Bagian 4

Aku merenung di dalam kamar. Mengenang pertemuan pertama kali dengan bunda, ibunya mas Rafka.

"Apa kamu mau menikah dengan anak lelakiku?

Aku tidak langsung menjawab iya pada saat itu.

Hanya meminta waktu untuk mempertimbangkan permintaan ibunya.

Namun seiring berjalannya waktu, aku dan ibunya mas Rafka sering bertemu. Kami merasa nyaman. Banyak hal yang sering kami lewati berdua. Aku juga jadi sering diajak ibu ke rumahnya. Memasak bersama itu yang sering kami lakukan.

Seharusnya sejak awal aku menolak perjodohan ini. Jika ibu merasa nyaman denganku, bukan berarti mas Rafka akan melakukan hal yang sama.

Aku dan mas Rafka bagaikan langit dan bumi. Mas Rafka yang berpendidikan mana mungkin cocok bersanding denganku yang hanya wanita biasa. Wanita panti yang tidak jelas asal usulnya.

Aku masih ingat, saat bunda mengenalkan mas Rafka padaku. Wajahnya sangat jutek.

"Kamu jangan pernah bermimpi bisa mengambil hatiku seperti kamu mengambil hati ibu. Jadi, tolong jauhi ibu!"

Ketus sekali perkataannya.

Tahu mas Rafka tidak menyukai ku, seperti tahu diri, aku tidak lagi berkunjung kerumah ibu sampai suatu ketika, tiba-tiba saja ada mobil bunda yang terparkir di depan panti.

Melalu ibu pengasuh, aku menolah bertemu dengan ibu. Bukan berarti aku membenci ibu. Aku hanya tidak ingin mas Rafka semakin menghina dan menginjak harga diriku.

Aku bersembunyi di dalam kamar. Mengunci pintu dengan rapat. Seperti permintaan mas rafka, aku akan menjauhi ibunya.

Kupikir ibu akan segera pulang ketika tahu aku menolak bertemu dengannya. Aku salah besar.

Ibu mengetuk-ngetuk pintu kamar berkali-kali. Meminta untuk di bukakan pintu.

Hati siapa yang tega mendengar permintaan ibu berhati malaikat itu? Perlahan aku membuka pintu kamar. Ibu memelukku, menangis meminta maaf jika ada salah padaku.

Bukan ibu yang salah, ibu tidak punya salah. Ibu adalah orang baik yang sudah ku anggap sebagai orang tua.

Melihat orang tuanya menangis di pelukanku, mas Rafka meminta maaf padaku.

Satu kalimat yang masih ku anggap mimpi adalah saat mas Rafka mengatakan, "maukah kamu menikah denganku? Mungkin sekarang aku belum mencintaimu, tapi...aku seiring berjalannya waktu, aku akan belajar mencintai wanita pilihan bundaku." Ucapnya saat itu.

Ternyata yang terjadi saat ini adalah aku yang mencintainya, bukan dia.

"Nak, jika ayahmu tidak bisa mencintai ibu, setidaknya dia bisa mencintaimu dengan tulus." Ucapku sambil mengusap perutku yang rata.

Ku Matikan lampu kamar, menutup tubuhku dengan selimut dan berusaha memejamkan mata.

***

Rasa lapar di perut, memaksaku untuk turun tangan. Rupanya seperti ini cemburunya Naura? Tidak menyediakan makan malam.

Aku terkekeh sendiri sambil mengaduk-aduk mie instan. Eh, tapi..sejak kapan dia cemburu? Bukankah dia selama ini tidak pernah menuntut apa pun? Termasuk hari weekend yang selalu ku habiskan bersama Nadira dan teman-teman ku.

Lalu sekarang mengapa ada acara merajuk?

Duh..bisa gila aku jika dua-duanya merajuk.

Selesai makan, aku membuatkan susu cokelat untuk Naura. Kasihan gadis itu, pasti dia kelaparan. Lagian saat ini Naura gak boleh egois, karena bukan cuma dia aja yang butuh asupan, anakku di dalam perutnya pun harus terpenuhi kebutuhan gizinya dengan baik.

Tok..tok..tok..

"Nau..."

Sudah berulangkali memanggil, namun pintu tidak juga kunjung dibuka.

Perempuan kalau sudah ngambek memang menyebalkan. Ibu juga begitu.

Aku mencari kunci ganda kamar ini. Yee akhirnya ketemu. Segera aku membuka pintunya.

Lagi-lagi aku terenyuh melihat gadis itu meringkuk. Gadis yang tidak memikirkan dirinya sendiri. Gadis yang rela menikah denganku meski dia sendiri tahu, aku tidak mencintainya.

