eps 11 Rani Lelah dan Terbebani

Malam itu Rani terbaring lemah di atas ranjang dengan selimut menutupi hingga ke dadanya. Wajahnya pucat pasi dengan lingkaran hitam menghitam di sekitar matanya yang tampak sayu. Bulir-bulir keringat masih membasahi pelipisnya meski udara malam terasa dingin menusuk.

Di sisi ranjang, Budi duduk termangu memandangi istrinya dengan sorot cemas bercampur penyesalan. Kejadian beberapa jam lalu ketika Rani Tiba-tiba Ambruk setelah meluapkan emosinya, masih terngiang jelas dalam benaknya.

Dengan sigap, Budi segera membopong Rani yang hampir kehilangan kesadaran ke kamar. Wajah Rani begitu pucat seperti orang yang kehabisan tenaga. Budi sangat ketakutan menyaksikan kondisi istrinya seperti itu.

"Tenanglah, Ran. Aku akan memanggil dokter," gumam Budi sambil membelai kening Rani yang terasa panas.

Namun dengan sisa tenaganya, Rani mencengkeram tangan Budi dan menggeleng lemah. "Tidak perlu...dokter, Bud. Aku...hanya kelelahan..."

Ucapan itu kontan membuat raut wajah Budi mengeras. Rasa bersalah langsung menghantam jiwanya bagaikan pukulan godam yang begitu menyakitkan. Selama ini dia tidak pernah menyadari beban yang dipikul Rani seorang diri untuk menghidupi keluarga mereka.

Sambil terus menggenggam jemari Rani yang terasa dingin, Budi menatap wajah pucat istrinya dengan penyesalan yang mendalam. Bagaimana mungkin dia membiarkan Rani seperti ini hanya demi keegoisannya sendiri? Kemalasannya bermalas-malasan dan menonton TV seharian benar-benar sudah keterlaluan.

"Ran...maafkan aku...," lirih Budi dengan suara tercekat di tenggorokannya.

Berulang kali kata maaf itu terucap dari bibirnya. Mengalir bersama tetesan air mata penyesalan yang jatuh membasahi pipinya. Budi merasa seperti suami paling buruk dan tidak bertanggung jawab sedunia. Bagaimana mungkin dia begitu kejam membiarkan istrinya kehabisan tenaga seperti ini hanya untuk mencari nafkah? Semua karena keegoisannya sendiri yang terlalu memanjakan kemalasan.

Rani hanya menatap Budi dalam diam dengan sorot satunya. Dadanya naik turun dengan terengah mencoba mengais oksigen sebanyak mungkin. Bibirnya yang pucat pasi pun akhirnya terbuka dan bersuara parau, "Tidak...apa-apa...Bud..."

Semakin banyak bulir-bulir air mata yang menetes di pipi Budi mendengar ucapan itu. Bagaimana mungkin Rani masih bisa berkata demikian setelah semua penderitaan yang ditanggungnya selama ini? Sungguh Budi merasa seperti manusia hina yang begitu dibutakan oleh kemalasannya sendiri.

"Mulai sekarang...biarkan aku yang bekerja...dan mencari nafkah...," Budi berucap di tengah isak tangisnya. "Kau istirahatlah yang cukup, Ran..."

Malam itu sepanjang malam, Budi tidak bisa memejamkan mata barang sedetik pun. Penyesalan dan tekad barunya untuk menebus dosa telah mengusik relung hatinya yang terdalam. Rani mungkin telah jatuh kelelahan akibat memikul beban yang terlalu berat selama ini. Kini giliran Budi untuk bangkit dan menggantikan posisinya sebagai tulang punggung keluarga.

Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui celah-celah gorden di kamar Rani dan Budi. Rani mengerjakan matanya perlahan, berusaha membiasakan diri dengan cahaya yang menyilaukan pandangannya. Tubuhnya terasa sedikit lebih baik meski rasa lelah masih terasa menyelubunginya.

Lamunan Rani terbayar ketika dirasakannya sebuah tangan yang menggenggam jemarinya dengan erat. Rupanya Budi masih setia duduk di sisi ranjang sambil mengawasi istrinya dengan sorot khawatir yang kentara.

"Bud...?" Rani bergumam parau seraya mencoba duduk dari posisi berbaringnya.

Segera Budi membantunya bersandar di kepala ranjang. "Pagi, Ran. Apa kondisimu sudah lebih baik?" tanyanya dengan nada khawatir bercampur lega.

Rani mengangguk lemah sambil tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, Bud. Terima kasih sudah menjagaku semalaman."

Mendengar ucapan itu, Budi langsung membuang pandangannya. Rasa bersalah kembali menyesaki rongga dadanya. Bagaimana mungkin Rani masih bisa berterima kasih setelah semua penderitaan yang ditanggungnya akibat sikap Budi?

"Jangan berterima kasih padaku, Ran... Aku yang seharusnya meminta maaf padamu," ujar Budi dengan nada penuh sesal.

Perlahan digenggamnya tangan Rani dengan kedua tangannya. Mata Budi berkaca-kaca menatap wajah istrinya yang masih terlihat pucat itu.

"Maafkan aku...maafkan aku yang selama ini selalu memperpanjang penderitaanmu...," lirih Budi dengan bibir sedikit bergetar.

Rani menggeleng pelan sambil balas menggenggam erat tangan Budi. "Tidak perlu meminta maaf, Bud. Yang terpenting sekarang kau sudah sadar."

"Aku benar-benar malu pada diriku sendiri, Ran... Selama ini aku bahkan tidak pernah menyadari jerih payah mu bekerja seorang diri demi menghidupi keluarga kita..."

