Oh..jadi perempuan waktu itu namanya Nadira? Cuma teman katanya? Kalau teman, mengapa adalah cap cip cup. Cih! Murahan sekali dia.
Kalau ibu sakit karena ulahnya, mengapa jadi aku yang salah?
Dasar lelaki! Mau menang sendiri.
Aku segera membereskan rumah. Malu saja kalau sampai ibu datang tapi keadaan rumah seperti kapal pecah.
***
Jam dua belas siang ibu datang menggunakan mobil rental. Aku menyambut kedatangan ibu dengan hangat. Bak anak dan ibu kami menyimpan kerinduan.
Aku membantu membawa barang bawaan ibu
"Bawa apa saja sih Bu? Kenapa selalu repot-repot kalau datang ke sini."
"Repot dari mana?" Ucap ibu berkilah. Selalu saja tidak mau disalahkan.
"Rafka sudah pulang bekerja?"
"Belum Bu, mungkin pulangnya sore."
Ibu mengeluarkan ponsel dari tasnya.
"Belanjaan di depan biar diangkat Rafka saja." Sahut ibu saat aku bersiap untuk ke teras rumah.
[ Kamu pulang sekarang, bunda sudah di rumah.]
Seperti biasa keributan kecil ibu dan anak akan segera di mulai.
Aku dan ibu sengaja duduk di teras menunggu mas Rafka pulang sekalian makan siang. Tidak lupa aku membuatkan minum dan menghidangkan cemilan untuk ibu.
Aku yang paham dengan tabiat ibu tidak akan mengangkat barang bawaannya. Kata ibu, supaya anak lelakinya paham bahwa wanita lembut seperti kami tidak pantas membawa barang-barang berat.
"Bagaimana Rafka?"
Aku mengernyit kening, heran.
Apanya yang bagaimana? Dan kemana arah pertanyaan ibu. Aku sama sekali tidak paham.
"Maksud ibu, em.. apa hubungan kamu dan Rafka baik-baik saja?"
"Alhamdulillah baik Bu. Mas Rafka lelaki yang baik." Sahutku berbohong.
"Alhamdulillah kalau begitu. Sesuai dengan yang ibu harapkan."
Ada pancaran kebahagian diwajah ibu yang terlihat sudah berkeriput namun tetap terlihat cantik seperti hatinya.
Sekitar tiga puluh menit menunggu, akhirnya anak semata wayang ibu datang juga.
Mas Rafka menyalami ibu. Memeluknya penuh kasih sayang.
"Yuk masuk bu." Mas Rafka menggandeng tangan ibu.
Tapi ibu malah memukul bahu anak lelakinya itu.
" Kamu Ndak lihat itu?" Ibu menunjuk ke arah barang-barang milik ibu yang masih tergolek manja.
"Loh kok gak kamu angkat Nau?"
"Kamu pikir Naura kuat? Itu bagian kamu. Ayuk nduk kita masuk. Biarkan saja mengerjakan tugas dulu."
Aku dan ibu meninggalkan mas Rafka yang masih berdiri mematung.
Kami menunggu mas Rafka di meja makan. Sesekali gelak tawa terdengar dari mulut kami berdua. Ibu memang selalu banyak cerita sehingga kami tidak merasakan kekakuan seperti kebanyakan orang. Dan kami juga tidak ingin seperti kebanyakan orang yang tidak saling akur antara menantu dan mertua.
Mas Rafka sudah selesai mengangkat barang. Dan sekarang sudah bergabung bersama kami.
Kami pun mulai menyantap makan siang bersama. Ibu dan mas Rafka tampak lahap. Masakan kali ini sederhana saja, permintaan ibu sebelum datang kemari.
Sayur asem ditambah sambel terasi dan ikan asin favorit ibu. Tapi kayaknya mas Rafka dan ibu punya selera yang sama.
"Kamu kok tahu sih makanan kesukaan ibu?" Tanya mas Rafka sambil mengelap mulutnya dengan tisu.
"Kalau Naura gak tahu kesukaan ibu, mana mungkin ibu memilihnya menjadi isteri kamu. Sampai sini paham kan?" Sahut ibu.
Mas Rafka langsung merengut. Mungkin dia kalah telak tidak bisa melawan wanita paruh baya yang ada di depannya.
"Selama ibu kenal sama Naura, aku seperti anak tiri saja." Gumam mas Rafka pelan, tapi masih bisa terdengar oleh telinga kami.
"Sama istri sendiri saja cemburu? Bagaiman kalau ibu nanti sudah punya cucu? Kamu pasti kalang kabut." Ibu terkekeh melihat putra kesayangannya merajuk.
