Bab 4 Tertidur

Lily urung ke toilet. Tentu saja, karena di jam belajar seperti sekarang, toilet bakalan penuh oleh para siswa yang berbohong dan ngumpet di sana.

Untuk pergi ke kantin pun jelas tidak mungkin. Lily tak punya cukup uang meskipun untuk sekedar membeli minuman.

Menu yang disajikan di kantin sekolah Lily memang bukan menu ecek-ecek. Semua disesuaikan dengan selera para siswa yang rata-rata berkantong tebal.

Jadi untuk siswa seperti Lily, mustahil rasanya untuk bisa kongkow di sana.

Kemana ya? Pikir Lily sambil menyusuri lorong-lorong depan kelas.

Lorong yang dulu saat awal masuk sekolah, begitu mempesona Lily. Sekarang lorong itu terasa seperti lorong yang menyakitkan.

Lily berjalan ke bagian belakang gedung. Di sana ada rumah tinggal penjaga sekolah.

Lily mengenal salah satu di antaranya.

Pak Slamet si penjaga sekolah yang baik hati. Memiliki seorang istri yang juga sangat baik.

"Met siang, Bu," sapa Lily pada bu Slamet.

"Eh, neng Lily. Ada apa, Neng?" tanya bu Slamet dengan heran.

"Enggak ada apa-apa, Bu. Saya cuma mau numpang tidur aja. Ngantuk banget," jawab Lily jujur.

"Loh, kok ngantuk? Ini kan masih jam belajar?" Bu Slamet semakin heran.

"Iya, Bu. Tapi saya ngantuk banget. Semalam membantu pekerjaan ibu saya di rumah," sahut Lily.

Bu Slamet sudah tahu kisah kehidupan Lily yang mengenaskan.

Lily dan ibunya ditinggal pergi oleh bapaknya. Dan mereka tak lagi dinafkahi selama hampir dua tahun.

"Tapi, Neng...Kalau ketahuan neng Lily ada di sini gimana?"

Bu Slamet terlihat risau. Karena kalau sampai ketahuan, bukan cuma Lily yang bakal kena hukuman, tapi dia dan suaminya juga akan ditegur oleh pihak sekolah. Karena dianggap memfasilitasi siswa membolos.

"Enggak akan ketahuan, Bu. Lagian siapa yang mau main sampai ke sini. Mereka kan orang-orang kaya. Mainnya di kantin yang super mahal itu," sahut Lily.

"Iya, sih. Neng Lily sudah makan?" tanya bu Slamet. Dia tahu kalau uang saku Lily sangat tipis.

"Udah, Bu. Tadi bawa makan dari rumah," jawab Lily berbohong.

Lily tak mau merepotkan. Dia juga tahu kalau penghasilan pak Slamet sebagai penjaga sekolah, tidak banyak. Jangan sampai dia menambah beban mereka.

"Oh, ya udah. Kirain belum makan. Kebetulan tadi Ibu masak sayur asem sama goreng ikan asin kesukaan pak Slamet," ucap bu Slamet.

Glek!

Lily menelan ludahnya. Membayangkan segarnya sayur asem dengan goreng ikan asin. Apalagi kalau ditambah sambal terasi yang pedas.

Tapi sayangnya Lily sudah terlanjur berbohong.

Lily menghela nafasnya dalam-dalam.

Belum rejekiku. Batin Lily.

"Mari masuk, Neng. Tapi tempatnya kotor," ucap bu Slamet mempersilakan.

"Terima kasih, Bu. Sama aja, di rumah kontrakan ibu saya juga seperti ini. Sempit," sahut Lily.

Lily jadi ingat saat bapaknya masih menafkahi mereka. Ibunya mengontrak rumah yang bersih. Meski bukan rumah yang besar apalagi mewah. Tapi setidaknya ada kamar khusus buatnya.

"Saya tiduran di sini aja, Bu."

Lily menunjuk sebuah bale-bale bambu yang sudah reyot.

Kamar di rumah tinggal itu hanya ada satu. Ditempati suami istri yang baik hati itu. Tak mungkin Lily tidur di sana.

"Ya silakan, Neng. Tapi hati-hati, ya. Bale-balenya udah lapuk. Takutnya neng Lily malah jatuh," jelas bu Slamet.

"Iya, Bu. Saya juga tidurnya enggak banyak gerak kok," sahut Lily.

Lily pun segera merebahkan tubuh kecilnya di sana. Tanpa alas. Hanya ada sarung kumal yang jadi bantalan kepala.

Agak bau memang. Mungkin karena tak pernah dicuci. Tapi bagi Lily tak apalah. Daripada kepalanya sakit kalau langsung kena bambunya.

