Wanita Mandul

Wanita Mandul

Bab 1

Terlihat seorang dokter menjelaskan panjang lebar hasil tes kesehatan dan kesuburan rahim seorang wanita cantik berhijab syar'i pada pasangan suami istri yang duduk fokus didepannya.

Pupus sudah harapan Zahira untuk bisa memiliki momongan yang lahir dari rahimnya sendiri. Memang belum mengatakan apapun, hanya menjelaskan saja. Akan tetap, Zahira sudah bisa menebak pada hasil yang akan disampaikan oleh dokter yang satu bulan ini menemani mereka dalam proses bayi tabung yang akan Zahira dan suami lakukan.

Pun dengan Bilal, pria itu sudah sangat pasrah apabila Zahira tidak akan bisa memberinya seorang keturunan. Keturunan yang sudah sangat diinginkan dari awal pernikahan mereka sampai 9 tahun ini.

"Jadi, kesimpulannya apa dok?" tanya Bilal saat dokter belum juga mengatakan hasilnya.

"Mohon maaf Pak Bilal, Ibu Zahira, dengan sangat berat hati harus saya sampaikan kalau hasil dari tes ini mengatakan. Ibu Zahira tidak akan bisa memiliki seorang anak yang lahir dari rahim Ibu Zahira."

Tes...

Air mata turun begitu saja kala mendengar penuturan dokter yang sangat menyayat hatinya. Bilal merangkul pundak Zahira, memberikan kekuatan pada Zahira untuk tetap bersabar dan ikhlas atas ketetapan yang Allah berikan untuk mereka.

"Apa dengan kata lain saya mandul, dok?."

"Iya, Ibu Zahira."

Zahira meremas ujung hijab berwarna maroon kesukaannya. Hati yang telah disiapkan untuk menerima kemungkinan buruk ini nyatanya tetap terluka dan sangat sakit.

"Apa masih ada kemungkinan Zahira hamil, walau kemungkinan itu 0.01% dok?."

"Bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin Pak Bilal, Ibu Zahira. Asal selalu percaya dan yakin akan takdir baik yang Allah siapkan untuk rumah tangga kalian."

"Kalau saya mandul, itu artinya saya tidak akan bisa memberikan Mas Bilal keturunan." Zahira menundukkan kepalanya.

Di dalam ruangan dokter pun menjadi hening, Bilal dan dokter lebih memilih bungkam dari pada mendebat lagi wanita yang sedang hancur hatinya.

Bilal dan Zahira pamit, keduanya tidak langsung pulang ke rumah. Karena tahu pasti akan dicecar banyak pertanyaan dari kedua orang tua Bilal yang memang tinggal satu atap bersama mereka.

"Kita mau ngapain ke sini, Mas?." Tanya Zahira saat mereka sudah sampai di sebuah hotel.

"Ayo turun dulu, nanti kita bicara di sana saja" Bilal mengulurkan tangan lalu menggenggam erat tangan Zahira yang berada dalam genggamannya.

Zahira hanya patuh mengikuti Mas Bilal yang telah 9 tahun ini menjadi suaminya, imamnya, teman dan pasangan dalam suka dukanya.

Tibalah mereka di sebuah kamar hotel yang sangat mewah, ternyata sengaja Bilal menyewa kamar hotel ini untuk mereka yang sedang bersedih. Setidaknya mereka perlu waktu untuk berdua, sama-sama menenangkan hati dan pikiran yang semeraut.

"Hasil finalnya saya mandul, saya enggak akan bisa memberikan Mas Bilal keturunan, saya ikhlas kalau Mas Bilal harus menikah lagi. Tapi ceraikan saya dulu, Mas" Zahira mengelap air mata dan hidungnya bergantian.

"Sampai kapanpun Mas enggak akan menceraikan kamu untuk alasan apapun. Lagi pula kita sudah sering membicarakan masalah anak, Mas tidak masalah kalau kita tidak memiliki anak. Asal Mas bisa hidup berdua sama kamu." Mas Bilal memeluk erat Zahira yang kembali menangis.

Sebuah kenyataan yang sangat pahit yang harus Zahira telan mentah-mentah. Bukan hanya sekali ini saja Zahira dan Mas Bilal melakukan tes. Pernah juga di rumah sakit lain dengan dokter yang berbeda. Walau tanpa serangkaian tes, sang dokter sudah mendiagnosisnya mandul.

