“Haa...” dengusku.
Seorang pria kemudian datang menghampiriku, lalu duduk di sebelahku. Pakaiannya agak aneh, seperti pakaian orang-orang yang muncul di film kolosal yang belakangan Bang Salman mainkan.
Entah secara sumber sejarahnya tepat atau tidak, ini adalah pakaian zaman klasik. Rambut pria itu cukup panjang dan diikat setengah ekor kuda. Di kepalanya terdapat hiasan seperti mahkota, pasti dia pangeran atau minimal anak pejabat. Dia juga mengenakan kalung. Terdapat kain yang mengikat di pinggangnya hingga menutupi kakinya sampai sekitar 5cm di atas lutut. Lalu, badannya...
Ugh... dosa besar kalau aku terus-terusan melirik badan a la patung Yunani itu. Tapi, toh ini mimpi. Harusnya tidak masalah.
Eh, tunggu! Kalau ini zaman klasik berarti bajuku juga...
safe...
Aku baru merasa lega setelah melihat ada kemben yang menutupi dadaku. Masih terlalu terbuka sih, tapi masih mending daripada berpenampilan seperti arca perempuan yang ada di candi-candi. Soalnya, mereka topless.
“Kinasih sepertinya sedang tidak senang. Ada apa? Coba katakan pada Kakanda.”
‘Kakanda’ lagi? Apa tidak ada yang lebih norak lagi? Lagian, zaman klasik begini masa manggilnya betulan kakanda? Dih, mimpi kok gak mutu banget!
Tapi, kalau dipikir-pikir, suara ini mirip seseorang. Orang yang belakangan membuatku lelah saking ‘unik’nya.
Duh, sayang banget wajahnya tidak terlihat. Mimpi ini benar-benar tidak bermutu. Badan bagus begitu, masa tidak dikasih wajah yang jelas.
“Ini masalah Dinda sendiri. Dinda hanya merasa tidak puas dengan diri Dinda.”
Idiiih! Ini mulut ngomongnya juga cringe banget! Apa-apaan menyebut diri sendiri pakai ‘dinda’ segala.
Tapi, aneh. Aku tidak bisa mengatur mulutku sendiri.
“Dinda kurang bersyukur.” ujar pria itu.
Dalam hati, aku mengangguk berkali-kali membenarkan ucapannya. Sampai tidak puas pada diri sendiri, pasti ada alasannya. Tapi, paling tidak harus bersyukur dengan apa yang ada, dong.
“Kanda Pralajaya tidak akan mengerti. Kanda adalah tabib yang begitu terkenal. Kemampuan bela diri Kakanda juga hampir sama besarnya dengan Akuwu Tumapel yang sekarang. Sementara Dinda...”
Berdasarkan ucapan si Kinasih ini, ternyata setting-nya betulan zaman Singosari. Kira-kira Akuwu Tumapel-nya sudah Ken Angrok yang mengerikan itu kah?
“Dinda cantik dan pandai memasak. Memangnya kurang apa lagi?”
Tuh, kan! Memang harus orang lain yang bilang soal kelebihan diri kita.
Kalau saja aku bisa memberitahu KInasih, aku akan bilang kalau sebaiknya dia berhenti merendahkan diri sendiri. Bukannya kasihan kalau terlalu sering merendah, orang-orang justru akan jijik dan menganggap kalau Kinasih itu gila pujian.
“Semua orang bisa melakukan itu. Dinda tidak spesial.”
Terdengar suara dengusan dari mulut Pralajaya. Mungkinkah dia sudah jengah dengan keluhan Kinasih?
“Bukankah DInda punya sesuatu yang hanya Dinda miliki?” tanyanya sambil menunjuk diri sendiri.
Firasatku tiba-tiba jelek. Pria bernama Pralajaya ini jadi makin mirip dengan seseorang.
“Maksud Kanda?”
“Sombongkan saja namaku. Bukankah Kandamu ini tampan dan bagus dalam segala hal? Semua pasti iri padamu.”
Walahdalah! Kan! Makin mirip! Bahkan lama-lama wajahnya jadi mirip orang itu.
“Hihihi... Kanda terlalu percaya diri.”
Wajah Pralajaya yang nampak semakin jelaspun ikut tersenyum.
“Baguslah kalau kau jadi terhibur.”
Rupanya itu tujuan Pralajaya sebenarnya. Dia tidak ingin adiknya terus murung. Sungguh kakak yang baik.
Apa mungkin dr. Ilman juga berpikir demikian saat mengatakan kalimat penuh kenarsisan itu padaku?
...
Pukul 12.00, Ruang Tata Usaha RS Harapan Hati
Oke. Aku tarik lagi ucapanku semalam.
Tiba-tiba dr. Ilman berkunjung ke ruanganku dan langsung duduk di kursi milik Mbak Lia yang ada di sebelahku. Berhubung ini jam istirahat, sebetulnya para karyawan lain sudah bersiap untuk pergi makan siang. Tetapi, mereka urung setelah melihat dokter favorit mereka datang.
