Pesona dewasa dan sexy dr. Ilman seketika runtuh setelah mengatakan hal tadi. Kukira dia kalem dan berwibawa, ternyata orang aneh.
“Hahaha... Dokter bercanda, ya?” aku memaksakan tawa.
Dokter Ilman tidak langsung menjawab, karena pesanan minumnya sudah datang. Dia langsung meminum lemon tea dingin itu hingga habis setengah gelas.
“Saya serius. Sombongkan saja nama saya. Bukankah bagus kalau kamu jadi adik dari orang yang jenius dan ganteng seperti saya?”
Dih! Bisa ya, ada orang senarsis dan sesombong ini. Dokter pula. Pasiennya tidak apa-apa, tuh?
Tapi, ini aneh. Aku merasa pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya. Ini seperti deja vu.
“Mulai sekarang, kalau kita ketemu di jalan, panggil aja saya kakak. Saya juga bakal manggil kamu ‘dik’ biar lebih meyakinkan.”
Karena mendadak senut-senut, aku memijat kepalaku pelan.
Kataku, “Dokter aja gak tahu namaku. Mana bisa ngaku saudara.”
“Alma Prameela, 23 tahun. Lulusan S1 Pendidikan Matematika UNY. Jomblo dari lahir.”
Mataku seketika membulat sempurna. Dia tahu tentangku sampai segitunya, padahal dari tadi aku belum menyebutkan nama. Sial juga dia sampai tahu kalau aku jomblo.
“Dokter mungkin gapapa, tapi saya ngerasa gak enak. Padahal saya di sini mau serius kerja, tapi pekerjaan saya direbut terus sama yang lain gara-gara dikira adik dokter.”
Dokter Ilman menandaskan lemon tea-nya, lalu berkata, “Kamu tuh, dikasih enak malah minta yang susah.”
Lanjutnya, “Kamu lagi sibuk nggak?”
Ya Gusti, makhluk ajaib ini malah mengalihkan pembicaraan.
“Nggak sih, dok. Kan pekerjaan saya dikit banget gara-gara dr. Ilman.”
Sindir terus ah, biar dia makin peka.
“Kalau gitu, ayok!” ajaknya sambil meraih pergelangan tanganku.
“Hah?”
Dokter aneh itu tidak menggubris rasa bingungku dan terus menarikku keluar. Dengan penuh perjuangan, aku berusaha melepaskan genggaman tangannya. Namun, gagal total, karena tangannya begitu cekatan. Saat tangannya terlepas, tahu-tahu tangannya yang lain sudah meraihku.
“Ih, Dok. Lepasin dong. Malu tahu.” pintaku memelas.
“Ngapain malu? Kita kan saudara.”
“Tapi, gak harus dikasih lihat ke orang-orang juga dong.”
Entah sudah berapa pasang mata yang terus mengikutiku dan dr. Ilman. Belum lagi mulut mereka juga ikut-ikutan membicarakan kami berdua. Walaupun suara mereka tidak besar, kalau yang berbisik banyak tentu saja siapapun akan sadar.
Tapi, apalah dayaku. Tenaga dan kecerdikan ‘saudara palsu-ku’ ini terlalu jauh melampauiku.
Dia baru melepas genggamannya setelah sampai di sebelah mobilnya yang berada parkiran khusus karyawan. Itupun tidak lama, karena dia langsung membukakan pintu mobil dan membuatku masuk ke dalamnya. Dan kini aku sudah duduk di sebelah kursi pengemudi tanpa perlawanan.
“Dokter mau bawa saya ke mana?” tanyaku.
Takutnya aku diculik sama dia. Harusnya aku berusaha lebih keras untuk kabur tadi.
“Anterin kamu pulang. Kasih tahu arahnya, ya!” jawabnya.
Tanpa menunggu jawabanku, dr. Ilman sudah menyalakan mesin mobilnya untuk keluar dari area rumah sakit. Lalu, seperti sudah dihipnotis, aku pun menunjukkan padanya jalan menuju rumahku. Dia bahkan berhasil memaksaku untuk mengantarkanku sampai depan rumah.
“Nah, sampai.” ujarnya begitu mobil sudah berada di tujuan.
“Dokter mau mampir sebentar?” tawarku basa-basi.
“Tidak usah. Saya belum siap mental ketemu orangtua kamu.”
Memangnya perlu mental sebesar apa untuk bertemu orangtuaku?
“Kalau begitu, saya turun dulu. Terima kasih udah nganterin saya.” ucapku sambil membuka pintu.
Saat itu, barulah aku teringat dengan bingkisan yang kubawa. Bingkisan yang kudapat dari Mea.
