Aku sudah mengedip puluhan kali, tapi cowok itu masih berdiri di hadapanku. Jadi, jelas ini bukan khayalanku. Walau sulit dipercaya, pria ini benar-benar nyata.
Entah sudah berapa lama kami saling tatap seperti ini. Dari ujung rambut sampai ujung sepatu crocs-nya tidak luput aku perhatikan. Diapun melakukan hal yang sama.
Tidak ada salah satu dari kami yang membuka mulut, sehingga suasana sunyi di pantry ini sulit untuk dipecah. Mungkin pria di hadapanku ini sama terkejutnya denganku.
Doppelganger? Kloning? Atau dajjal yang lagi menyamar?
Tapi, masa cowok?
Sumpah, baru kali ini aku melihat cowok yang wajahnya sangat mirip denganku. Badannya sih, sudah jelas beda. Namanya juga badan cowok. Bahkan Bang Salman tidak semirip ini. Aku sampai sulit berkata-kata.
Jangan-jangan kami adalah saudara kembar yang terpisah. Bakal kayak sinetron, dong!
Atau masa Mama atau Papa punya anak lain tanpa sepengetahuan dua anaknya. Kalaupun memang ada anak yang disembunyikan, memangnya apa tujuannya? Makin mirip sinetron jadinya, nih.
‘Cklek’
Saat pikiranku sudah ke mana-mana, tahu-tahu Pak Arif masuk ke dalam pantry. Matanya langsung tertuju padaku dan pria berbaju biru itu secara bergantian. Lalu, dengan wajah yang sumringah, dia berkata.
“Lho, adik-kakak pada ketemuan di sini.”
Dahiku mengerut mendengar ucapannya. Lalu, lagi-lagi mataku dan pria berbaju biru itu kembali bertemu. Dan rupanya dia juga nampak sama bingungnya.
“Aduh... kayaknya saya lagi ganggu, ya. Tapi, mohon maaf dok.” lanjut Pak Arif, “Pak direktur mau ketemu dokter Ilman sekarang.”
“Oh, oke. Saya segera ke sana.” kata pria yang ternyata bernama Ilman itu.
Tanpa berkata apa-apa lagi, dr. Ilman pergi menyusul Pak Arif yang sudah lebih dulu beranjak keluar dari pantry. Sementara, aku yang ditinggalkan masih berkutat dengan banyaknya pertanyaan yang hinggap di kepalaku.
Coba yang rasional. Bisa aja kan cuma mirip. Duuuh, kan kepo kan jadinya...
Tunggu! Tadi aku sempat melihat name tag di bajunya. Terus, tadi Pak Arif juga menyebut namanya.
Dokter Ilman.
Bukankah itu nama yang juga disebutkan si pemberi sepatu mahal tadi?
Sekarang aku tahu apa yang harus kulakukan untuk menghilangkan rasa kepo-ku. Segera aku kembali ke meja kerjaku sambil tidak lupa membawa tumbler yang baru saja ku isi.
Pertama-tama, aku harus membuka browser komputerku untuk membuka website Rumah Sakit Harapan Hati. Kalau dia bekerja di rumah sakit ini, di website itu pasti ada profil dokter itu.
“Beneran ada, weh!” seruku saat melihat foto dan biodata yang kucari.
Nama lengkap beserta gelarnya tertera di sana. dr. Ilman Prala Sanjaya, Sp.A, umur 30 tahun...
Ternyata dia tujuh tahun lebih tua dariku. Fix, kami bukan anak kembar.
Dokter Ilman, selain praktik di poli anak juga merupakan Kepala Bidang Pelayanan. Padahal masih muda, tapi jabatannya ngeri juga.
“Hihihi... sayang banget ya sama kakaknya? Sampai dilihatin begitu profil-nya.” ujar Mbak Lia, seniorku.
Akupun mendengus. Sekarang aku paham mengapa mereka memperlakukanku dengan terlalu baik. Ternyata memang karena ‘kakakku’, tapi bukan kakakku yang sebenarnya. Ada salah paham yang cukup besar di sini.
“Dia bukan kakakku, Mbak.” aku mengaku.
Harapanku, dengan ini Mbak Lia akan menghentikan perlakuan spesialnya padaku. Tapi sayangnya, ini akan sulit. Ekspresi Mbak Lia menjawab semuanya.
“Ckckck. Di mana-mana saudara tuh begitu, ya. Gak mau ngaku.” katanya.
“Ih, Mbak. Beneran, dia tuh bukan kakakku.”
Mbak Lia menggelengkan kepalanya.
“Muka mirip, nama juga mirip. Udah, deh. Gak usah malu-malu, Alma. Toh dr. Ilman kan ganteng, pinter, pekerja keras pula. Padahal dia kan pewaris Harapan Hati. Harusnya gak perlu lah, serajin itu.”
Eh, buset! Itu orang mau se-over power apa lagi? Ternyata anaknya yang punya rumah sakit.
“Tapi, betulan... aku tuh bukan adiknya dr. Ilman. Kalian pada salah sangka.” sanggahku lagi.
