Kami baru saja selesai memeriksa kandungan Naura. Kata dokter, kandungan Naura masih muda, baru empat Minggu. Jadi wajar kalau Naura akan mengalami yang namanya mabuk. Eh tapi jangan salah ya, Naura mabuk bukan karena minuman keras, tapi karena hamil.
Aku senyum-senyum sendiri. Ada rasa bahagia karena sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah.
" Mas, kamu kenapa senyum-senyum?"
"Aku?"
"Iya."
"Em..enggak, bibirku memang begini." Sahutku sembarangan. Mana mungkin aku jujur. Bisa-bisa Naura nanti besar kepala.
"Kita mau kemana lagi?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Wanita sederhana yang duduk di sampingku hanya diam membisu.
"Ngomong saja, mumpung aku masih baik." Ucapku asal. Terkadang mulutku ini sering kehilangan kendali di depan Naura. Lain hal jika di depan Nadira.
"Kalau tidak keberatan, aku mau duduk sebentar di taman."
"Taman mana?"
"Aku sering melihat di sosial media. Setiap weekend selalu ramai." Naura menunjukkan foto taman itu padaku
Aku tahu taman yang dimaksud oleh Naura. Aku dan Nadira hampir setiap Minggu berkunjung ke sana. Sekedar lari pagi atau makan bubur ayam.
Tidak jauh dari tempat kami sekarang, aku segera menuju tempat yang dimaksud oleh Naura.
"Ternyata apa yang kulihat di media sosial memang nyata. Taman ini bagus sekali." Gumamnya kegirangan.
Aku turun duluan. Berdiri menatap sekeliling. Kali aja ada Nadira di sini. Bisa gawat. Gadis itu bisa kesurupan jika memergoki aku dan Naura sedang jalan berdua.
Naura turun dari mobil. Sekilas fisiknya sangat lemah. Wajahnya juga tampak pucat. Dia menghirup udara ini sambil merentangkan tangannya.
"Kalau kamu mau udara yang jauh lebih segar, seharusnya ngomong dari tadi malam. Jadi kita bisa pagi-pagi ke sini."
"Memangnya boleh?" Naura justru bertanya balik. " Bukannya kamu sibuk?"
Aku melengos membuang muka.
Naura duduk di kursi taman. Ia tampak termenung, memperhatikan orang yang lalu lalang. Sesekali aku memperhatikan Naura mengusap perutnya yang masih rata dan langsing.
Tukang bubur ayam langganan ku dan Nadira lewat. Meski sudah siang, tidak afdol bagiku jika tidak mencicipi bubur ayam terenak ini.
"Bang bubur ayam 1." Pesanku pada penjual bubur.
"Kamu mau?" Aku menawari Naura.
Naura menolak dengan alasan takut mual.
Aku menyantap bubur ayam di depan Naura dengan lahap.
Ku lirik Naura menelan ludah, apa dia selera?
Aku mengarahkan sendok berisi bubur pada Naura.
"A.." aku membuka mulut,
Naura masih tidak merespon. Ada keraguan untuk menerima suapan bubur dari tanganku.
Setelah memaksa akhirnya satu sendok bubur ayam masuk ke dalam mulutnya.
"Bagaimana? Enakkan?" Aku meminta pendapatnya.
"Boleh lagi?" Tanyanya malu-malu.
"Tentu." Aku kembali menyuapi Naura. Bahkan setelah melihat Naura makannya sangat lahap, aku jadi tidak selera untuk menikmati bubur ayam ini.
Saat asyik menyuapi bubur pada Naura, tiba-tiba saja, cup..cup..
Pipiku dicium oleh seseorang.
Nadira!
Belum sempurna kesadaran ku, ia duduk di sebelahku dan memeluk pinggangku erat.
" Kenapa gak bilang kalau kamu disini, yang?" Ucapnya manja. Suara manja Nadira membuat suasana antara aku dan Naura kaku.
Sementara Joe, Dika dan teman-teman yang lain tampak senyum-senyum mengejekku.
"Yang, kita jalan ke sana yuk!" Nadira menarik tanganku kencang.
Aku menatap wajah Naura. Wajah datar itu tanpa ekspresi.
Aku meninggalkan Naura di kursi taman sendirian.
***
Setelah jauh meninggalkan Naura, akhirnya Nadira berhenti menarik tanganku. Ia melepaskan tanganku dengan kasar.
"Kamu mulai jatuh cinta pada gadis panti itu?" Tuduhnya frontal.
