Aku punya seorang kakak laki-laki yang usianya setahun lebih tua dariku. Salman namanya.
Meskipun kakak beradik, baik sifat maupun hobi kami sangat berbeda. Aku sangat suka bidang ilmu sosial seperti sejarah dan antropologi, sedangkan kakakku lebih senang dengan bidang kesenian. Karena itu, sejak lima tahun yang lalu dia memutuskan untuk terjun ke bidang seni peran.
Kakakku, Salman Ragnala adalah seorang aktor terkenal. Sudah banyak judul film dan sinetron populer yang dia bintangi sebagai pemeran utama.
Sebelum jadi bintang pun sebetulnya dia sudah cukup terkenal di sekolah dan instagram. Pengikutnya bejibun dan didominasi oleh perempuan dari berbagai penjuru dunia. Sekarang saja dia memiliki lebih dari 50 juta pengikut.
Saat masih sekolah dulu, tiada hari tanpa teriakan dan elu-eluan para gadis untuk kakakku. Mungkin cuma di rumah dia bisa tenang, itupun kalau dia tidak keluar pintu. Karena, di luar rumah juga sering sekali ada orang yang menungguinya dengan berbagai alasan.
Aku sendiri sebagai adiknya ikut kecipratan. Bukan kecipratan populer, tapi kecipratan sial. Pasalnya, di sekolah aku dikenal sebagai adik Salman, bukan Alma Prameela.
Banyak orang yang mendekatiku dengan niat tidak murni. Mereka kebanyakan ingin dekat dengan Salman, bukan aku. Lalu, karena aku adalah adik Salman, otomatis aku juga dijadikan media untuk kirim salam dan hadiah.
Well, sebetulnya tidak terlalu buruk juga sih. Misalnya, kalau Salman tidak mau menerima hadiahnya, nanti hadiah itu diberikan padaku. Lumayan juga kalau ada yang bisa dijual.
Semua itu berlangsung hingga aku lulus SMA, karena kakakku di-scout oleh agensi aktor dan aku kuliah di luar kota. Selama kuliah, aku merahasiakan rapat-rapat tentang hubunganku dengan Salman. Dan selama itu pula Salman melakukan operasi plastik di beberapa bagian wajahnya supaya terlihat lebih muda. Jadi, kalaupun aku bilang kami bersaudara, hampir tidak ada yang percaya.
Nah, anehnya sekarang kejadiannya jadi mirip saat aku SMA. Tiba-tiba, selesai berkenalan dengan para senior, mereka bergerombol mengitari bilikku.
“Nanti aku aja yang anterin kamu buat orientasi.”
“Aku aja.”
“Ih! Gue paling senior daripada kalian berdua. Jelas sama gue lah orientasinya.”
“Eh, lu beda subbag anjir!”
“Nganterin doang, gak usah staf SDM juga bisa keleus!”
“Alah! Lo paling cuma pengin ngekor nyapa abangnya kan?”
“Kayak lo nggak aja.”
Begitulah para seniorku saling berebut untuk sekedar mengantarku berkeliling rumah sakit. Mereka juga menyebut soal ‘kakakku’. Karena itu, harapanku untuk bisa akrab dengan mereka secara wajar juga saaangat tipis.
Pada akhirnya, aku dan seorang pegawai baru yang lain diantarkan oleh Pak Arif yang tidak tahan dengan perdebatan para bawahannya.
“Aneh deh, perasaan di Kartu Keluarga yang ku kasih udah gak ketulis nama Abang, deh. Kok mereka pada tahu, ya?” keluhku saat aku dan pegawai baru yang lain menyambangi ruangan gizi.
“Abangmu kerja di sini kah?” tanya rekan baruku itu.
Namanya Hani. Dia juga baru diterima sebagai staf SDM di hari yang sama denganku.
“Hah? Nggak, lah! Abang mana mau kerja di korporat.” jawabku.
Ini juga yang membuatku bingung. Mulai dari senior di SDM sampai Pak Arif menyebut-nyebut ‘kakakku’ seakan dia berada dan bekerja di rumah sakit ini.
“Mungkin ada orang yang mirip kamu di sini, terus dikira kalian saudaraan.” Hani menduga.
Aku memegangi wajahku sambil berkaca di layar ponsel yang hitam.
“Wajahku pasaran banget kah?” gumamku.
...
Keanehan tidak hanya sampai di situ. Tepat seminggu setelah aku bergabung, seorang perempuan yang mengaku dari sub bag marketing datang menghampiriku saat jam makan siang. Dia datang dengan membawa sebuah paper bag yang cukup besar.
“Hai, gue Mea dari marketing. Lo anak baru itu kan?” sapa perempuan bernama Mea itu.
