"Buat kamu!"
Wanita bernama Naura itu menyerahkan sebuah bungkusan kecil padaku.
Aku tidak langsung menerima pemberiannya. Terlebih dulu aku menaruh tas kerja di tempatnya.
Tidak putus asa, dia mengikuti ku sampai ke kamar.
Aku memilih duduk di tepi ranjang.
Membuka kemeja dan melemparkannya ke keranjang tempat pakaian kotor di sudut kamar.
Dia berdiri di depan pintu. Diam membisu dengan masih memegang kotak kecil. Karena tidak mendapat respon dariku, ia memilih keluar dari kamar.
"Mau kemana?"
Wanita yang baru tiga bulan menyandang gelar menjadi istriku itu menghentikan langkah kakinya.
Aku berdiri, kemudian berjalan ke arahnya, " Mana" tanganku terulur meminta kotak tadi.
Penasaran juga isinya apa.
"Apanya?" Tanyanya bingung.
Aku menghela napas, "kotak tadi?" Ujarku menahan kesal.
Dia menepuk jidat, " maaf." Lalu memberikan kotak mini tersebut pada ku.
Aku menggoyang-goyang kotak tersebut, tidak bisa menebak detik berikutnya aku sudah mengoyak bungkus kotak tersebut dan melemparkan asal.
Seperti tidak sabar, kini ditangan ku sudah ada sebuah benda pipih. Aku memegang dengan sangat hati-hati.
"Benda apa ini?"
"Testpack."
Aku memperhatikan dengan seksama, namun sepertinya aku memang kurang paham kegunaan benda ini.
"Aku hamil." Jawabnya spontan.
Hah? Hamil? Yang benar saja? Baru tiga kali aku menyentuhnya. Dan semua itu dalam keadaan kepepet karena nafsuku sudah berada di ubun-ubun dan sudah tidak tertahankan lagi.
"Yakin kamu hamil?" Tanyaku datar saja, bahkan terkesan dingin.
Naura mengangguk kikuk.
"Jangan sampai ibu tahu."
"Kenapa mas?"
"Ya aku tidak ingin saja ibu tahu." Ucapku penuh penekanan.
Dari wajahnya, aku tahu Naura kecewa. Tanpa bicara ia keluar dari kamar.
Aku menghela napas berat. Seharusnya aku memakai pengaman saja saat menyentuh Naura.
Sial! Bagaimana jika Nadira tahu aku sudah menyentuh Naura? Bisa selesai hubungan yang sudah terajut selama empat tahun ini.
Kenapa jadi rumit begini sih?
***
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan, aku sudah mandi dan sudah bersiap untuk menghadiri acara ulang tahun kekasihku, Nadira.
Kulihat Naura sedang berdiri di depan kompor. Tangannya tampak lihai memegang sendok.
"Nau.."
Dia tidak menyahut, mungkin masih kecewa, sedih atau apalah namanya. Aku tidak perduli.
Aku duduk di meja makan. Naura tampak sok sibuk. Wajahnya tampak sembab. Apa dia habis menangis? Apa aku menyakitinya?
"Nau.."
Aku memanggilnya sekali lagi.
Tampak Naura mengusap wajahnya menggunakan lengan bajunya.
"Iya mas?"
Dia menyahut, tapi tidak berbalik.
"Sudah siap masaknya?"
"Sebentar lagi mas."
Sahutnya lagi. Ia tampak membesarkan api kompor. Mungkin biar makin cepat masaknya.
Aku mencomot udang crispy di atas meja.
"Hmm..Gurih sekali udang ini. Ternyata Naura emang pandai memasak."
Aku membatin sendiri.
Memang, semenjak ada Naura di rumah ini, dapur di rumahku lebih bermanfaat, biasanya dapur adalah area yang jarang ku kunjungi waktu hidup sendiri.
Dan poin plusnya hidupku jauh lebih teratur. Pakaian rapi, rumah bersih, dan makanan tersaji dengan baik. Hidupku jauh lebih teratur hidup bersama wanita pilihan bunda.