“Iya... iyaa... aku tahu, kok. Maksudnya kamu gak mau koar-koar kan? Tapi, semua juga udah tahu kalau kalian bersaudara.”
Grahhh!!
Aku harus bilang seperti apa lagi, sih?!
“Udah... lanjut kerja gih! Pak Arif tadi nanyain data lembur karyawan minggu ini, loh.”
Sekali lagi aku mendengus.
Apa memang tidak ada cara untuk menjelaskan kesalahpahaman ini selain harus mendatangkan dr. Ilman?
Ya. Mau tidak mau, aku harus bertemu dengan dr. Ilman lagi untuk meminta bantuannya menjelaskan ini semua. Dia pasti juga tidak mau ada orang yang numpang namanya untuk mendapatkan perlakuan spesial di tempat kerja.
Kuputuskan untuk menemuinya nanti saat jam pulang. Tadi aku melihat dia ada jadwal praktik sampai pukul 5 sore nanti. Biarlah menunggu satu jam, yang penting permasalahan ini cepat selesai.
...
Waktu yang kutunggu-tunggu pun datang. Pukul 16.30 aku menuju poli anak dan meminta perawat yang bertugas di sana untuk menyampaikan pesan pada dr. Ilman agar bersedia menemuiku.
Aku agak sangsi dia akan bersedia menemuiku, tapi perawat tadi berkata bahwa dr. Ilman memintaku untuk menunggunya di kantin lantai dua. Jadi, memenuhi keinginannya, aku pun pergi ke tempat yang dimaksud. Kebetulan aku juga lapar, jadi sekalian saja jajan di sana.
Tepat tiga puluh lima menit kemudian, dr. Ilman datang ke kantin tempat kami janjian. Penampilannya saat sampai di sana sedikit acak-acakan. Keringatnya sampai mengucur banyak sekali, seakan dia baru berlari-lari.
Orang-orang di sekitar kami mendadak terpana padanya. Mungkin ini yang namanya kekuatan keringat pria tampan. Semakin banyak keringatnya, akan semakin dianggap sexy.
Jujur, aku juga tidak bisa memungkiri kalau aku versi pria ini sex appeal-nya setinggi gunung Everest. Aku kalah telak untuk soal ini.
“Maaf menunggu lama.” ujarnya.
“Gapapa, dok. Justru saya yang harusnya minta maaf, karena sudah mengganggu waktu dokter.”
Dokter itu melepas kacamatanya, lalu sambil tersenyum dia berkata lagi, “Tidak mengganggu. Toh saya juga sudah selesai praktik.”
Dokter Ilman kemudian duduk di kursi yang ada di hadapanku.
“Omong-omong, kamu lapar gak? Sudah pesan makan?” tanyanya.
“Barusan saya jajan kue mochi dan es jeruk. Jadi, saya tidak terlalu lapar.” jawabku.
Pria itu nampak kecewa dengan jawabanku. Meski begitu, aku tidak ingin terlalu pede menduga kalau dr. Ilman ingin mentraktirku makan. Atas dasar apa dia mentraktirku?
“Dokter sendiri sepertinya kelelahan. Mau saya pesankan?” tawarku.
Dia lalu meraih tisu makan di meja sebelah, kemudian mengelap dahinya yang penuh peluh dengan tisu tersebut.
“Apa saya boleh minta tolong?”
Aku mengangguk menyanggupi.
“Pesan apa, Dok?” tanyaku.
“Lemon tea. dingin. Esnya sedikit saja.” dia menjawab.
Segera aku menyampaikan pesanannya pada penjaga kantin, lalu kembali ke meja kami.
“Oh, iya. Ada apa kamu cari saya? Apa ada masalah dengan nakes?”
Akhirnya kami ke pembicaraan inti.
Aku menjelaskan, “Bukan, Dok. Saya cuma ingin bilang kalau pegawai lain sepertinya salah paham soal hubungan kita.”
“Hm? Bukannya kita baru bertemu hari ini? Mereka sudah curiga kalau kita pacaran?”
Entah ini orang betulan dokter jenius atau bukan. Bisa-bisanya dia mengarah ke sana.
“M... maksud saya, mereka mengira kalau kita kakak-adik. Makanya mereka memperlakukan saya berlebihan.” jelasku.
“Loh. Bagus dong. Tidak ada masalah kan?”
Kejeniusan orang ini semakin meragukan. Atau mungkin srikuit di kepalanya hanya bisa jalan untuk pekerjaannya, karena itu dia jadi tidak peka.
“Saya malah senang kalau ada orang yang menyombongkan saya di depan yang lain. Saya izinkan kamu buat pamer kalau kita berdua bersaudara. Kalau bisa, puji saya tiap hari biar pekerjaan kamu makin gampang.”
Walahdalah! Jadi bingung mau bereaksi seperti apa. Kenarsisan orang ini sudah melebihi prediksi BMKG.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
〈⎳ HIATUS
Huaa nek aku ngelih, Dok. Saestu
2024-03-16
0