berstatus swasta.

"Ibu. Lily boleh jalan-jalan sebentar? Lily pingin melihat-lihat ruangan kelasnya," pinta Lily pada Gendis.

Gendis langsung mengangguk.

"Boleh, Ly. Tapi jangan jauh-jauh. Nanti nyasar," sahut Gendis.

"Ih, masa nyasar sih, Bu?" rajuk Lily.

"Ya siapa tau. Gedung ini kan luas," sahut Gendis lagi.

Lily kembali mengedarkan pandangannya.

Benar juga kata ibu. Aku bisa kesasar kalau jalannya terlalu jauh. Batin Lily.

"Ya udah, Bu. Lily enggak akan jauh-jauh. Tapi Ibu nunggu di sini, ya?"

Gendis kembali mengangguk.

"Iya. Ibu kan mesti nunggu antrian. Kalau Ibu enggak ada di bangku ini, kamu tunggu aja sebentar. Mungkin Ibu lagi dipanggil ke dalam," sahut Gendis.

Dengan semangat, Lily mengangguk. Lalu membalikan badan dan mulai berjalan menyusuri lorong gedung.

Wow, bagus sekali pintunya. Apa ini ruangan kelasnya? Tanya Lily dalam hati.

Lily mendongak ke atas pintu. Di sana tertera tulisan kelas 1 A.

Mata Lily langsung terbelalak.

Ruangan kelas aja pintunya sebagus ini? Bagaimana di dalamnya, ya? Kembali Lily bertanya-tanya dalam hati.

Maklum saja, sehari-hari Lily hanya tinggal di rumah kontrakan yang tak terlalu besar. Hanya rumah biasa yang memiliki dua kamar kecil.

Jadi begitu melihat gedung sekolah yang sedemikian mewahnya, Lily tak henti berdecak kagum.

Perlahan Lily mendorong pintu itu. Berharap dia bisa melihat isi di dalamnya.

Tak ada siapapun di dalam ruangan kelas itu. Lily mengedarkan pandangannya ke seantero ruangan.

Decak kagum tak henti keluar dari bibir mungilnya.

Pasti akan sangat menyenangkan belajar di ruangan yang semewah ini. Ah, jadi enggak sabar kepingin cepet-cepet masuk sekolah. Batin Lily.

"Ada yang bisa dibantu, nona cantik?" tanya seorang guru yang kebetulan sedang lewat dan melihat Lily melongok ke bagian dalam kelas.

Lily sangat terkejut mendengarnya. Jantungnya terasa hampir copot.

"Ah, eng..enggak. Enggak ada," jawab Lily tergagap.

"Oh. Saya kira nona cantik ini butuh bantuan," sahut guru yang ber-tag name July.

"Saya July. Panggil miss July. Saya mengajar bahasa inggris. Apa kamu calon siswa di sekolah ini?" tanya July dengan ramah sambil mengulurkan tangannya.

Lily terkesima dengan cara bertanya guru itu yang sangat sopan. Lalu dengan sedikit ragu, menerima uluran tangan July.

"Nama saya Liliani. Panggil saja saya Lily, Bu. Eh, miss July," jawab Lily sambil tersipu, karena keliru memanggil July.

"Saya calon siswa kelas satu di sekolah ini," lanjut Lily.

"Oke. Berarti nanti kita bakalan sering ketemu. Karena saya akan mengajar di kelas satu," ujar July sambil tersenyum ramah.

Lily mengangguk senang. Belum apa-apa saja dia sudah disambut dengan hangat.

"Apa kamu mau melihat seluruh ruangan di sekolah ini?" tanya July.

"Iya, miss July. Apa boleh?" Lily balik bertanya.

"Boleh saja. Tapi kamu bakalan capek, karena di gedung ini ada puluhan ruangan. Dan juga ada lima lantai. Kamu kuat naik turunnya?" July menatap tubuh mungil Lily.

Lily tersipu malu. Dalam hatinya bisa menebak, pasti miss July sedang meragukannya.