Tiga tahun yang silam, Zahira pernah melakukan operasi pengangkatan Miom yang ada pada rahim guna memudahkannya untuk hamil. Tapi, justru itu tidak akan pernah terjadi. Zahira seorang yang mandul yang membuat dirinya cacat.

"Kamu yang sabar, ada Mas yang akan selalu menamaimu, melindungimu dan menjagamu." Banyak sudah kalimat-kalimat bijak yang keluar dari mulut Mas Bilal hanya untuk menenangkan Zahira karena Mas Bilal tahu tidak akan pernah mudah berada di posisi sang istri.

"Tapi bagaimana dengan Mama dan Papa ?" Ada banyak kekhawatiran dalam diri Zahira.

"Biar Mas nanti yang bicara kepada mereka, kamu hanya perlu menenangkan diri saja".

Zahira mengangguk patuh.

Memang bukan hal baru obrolan mereka mengenai anak. Karena sebelum ini pun mereka pernah berada dalam keadaan bertengkar hebat karena masalah momongan yang belum kunjung hadir melengkapi pernikahan mereka. Namun karena mereka percaya jika jodoh, rezeki dan maut itu rahasia Allah. Jadi mereka hanya bisa berserah diri. Meski tidak pernah mudah saat berada dalam situasi tersebut.

Suara dering ponsel milik Mas Bilal malam itu menyadarkan Zahira Dari tidurnya. Zahira mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan mencari keberadaan sang suami sebelum akhirnya Zahira menjawab panggilan masuk dari Mama mas Bilal.

"Assalamualaikum, Ma."

"Waalaikumsalam, Zahira. Kalian dimana? Mama Papa tunggu kok enggak pulang-pulang?."

"Iya, Ma. Maaf saya menemani Mas Bilal menemui kliennya di daerah Jakarta Selatan. Mungkin sampai malam kami di sini."

Setelah sebelumnya Zahira dan Mas Bilal bersepakat untuk memberikan alasan yang sama pada kedua orang tua Bilal bila bertanya tentang keberadaan mereka saat ini.

"Ya udah kalau begitu, kan enak kalau Mama Papa tahu kalian tidak pulang."

"Iya Ma maaf, baru ngabarin sekarang."

"Iya, enggak apa-apa. Ya udah ya Zahira. Assalamualaikum."

"Iya Ma, waalaikumsalam."

Zahira bangkit sambil memegang ponsel Mas Bilal. Zahira membuka pintu kamar mandi, siapa tahu Mas Bilal ada di sana. Tapi tidak ada juga. Zahira kembali ke atas tempat tidur.

Matanya cukup berat karena menangis dalam waktu yang cukup lama. Wajahnya sembab dan terlihat sangat kusut.

"Kemana perginya Mas Bilal? batin Zahira. Zahira menaruh kepalanya pada kepala tempat tidur. Percakapannya di ruang dokter kembali berputar, rasa sesak semakin menghimpit dadanya.

Kebaikan apa yang harus dilakukannya supaya diberikan imbalan rahim yang bisa menampung satu anak saja.

Zahira segera menghapus air matanya ketika Mas Bilal masuk dengan tentengan ditanganya.

"Kamu bangun sayang?."

"Iya Mas, tadi Mama telepon. Mas dari mana?."

"Mas ketemu teman lama di bawah, kebetulan teman Mas itu sedang ada pekerjaan di sini. Teman Mas kirim salam dan makanan ini untuk kamu sayang." Mas Bilal memberikan tentengan itu pada Zahira. Zahira menerimanya lalu menaruhnya di atas kasur.

"Oh gitu, temannya laki-laki atau perempuan?." Zahira begitu iseng menanyakan hal tersebut. Seperti bukan Zahira yang biasanya.

"Perempuan sayang."

"Sudah menikah?."

"Sudah sayang, mereka sudah memiliki dua orang anak sayang."

"Pasti mereka sangat bahagia ya, Mas."

Mas Bilal terdiam, sepertinya Zahira sedang begitu sensitif terhadap perempuan-perempuan yang memiliki anak.

"Apa kamu tidak bahagia ada Mas dalam hidupmu?."

Zahira mendongak, menatap intens wajah Mas Bilal. "Saya sangat bahagia Mas, tapi kita akan jauh lebih bahagia lagi kalau ada anak diantara kita."

Terpopuler

Comments

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

aku mampir thor

2024-03-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!