“Kinasih, maafkan Kakanda. Maaf...”
“Maaf...”
Kinasih siapa sih?
Lagipula zaman sekarang siapa yang memanggil pakai istilah ‘kakanda’? Memangnya sedang bermain drama kolosal?
Tapi, orang ini terdengar begitu menyesal. Entah apa salahnya padaku sampai meminta maaf berkali-kali.
“Maafkan Kakanda...”
Duh, sayang sekali kalau suara sexy-nya dipakai untuk menangis. Apa aku harus membelai rambutnya supaya dia berhenti menangis?
Lho, lho? Mau kupegang, kok tambah jauh?
“Kinasih. Sebaiknya kau tidak banyak bergerak. Nanti lukamu bertambah parah.” pria itu berbisik sambil menggenggam tanganku yang tak bisa meraihnya.
Pada saat itu, aku juga baru menyadari sakit di sekujur badanku. Yang paling kurasakan adalah sakit di perutku. Tetapi, tiba-tiba cairan merah mengucur melewati mataku.
Ah, ternyata kepalaku juga terluka.
“Kinasih, bersabarlah! Jati sedang mencarikan obat untukmu. Kakanda pasti akan mengobatimu.”
Sebelum orang yang namanya Jati itu datang, sepertinya aku akan mati. Hahaha...
“Kinasih, mengapa kau tersenyum?”
Karena, aku sudah tidak kuat.
Kalau ini semua mimpi, kumohon... cepatlah berakhir.
...
“Selamat pagi, Alma sayang. Bangun, dong. Udah pagi, nih. Katanya mau kerja.”
Nah, ini nih. Harusnya suaranya yang manis seperti ini. Kalau sedih seperti tadi kan aku jadi tidak enak hati.
“Alma, ayo bangun.”
Mendengar suaranya yang semakin manis di telinga, aku pun tersungging. Pemilik suara ini jelas orang yang sangat tampan luar biasa. Beruntung sekali aku bisa dibangunkan setiap hari olehnya.
“Ayo bangun dong, cintaku.”
‘PLAK!!’
“Adaww!”
Bukannya belaian sayang dari si pemilik suara, aku malah mendapatkan pukulan maut.
“Njijiki banget alarm-mu, Alma! Cepetan matiin, atau Mama yang rusakin hapemu!?”
Ancaman mamaku semakin membuka mataku. Segera kumatikan alarm ponsel itu supaya tidak berbunyi lagi.
Begitulah. Suara manis tadi tidak nyata, melainkan hanya suara alarm yang kubuat sendiri dengan aplikasi AI. Namanya juga jomblo. Apapun dilakukan supaya hidup tidak terlalu mengenaskan.
“Percuma aja pasang alarm. Cepetan bangun, mandi, terus berangkat!” perintah Mama lagi.
“Iya. Ini juga mau mandi.”
Sebelum Mama semakin mengamuk, aku ambil handukku di gantungan baju dan berlari ke kamar mandi.
Di dalam kamar mandi pun aku masih mendengar suara Mama yang mengomel tanpa henti. Gara-gara itu, aku jadi tidak bisa menikmati mandi pagi. Terpaksa, akupun memepercepat waktu mandiku.
Saat aku selesai, Mama sudah tidak lagi di kamarku walaupun aku masih mendengar omelannya.
Sekitar setengah jam kemudian, aku selesai berganti baju dan berdandan. Lalu, akupun bergegas menuju meja makan untuk sarapan.
Untungnya, Mamaku tidak ada di sana. Jadi, aku tidak mendengar omelannya lagi. Paling-paling Mama sedang di halaman depan. Jam segini memang sudah saatnya tukang belanja datang.
“Gawat, udah jam segini.”
Segera kuselesaikan makanku, lalu berangkat. Kuberikan salam pada Mamaku sebelum sepeda motor kunyalakan.
Sebetulnya masih ada waktu sebelum jam masuk kerja. Tapi, berhubung ini adalah hari pertamaku, aku berniat untuk datang lebih awal.