Tapi..sekali tidak cinta ya tidak cinta titik. Bukankah cinta tidak dipaksakan? Menurut kalian gimana?
Naura datang membawa semangkok tumis kangkung. Harum masakannya membuat perutku berisik.
Naura meletakkan piring dihadapan ku, lalu mengisinya dengan dua centong nasi, tumis kangkung dan empat udang crispy.
Aku siap untuk makan malam ini.
Satu suapan..dua suapan..sampai tiga suapan, Naura masih duduk tanpa pergerakan.
Aku menghentikan aktivitas makanku, " kenapa gak makan?" Tanyaku sok perduli.
Dia cuma menggeleng, hingga aku merasa kurang puas mendapat jawabannya.
"Makanlah! Jangan sampai berat badan kamu turun dan ibu mengira kamu tidak diberi makan di rumah ini."
"Aku tidak berselera, mas. rasanya mual sekali.
Naura memijit keningnya.
"Masaklah yang membuat kamu berselera." Ucapku sambil melanjutkan makan.
Selesai makan, aku mencuci tangan dan bersiap hendak berangkat.
Namun, belum lagi aku melangkah, Naura tampak menutup mulutnya.
"Kamu kenapa "
Huek...huek...
Naura muntah. Beruntung ia tidak terlambat berdiri di wastafel.
Aku memijit pundak Naura, meski tidak cinta, tapi aku mencoba bersikap manusiawi.
"Gimana? Udah enakan?"
Naura hanya diam, ia berjalan memegang dinding, tampak sempoyongan.
Takut Naura jatuh, aku memegang tangannya, mengantarkan Naura ke kamar.
Ia berbaring di ranjang.
Aku menutup separuh tubuhnya dengan selimut.
"Mau ke dokter?" sebagai suami yang bertanggung jawab, aku berniat mengantarkan Naura ke dokter.
"Enggak usah, mas. Itu.. tolong ambilkan minyak kayu putih di atas meja."
Aku mengambil lalu memberikan padanya.
Dia mengolesi wajahnya dan hidung menggunakan minyak kayu putih.
Apa-apaan ini?
Seketika kamar ini berubah aroma.
Drtdddrttttt..ddrrrttt...
Ponsel milikku yang tergelatak di atas meja bergetar.
Aku memilih keluar kamar.
Ternyata Nadira yang menelpon.
"Halo sayang.."
"Iya, bentar lagi mas kesana ya."
Huft..aku menghela napas. Terdengar suara Nadira yang ngambek karena aku belum juga datang.
Bagaimana ini? Tetap di rumah atau tetap pergi?
Aku jadi bingung sendiri.
Kalau tidak hadir, bisa-bisa Nadira ngambek sepanjang masa.
Hiii...
Aku bergidik ngeri membayangkan Nadira ngambek.
Maka kuputuskan untuk tetap pergi malam ini.
"Nau, aku pergi dulu ya. Ada acara kantor." Dustaku.
"Iya mas." Sahutnya lemah.
"Kamu gak papa, kan?" Aku memastikan lagi.
"Hm."
Hanya sebuah gumaman.
Aku bergegas pergi. Semoga aku tidak terlambat.
***
"Iya..aku sudah di depan." Aku mematikan sambungan teleponnya
Pantas saja Nadira menelpon, ternyata sekarang sudah pukul sembilan malam.
Dengan tergesa-gesa aku masuk ke sebuah gedung tempat perayaan ulang tahun Nadira yang ke dua puluh dua tahun.
Para tamu sudah hadir dan sedang menikmati hidangan yang tersedia.
" Kemana aja sih loe? Lihat tuh, Nadira bete nungguin loe." Joe, sahabat dekatku mulai mengomel seperti mamak-mamak.
"Ada masalah serius." Sahutku beralasan.