Tapi benar juga sih, melihat gedung megah ini, Lily tak akan sanggup kalau melihat seluruh ruangannya.

"Seluruh ruangan di sekolah ini, hampir sama desainnya. Tapi nanti pelan-pelan kamu akan bisa membedakannya. Selain itu, di atas pintu kan juga ada tulisannya," papar July.

Lily mengangguk mengerti.

"Oke, mm...siapa tadi nama kamu?"

Rupanya July lupa dengan nama yang didengarnya tadi.

"Lily. Liliani," jawab Lily dengan tegas.

"Nama yang cantik. Secantik wajahmu. Dan nama kamu mengingatkan saya pada sekuntum bunga Lily," ucap July sambil tersenyum dan memejamkan matanya sebentar.

Lily hanya memperhatikan saja gelagat July.

Ah, kenapa aku malah baper sih? Batin July sambil tersipu malu pada Lily.

Padahal Lily tak paham dengan apa yang sedang dipikirkan calon gurunya itu.

"Oke, Lily. Saya akan ke ruangan guru, di lantai dua. Apa kamu mau ikut ke sana?" tanya July menawari Lily.

"Boleh?" tanya Lily ragu.

July mengangguk sambil tersenyum ramah.

Lily pun ikut mengangguk dengan antusias.

Dan mereka berdua berjalan beriringan menuju tangga yang menghubungkan ke lantai dua.

Dengan ramah, July menerangkan setiap ruangan yang mereka lewati pada Lily. Lily pun menyimaknya baik-baik.

Hingga sampai di depan ruangan guru, Lily dipersilakan masuk oleh July.

Lily disambut dengan ramah oleh beberapa guru yang kebetulan berada di ruangan itu. Dan mereka pun saling memperkenalkan diri.

Guru-guru di sini sangat ramah. Mana ruangan kelasnya juga sejuk. Pasti aku bakalan betah sekolah di sini.

Tet!

Suara bel masuk tanda usainya waktu istirahat, terdengar. Membuyarkan lamunan Lily pada masa lalu. Masa di awal masuk ke sekolah ini, yang dipikirnya sangat menyenangkan.

Ya, pasti sangat menyenangkan. Tapi bagi mereka yang orang tuanya beruang. Karena setiap keramahan pengajar di sini, ada pamrihnya.

Mereka saling berlomba mendekati siswa, agar siswa itu mau ikut les tambahan, baik privat atau berkelompok. Pastinya dengan bayaran yang tidak kecil.

Dan bisa dipastikan juga, nilai siswa di mata pelajaran itu, bakalan tinggi. Karena nanti setiap kali ulangan atau ujian kenaikan kelas, akan diberikan kisi-kisi soal yang bakalan keluar.

Siapa yang tidak tertarik? Kecuali Lily yang sekarang. Karena Lily yang sekarang bukan lagi Lily yang dulu. Lily yang pernah disambut dengan ramah.

Kini Lily hanya sebuah butiran debu di hadapan mereka. Yang nyaris tak terlihat.

Bab 3 Tak bisa melawan

Beberapa siswa memasuki kelas dengan berjalan melenggang. Seakan bunyi bel tanda masuk tadi tak begitu berarti bagi mereka.

Beberapa yang lain malah asik bercanda di teras kelas.

Lily melihatnya dari jendela kaca dengan jengah. Pemandangan sehari-hari yang selalu dilihatnya.

Anak-anak perempuan dan lelaki berbaur, bercanda. Kadang candaan mereka terasa berlebihan menurut Lily.

Bagaimana tidak, seorang anak lelaki dengan mudahnya merangkul seorang anak perempuan dan kadang tanpa rasa malu, mengecup pipinya.

Dan hal itu juga yang dilihat Lily sekarang.

Beuh!

Menjijikan sekali. Apa mereka udah gak punya lagi rasa malu? Gerutu Lily dalam hati.

Lily segera memalingkan wajahnya. Jengah sekali melihat pemandangan anak-anak yang tak berakhlak.