Tempat kerja baruku tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya butuh sekitar 20 menit untuk sampai ke sana. Dan sampailah aku di sana dengan selamat sentosa.
Rumah Sakit Harapan Hati. Sebuah rumah sakit tipe B yang terkenal dengan pelayanannya yang top notch.
Meskipun tidak sebesar rumah sakit milik pemerintah, rumah sakit ini sudah 10 tahun lebih menjadi salah satu pilihan utama para warga Kota B. Tidak hanya tenaga medisnya yang mumpuni, pelayanan lainnya pun tidak kaleng-kaleng. Karena itu, aku sangat bangga bisa diterima di rumah sakit ini. Padahal sebenarnya aku bukan lulusan dari jurusan yang ada hubungannya dengan bidang kesehatan sama sekali.
“Selamat pagi, Bu. Mohon maaf, sekarang belum jam besuk. Jadi, Ibu belum boleh masuk ke dalam.” ujar seorang satpam sambil tersenyum ramah.
“Bukan, Pak. Saya pegawai baru.”
Kuperlihatkan kartu pegawaiku kepada satpam itu. Barulah dia manggut-manggut paham.
“Maafkan saya, Bu. Saya kira Ibu pengunjung. Kalau begitu silakan masuk.” katanya kemudian.
“Baik, Pak. Terima kasih.”
Seharusnya aku mengalungkan ID card-ku dari awal. Dengan begitu, satpam tadi tidak mencegatku terlebih dahulu.
Tujuanku selanjutnya adalah lift khusus pegawai yang berada tidak jauh dari lobi dan IGD. Aku masuk ke dalam lift bersamaan dengan tiga orang pegawai lainnya.
“Eh, itu bukan, sih?” bisik salah satu dari mereka.
“Kayaknya iya. Mirip banget.” bisik yang lainnya.
Berhubung aku berdiri tidak jauh dari mereka, aku bisa mendengar bisikan-bisikan itu dengan jelas. Mereka nampak seru saat membicarakan orang yang entah siapa itu.
Aku kepo, sih. Tapi, kan tidak sopan juga langsung bertanya soal pembicaraan mereka. Lagi pula aku belum mengenal mereka.
Dua orang itu lalu turun di lantai tiga. Sementara itu, aku masih harus naik dua lantai lagi.
Sesampainya di lantai tempatku bekerja, aku langsung menuju ruangan yang sebelumnya sudah diberitahukan oleh atasanku. Untungnya aku sudah cukup hafal lokasinya, karena ini lantai yang sama dengan yang digunakan saat wawancara.
“Wah, beneran mirip banget, cuy. Tapi, versi cantiknya.”
“Yang ini tukang narsis juga gak ya?”
“Elah, narsis juga lo masih naksir sama tuh dokter gesrek.”
“Hehehe iya, sih. Kan humoris orangnya. Ganteng pula. Ini adeknya juga cantik.”
“Gak gue pungkiri. Kayaknya satu keluarga gak ada cacatnya.”
“Pokoknya gue bakalan baik-baikin adeknya, biar bisa pedekate ke kakaknya.”
“Dih! Modus benerr!”
Dua orang perempuan yang tengah berbisik-bisik itu beberapa kali melirik ke arahku. Maksudnya apa, aku juga tidak begitu paham.
Tapi, sebelum ini aku pernah mengalami kejadian yang sama seperti deja vu. Firasatku jadi tidak enak.
“Mbak Alma.” sapa seorang pria berusia 40 tahunan sambil berjalan ke arahku.
“Selamat pagi, Pak Arif.” aku balas menyapa.
Pria bernama Arif ini adalah orang yang mewawancaraiku beberapa hari lalu. Beliau adalah kepala sub bagian SDM yang juga merupakan atasanku langsung di rumah sakit ini.
“Apa Mbak Alma sudah ambil presensi?” tanyanya.
Kedua alisku seketika terangkat. Aku hampir saja lupa melakukan hal yang seharusnya kulakukan sejak masuk lobi.