Aku sendiri tidak pernah menyangka jika mas Rafka bisa cemburu padaku. Padahal kalau menurutku, ibu selalu bersikap adil. Tidak ada pilih kasih.
Mas Rafka tidak lama di rumah, selesai makan
***
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Semenjak hamil, Naura jadi sedikit lebih aneh. Gampang merajuk, manja dan selera makannya juga berkurang.
Sejak pukul delapan tadi Naura sudah izin pada ibu untuk tidur duluan. Sebelumnya, Naura selalu menemani ibu ngobrol sampai malam-malam.
Ntahlah mungkin bawaan bayi yang ada dalam kandungannya.
Aku menemani ibu menonton televisi. Saking rindunya, aku tiduran di kaki ibu.
Bagaimana pun besarnya aku, ibu tetap menganggap aku adalah putra kecilnya. Maaf ya..agak lebai.
"Bun, emang wanita hamil itu suka marah-marah ya?"
"Siapa yang hamil? Naura maksud kamu?" Wajah ibu tampak terkejut, namun ada raut bahagia yang terpancar di sana.
"Alhamdulillah..."
Belum menjawab iya, tahu-tahu ibu sudah bersyukur saja. Semakin tambah umur, semakin tambah tua, ibu seperti punya kekuatan ghaib.
"Sekarang ibu lega. Akhirnya..ibu akan punya cucu. Nanti ibu mau dipanggil apa ya? Nenek atau Mbah Putri ya?"
Ya Tuhan...sadarkan ibu ku... Dia bahagia diatas penderitaan anaknya... Jerit batinku pilu.
"Kamu kenapa diam saja? Kamu gak bahagia Naura hamil? Kalau saja ayahmu masih hidup, pasti ayahmu jauh lebih bahagia dibanding ibu mu ini." Mata ibu tiba-tiba sudah berkaca-kaca.
Aku memeluk ibu, setelah ayah tiada, aku berjanji akan melakukan apa saja demi kebahagiaan ibu meski harus mengorbankan kebahagiaanku sendiri.
"Kamu mau tahu satu hal?" Tanya ibu.
Aku merubah posisi duduk ku. Lebih dekat dengan ibu. Sepertinya ada hal serius yang belum pernah ibu ceritakan.
Sebelum bercerita, ibu sempat menarik napas lalu menghembuskan perlahan-lahan.
"Ayah dan ibu mu ini, adalah hasil perjodohan dari nenekmu. Ibu mu ini juga dulunya sama seperti Naura, gadis yang tidak tahu asal usulnya. Ibu mu ini..."
Ibu menghentikan ceritanya. Pasti ada sesak di dadanya karena mengulang kenangan pahit pada masa itu.
Aku memberikan tisu pada ibu. Kubiarkan ia menangis sampai puas lalu melanjutkan ceritanya,
"Rafka.. ibumu ini juga dulu kampungan, bahkan tidak berpendidikan. Sama seperti Naura. Ibu dan Naura bisa sedekat ini.. itu karena kami memiliki background hidup yang sama. Bukan keinginan kami untuk hidup serba kekurangan. Bahkan dengan terpaksa kami mengubur impian kami, cita-cita kami. Kamu tahu Rafka, ayahmu..adalah orang yang paling berjasa dalam hidup ibu. Dia adalah orang yang bisa menerima segala kekurangan ibu. Dia tidak pernah menghina ibu, bahkan dia memberikan semangat untuk ibu. Kamu lihat ibu, Raf! Lihat penampilan ibu?"
Aku memperhatikan ibu. Ya, penampilan ibu memang berkelas sejak dulu. Bahkan aku sempat tidak percaya jika ibuku hanya lulusan SD. Tapi..semua hal ibu bisa melakukannya. Masakan juara, bikin kue jago, menyulam bisa, menjahit juga bisa, berkebun apa lagi.
"Kamu mau tahu, siapa yang membuat ibu menjadi wanita hebat?" Tanya ibu lagi.
"Siapa?" Tanyaku penasaran.
"Ayahmu. Ayahmu yang membuat ibu menjadi orang yang luar biasa ini." Sahut ibu penuh kebanggaan. "Jadi..kalau sekarang kamu melihat Naura banyak kekurangan? Jangan hina dia, jangan ejek dia. Tapi ajari dia. Beri tahu dia dengan lemah lembut." Sahut ibu menutup ceritanya malam ini.
Karena hari sudah malam, ibu pun memilih beristirahat di kamar sebelah. Tinggal aku yang masih tertampar oleh kata-kata ibu.
Apa bisa aku melakukan Naura, seperti ayah melakukannya pada ibu dulu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments