eps 6 Kemalasan Tanpa Henti

Sementara Budi terus berjuang memperbaiki diri dan mencari peluang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, Rani yang telah memutuskan untuk hidup terpisah darinya pun tidak memiliki hari-hari yang mudah. Teringat masa lalunya bersama sang suami, kadang kala membuatnya dirundung kesedihan.

Terutama saat-saat dimana kebiasaan buruk Budi untuk bermalas-malasan kembali terbayang di benaknya. Betapa dulu pria itu seperti tidak memiliki motivasi hidup sama sekali selain hanya untuk menghabiskan waktu dengan bersantai tanpa melakukan apapun yang bermanfaat.

"Aku ingat sekali bagaimana dulu Budi bisa menghabiskan berjam-jam waktunya hanya untuk menonton televisi atau tidur-tiduran saja," gumam Rani seorang diri di apartemen kecilnya.

Bayangan akan Budi yang tiduran seharian atau berjam-jam menonton televisi tanpa melakukan pekerjaan rumah sama sekali membuatnya menggelengkan kepala. Kemalasan suaminya itu seperti tidak ada hentinya di masa lalu. Bagaimana mungkin Rani tidak merasa jengah dan memilih untuk meninggalkannya?

Rani teringat betapa frustasinya dia dulu harus mengurus segalanya seorang diri. Dari mencari nafkah dengan bekerja keras, membayar semua tagihan bulanan, hingga mengurus keperluan rumah tangga yang lain. Sementara Budi seperti tidak pernah peduli dan hanya bisa bersandar malas tanpa memiliki motivasi untuk hidup lebih baik.

"Aku lelah dibuatnya, Rahmi. Bagaimana tidak lelah kalau setiap hari aku bekerja keras sedangkan dia hanya bermalas-malasan saja?" keluh Rani suatu saat saat bercerita pada sahabatnya.

Rahmi yang sudah lama mengenal Rani hanya bisa mengangguk prihatin, "Kau benar, Ran. Budi sudah keterlaluan. Tidak seharusnya kau menanggung beban seluruh kebutuhan hidup kalian berdua sendirian."

"Berkali-kali aku mengingatkannya untuk berubah dan bertanggung jawab sebagai kepala keluarga. Tapi sepertinya kemalasannya sudah terlanjur membuatnya nyaman dan tidak mau berubah," tutur Rani dengan raut wajah kecewa yang kentara.

Teringat bagaimana kebiasaan buruk Budi bermalas-malasan seharian penuh sambil mengacuhkan seluruh kebutuhan rumah tangga, membuat amarah Rani kembali tersulut. Betapa ia sudah sampai pada batasnya menghadapi semua itu di masa lalu. Hingga pada akhirnya harus mengambil keputusan untuk berpisah dan hidup mandiri.

"Dasar pemalas! Bagaimana mungkin aku bisa terus hidup dengan orang seperti itu?!" gerutu Rani kesal entah untuk yang ke berapa kalinya.

Meski kini telah berpisah dan menjalani kehidupan barunya sendiri, bayangan kebiasaan buruk suaminya dulu itu tetap membayangi Rani. Seperti luka menganga yang sulit untuk dilupakan dan disembuhkan begitu saja. Kemalasan Budi yang seperti tidak ada hentinya selama ini telah meninggalkan kepedihan mendalam dalam hidup Rani. Sesuatu yang mungkin akan sulit untuk dimaafkannya.

Di sela kesibukannya bekerja, Rani kerap kembali teringat memori-memori menyakitkan itu. Melihat bayangan Budi yang tidak memiliki motivasi hidup selain hanya untuk bermalas-malasan. Tanpa mempedulikan kebutuhannya sebagai seorang istri dan keperluan rumah tangga mereka.

"Andai saja kau mau sedikit berubah, Bud. Tidak bisakah kemalasanmu itu terganti dengan semangat untuk mencari pekerjaan dan menghidupiku?" gumam Rani sembari memandang jauh ke luar jendela apartemennya.

Hatinya masih belum bisa sepenuhnya merelakan kepergian Budi dari sisinya. Di satu sisi, Rani ingin sekali pria itu berubah dan bertanggung jawab seperti yang diharapkannya. Namun di sisi lain, kenangan pahit akan kebiasaan malas yang dulu menggerogoti pria itu masih terlalu masih segar terpatri dalam ingatannya.