Nadira memang sudah gila, bisa-bisanya ia menuduhku menyukai gadis itu. Se dangkal itu fikiran Nadira, cemburu sudah menutupi akal sehatn
Beruntungnya di tempat kami berdiri tidak ada orang.
"Sekarang aku minta ketegasan sama kamu. Kamu pilih aku atau gadis panti itu?"
Nadira memberikan pilihan yang sulit. Memilih Naura atau Nadira tentu bukan perkara yang mudah bagiku.
Kalau lah sejak dahulu mudah, tentu aku tidak akan membagi cintaku seperti ini. Nadira adalah wanita yang kucintai, tapi Naura adalah wanita pilihan ibu. Baktiku terhadap ibu adalah menikah dengan wanita pilihannya dan menyenangkan hatinya.
"Kenapa diam? Mau sampai kapan hubungan kita seperti ini? Mau sampai kakek nenek? Mau sampai aku keriput? Aku juga butuh pengakuan, Rafka. Pengakuan atas negara, agama, juga orang-orang yang berada disekitar ku. Apa kamu gak ingin hidup bersama, membangun rumah tangga dan segera punya buah hati dari aku?"
Kata-kata Nadira seperti bom yang menyadarkan ku.
Sampai kapan aku menggantung hubungan seperti ini?
"Kasih aku waktu, Nad." Pintaku memelas . "Nanti kita bahas lagi. Sekarang aku harus pergi."
Aku melangkah meninggalkan Nadira. Tidak ku hiraukan panggilan dan rengekan dari kekasihku itu.
Sekarang aku harus menemui Naura. Sekarang ia pasti kebingungan.
Aku sudah sampai di kursi taman. Namun aku tidak menemukan Naura. Kemana dia?
Aku mondar mandir, sibuk bertanya pada orang-orang sekitar.
Namun jawaban mereka hanya tidak tahu dan tidak lihat.
Aggrhh...
Aku bisa gila kalau begini.
Sebelum memutuskan pulang, terlebih dahulu aku menelpon nomor Naura. Tapi yang terdengar hanya suara operator yang memberitahu kalau nomor yang ku tuju sedang tidak aktif.
"Naura.. kenapa gak nunggu sih?" Keluhku kesal.
***
Dilain tempat, Naura sudah sampai di rumah.
"Terima kasih, mas."
Setelah mengucapkan terima kasih, Naura segera masuk ke dalam rumah.
Kejadian hari ini sungguh menguras emosi dan juga tenaganya.
Naura mengisi gelas besar dengan air putih, tanpa menunggu lama air putih di tangannya sudah tandas.
Naura masih mengingat kejadian tadi. Saat perempuan yang tidak dikenalnya tiba-tiba mencium mas Rafka.
Siapa dia sebenarnya? Pacarnya? Pasti mas Rafka punya hubungan khusus dengan perempuan itu. Kalau hanya sekedar pertemanan biasa, tidak mungkin ia seagresif itu.
Suara mobil memasuki halaman rumah. Tanpa melihat pun aku sudah tahu jika itu adalah mas Rafka.
Dan benar saja, tidak lama mas Rafka sudah muncul.
Wajahnya tampak menahan kesal.
Dia yang bersalah,mengapa pula dia yang marah?
Aneh.
"Kenapa pulang duluan?" Tanya mas Rafka dengan suara kesal.
"Jadi aku harus bagaimana, mas? Menunggu kamu siap berkencan?" Aku melipat tangan di dada.
Seumur hidup baru ini aku menantangnya. Apakah ini bawaan hamil?
Mas Rafka melengos, masuk ke kamar. Lalu kudengar gemericik air di dalam kamar mandi.
Mungkin saja ia menyegarkan kepalanya dengan cara mandi.
***
Rasa sakit hati karena kejadian tadi siang memaksaku untuk tidur terpisah dengan mas Rafka. Ia tampak heran melihat aku membawa bantal dan selimut ke kamar sebelah. Aku tidak perduli pada tatapannya. Yang dia harus tahu, AKU SAKIT HATI.
Sebelum pukul delapan aku sudah mengunci diri di dalam kamar.
Tidak ada makan malam yang ku siapkan. Meski pernikahan kami hasil dari perjodohan, setidaknya ia menghargai pernikahan ini. Bukankah pernikahan tidak bisa dijadikan mainan?
Aku merenung di dalam kamar. Mengenang pertemuan pertama kali dengan bunda, ibunya mas Rafka.
"Apa kamu mau menikah dengan anak lelakiku?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Teh Euis Tea
klu ga kuat lebih baik pergi naura
2024-06-21
0