"Masalah apa? Naura hamil?" Diko ikut menimpali sambil terkekeh.
Aku hanya bisa meninju pelan bahu sahabatku ini.
Atas permintaan mereka, akhirnya aku menemui Nadira.
"Happy birthday ya Nad." Aku memberikan setangkai bunga mawar dan sebuah kotak berisi perhiasan untuk Nadira.
Nadira mengucapkan terima kasih, lantas dia mengecup pipiku dan.. bibirku.
"Aku pikir kamu gak datang, Ka." Ia bergelayut manja.
Acara pesta ulang tahun Nadira berlangsung meriah. Sesekali ia bergelayut manja. Kekasih yang kupacari sejak empat tahun terakhir tampak bahagia.
Namun aku tidak fokus menikmati pesta kekasihku itu karena meninggalkan Naura di rumah dalam keadaan tidak sehat.
Bagaimana kalau sesuatu terjadi pada Naura? Atau lebih fatalnya Naura terjatuh saat berada di kamar mandi?
Pulang..tidak.. pulang.. tidak..pulang..tidak..
Menurut kalian aku harus pulang atau tetap di sini?
Jawab ya di kolom komentar..
Terima kasih sudah mampir...
Acara pesta ulang tahun Nadira berlangsung meriah. Sesekali ia bergelayut manja. Kekasih yang ku pacari sejak empat tahun terakhir tampak bahagia.
Namun aku tidak fokus menikmati pesta kekasihku itu karena meninggalkan Naura di rumah dalam keadaan tidak sehat.
Bagaimana kalau sesuatu terjadi pada Naura? Atau lebih fatalnya Naura terjatuh saat berada di kamar mandi?
Pulang..tidak.. pulang.. tidak..pulang..tidak..
"Loe kenapa? Gelisah amat." Tanya Joe. Ia memberiku segelas minuman.
"Sok tahu lu." Aku berkilah.
"Sekian puluh tahun kita berteman bro, gue sudah paham semua tentang lu." Joe menepuk dadaku.
Aku tersenyum mengejek, tahu apa Joe tentangku? Hidupnya saja belum lurus.
"Kapan lu Nikahi Nadira?"
Pertanyaan Joe yang mendadak membuat aku tersedak.
"Santai Lah bro." Joe menepuk-nepuk bahuku.
"Jangan terlalu lama mengambil keputusan. Nadira itu sempurna, kalau gue jadi lu, gue bakal ceraikan si Naura dan segera menikah dengan Nadira." Celoteh Joe.
Aku hanya bisa diam mendengar kata-kata yang keluar dari mulut sahabatku.
Apa yang dibilang olehnya memang banyak benarnya. Nadira adalah paket lengkap.
Cantik, tinggi, langsing, cerdas, tajir, pendidikan tinggi, keluarga bibit bebet bobotnya jelas. Calon ibu yang sempurna untuk anak-anak ku nanti.
Tapi.. Nadira bukan wanita pilihan ibu.
Aku pernah membawa Nadira pulang untuk di kenalkan pada ibu, setelah aku mengantar Nadira pulang, bunda berceramah panjang kali lebar. Serta Merta ibu mencak-mencak jika sampai mempunyai menantu seperti Nadira.
"Wanita apa yang mau kamu jadikan istri? Menutup auratnya saja dia tidak bisa. Bagaiman dia akan menjadi panutan cucu -cucu ibu nanti?" Ucap ibu murka.
Sejak saat itu aku tidak pernah mengenalkan Nadira pada ibu. Padahal Nadira selalu ingin bertemu dengan ibu. Tapi..demi kewarasan ibu aku selalu beralasan agar Nadira tidak nekat untuk bertandang ke rumah.
Pada intinya, Nadira tidak berhasil mengetuk pintu hati ibu.
Seperti kata ibu, wanita yang baik untuk dijadikan istri dan calon ibu untuk anak-anak ku adalah wanita yang paham agama dan bisa menutup auratnya. Dan pilihan ibu jatuh pada Naura, Naura Setiawati. Wanita sederhana yang tinggal di panti asuhan.