Kesalahan terbesar yang kulakukan adalah telah menyentuh gadis ini. Andai dia masih perawan, mungkin aku dengan mudah melepaskannya dan dia bisa dengan mudah mendapat lelaki yang mencintainya.

Tapi..tidur sekamar dengannya itu tidaklah mudah. Sebagai lelaki normal, tentu aku punya nafsu. Kupikir setelah tidur dengannya, berbagi keringat bersamanya, aku akan dengan mudah mencintainya. Ternyata aku salah! Tidak semudah itu memindahkan cinta dari Nadira untuk Naura.

Lagian, Naura tidak semenarik Nadira.

"Nau.. bangun!" Aku mengguncang badannya pelan-pelan.

Perempuan itu mengucek-ngucek matanya. Sepertinya kesadarannya belum pulih. Aku menarik tangannya hingga dia terduduk dengan sempurna.

Setelah melihat wajahku, raut wajahnya kembali berubah. Mengeras dan jutek. Itu artinya dia masih ngambek padaku.

Aku menyodorkan segelas susu buatanku.

"Apa?"

Bukannya diterima, ia malah bertanya apa?"

"Racun." Jawabku asal. "Nih minum!" Setengah memaksa aku menyodorkan susu hampir ke bibirnya.

"Kamu mau bunuh aku? Mau bunuh anak aku? Kalau kamu gak suka sama aku setidaknya bi.."

Aku menutup mulutnya menggunakan telapak tanganku yang sebelah.

Sejak kapan sih Naura berubah bawel?

"Cukup ngedumelnya. Ini susu minum! Kalau kamu marah, marah saja, jangan egois! Anakku butuh nutrisi." Bentak Ku.

Naura sedikit menurut setelah aku membentaknya. Harus gitu pakai otot? Bisa hilang ketampanan ku menghadapi Naura setiap hari kalau seperti ini terus.

"Habiskan!"

Huh! Apa susahnya menghabiskan susu ini.

Susu sudah habis. Ada keheningan diantara kami berdua. Dia menjadi salah tingkah.

Sebagai lelaki sejati aku berusaha menurunkan egoku sedikit.

" Jangan tidur di sini."

"Kenapa?" Jawabnya jutek.

"Di sini banyak debu. Tidak baik untuk kesehatanmu dan calon anakku."

Aku bangkit terlebih dahulu. Membawa bantal dan selimutnya.

Aku berjalan tanpa menoleh lagi.

Namun, berapa terkejutnya aku, karena tidak mendapati Naura di belakangku. Kemana dia?

Dasar keras kepala. Setelah menaruh selimut dan bantal di kamar, aku kembali ke kamar sebelah. Misiku membawa Naura kembali ke kamar kami ternyata belum berhasil

Ya ampun.. betapa terkejutnya aku melihat Naura malah tidur kembali di kamar ini. Kupikir dia akan mengikuti dari belakang ternyata malah kembali tidur.

Tanpa pikir panjang aku segera memapah Naura.

"Kalau bukan karena ada anak di rahim mu, tentu aku tidak akan perduli padamu, Nau." Ucap batinku meracau

Tahu aku berbuat nekad, Naura berontak,

" Lepaskan!" Sahutnya.

"Berhenti berteriak, Nau!"

Sampai di kamar aku langsung menurunkan Naura.

Berat juga ternyata.

Untuk mengantisipasi Naura keluar, aku mengunci rapat pintu kamar dan mengantonginya

Setelah berdrama beberapa jam, akhirnya aku bisa tidur tenang. Segera aku membaringkan tubuh menutup mata dengan tenang.

Apalagi setelah ku dengar ranjang ini berderit, menandakan ada Naura yang sudah berbaring di sampingku.

***

"Ibu nanti mau datang. Tolong kamu masakin makanan kesukaan ibu." Pesan mas Rafka sebelum berangkat ke kantor.

Aku hanya mengangguk.

"Oh iya,"

Apa lagi sih? Tanpa di beritahu pun aku sudah tahu bagaimana tata cara menyambut ibu mertua dengan baik. Toh aku dan ibu jauh lebih akrab.

" Jangan pernah bercerita tentang apa pun pada ibu. Kuharap kejadian yang terjadi semalam akan menjadi rahasia. Nadira adalah teman. Jangan sampai ibu tahu dan jadi sakit karena kamu."

Setelah itu mas Rafka keluar dari rumah.

Oh..jadi perempuan waktu itu namanya Nadira? Cuma teman katanya? Kalau teman, mengapa adalah cap cip cup. Cih! Murahan sekali dia.

Kalau ibu sakit karena ulahnya, mengapa jadi aku yang salah?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!