Yah, masih mending kalau dia datang secara biasa saja. Misalnya, cuma menyapa atau apa begitu.
Sayangnya, kata biasa tidak masuk dalam kamus Bahasa Ilman. Dia datang dengan membawa sebingkai foto dan memintaku untuk memajangnya di sebelah komputerku.
Katanya, “Barangkali kamu kangen sama Kakak. Kan kita beda divisi. Jadi, kamu bisa terus-terusan lihat Kakak.”
“Anda bukan kakak saya. Jadi, saya gak butuh.” jawabku mengelak.
Pokoknya aku harus memperjuangkan statusku yang sebenarnya. Aku harus mengatakan pada semua orang di rumah sakit ini bahwa aku bukan adik dr. Ilman.
“Kamu durhaka loh, Al. Masa gak ngakuin kakak kamu yang ganteng ini. Padahal kakak sudah datang jauh-jauh dari ruangan Kabid Pelayanan.”
Ck! Jadi makin sebal rasanya.
“Ruang Kabid Pelayanan kan gak ada 1km, jauh dari mananya? Lagian kita bukan kakak-adik. Please stop, Doc!”
Dr. Ilman pun memasang muka memelas.
“Bagiku jauh banget. Mundur satu langkah aja udah bikin Kakak kangen.”
Hoek! Ingin muntah rasanya.
Perasaan kemarin dia masih ada kesan cool-nya. Kenapa sekarang jadi sok kegatelan begini? Mana penyakit narsisnya gak ketahan pula!
Orang-orang di sekitarku anehnya hanya tersenyum-senyum melihat kelakuan dr. Ilman. Jangan-jangan yang kemarin itu dia cuma jaga image. Aslinya ya yang sekarang ini.
“Dok, ini udah jam istirahat, loh. Gak pergi makan sama temanya? Atau barangkali ada jadwal visit pasien sekarang, mending jangan ditunda.” saranku.
“Gak ada. Pekerjaan Kakak juga bisa ditunda sebentar. Gimana kalau makan siang bareng kamu aja?”
Ya Gusti, tolong bantu hamba dalam menekan emosi ini. Ingin banget rasanya menyumbat mulut dr. Ilman pakai apa saja yang ada di dekatku.
“Gimana kalau bareng aku? Kita makan bareng, yuk!”
Perasaan tadi aku berdoa supaya tidak emosian, kenapa yang datang malah orang yang menambah emosi?
Yang mengajak kami berdua tadi adalah Mea, si karyawan marketing yang kemarin SKSD padaku mentang-mentang sudah kuladeni mengobrol. Seandainya kemarin dia tidak bermaksud untuk memanfaatkanku, mungkin aku tidak akan sesebal ini padanya.
Tapi, aku patut mengacungkan jempol untuknya. Karena, dia sangat percaya diri saat mengajakku dan dr. Ilman tadi.
“Siapa?” tanya dr. Ilman tanpa memalingkan pandangannya dariku.
“Selamat siang, Dok. Saya Mea dari bagian marketing.” ujar Mea memperkenalkan diri.
“Oh.”
Mungkin ini hanya perasaanku. Tapi, sepertinya dr. Ilman tidak terlalu senang dengan kemuncullan Mea. Mukanya sepet banget. Jadi penasaran. Cek dulu, ah.
“Ini orang yang kemarin ngasih sepatu ke dokter. Bagus kan sepatunya?”
Dokter Ilman mendengus kasar, lalu berkata, “Kamu kok mau sih, dititipin kayak gitu? Dibayar berapa? Lain kali jangan mau, ya!”
Dia mengatakannya dengan cukup keras seakan ingin memberi tahu seisi ruangan ini. Dan sekarang, wajah Mea lah yang menjadi kecut.
Hahaha, rasain! Makanya jangan sok! Kemarin aku mau jelasin aja gak mau dengerin.
“Siap, dok! Lagian ngapain nitipin ke saya juga. Kan saya bukan siapa-siapanya dokter.” sahutku.
Dokter Ilman lagi-lagi mendengus.
“Kakak sedih kamu ngomong gitu. Tapi, kamu tetap yang paling berharga bagi Kakak.” katanya penuh kesedihan.
Harusnya tuh aku yang sedih. Pengin banget nangis sambil ngamuk-ngamuk gara-gara orang ini.
Di saat seperti ini, orang-orang bagian tata usaha yang lain malah jadi cuek. Kecuali mungkin dua orang, yakni Mea yang masih menatap kami dengan penuh amarah.
Lalu, yang satunya lagi adalah Hani. Dia terus cekikikan dari tadi sambil sesekali melirik ke mari.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
〈⎳ HIATUS
Hebat punya kamus sendiri dia
2024-03-16
1
〈⎳ HIATUS
Kakak adik ternyata?
2024-03-16
0
〈⎳ HIATUS
Fix ente sama dokter Ilman adalah reinkarnasi Kinasih sama pacarnya
2024-03-16
0