Budi kemudian menceritakan kembali bagaimana rasa takut menyelimutinya ketika melihat Rani hampir tak sadarkan diri karena kelelahan berlebihan. Betapa pecahnya pertahanan harga dirinya ketika menyadari dialah sumber penderitaan yang ditanggung Rani selama ini.

Butiran-butiran air mata kembali membasahi pelupuk mata Budi. Kali ini mereka benar-benar mengalir deras karena segalanya memang pantas untuk ditangisi. Rani menatap suaminya dengan haru, tangannya terulur untuk menyeka butiran kepedihan itu dari paras Budi.

"Sudahlah, Bud... Yang penting sekarang kita mulai dari awal lagi. Kali ini kau harus berjanji untuk sepenuhnya berubah dan bertanggung jawab untuk keluarga kita," Rani berucap bijak meski suaranya masih terdengar lemah.

Budi mengangguk mantap dengan sorot tekad yang terpancar di kedua matanya. "Aku berjanji, Ran. Mulai sekarang aku yang akan bekerja dan mencari nafkah. Engkau istirahat saja di rumah, jangan memaksakan diri lagi."

Melihat kesungguhan di mata suaminya, Rani tak dapat menahan sebutir air mata bahagia yang menetes di sudut matanya. Mungkinkah ini adalah lembaran baru mereka menuju kehidupan rumah tangga yang lebih cerah dan harmonis?

Rani benar-benar berharap demikian. Semoga ini adalah momen kebangkitan Budi dari kebiasaan lama yang menyesatkannya selama ini. Akan tetapi, hanya waktu yang akan menentukan seberapa besar tekad pria itu untuk benar-benar membuktikan janjinya. Sebab Rani sudah terlalu sering dikhianati oleh janji-janji manis yang tak pernah ditepati.

Suasana rumah tangga Rani dan Budi yang terasa jauh lebih berbeda. Budi benar-benar menepati janjinya untuk total berubah sikap. Pagi-pagi sekali sebelum Rani bangun, dia sudah bersiap dengan rapi hendak mencari pekerjaan.

"Aku berangkat dulu ya, Ran. Doakan semoga hari ini aku dapat panggilan kerja," ujar Budi pada suatu pagi sembari mengecup kening istrinya yang masih terbaring.

Rani tersenyum haru melihat perubahan sikapnya Budi ini. Ada seberkas harapan yang tumbuh dalam relung hatinya, bahwa kali ini suaminya itu benar-benar telah insaf.

"Iya, hati-hati di jalan, Bud. Semoga sukses," balas Rani dengan nada menyemangati.

Selepas keping pintu tertutup, Rani menghela napas panjang. Ia bersyukur akhirnya Budi mau mengubah sikapnya. Namun di sisi lain, Rani juga masih was-was. Bagaimana jika suaminya itu tiba-tiba berkeliaran lagi dan melupakan niatnya untuk mencari pekerjaan? Betapa sakitnya Rani jika itu semua terjadi dan pengkhianatan lain harus dialaminya lagi.

"Tidak, Bud tidak akan mengulanginya lagi," gumam Rani menyemangati dirinya sendiri. "Aku harus percaya padanya kali ini."

Budi pulang dengan wajah sumringah dan membawa sebuah kabar gembira. Ternyata usahanya mencari pekerjaan tidak sia-sia. Sebuah perusahaan swasta telah bersedia menerimanya sebagai karyawan baru mereka.

"Aku berhasil dapat pekerjaan, Ran! Mulai besok aku sudah bisa bekerja!" seru Budi dengan semangatnya yang membara.

Mendengar kabar itu, senyum lebar langsung terkembang di wajah Rani yang masih terlihat pucat. Ia bangkit dari tempat tidur dan memeluk Budi dengan erat.

"Aku turut bahagia, Bud! Terima kasih sudah berusaha keras sampai mendapatkan pekerjaan," ujar Rani tulus dari lubuk hatinya yang terdalam.

"Semuanya kulakukan untukmu, Ran. Aku tidak akan mengecewakanmu lagi seperti dulu!" Budi membalas pelukan Rani dengan sorot mata penuh tekad.

Keduanya lalu saling berpandangan dalam diam, menikmati perasaan lega yang menyusup di relung hati masing-masing. Rani benar-benar berharap semua perjuangan Budi dalam mengubah diri kali ini tidak sia-sia. Ia yakin dengan Budi yang mulai bertanggung jawab, maka beban mereka akan terasa lebih ringan untuk dihadapi berdampingan.

Awal yang membahagiakan ini tentunya akan berlanjut pula dengan berbagai tantangan baru. Namun setidaknya, Rani tidak lagi sendiri dalam menanggung beban itu semua. Kali ini Budi telah bersedia untuk bersamanya melalui suka dan duka kehidupan rumah tangga yang sesungguhnya.

Semoga keputusan Budi berubah total kali ini bukanlah fatamorgana yang hanya mempermainkan harapan Rani saja. Karena Rani sudah terlalu banyak dikhianati oleh janji-janji manis suaminya yang tak pernah ditepati. Kali ini, Rani benar-benar berharap semuanya akan berbeda dan membahagiakan seperti yang selalu dicita-citakan.

Akankah tekad itu sungguhan terlaksana? Ataukah Budi akan tetap tenggelam dalam kebiasaan buruknya yang lama? Semua akan terjawab kemudian pada perjalanan hidup mereka selanjutnya. Yang pasti, Rani telah mencapai titik batasnya dalam menghadapi kemalasan Budi hingga membuatnya benar-benar terpuruk seperti ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!