“Maaf, Pak. Saya lupa. Kalau begitu, saya turun ke lobi dulu.”
Pak Arif lalu tertawa.
“Tidak perlu, Mbak. Di belakang Mbak juga ada mesinnya. Mbak tinggal tempel barcode di ID card ke mesinnya.”
Malunya... untung saja belum banyak orang di sini.
“Kalau begitu, saya presensi dulu, Pak.”
Setelah itu, aku mengikuti Pak Arif menuju ruang tata usaha. Beliau juga menjelaskan beberapa ruangan lain di lantai yang sama saat kami melewatinya.
Kemudian, saat melewati ruang komite medis, beliau tiba-tiba mengatakan satu hal yang membuatku bingung.
“Kakak-nya Mbak Alma biasanya ke sini cuma pas meeting dengan dokter yang lain.” katanya sambil menunjuk ke ruangan dengan pintu yang tertutup rapat itu.
Buat apa kakakku rapat di sini?
Aku punya seorang kakak laki-laki yang usianya setahun lebih tua dariku. Salman namanya.
Meskipun kakak beradik, baik sifat maupun hobi kami sangat berbeda. Aku sangat suka bidang ilmu sosial seperti sejarah dan antropologi, sedangkan kakakku lebih senang dengan bidang kesenian. Karena itu, sejak lima tahun yang lalu dia memutuskan untuk terjun ke bidang seni peran.
Kakakku, Salman Ragnala adalah seorang aktor terkenal. Sudah banyak judul film dan sinetron populer yang dia bintangi sebagai pemeran utama.
Sebelum jadi bintang pun sebetulnya dia sudah cukup terkenal di sekolah dan instagram. Pengikutnya bejibun dan didominasi oleh perempuan dari berbagai penjuru dunia. Sekarang saja dia memiliki lebih dari 50 juta pengikut.
Saat masih sekolah dulu, tiada hari tanpa teriakan dan elu-eluan para gadis untuk kakakku. Mungkin cuma di rumah dia bisa tenang, itupun kalau dia tidak keluar pintu. Karena, di luar rumah juga sering sekali ada orang yang menungguinya dengan berbagai alasan.
Aku sendiri sebagai adiknya ikut kecipratan. Bukan kecipratan populer, tapi kecipratan sial. Pasalnya, di sekolah aku dikenal sebagai adik Salman, bukan Alma Prameela.
Banyak orang yang mendekatiku dengan niat tidak murni. Mereka kebanyakan ingin dekat dengan Salman, bukan aku. Lalu, karena aku adalah adik Salman, otomatis aku juga dijadikan media untuk kirim salam dan hadiah.
Well, sebetulnya tidak terlalu buruk juga sih. Misalnya, kalau Salman tidak mau menerima hadiahnya, nanti hadiah itu diberikan padaku. Lumayan juga kalau ada yang bisa dijual.
Semua itu berlangsung hingga aku lulus SMA, karena kakakku di-scout oleh agensi aktor dan aku kuliah di luar kota. Selama kuliah, aku merahasiakan rapat-rapat tentang hubunganku dengan Salman. Dan selama itu pula Salman melakukan operasi plastik di beberapa bagian wajahnya supaya terlihat lebih muda. Jadi, kalaupun aku bilang kami bersaudara, hampir tidak ada yang percaya.
Nah, anehnya sekarang kejadiannya jadi mirip saat aku SMA. Tiba-tiba, selesai berkenalan dengan para senior, mereka bergerombol mengitari bilikku.
“Nanti aku aja yang anterin kamu buat orientasi.”
“Aku aja.”
“Ih! Gue paling senior daripada kalian berdua. Jelas sama gue lah orientasinya.”
“Eh, lu beda subbag anjir!”
“Nganterin doang, gak usah staf SDM juga bisa keleus!”
“Alah! Lo paling cuma pengin ngekor nyapa abangnya kan?”
“Kayak lo nggak aja.”
Begitulah para seniorku saling berebut untuk sekedar mengantarku berkeliling rumah sakit. Mereka juga menyebut soal ‘kakakku’. Karena itu, harapanku untuk bisa akrab dengan mereka secara wajar juga saaangat tipis.