Tatapan mata Lily bertabrakan dengan tatapan mata Lavender. Teman yang tadi memberitahukannya soal pemanggilan kepala sekolah.

Lily mencoba tersenyum ramah, sebagai wujud ucapan terima kasihnya. Meski dipanggil kepala sekolah tadi bukanlah hal yang baik baginya.

Lavender hanya menatap Lily sebentar, lalu memalingkan wajahnya. Sorot matanya datar, seolah tak ada siapapun di dekatnya.

Lily hanya menghela nafas panjang. Hal yang biasa dia terima dari teman-temannya.

Masih mending cuma diabaikan, kadang malah Lily dijadikan bahan bully-an. Lily dianggap seperti binatang peliharaan yang diajak bermain tuannya.

Suasana kelas masih sepi. Karena baru beberapa saja yang masuk kelas.

Kruk!

Cacing-cacing di perut Lily berbunyi nyaring. Mereka seakan protes kalau sudah saatnya diberi makan.

Lavender yang mendengarnya, spontan menoleh. Lalu menatap Lily dengan tatapan heran.

"Kentut, ya?" tanya Lavender sambil mengernyitkan alis. Lalu spontan tangannya menutupi hidung.

"Enggak. Itu...itu tadi suara cacing-cacing di perutku," jawab Lily.

Mata Lavender terbelalak.

"Cacing di dalam perutmu?" tanya Lavender heran.

Lily mengangguk.

Karena begitulah suara yang sering dia dengar dari dalam perutnya. Dan kata ibunya, itu suara cacing yang minta dikasih makan.

"Kamu memelihara cacing di perut?" Lavender semakin heran.

Lily tak kalah herannya dengan pertanyaan Lavender.

Bagaimana mungkin dia memelihara cacing-cacing yang bisanya hanya makan saja di dalam perutnya?

Belum sempat mereka menyelesaikan tanya jawab yang tidak penting itu, seorang guru masuk ke dalam kelas.

"Selamat siang anak-anak!" sapa guru bahasa Indonesia yang bernama Septy.

"Siang, Bu!" jawab anak-anak yang sudah berada di dalam kelas.

"Mana yang lainnya?" tanya Septy melihat tak sampai setengah dari jumlah siswa yang ada.

Dengan kompak mereka mengangkat bahu. Mereka tak akan pernah saling melaporkan atau memberitahukan dimana yang lainnya suka ngumpet.

"Gimana sih ini? Bel kan udah berbunyi dari tadi?" gumam Septy dengan kesal.

Septy tak pernah tahu kenapa kalau dia mengajar, banyak sekali siswa yang membolos. Atau terlambat masuk ke dalam kelas.

Padahal menurutnya, pelajaran bahasa Indonesia itu termasuk pelajaran yang paling mudah dipahami. Karena sebagai bahasa pengantar mereka sehari-hari juga.

Dua orang siswa masuk. Anak perempuan dan lelaki. Si anak lelaki merangkul si anak perempuan.

"Siang, Bu," sapa si anak lelaki dengan cuek.

"Siang," sahut Septy sambil melihat mereka yang masih berangkulan.

"Lepasin tangannya. Ini di kelas!" ucap Septy dengan nada tinggi.

Bagaimanapun sebagai pengajar dan orang yang lebih tua, dia merasa tidak dihargai.

Si anak lelaki dengan santainya melepaskan rangkulan. Dan mereka dengan santai juga melenggang ke bangku masing-masing.

Dasar anak jaman sekarang, enggak ada sopan-sopannya sama guru. Untung kalian anak orang-orang kaya yang sumbangannya ke sekolah banyak, kalau enggak...aku laporin kelakuan kalian ke guru BK. Rutuk Septy dalam hati.

Septy menghela nafas panjang. Lalu dia duduk di kursinya.

"Bu. Kenapa pelajarannya enggak dimulai?" tanya Lavender.

Septy mendongak dan menatap ke arah Lavender.