Bu Slamet duduk di sebuah kursi plastik yang ditumpuk dua karena yang satunya sudah pecah.

"Bagaimana kabar ibu neng Lily?" tanya bu Slamet.

"Ibu sehat. Beliau baik-baik saja," jawab Lily berbohong lagi.

Lily tak mau kalau bu Slamet jadi ikut khawatir kalau Lily bilang sakit ibunya semakin parah.

"Syukurlah. Masih kerja kan, Neng?" tanya bu Slamet lagi.

Lily mengangguk pelan sambil membalikan badan menghadap ke samping.

Terdengar bunyi berderik dari bambu yang memang sudah rapuh.

"Hati-hati, Neng," ucap bu Slamet khawatir.

"Iya, Bu. Maaf." Lily lupa kalau bale-bale ini bergoyang saat dirinya bergerak.

"Bapak kamu belum ada kabarnya juga?" tanya bu Slamet prihatin.

Lily menggeleng lemah.

Yudi, bapaknya Lily pergi ke luar negeri sebagai TKI lima tahun yang lalu. Katanya dia ada di negeri sakura, Jepang.

Di awal kepergiannya, Yudi selalu mengirimkan sebagian gajinya untuk hidup istri dan anaknya.

Kehidupan keluarga kecilnya pun mulai membaik. Gendis, ibunya Lily pandai mengatur keuangan. Dia benar-benar memanfaatkan uang kiriman suaminya sebaik mungkin.

Hingga sampai Lily lulus sekolah dasar dan bisa masuk ke sekolah swasta favorit.

Sebenarnya kalau saja otak Lily cerdas, dia bisa masuk ke sekolah negeri yang digratiskan pemerintah.

Tapi apa daya, nilai Lily tak cukup menembus sekolah negeri.

Bagi Gendis, hal itu bukan masalah. Dia merasa mampu menyekolahkan Lily di sekolah yang bagus, dengan uang kiriman dari suaminya.

Tapi sayang, baru setahun Lily merasakan nikmatnya sekolah di tempat favorit, bapaknya tak lagi mengirimi uang. Bahkan kabarnya pun tak terdengar lagi.

Gendis sudah berusaha mencari suaminya ke agen yang membawa suaminya ke luar negeri. Tapi pihak agen tak bisa membantu mencarikan info.

Sejak itu, perekonomian Gendis mulai morat marit. Terpaksa mereka pindah ke kontrakan rumah petak yang jauh lebih murah karena tak sanggup lagi membayar uang sewa tahunan di kontrakan lama.

Bahkan Gendis pun harus banting tulang untuk kehidupan mereka. Gendis yang hanya lulusan SMA dan tak punya pengalaman kerja dan juga relasi, rela jadi buruh cuci di rumah orang demi menghidupi anak semata wayangnya.

Mestinya uang itu cukup untuk mereka. Kalau saja Gendis tak sakit.

Dokter memvonis Gendis mengidap tumor di rahimnya. Dan alhasil, uang dari gajinya sebagai buruh cuci dan setrika, habis untuk membeli obat.

Membayangkan itu, tak terasa air mata Lily menetes. Dia sangat sedih melihat ibunya yang harus menanggung beban hidup dan penyakit yang tak main-main.

Bu Slamet melihat air mata itu. Dia jadi merasa tak enak hati.

"Maaf ya, Neng. Pertanyaan Ibu bikin neng Lily jadi sedih," ucap bu Slamet.

"Enggak apa-apa, Bu," ucap Lily sambil mengusap air matanya.

"Ya udah. Sekarang neng Lily tidur. Ibu mau beresin dapur dulu."

Bu Slamet beranjak dari duduknya. Sambil menghela nafas, dia tinggalkan Lily sendirian.

Lily pun memejamkan mata. Berusaha tidur agar bisa melupakan masalah hidupnya.

Lily langsung terlelap. Karena dia memang kurang tidur semalam. Dia menggantikan pekerjaan ibunya menyetrika pakaian tetangganya.

Semalam Gendis mengeluh perutnya sakit lagi. Lily yang tak tega, terpaksa begadang.

Dari balik tirai lusuh, bu Slamet menatap Lily yang terlelap.

Kasihan sekali anak itu. Batin bu Slamet.

Terpopuler

Comments

Mamimi Samejima

Mamimi Samejima

Bikin happy setiap kali baca. Gak bisa berhenti bacanya.