Rani menghela nafas panjang. Menghadapi kenyataan bahwa kemalasan Budi di masa lalu seperti tidak ada hentinya, membuatnya merasa patah harapan dan lelah secara batin. Apakah masih ada secercah harapan untuk mengubah keadaan itu suatu hari nanti? Rani sendiri masih dirundung keraguan untuk mempercayainya.

Hari itu Rani pulang ke apartemennya dengan langkah gontai setelah menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Tubuhnya terasa remuk redam setelah menghadapi rutinitas yang padat. Namun yang lebih melelahkan justru pikirannya yang seolah tak pernah lepas dari bayang-bayang Budi.

Sesampainya di apartemen, Rani menjatuhkan diri di atas sofa sembari melepas sepatu dan jasnya. Matanya tanpa sengaja menangkap sebuah pigura foto pernikahannya dengan Budi yang terpajang di atas nakas. Kembali memori kelam masa lalunya berputar di kepala.

"Ugh...kenapa aku harus teringat terus padanya?" gerutu Rani memijat keningnya yang berdenyut.

Namun seberapa kerasnya ia berusaha mengusir bayangan Budi, semua tetap terasa sia-sia. Seperti rekaman rusak yang terus berputar tanpa henti di kepalanya, memvisualisasikan kebiasaan buruk suaminya itu bermalas-malasan sepanjang hari.

Rani membayangkan Budi yang masih pasti bergelung di bawah selimut sampai siang menjelang saat ini. Atau mungkin tengah berjam-jam menonton televisi tanpa melakukan apapun yang bermanfaat untuk kehidupan mereka.

"Dasar pemalas tidak berguna! Bagaimana aku bisa hidup tenang jika harus membayangkan tingkah konyolnya itu setiap hari?" gerutu Rani kesal entah pada siapa.

Pikirannya kembali melayang pada memori-memori pahit di masa lalunya dulu tinggal bersama Budi. Bagaimana ia selalu kerepotan mengurus keperluan rumah tangga seorang diri, mulai dari menyiapkan makanan sampai mencuci pakaian. Sementara Budi hanya berdiam diri seharian tanpa memiliki motivasi untuk bergerak sedikit pun dari posisi tidur-tidurannya.

"Aku sudah muak, Bud! Benar-benar muak menghadapi semua kemalasanmu yang tidak ada hentinya itu!" jerit Rani memuntahkan kekesalan yang terpendam. Beruntung saat itu hanya ada dirinya sendiri di apartemen itu.

Dilemparkannya bantal sofa ke sembarang arah untuk menggugurkan rasa frustasinya. Baginya, mengingat bagaimana sikap Budi yang seperti tidak memiliki motivasi hidup sama sekali selain untuk bermalas-malasan benar-benar membuatnya muak. Betapa pria itu sama sekali tidak menghargai jerih payahnya bekerja keras demi kehidupan mereka.

Air mata Rani menetes di antara rasa sesak yang memuncak dalam dadanya. Ia menangis tidak hanya karena kemarahan, tetapi juga karena rasa kecewa yang amat sangat pada sikap Budi di masa lalu. Memikirkan betapa kemalasan pria itu membuatnya terpaksa harus mengambil keputusan untuk berpisah dan hidup susah sendirian seperti sekarang.

"Aku mencintaimu, Bud... Tapi kenapa kau seperti tidak mencintaiku sama sekali? Kenapa kau membiarkan kemalasanmu itu tanpa henti menggerogoti hidup keluarga kita?" isaknya pilu di kesunyian apartemennya.

Rani menumpahkan seluruh rasa sedihnya malam itu. Meratapi masa lalu yang menyakitkan bersama Budi hingga membuatnya sampai di titik pengambilan keputusan untuk berpisah. Betapa berat menjalani hari-harinya saat ini dengan terus dibayang-bayangi kebiasaan buruk suaminya yang bermalas-malasan tanpa ada motivasi hidup sedikit pun.

Apakah masih ada harapan untuk masa depan keluarganya? Ataukah memang sudah waktunya untuk melepas bayangan Budi dan kemalasannya yang tidak ada henti itu kemudian memilih untuk melangkah maju menapaki kehidupan barunya seorang diri? Rani sendiri masih dirundung kebimbangan yang mendalam merenungi pertanyaan-pertanyaan itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!