“Oh, iya. Hampir aja lupa.”
Kuberikan paper bag itu pada dr. Ilman. Dia mengambilnya dari tanganku dan meniliknya sebentar.
“Ini apa?” tanyanya.
“Itu... orang-orang kantor kan pada salah paham kalau kita saudara. Terus ada orang dari marketing yang kasihin, katanya buat kakakku. Jadi, pasti ini buat Dokter.”
Dokter Ilman sepertinya tidak senang. Wajahnya nampak masam saat dia melemparkan paper bag itu ke belakang begitu saja. Tapi, dia masih menerimanya. Jangan-jangan dia juga berniat untuk menjualnya. Tahu saja kalau itu barang mahal.
“Lain kali, tolong jangan terima titipan barang lagi. Kalau ada yang sampai maksa, buang aja ke jalan atau jual langsung di pasar online.”
Aku tidak memiliki pilihan selain menganggukki sarannya. Dulu Bang Salman juga pernah memberikan saran yang kurang lebih sama. Katanya barangkali ada alat penyadapnya. Makanya tadi aku juga langsung izin untuk menjualnya.
Untuk orang-orang tampan seperti mereka, sepertinya hal seperti ini sudah sangat wajar. Kalau kata novel, komik, dan sinetron Korea yang pernah kutonton, beauty is a sin. Banyak orang yang sudah jadi korban, hanya karena cantik atau tampan.
“Ngg... sekali lagi, saya permisi ya, Dok. Hati-hati di jalan.” ucapku kemudian.
“Ya. Kamu juga istirahat.”
“Siap.”
Setelah dr. Ilman pergi, aku masuk ke dalam rumah. Namun, aku tidak berani melangkah lebih jauh, karena agaknya dua orangtuaku sudah siap menyambutku dengan banyak pertanyaan.
“Wah... anak Mama baru seminggu kerja udah dapat pacar kaya, nih. Bawa tesla pula.” sindir Mama dengan senyum bisnis-nya.
“Siapa itu, Al?”
Ini nih, yang ngeri. Pertanyaan Papa memang pendek, tapi aura membunuhnya sudah menguar di seluruh ruangan.
“Itu... dokter di RS tempat Alma kerja, Pa.” jawabku jujur.
“Dokter apa? Mama gak mau ya, kalau dokter kandungan.”
Waduh! Diskriminasi ke dokter kandungan, nih. Mentang-mentang pekerjaannya berhubungan ke arah anu.
“Dokter anak, Ma. Tapi Alma gak ada hubungan apa-apa kok sama dia. Kebetulan aja kami ketemu di depan lobi. Tadi juga teman-teman Alma yang lain ikutan sama mobilnya.” karangku. Pokoknya aku gak mau Mama sama Papa salah paham.
Tapi, yang namanya intuisi orangtua soal anaknya selalu lebih tajam dari belati. Mereka berdua nampaknya belum sepenuhnya yakin dengan ceritaku. Kalau sudah begini, aku harus segera mengalihkan pembicaraan.
“Omong-omong, tadi Alma ketemu sama orang yang miriiiip banget sama Alma. Jadi kepikiran, jangan-jangan Alma punya kembaran, terus kami terpisah di rumah sakit.” sekalian saja kusindir soal ini. Barangkali mereka mau memberitahu sesuatu soalku dan dr. Ilman yang luar biasa mirip.
‘PLAK!’
Papa memukul kepalaku dengan gulungan koran yang ada di tangannya.
“Kebanyakan nonton sinetron kamu! Lama-lama jadi kayak si Salman anak durhaka itu.” sentaknya.
Nyaliku seketika menciut kalau sudah membahas soal Bang Salman. Dia sudah membuat Papa marah gara-gara tidak mau kuliah dan malah ambil kursus acting. Gara-gara itu, mereka terus berantem setiap bertemu dan Bang Salman jadi tidak mau pulang ke rumah. Dia juga dikeluarkan dari kartu keluarga.
“Supaya Alma gak ngayal, Alma mau mandi dulu, Pa. Bye!” kataku sebelum kabur.
Meskipun sudah jauh, aku masih mendengar suara teriakan Papa yang memanggilku. Ngeri banget memang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
〈⎳ HIATUS
Ngakak aku Kak
2024-03-16
1
〈⎳ HIATUS
Doktere paranormal cuy
2024-03-16
1
〈⎳ HIATUS
Dik Kowe biyen janji Karo aku, lakoni Tresna suci kanthi ikhlas tekan mati 🎶🎶🎶
2024-03-16
1