2024-04-08

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 Menunggak
2 Bab 2 Butiran debu
3 Bab 3 Tak bisa melawan
4 Bab 4 Tertidur
5 Bab 5 Salah sangka
6 Bab 6 Ternyata lapar
7 Bab 7 Gagal paham
8 Bab 8 Jalan tembus
9 Bab 9 Sakit lagi
10 Bab 10 Berbohong jadi rejeki
11 Bab 11 Ibu harus sembuh
12 Bab 12 Menghindari pertanyaan
13 Bab 13 Menyusun rencana
14 Bab 14 Keceplosan
15 Bab 15 Tak ada solusi
16 Bab 16 Kalut
17 Bab 17 Hanya ingin membantu
18 Bab 18 Tak segampang itu
19 Bab 19 Puasa lagi
20 Bab 20 Tak mudah percaya
21 Bab 21 Tak bisa ditawar
22 Bab 22 Getir
23 Bab 23 Keras kepala
24 Bab 24 Saudara ketemu gede
25 Bab 25 Berteman
26 Bab 26 Saling berebut
27 Bab 27 Anak-anak mami
28 Bab 28 Sangat miris
29 Bab 29 Penyesalan
30 Bab 30 Mulai berempati
31 Bab 31 Selalu ada rejeki
32 Bab 32 Masih ada harapan
33 Bab 33 Pagi yang cerah
34 Bab 34 Rejeki di pagi hari
35 Bab 35 Anak babu
36 Bab 36 Kalah
37 Bab 37 Kelupaan
38 Bab 38 Mimpi yang jadi nyata
39 Bab 39 Kerudung hitam
40 Bab 40 Mengalah demi anak
41 Bab 41 Bagai langit dan bumi
42 Bab 42 Trenyuh
43 Bab 43 Terkesima
44 Bab 44 Tak pernah dendam
45 Bab 45 Terpaksa
46 Bab 46 Makan di warung kaki lima
47 Bab 47 Murah meriah
48 Bab 48 Dikira pacaran
49 Bab 49 Hilang di pasar loak
50 Bab 50 Akhirnya ketemu juga
51 Bab 51 Saling menyalahkan
52 Bab 52 Gelisah
53 Bab 53 Bangun, Bu
54 Bab 54 Ada yang meninggal
55 Bab 55 Histeris
56 Bab 56 Jangan ada air mata
57 Bab 57 Ketua RT mata duitan
58 Bab 58 Kamu tak sendiri
Episodes

Updated 58 Episodes

1
Bab 1 Menunggak
2
Bab 2 Butiran debu
3
Bab 3 Tak bisa melawan
4
Bab 4 Tertidur
5
Bab 5 Salah sangka
6
Bab 6 Ternyata lapar
7
Bab 7 Gagal paham
8
Bab 8 Jalan tembus
9
Bab 9 Sakit lagi
10
Bab 10 Berbohong jadi rejeki
11
Bab 11 Ibu harus sembuh
12
Bab 12 Menghindari pertanyaan
13
Bab 13 Menyusun rencana
14
Bab 14 Keceplosan
15
Bab 15 Tak ada solusi
16
Bab 16 Kalut
17
Bab 17 Hanya ingin membantu
18
Bab 18 Tak segampang itu
19
Bab 19 Puasa lagi
20
Bab 20 Tak mudah percaya
21
Bab 21 Tak bisa ditawar
22
Bab 22 Getir
23
Bab 23 Keras kepala
24
Bab 24 Saudara ketemu gede
25
Bab 25 Berteman
26
Bab 26 Saling berebut
27
Bab 27 Anak-anak mami
28
Bab 28 Sangat miris
29
Bab 29 Penyesalan
30
Bab 30 Mulai berempati
31
Bab 31 Selalu ada rejeki
32
Bab 32 Masih ada harapan
33
Bab 33 Pagi yang cerah
34
Bab 34 Rejeki di pagi hari
35
Bab 35 Anak babu
36
Bab 36 Kalah
37
Bab 37 Kelupaan
38
Bab 38 Mimpi yang jadi nyata
39
Bab 39 Kerudung hitam
40
Bab 40 Mengalah demi anak
41
Bab 41 Bagai langit dan bumi
42
Bab 42 Trenyuh
43
Bab 43 Terkesima
44
Bab 44 Tak pernah dendam
45
Bab 45 Terpaksa
46
Bab 46 Makan di warung kaki lima
47
Bab 47 Murah meriah
48
Bab 48 Dikira pacaran
49
Bab 49 Hilang di pasar loak
50
Bab 50 Akhirnya ketemu juga
51
Bab 51 Saling menyalahkan
52
Bab 52 Gelisah
53
Bab 53 Bangun, Bu
54
Bab 54 Ada yang meninggal
55
Bab 55 Histeris
56
Bab 56 Jangan ada air mata
57
Bab 57 Ketua RT mata duitan
58
Bab 58 Kamu tak sendiri

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!