Ibu mengenal Naura saat beliau memberikan sumbangan ke panti asuhan tersebut.
Seperti kata ibu, " ibu sudah jatuh cinta pada Naura. Kalau kamu sayang sama ibu, menikahlah dengan wanita pilihan ibu. Insya Allah..wanita itu bisa membawamu menjadi orang yang jauh lebih baik lagi. Ibu tidak ingin meninggalkan anak semata wayang ibu dengan wanita yang tidak tepat." Sahut ibu sambil membereskan ruang tamu.
Kala itu aku hanya terdiam. Tidak berani membantah perkataan ibu. Setelah ayah pergi menghadap Allah, aku takut ibu juga akan pergi meninggalkan aku sendirian.
***
Pesta sudah berakhir tepat pukul satu dini hari. Aku bersiap pulang, namun kekasihku itu manjanya luar biasa malam ini. Dua bergelayut manja memegang tanganku.
"Sayang, kamu jangan pulang ya malam ini." Rengeknya.
"Kalau aku gak pulang, mau tidur di mana? Emang boleh tidur di kamar kamu?" Aku menggodanya.
Nadira tersenyum sembari berbisik, "aku Uda siapin kamar buat kita malam ini."
Benar-benar ya, Nadira. Pantang digoda.
Aku termenung sejenak.
"Gimana yang?"
"Gak bisa sayang. Kita belum halal." Tolakku tegas. Bisa berabe urusannya jika aku sampai makandaging mentah milik Nadira.
"Kamu gak sayang sama aku?"
"Sayang dong, kalau gak sayang mana mungkin aku pertahankan sampai sekarang."
Nadira menepuk dadaku pelan, " makanya cepet dihalalkan dong."
"Iya..sabar ya.. secepatnya aku bakal halalin kamu."
Janjiku pada Nadira.
Selalu begitu, Nadira akan tenang setelah aku banyak berjanji padanya.
Padahal aku sendiri bingung.
Aku berpamitan pada Nadira. Nadira memelukku erat.
"Ingat ya, kamu jangan sampai kebablasan tidur bareng sama wanita sundel itu..kalau sampai itu terjadi..kamu akan menemukan aku mati bunuh diri." Ancamnya saat akan melepas ku pulang.
Aku bergidik ngeri mendengar ancaman Nadira.
Joe dan teman-teman ku yang lain tertawa mendengar ucapan Nadira.
Di Satu sisi mereka menganggap Nadira adalah gadis bodoh, karena tetap mau menjalin hubungan dengan suami orang.
Padahal jika mau, Nadira masih bisa mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dan tampan.
"Bye sayang..." Aku melambaikan pada Nadira
***
Diperjalanan, aku merasa haus. Tidak sengaja netraku melihat supermarket yang buka dua puluh empat jam.
Aku turun untuk membeli minuman. Sesudah membeli minuman, kembali netraku menangkap sebuah susu ibu hamil.
Setelah berpikir cukup lama akhirnya aku mengambil satu kotak susu ibu hamil rasa cokelat dan beberapa roti cokelat.
"Semoga Naura suka. Kasihan, tadi dia belum makan."
Setelah membayar, aku langsung melajukan mobilnya menuju rumah.
Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Mata ini sudah terasa berat.
Setelah membersihkan tubuh dan berganti baju, aku membaringkan tubuh disebelah Naura.
Aku memperhatikan wajah naura. Wajahnya sangat teduh. Gadis itu meringkuk dibawah selimut.
Entah dorongan dari siapa, aku berani menarik tubuh gadis itu dengan lembut dan membawanya kedalam pelukanku.
Mengecup rambut hitam panjang milik Naura dengan hati-hati.
"Maaf..kalau sampai saat ini kamu masih terluka. Aku belum bisa mencintaimu meski di dalam rahimmu telah tumbuh darah dagingku." Gumamku sedih.
Aku memejamkan mata dengan damai memeluk Naura.
***
Kring....
Suara alarm berisik minta dimatikan.
Naura merasa tubuhnya berat sekali. Ia membuka matanya, hampir saja jantungnya berhenti berdetak kala mendapati mas Rafka dan dirinya sangat dekat. Sejak kapan ia dan Rafka bisa sedekat ini?
Dengan susah payah aku menyingkirkan tangan kekar milik mas Rafka dari perutku.
"Mau kemana? Masih pagi." Ucap mas Rafka. Matanya masih tertutup rapat.
Tiba-tiba saja ia menarik tubuhku, hingga aku kembali jatuh mengenai tubuhnya.
"Tidurlah. Hari ini weekend." Ia kembali melingkarkan tangannya di perutku.
Aku yang merasa serba salah akhirnya menurut saja.
Lelaki itu kembali tertidur lelap.
Hati-hati aku memandang wajah tampannya. Hidungnya, bibirnya.. mengapa bisa sempurna sekali tuhan memahat wajahnya?
Mimpi apa aku bisa memiliki suami seperti mas Rafka?
***
"Jam berapa?" Tanya mas Rafka.
"Jam tujuh, mas." Sahutku sambil membuka jendela kamar agar udara pagi bisa masuk dengan bebas.
"Mandilah, setelah itu kita ke dokter."
Ada kupu-kupu yang berterbangan di dalam dadaku. Kalau tidak tahu malu tentu aku akan bersorak kegirangan. Ini kali pertama mas Rafka memberi perhatian lebih untukku.
***
Susu? Sejak kapan di rumah ini ada susu?
"Itu susu ibu hamil. Sepertinya kamu butuh itu." Ucap mas Rafka. Sepertinya ia bisa membaca jalan pikiranku.
"Terima kasih mas."
Aku membuat segelas susu dan segelas teh manis. Teh manis adalah minuman kesukaan mas Rafka setiap pagi.
Aku membuka bungkus roti yang dibeli oleh mas rafka. Menaruhnya di meja dan kami menikmatinya berdua.
"Enak rotinya?"
Aku mengangguk. Mulutku penuh dengan roti.
"Kalau kamu suka, besok aku beli lagi. " Sahutnya lagi.
"Terima kasih mas."
" Iya."
***
Kami baru saja selesai memeriksa kandungan Naura. Kata dokter, kandungan masih muda, baru empat Minggu. Jadi wajar kalau Naura akan mengalami yang namanya mabuk. Eh tapi jangan salah ya, Naura mabuk bukan karena minuman keras, tapi karena hamil. Hihihi....
Aku senyum-senyum sendiri. Ada rasa bahagia karena sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah.
" Mas, kamu kenapa senyum-senyum?"
Kami baru saja selesai memeriksa kandungan Naura. Kata dokter, kandungan Naura masih muda, baru empat Minggu. Jadi wajar kalau Naura akan mengalami yang namanya mabuk. Eh tapi jangan salah ya, Naura mabuk bukan karena minuman keras, tapi karena hamil.
Aku senyum-senyum sendiri. Ada rasa bahagia karena sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah.
" Mas, kamu kenapa senyum-senyum?"
"Aku?"
"Iya."
"Em..enggak, bibirku memang begini." Sahutku sembarangan. Mana mungkin aku jujur. Bisa-bisa Naura nanti besar kepala.
"Kita mau kemana lagi?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Wanita sederhana yang duduk di sampingku hanya diam membisu.
"Ngomong saja, mumpung aku masih baik." Ucapku asal. Terkadang mulutku ini sering kehilangan kendali di depan Naura. Lain hal jika di depan Nadira.
"Kalau tidak keberatan, aku mau duduk sebentar di taman."
"Taman mana?"
"Aku sering melihat di sosial media. Setiap weekend selalu ramai." Naura menunjukkan foto taman itu padaku
Aku tahu taman yang dimaksud oleh Naura. Aku dan Nadira hampir setiap Minggu berkunjung ke sana. Sekedar lari pagi atau makan bubur ayam.
Tidak jauh dari tempat kami sekarang, aku segera menuju tempat yang dimaksud oleh Naura.
"Ternyata apa yang kulihat di media sosial memang nyata. Taman ini bagus sekali." Gumamnya kegirangan.
Aku turun duluan. Berdiri menatap sekeliling. Kali aja ada Nadira di sini. Bisa gawat. Gadis itu bisa kesurupan jika memergoki aku dan Naura sedang jalan berdua.
Naura turun dari mobil. Sekilas fisiknya sangat lemah. Wajahnya juga tampak pucat. Dia menghirup udara ini sambil merentangkan tangannya.
"Kalau kamu mau udara yang jauh lebih segar, seharusnya ngomong dari tadi malam. Jadi kita bisa pagi-pagi ke sini."
"Memangnya boleh?" Naura justru bertanya balik. " Bukannya kamu sibuk?"
Aku melengos membuang muka.
Naura duduk di kursi taman. Ia tampak termenung, memperhatikan orang yang lalu lalang. Sesekali aku memperhatikan Naura mengusap perutnya yang masih rata dan langsing.
Tukang bubur ayam langganan ku dan Nadira lewat. Meski sudah siang, tidak afdol bagiku jika tidak mencicipi bubur ayam terenak ini.
"Bang bubur ayam 1." Pesanku pada penjual bubur.
"Kamu mau?" Aku menawari Naura.
Naura menolak dengan alasan takut mual.
Aku menyantap bubur ayam di depan Naura dengan lahap.
Ku lirik Naura menelan ludah, apa dia selera?
Aku mengarahkan sendok berisi bubur pada Naura.
"A.." aku membuka mulut,
Naura masih tidak merespon. Ada keraguan untuk menerima suapan bubur dari tanganku.
Setelah memaksa akhirnya satu sendok bubur ayam masuk ke dalam mulutnya.
"Bagaimana? Enakkan?" Aku meminta pendapatnya.
"Boleh lagi?" Tanyanya malu-malu.
"Tentu." Aku kembali menyuapi Naura. Bahkan setelah melihat Naura makannya sangat lahap, aku jadi tidak selera untuk menikmati bubur ayam ini.
Saat asyik menyuapi bubur pada Naura, tiba-tiba saja, cup..cup..
Pipiku dicium oleh seseorang.
Nadira!
Belum sempurna kesadaran ku, ia duduk di sebelahku dan memeluk pinggangku erat.
" Kenapa gak bilang kalau kamu disini, yang?" Ucapnya manja. Suara manja Nadira membuat suasana antara aku dan Naura kaku.
Sementara Joe, Dika dan teman-teman yang lain tampak senyum-senyum mengejekku.
"Yang, kita jalan ke sana yuk!" Nadira menarik tanganku kencang.
Aku menatap wajah Naura. Wajah datar itu tanpa ekspresi.
Aku meninggalkan Naura di kursi taman sendirian.
***
Setelah jauh meninggalkan Naura, akhirnya Nadira berhenti menarik tanganku. Ia melepaskan tanganku dengan kasar.
"Kamu mulai jatuh cinta pada gadis panti itu?" Tuduhnya frontal.
Nadira memang sudah gila, bisa-bisanya ia menuduhku menyukai gadis itu. Se dangkal itu fikiran Nadira, cemburu sudah menutupi akal sehatn
Beruntungnya di tempat kami berdiri tidak ada orang.
"Sekarang aku minta ketegasan sama kamu. Kamu pilih aku atau gadis panti itu?"
Nadira memberikan pilihan yang sulit. Memilih Naura atau Nadira tentu bukan perkara yang mudah bagiku.