Pada akhirnya, aku dan seorang pegawai baru yang lain diantarkan oleh Pak Arif yang tidak tahan dengan perdebatan para bawahannya.
“Aneh deh, perasaan di Kartu Keluarga yang ku kasih udah gak ketulis nama Abang, deh. Kok mereka pada tahu, ya?” keluhku saat aku dan pegawai baru yang lain menyambangi ruangan gizi.
“Abangmu kerja di sini kah?” tanya rekan baruku itu.
Namanya Hani. Dia juga baru diterima sebagai staf SDM di hari yang sama denganku.
“Hah? Nggak, lah! Abang mana mau kerja di korporat.” jawabku.
Ini juga yang membuatku bingung. Mulai dari senior di SDM sampai Pak Arif menyebut-nyebut ‘kakakku’ seakan dia berada dan bekerja di rumah sakit ini.
“Mungkin ada orang yang mirip kamu di sini, terus dikira kalian saudaraan.” Hani menduga.
Aku memegangi wajahku sambil berkaca di layar ponsel yang hitam.
“Wajahku pasaran banget kah?” gumamku.
...
Keanehan tidak hanya sampai di situ. Tepat seminggu setelah aku bergabung, seorang perempuan yang mengaku dari sub bag marketing datang menghampiriku saat jam makan siang. Dia datang dengan membawa sebuah paper bag yang cukup besar.
“Hai, gue Mea dari marketing. Lo anak baru itu kan?” sapa perempuan bernama Mea itu.
Dilihat dari penampilannya, sepertinya dia hanya satu atau dua tahun lebih tua dariku.
Setelah menyapa, Mea mengajakku makan sambil mengobrol cukup panjang. Di sini aku mengakui kemampuannya dalam public speaking.
As expected of marketing staff. Dia pandai sekali mencari topik obrolan. Padahal aku sudah beberapa kali berusaha untuk menghentikannya.
Lalu, saat makanannya habis, dia pun masuk ke tujuannya yang sebenarnya. Dia mengangkat paper bag yang tadi dia bawa dan diberikannya padaku.
“Kita kan udah berteman. Jadi, gue bisa dong minta tolong kasihin ini ke dr. Ilman.”
Selama mengobrol tadi aku memang beberapa kali menanggapinya, tapi sekalipun aku tidak pernah mengucapkan bahwa kami sudah berteman. Jalanmu masih panjang untuk menjadi temanku, wahai Fulgoso.
Dan lagi, siapa pula dr. Ilman?
“Siapa dokter Ilman?” tanyaku serius.
Mea memutar bola matanya jengah.
“Gak usah pura-pura lah. Gue udah tahu hubungan lo sama dr. Ilman, kok.” katanya.
“Dih, aku aja gak tahu siapa dr. Ilman.” tolakku.
Aku masih ingin memberi alasan, tapi Mea sepertinya tidak mau mendengarnya. Perempuan itu melengos begitu saja sambil berkata, “Please kasihin, ya. Ntar gue traktir, deh. Bye!”
Kepalaku mendadak berdenyut gara-gara tingkah perempuan yang baru kukenal itu. Untuk menenangkan diri, akupun menghirup napas dalam-dalam dan mengeluarkannya.
Setelah itu, kutengok isi paper bag yang tadi Mea berikan padaku.
“Ebuset! Ini sepatu kayaknya mahal, nih.”
Sebagai adik yang baik, sudah sewajarnya kalau aku menghubungi orang yang mempunyai hak kepemilikan sepatu ini. Segera aku hubungi Bang Salman melalui pesan chat. Dalam chat tersebut, aku meminta izin untuk menjual sepatu warna merah dengan merk Jordan itu.
Sayangnya, Bang Salman tidak langsung membalas pesanku. Centangnya masih satu, jadi paling-paling dia belum membuka pesanku.