Dilihat dari penampilannya, sepertinya dia hanya satu atau dua tahun lebih tua dariku.
Setelah menyapa, Mea mengajakku makan sambil mengobrol cukup panjang. Di sini aku mengakui kemampuannya dalam public speaking.
As expected of marketing staff. Dia pandai sekali mencari topik obrolan. Padahal aku sudah beberapa kali berusaha untuk menghentikannya.
Lalu, saat makanannya habis, dia pun masuk ke tujuannya yang sebenarnya. Dia mengangkat paper bag yang tadi dia bawa dan diberikannya padaku.
“Kita kan udah berteman. Jadi, gue bisa dong minta tolong kasihin ini ke dr. Ilman.”
Selama mengobrol tadi aku memang beberapa kali menanggapinya, tapi sekalipun aku tidak pernah mengucapkan bahwa kami sudah berteman. Jalanmu masih panjang untuk menjadi temanku, wahai Fulgoso.
Dan lagi, siapa pula dr. Ilman?
“Siapa dokter Ilman?” tanyaku serius.
Mea memutar bola matanya jengah.
“Gak usah pura-pura lah. Gue udah tahu hubungan lo sama dr. Ilman, kok.” katanya.
“Dih, aku aja gak tahu siapa dr. Ilman.” tolakku.
Aku masih ingin memberi alasan, tapi Mea sepertinya tidak mau mendengarnya. Perempuan itu melengos begitu saja sambil berkata, “Please kasihin, ya. Ntar gue traktir, deh. Bye!”
Kepalaku mendadak berdenyut gara-gara tingkah perempuan yang baru kukenal itu. Untuk menenangkan diri, akupun menghirup napas dalam-dalam dan mengeluarkannya.
Setelah itu, kutengok isi paper bag yang tadi Mea berikan padaku.
“Ebuset! Ini sepatu kayaknya mahal, nih.”
Sebagai adik yang baik, sudah sewajarnya kalau aku menghubungi orang yang mempunyai hak kepemilikan sepatu ini. Segera aku hubungi Bang Salman melalui pesan chat. Dalam chat tersebut, aku meminta izin untuk menjual sepatu warna merah dengan merk Jordan itu.
Sayangnya, Bang Salman tidak langsung membalas pesanku. Centangnya masih satu, jadi paling-paling dia belum membuka pesanku.
Sambil menunggu, sebetulnya aku ingin minum. Tetapi, ternyata isi botolku sudah tandas. Mau tidak mau, akupun beranjak menuju pantry yang tidak berada jauh dari ruangan ini.
Beruntung, aku tidak perlu antri mengambil air seperti sebelum-sebelumnya. Malah kali ini aku sendirian di pantry.
Kuisi sampai setengah botol minum berukuran 500ml itu, lalu aku minum. Lalu, aku isi lagi botol itu, kali ini sampai penuh.
Selama mengisi botol, aku mendengar sebuah suara yang tidak asing bagiku sedang mengobrol entah dengan siapa.
“Adik saya tidak aneh-aneh kan, Pak?” suara yang asing itu bertanya.
“Dokter tidak perlu khawatir. Adik dokter itu cepat sekali belajar. Pekerjaannya juga cukup bagus.” suara Pak Arif memuji.
“Baguslah jika demikian. Saya khawatir, karena adik saya itu kan jurusannya tidak linier dengan pekerjaannya.”
“Hahaha. Tapi, dia kan masih lulusan dari universitas yang bagus. Saya yakin kedepannya adik dokter akan berkembang lebih baik lagi.”
“Hmm, Pak. Begini, saya mau ambil air dulu. Barang kali Pak Arif mau duluan.”
“Silakan, Dok. Saya masih perlu menyiapkan keperluan rapat yang lain. Saya duluan. Mari.”
“Mari.”
Suara langkah kemudian terdengar semakin mendekat. Aku yang tidak peduli hanya terus memperhatikan botolku yang masih kuisi agar tidak meleber.
Langkah kaki itu kemudian berhenti tepat di sampingku. Dia berhenti bertepatan dengan botolku yang sudah penuh dengan air.
Kututup botol minumku, lalu mendongak. Di sana kulihat seorang pria berpakaian serba biru sedang menatapku nanar. Matanya hampir tidak berkedip saat pandangan kami bertemu.
Jujur, akupun sama. Mataku hampir keluar saat kami bertemu pandang.
Ini tidak berlebihan. Siapapun pasti akan bereaksi sama jika melihat seseorang yang wajahnya begitu mirip dengan diri sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
〈⎳ HIATUS
Makanya cari yang lain daripada yang lain tuh wajah
2024-03-16
0
〈⎳ HIATUS
Salman Khan India Acha-Acha
2024-03-16
0