Kalau lah sejak dahulu mudah, tentu aku tidak akan membagi cintaku seperti ini. Nadira adalah wanita yang kucintai, tapi Naura adalah wanita pilihan ibu. Baktiku terhadap ibu adalah menikah dengan wanita pilihannya dan menyenangkan hatinya.
"Kenapa diam? Mau sampai kapan hubungan kita seperti ini? Mau sampai kakek nenek? Mau sampai aku keriput? Aku juga butuh pengakuan, Rafka. Pengakuan atas negara, agama, juga orang-orang yang berada disekitar ku. Apa kamu gak ingin hidup bersama, membangun rumah tangga dan segera punya buah hati dari aku?"
Kata-kata Nadira seperti bom yang menyadarkan ku.
Sampai kapan aku menggantung hubungan seperti ini?
"Kasih aku waktu, Nad." Pintaku memelas . "Nanti kita bahas lagi. Sekarang aku harus pergi."
Aku melangkah meninggalkan Nadira. Tidak ku hiraukan panggilan dan rengekan dari kekasihku itu.
Sekarang aku harus menemui Naura. Sekarang ia pasti kebingungan.
Aku sudah sampai di kursi taman. Namun aku tidak menemukan Naura. Kemana dia?
Aku mondar mandir, sibuk bertanya pada orang-orang sekitar.
Namun jawaban mereka hanya tidak tahu dan tidak lihat.
Aggrhh...
Aku bisa gila kalau begini.
Sebelum memutuskan pulang, terlebih dahulu aku menelpon nomor Naura. Tapi yang terdengar hanya suara operator yang memberitahu kalau nomor yang ku tuju sedang tidak aktif.
"Naura.. kenapa gak nunggu sih?" Keluhku kesal.
***
Dilain tempat, Naura sudah sampai di rumah.
"Terima kasih, mas."
Setelah mengucapkan terima kasih, Naura segera masuk ke dalam rumah.
Kejadian hari ini sungguh menguras emosi dan juga tenaganya.
Naura mengisi gelas besar dengan air putih, tanpa menunggu lama air putih di tangannya sudah tandas.
Naura masih mengingat kejadian tadi. Saat perempuan yang tidak dikenalnya tiba-tiba mencium mas Rafka.
Siapa dia sebenarnya? Pacarnya? Pasti mas Rafka punya hubungan khusus dengan perempuan itu. Kalau hanya sekedar pertemanan biasa, tidak mungkin ia seagresif itu.
Suara mobil memasuki halaman rumah. Tanpa melihat pun aku sudah tahu jika itu adalah mas Rafka.
Dan benar saja, tidak lama mas Rafka sudah muncul.
Wajahnya tampak menahan kesal.
Dia yang bersalah,mengapa pula dia yang marah?
Aneh.
"Kenapa pulang duluan?" Tanya mas Rafka dengan suara kesal.
"Jadi aku harus bagaimana, mas? Menunggu kamu siap berkencan?" Aku melipat tangan di dada.
Seumur hidup baru ini aku menantangnya. Apakah ini bawaan hamil?
Mas Rafka melengos, masuk ke kamar. Lalu kudengar gemericik air di dalam kamar mandi.
Mungkin saja ia menyegarkan kepalanya dengan cara mandi.
***
Rasa sakit hati karena kejadian tadi siang memaksaku untuk tidur terpisah dengan mas Rafka. Ia tampak heran melihat aku membawa bantal dan selimut ke kamar sebelah. Aku tidak perduli pada tatapannya. Yang dia harus tahu, AKU SAKIT HATI.
Sebelum pukul delapan aku sudah mengunci diri di dalam kamar.
Tidak ada makan malam yang ku siapkan. Meski pernikahan kami hasil dari perjodohan, setidaknya ia menghargai pernikahan ini. Bukankah pernikahan tidak bisa dijadikan mainan?
Aku merenung di dalam kamar. Mengenang pertemuan pertama kali dengan bunda, ibunya mas Rafka.
"Apa kamu mau menikah dengan anak lelakiku?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!