Sambil menunggu, sebetulnya aku ingin minum. Tetapi, ternyata isi botolku sudah tandas. Mau tidak mau, akupun beranjak menuju pantry yang tidak berada jauh dari ruangan ini.
Beruntung, aku tidak perlu antri mengambil air seperti sebelum-sebelumnya. Malah kali ini aku sendirian di pantry.
Kuisi sampai setengah botol minum berukuran 500ml itu, lalu aku minum. Lalu, aku isi lagi botol itu, kali ini sampai penuh.
Selama mengisi botol, aku mendengar sebuah suara yang tidak asing bagiku sedang mengobrol entah dengan siapa.
“Adik saya tidak aneh-aneh kan, Pak?” suara yang asing itu bertanya.
“Dokter tidak perlu khawatir. Adik dokter itu cepat sekali belajar. Pekerjaannya juga cukup bagus.” suara Pak Arif memuji.
“Baguslah jika demikian. Saya khawatir, karena adik saya itu kan jurusannya tidak linier dengan pekerjaannya.”
“Hahaha. Tapi, dia kan masih lulusan dari universitas yang bagus. Saya yakin kedepannya adik dokter akan berkembang lebih baik lagi.”
“Hmm, Pak. Begini, saya mau ambil air dulu. Barang kali Pak Arif mau duluan.”
“Silakan, Dok. Saya masih perlu menyiapkan keperluan rapat yang lain. Saya duluan. Mari.”
“Mari.”
Suara langkah kemudian terdengar semakin mendekat. Aku yang tidak peduli hanya terus memperhatikan botolku yang masih kuisi agar tidak meleber.
Langkah kaki itu kemudian berhenti tepat di sampingku. Dia berhenti bertepatan dengan botolku yang sudah penuh dengan air.
Kututup botol minumku, lalu mendongak. Di sana kulihat seorang pria berpakaian serba biru sedang menatapku nanar. Matanya hampir tidak berkedip saat pandangan kami bertemu.
Jujur, akupun sama. Mataku hampir keluar saat kami bertemu pandang.
Ini tidak berlebihan. Siapapun pasti akan bereaksi sama jika melihat seseorang yang wajahnya begitu mirip dengan diri sendiri.
Aku sudah mengedip puluhan kali, tapi cowok itu masih berdiri di hadapanku. Jadi, jelas ini bukan khayalanku. Walau sulit dipercaya, pria ini benar-benar nyata.
Entah sudah berapa lama kami saling tatap seperti ini. Dari ujung rambut sampai ujung sepatu crocs-nya tidak luput aku perhatikan. Diapun melakukan hal yang sama.
Tidak ada salah satu dari kami yang membuka mulut, sehingga suasana sunyi di pantry ini sulit untuk dipecah. Mungkin pria di hadapanku ini sama terkejutnya denganku.
Doppelganger? Kloning? Atau dajjal yang lagi menyamar?
Tapi, masa cowok?
Sumpah, baru kali ini aku melihat cowok yang wajahnya sangat mirip denganku. Badannya sih, sudah jelas beda. Namanya juga badan cowok. Bahkan Bang Salman tidak semirip ini. Aku sampai sulit berkata-kata.
Jangan-jangan kami adalah saudara kembar yang terpisah. Bakal kayak sinetron, dong!
Atau masa Mama atau Papa punya anak lain tanpa sepengetahuan dua anaknya. Kalaupun memang ada anak yang disembunyikan, memangnya apa tujuannya? Makin mirip sinetron jadinya, nih.
‘Cklek’
Saat pikiranku sudah ke mana-mana, tahu-tahu Pak Arif masuk ke dalam pantry. Matanya langsung tertuju padaku dan pria berbaju biru itu secara bergantian. Lalu, dengan wajah yang sumringah, dia berkata.
“Lho, adik-kakak pada ketemuan di sini.”
Dahiku mengerut mendengar ucapannya. Lalu, lagi-lagi mataku dan pria berbaju biru itu kembali bertemu. Dan rupanya dia juga nampak sama bingungnya.