"Saya akan memulai pelajaran kalau bangkunya sudah penuh," jawab Septy.

Busyet...kayak naik angkot aja, nunggu sampai bangkunya penuh. Batin Lily yang sering naik angkot.

Lavender mengangguk. Dia juga cuma basa-basi saja. Berusaha mencari perhatian guru, biar dianggap siswa baik.

Hampir setengah jam mereka menunggu siswa yang lain masuk ke kelas. Hingga beberapa sudah mulai menguap.

Beberapa yang lain asik bermain gadget. Selebihnya ngobrol dengan teman sebelahnya.

Lily yang tak memiliki ponsel, tak memiliki teman ngobrol, mulai mengantuk. Beberapa kali dia menguap.

Dan rasa kantuknya seakan tak bisa ditahan lagi. Hingga...

Dug!

Kepala Lily jatuh ke atas meja.

Septy yang melihatnya, menjadi geram.

"Heh, kamu!" bentak Septy sambil melemparkan spidol yang dipegangnya ke arah Lily.

Pletak!

Spidol itu tepat mengenai kepala Lily.

"Aw!"

Lily terkesiap dan spontan memegang kepalanya.

"Pelajaran baru aja mau dimulai, malah tidur!" lanjut Septy.

"Hu...!" teriak teman-teman Lily bersamaan.

Lily yang masih tersentak hanya bisa nyengir.

Malu? Enggak!

Malah kesal. Karena hanya dia yang diperlakukan seperti itu oleh para guru yang sudah tahu kondisi ekonomi orang tuanya.

"Diam yang lainnya!" ucap Septy.

Siswa yang lain spontan diam. Dalam hati, mereka terkejut. Karena jarang sekali pengajar berteriak pada mereka.

"Kamu!" Septy menunjuk ke arah Lily.

"Kalau mau tidur, silakan keluar!" lanjutnya.

"Maaf, Bu. Saya mengantuk sekali. Apa boleh saya ke toilet sebentar? Saya mau membasuh muka," pinta Lily.

"Mandi sekalian, biar enggak bau!" sahut salah seorang anak lelaki yang suka sekali membully Lily.

Lily menatap tajam ke arah anak itu. Hatinya sangat kesal mendengarnya.

Sebenarnya Lily bisa saja melawan. Bahkan untuk berkelahi pun, Lily tak takut.

Tapi siapa yang akan membelanya kalau dia kalah? Bahkan misalnya Lily yang menang pun, Lily pasti akan disalahkan.

"Di kamar mandi ada sabun. Biar wangi tuh badanmu yang bau!"

Ditatap dengan tajam oleh Lily, bukannya membuat anak itu sungkan. Malah semakin menjadi.

Teman-teman Lily yang lainnya tertawa terbahak. Mereka seolah ingin ikut menjatuhkan mental Lily.

Lily mengepalkan tangannya. Wajahnya menyimpan kemarahan pada semua temannya. Terutama pada anak lelaki yang mulutnya lemes itu. Tapi dia tak bisa melawan.

Karena melawan mereka sama saja dengan bunuh diri.

Lily bakal digiring ke ruang BK. Dan sudah bisa dipastikan Lily lah yang akan menerima hukuman. Tanpa dilihat dulu siapa yang salah.

Dengan masih menyimpan kemarahan, Lily berdiri dan melangkah keluar kelas.

"Heh! Mau kemana kamu?" tanya Septy yang hanya membiarkan saja Lily dibully teman-temannya.

Lily terus saja melangkah tanpa mempedulikan pertanyaan Septy.

Kesal juga Lily mendengar pertanyaan itu. Karena tadi kan dia sudah mengatakannya.

"Mau bunuh diri, Bu. Loncat dari lantai lima!" sahut teman Lily yang lain.

Semakin panas telinga Lily mendengarnya. Lily pun semakin mempercepat langkahnya.

Dengan kasar Lily menarik handle pintu. Dan dengan kasar pula dia menghempaskan daun pintunya.

Blum!

"Lily...!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!