“Aduh... kayaknya saya lagi ganggu, ya. Tapi, mohon maaf dok.” lanjut Pak Arif, “Pak direktur mau ketemu dokter Ilman sekarang.”
“Oh, oke. Saya segera ke sana.” kata pria yang ternyata bernama Ilman itu.
Tanpa berkata apa-apa lagi, dr. Ilman pergi menyusul Pak Arif yang sudah lebih dulu beranjak keluar dari pantry. Sementara, aku yang ditinggalkan masih berkutat dengan banyaknya pertanyaan yang hinggap di kepalaku.
Coba yang rasional. Bisa aja kan cuma mirip. Duuuh, kan kepo kan jadinya...
Tunggu! Tadi aku sempat melihat name tag di bajunya. Terus, tadi Pak Arif juga menyebut namanya.
Dokter Ilman.
Bukankah itu nama yang juga disebutkan si pemberi sepatu mahal tadi?
Sekarang aku tahu apa yang harus kulakukan untuk menghilangkan rasa kepo-ku. Segera aku kembali ke meja kerjaku sambil tidak lupa membawa tumbler yang baru saja ku isi.
Pertama-tama, aku harus membuka browser komputerku untuk membuka website Rumah Sakit Harapan Hati. Kalau dia bekerja di rumah sakit ini, di website itu pasti ada profil dokter itu.
“Beneran ada, weh!” seruku saat melihat foto dan biodata yang kucari.
Nama lengkap beserta gelarnya tertera di sana. dr. Ilman Prala Sanjaya, Sp.A, umur 30 tahun...
Ternyata dia tujuh tahun lebih tua dariku. Fix, kami bukan anak kembar.
Dokter Ilman, selain praktik di poli anak juga merupakan Kepala Bidang Pelayanan. Padahal masih muda, tapi jabatannya ngeri juga.
“Hihihi... sayang banget ya sama kakaknya? Sampai dilihatin begitu profil-nya.” ujar Mbak Lia, seniorku.
Akupun mendengus. Sekarang aku paham mengapa mereka memperlakukanku dengan terlalu baik. Ternyata memang karena ‘kakakku’, tapi bukan kakakku yang sebenarnya. Ada salah paham yang cukup besar di sini.
“Dia bukan kakakku, Mbak.” aku mengaku.
Harapanku, dengan ini Mbak Lia akan menghentikan perlakuan spesialnya padaku. Tapi sayangnya, ini akan sulit. Ekspresi Mbak Lia menjawab semuanya.
“Ckckck. Di mana-mana saudara tuh begitu, ya. Gak mau ngaku.” katanya.
“Ih, Mbak. Beneran, dia tuh bukan kakakku.”
Mbak Lia menggelengkan kepalanya.
“Muka mirip, nama juga mirip. Udah, deh. Gak usah malu-malu, Alma. Toh dr. Ilman kan ganteng, pinter, pekerja keras pula. Padahal dia kan pewaris Harapan Hati. Harusnya gak perlu lah, serajin itu.”
Eh, buset! Itu orang mau se-over power apa lagi? Ternyata anaknya yang punya rumah sakit.
“Tapi, betulan... aku tuh bukan adiknya dr. Ilman. Kalian pada salah sangka.” sanggahku lagi.
“Iya... iyaa... aku tahu, kok. Maksudnya kamu gak mau koar-koar kan? Tapi, semua juga udah tahu kalau kalian bersaudara.”
Grahhh!!
Aku harus bilang seperti apa lagi, sih?!
“Udah... lanjut kerja gih! Pak Arif tadi nanyain data lembur karyawan minggu ini, loh.”
Sekali lagi aku mendengus.
Apa memang tidak ada cara untuk menjelaskan kesalahpahaman ini selain harus mendatangkan dr. Ilman?
Ya. Mau tidak mau, aku harus bertemu dengan dr. Ilman lagi untuk meminta bantuannya menjelaskan ini semua. Dia pasti juga tidak mau ada orang yang numpang namanya untuk mendapatkan perlakuan spesial di tempat kerja.
Kuputuskan untuk menemuinya nanti saat jam pulang. Tadi aku melihat dia ada jadwal praktik sampai pukul 5 sore nanti. Biarlah menunggu satu jam, yang penting permasalahan ini cepat selesai.
...
Waktu yang kutunggu-tunggu pun datang. Pukul 16.30 aku menuju poli anak dan meminta perawat yang bertugas di sana untuk menyampaikan pesan pada dr. Ilman agar bersedia menemuiku.
Aku agak sangsi dia akan bersedia menemuiku, tapi perawat tadi berkata bahwa dr. Ilman memintaku untuk menunggunya di kantin lantai dua. Jadi, memenuhi keinginannya, aku pun pergi ke tempat yang dimaksud. Kebetulan aku juga lapar, jadi sekalian saja jajan di sana.
Tepat tiga puluh lima menit kemudian, dr. Ilman datang ke kantin tempat kami janjian. Penampilannya saat sampai di sana sedikit acak-acakan. Keringatnya sampai mengucur banyak sekali, seakan dia baru berlari-lari.
Orang-orang di sekitar kami mendadak terpana padanya. Mungkin ini yang namanya kekuatan keringat pria tampan. Semakin banyak keringatnya, akan semakin dianggap sexy.
Jujur, aku juga tidak bisa memungkiri kalau aku versi pria ini sex appeal-nya setinggi gunung Everest. Aku kalah telak untuk soal ini.
“Maaf menunggu lama.” ujarnya.
“Gapapa, dok. Justru saya yang harusnya minta maaf, karena sudah mengganggu waktu dokter.”
Dokter itu melepas kacamatanya, lalu sambil tersenyum dia berkata lagi, “Tidak mengganggu. Toh saya juga sudah selesai praktik.”
Dokter Ilman kemudian duduk di kursi yang ada di hadapanku.
“Omong-omong, kamu lapar gak? Sudah pesan makan?” tanyanya.
“Barusan saya jajan kue mochi dan es jeruk. Jadi, saya tidak terlalu lapar.” jawabku.
Pria itu nampak kecewa dengan jawabanku. Meski begitu, aku tidak ingin terlalu pede menduga kalau dr. Ilman ingin mentraktirku makan. Atas dasar apa dia mentraktirku?
“Dokter sendiri sepertinya kelelahan. Mau saya pesankan?” tawarku.
Dia lalu meraih tisu makan di meja sebelah, kemudian mengelap dahinya yang penuh peluh dengan tisu tersebut.
“Apa saya boleh minta tolong?”
Aku mengangguk menyanggupi.
“Pesan apa, Dok?” tanyaku.
“Lemon tea. dingin. Esnya sedikit saja.” dia menjawab.
Segera aku menyampaikan pesanannya pada penjaga kantin, lalu kembali ke meja kami.
“Oh, iya. Ada apa kamu cari saya? Apa ada masalah dengan nakes?”
Akhirnya kami ke pembicaraan inti.
Aku menjelaskan, “Bukan, Dok. Saya cuma ingin bilang kalau pegawai lain sepertinya salah paham soal hubungan kita.”
“Hm? Bukannya kita baru bertemu hari ini? Mereka sudah curiga kalau kita pacaran?”
Entah ini orang betulan dokter jenius atau bukan. Bisa-bisanya dia mengarah ke sana.
“M... maksud saya, mereka mengira kalau kita kakak-adik. Makanya mereka memperlakukan saya berlebihan.” jelasku.
“Loh. Bagus dong. Tidak ada masalah kan?”
Kejeniusan orang ini semakin meragukan. Atau mungkin srikuit di kepalanya hanya bisa jalan untuk pekerjaannya, karena itu dia jadi tidak peka.
“Saya malah senang kalau ada orang yang menyombongkan saya di depan yang lain. Saya izinkan kamu buat pamer kalau kita berdua bersaudara. Kalau bisa, puji saya tiap hari biar pekerjaan kamu makin gampang.”
Walahdalah! Jadi bingung mau bereaksi seperti apa. Kenarsisan orang ini sudah melebihi prediksi BMKG.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!